• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. STRATEGI NAFKAH RUMAHTANGGA PETANI

6.1.2. Domain “livelihood diversification”

6.1.2.2. Strategi Akumulasi

Petani berlahan luas di daerah persawahan, beberapa diantara mereka mencoba menginvestasikan hasil dari pertanian ke non pertanian. White (1990) mencatat bahwa rumahtangga yang atau mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sector non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relatif tinggi pula. Strategi nafkah yang mereka terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sector pertanian maupun non pertanian. Strategi akumulasi ini lebih memperlihatkan bagaimana modal finansial mampu memberikan sumbangan yang besar terhadap sistem nafkah rumahtangga petani.

“Wsn (36 tahun), memiliki lahan seluas 5 Ha ditambah tanah tanah bengkok seluas 2 Ha. Dia tidak terjun langsung dalam kegiatan pertanian, melainkan hanya pada tataran pengambilan keputusan. Tanahnya disakapkan kepada 17 petani, dan untuk mengelolanya dia melibatkan petani yang menjadi kepercayaannya. Sementara dia sendiri bekerja sebagai Kepala Desa, istri dan ibunya mencari nafkah dengan cara menyewakan perlengkapan pernikahan. Dia dan ayahnya juga berprofesi sebagai pedagang tembakau, banyak memiliki karyawan di gudang yang bekerja pada saat musim panen tembakau tiba. Beberapa buruh di gudang tersebut adalah petani penyakap yang ikut mengerjakan lahan Wsn.

H. Rytn (56 tahun) memiliki lahan seluas 1,25 Ha. Dia juga tidak mengerjakan sendiri lahan yang dimilikinya melainkan disakapkan kepada 4 (empat) orang petani disekitarnya. Dia dulunya carik (sekretaris desa) pada tahun 1975-1980) dan kepala desa tahun 1980-1998. Hasil jerih payahnya selama ini dipergunakan bersama istrinya untuk membuka toko saprodi.

Srt (35 tahun) memiliki pola yang berbeda dengan keduanya. Dia menggarap 3,5 hektar, 2 hektar milik sendiri dan 1,5 hektar menyewa dari tanah bengkok. Dia menggarap sendiri lahannya dengan dibantu beberapa tenaga kerja. Selain melakukan kegiatan usaha tani, dia juga melakukan aktivitas menebas28 padi dan melakukan kegiatan impor tembakau. Pada saat musim panen, biasanya impor hingga 2,5 ton/hari selama 20 hari.

Tembakau impor tersebut diambil dari Weleri dengan harga Rp. 1.750/kg.

Untuk memenuhi kebutuhan memetik dan merajang tembakau baik dari lahannya sendiri maupun impor, dia memiliki buruh sebanyak 7 (tujuh) orang (3 laki-laki dan 4 perempuan) yang berasal dari Wonosobo. Pekerja

laki-laki bertugas merajang tembakau, sementara perempuan memetik dan nganjang. Mereka bekerja lebih dari 12 jam perhari dengan upah sebesar Rp. 25.000,- untuk perempuan dan Rp. 35.000,- untuk laki-laki. Orang yang bekerja di pak Srt biasanya bekerja selama 1,5 bulan, hanya pada saat musim panen tembakau saja. Sedangkan di luar musim tembakau mereka kembali ke daerah masing-masing untuk melakukan aktivitas di rumah.

Selain memiliki pekerja musiman, dia juga memiliki 3 (tiga) pekerja tetap di rumah yang bertugas melakukan berbagai kegiatan pertanian seperti:

mrithili29, metik, mengirim makanan ke sawah, dan lainnya. Ketiga orang tersebut menginap di rumahnya, mbok Sg (40 tahun) dan mbok Slmt (40 tahun) berasal dari Wonosobo, sedangkan Mbok Krsn (50 tahun) berasal dari Gedongsari, Temanggung.

Upaya melakukan kegiatan akumulasi ini lebih banyak dilakukan pada petani lahan sawah. Sementara pada petani lahan tegal (pegunungan), surplus produksi tidak dipergunakan untuk berusaha disektor non pertanian tetapi lebih banyak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Sebagian besar dari mereka berupaya memanfaatkan surplus produksi untuk membeli kendaraan bermotor, membeli mobil, membangun rumah atau membeli tanah.

6.1.2.3.Strategi Manipulasi Komoditas

Etika resiprositas memiliki peran yang penting di dalam membangun semangat kolektif yang bermuara pada pemenuhan sustainaibility livelihood.

Landasan dasar dari semangat tersebut adalah kebersamaan demi kemaslahatan bersama. Secara historis, tembakau adalah komoditas yang diperkenalkan penjajah yang berorientasi pasar. Gejala perilaku yang berbasis material tersebut sebagai bagian dari semangat dan etika ekonomi disela-sela semangat kolektifitas.

Beberapa gejala individualitas tersebut dapat dilihat dari melemahnya budaya royongan yang kemudian digantikan dengan upah. Sementara gejala semangat materialism yang bersifat manipulasi komoditas terwujud dalam aktivitas market-sphere. Petani berusaha mencampur tembakau Temanggung yang relatif lebih bagus kualitasnya dengan tembakau dari daerah lain, yang mereka

      

29 Mrithili adalah salah satu tahap dalam kegiatan budidaya tembakau yang dilakukan setelah tembakau berumur ± 3 bulan. Kegiatan ini berupa membuang tunas yang tumbuh di batang pada pangkal daun.

Mrithili dilakukan agar hara tanaman terfokus kepada daun yang sudah ada, dan harapanya daun tersebut lebih berkualitas. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh perempuan.

sebut dengan ‘impor’30. Selain itu, petani mencoba membuat tembakau berkualitas rendah seolah-olah berkualitas tinggi (strinthil).

“Impor” dan “manipulasi berat

Fenomena “impor” ini secara pasti tidak diketahui kapan mulai muncul di lereng Sindoro-Sumbing. Impor dianggap telah ada semenjak dahulu kala, tujuannya adalah sekedar untuk menggenapi tembakau yang kurang dari satu keranjang. Namun secara perlahan, impor menjadi fenomenal karena dijadikan sumber pendapatan utama lainnya. Bagi petani dengan modal yang banyak maka akan semakin banyak pula impornya.

Beberapa keistimewaan tembakau Temanggung adalah dilihat dari : (1) aromanya khas; (2) rasanya gurih; dan (3) memiliki kadar nikotin yang tinggi.

Berdasarkan keistimewaan tersebut, maka harga tembakau temanggung lebih mahal jika dibandingkan tembakau di wilayah-wilayah di sekitarnya, misalnya:

Wonosobo, Weleri-Kendal, Magelang, Boyolali. Pencampuran tembakau Temanggung dengan tembakau dari daerah lain diharapkan mampu meningkatkan kuantitas yang dijual sementara harganya memakai standar tembakau Temanggung. Hal inilah yang mendorong petani berlomba-lomba untuk melakukan kegiatan impor ini.

Sebagai bahan ilustrasi, berikut ini perkiraan harga daun tembakau import dari beberapa wilayah di sekitar Kabupaten Temanggung:

Tembakau asal Magelang : Rp. 3.500,00 s.d. 6.000,00/kg + ongkos transportasi Rp. 200.000,00

Tembakau asal Wonosobo : Rp. 5.000,00 s.d. 6.000,00/kg + ongkos transportasi Rp. 100.000,00

Tembakau asal Magetan : Rp. 4.000,00 s.d. 5.000,00/kg (sudah termasuk ongkos transportasi)

Tembakau asal Boyolali : Rp. 4.000,00 s.d. 5.000,00/kg + ongkos transport Rp. 200.000,00

Sementara konversi dari daun tembakau ke tembakau rajangan pada masing-masing wilayah berbeda-beda. Untuk daerah Temanggung biasanya 3 kw       

30 Impor adalah istilah yang dipakai petani untuk komoditas tembakau yang diambil dari daerah luar

daun tembakau akan menjadi 40-50 kg rajangan (1 keranjang). Sementara daerah lain adalah: (1) Wonosobo: 1 ton daun menjadi 4 keranjang ; (2) Magelang dan Magetan: 1 ton daun menjadi 3 keranjang. Jika rata-rata harga daun tembakau sebesar Rp. 5.000,00/kg; impor sebanyak 1 ton. Maka uang yang diperlukan adalah 5 juta rupiah. Seandainya setelah dirajang menghasilkan 3 keranjang @ 40 kg, dengan harga rata-rata per kg 50 ribu rupiah, maka didapat 6 juta rupiah.

Semakin besar modalnya, maka semakin banyak impor yang dilakukan.

Biasanya mereka mengimpor tembakau secara bersama-sama sehingga biaya yang dikeluarkan tidak terlalu besar. Di daerah-daerah asal tembakau impor ada beberapa makelar yang telah mencarikan stok daun tembakau, sarana transportasi. Untuk memastikan kualitas tembakau, salah satu pihak pengimpor datang ke lokasi pembelian. Tembakau impor biasanya dikirim pada waktu malam hari, sehingga tidak diketahui khalayak umum.

Tembakau impor yang sudah dirajang kemudian dicampurkan dengan tembakau asli Temanggung. Untuk menambah berat tembakau, petani menggunakan gula pasir 5-10 kg. dengan ramuan tembakau impor, gula pasir, dan tembakau Temanggung diharapkan akan menghasilkan tembakau dengan kualitas baik dan lebih berat. Harga yang didapatkan sifatnya relatif karena penentuan harga sangat tergantung pada grader. Semakin petani dipercaya oleh grader, walaupun kualitas tembakaunya sama tetapi bisa dengan harga yang berbeda.

“srintil31 rekayasa”

Laku atau tidaknya hasil tembakau sangat tergantung pada totol-nya.

Penentuan totol ini didasarkan pada warna dan bau tembakau. Totol A adalah kualitas yang paling rendah, sementara yang paling bagus hingga totol H. Totol H inilah yang sering disebut dengan tembakau srintil. Harga tembakau srintil bervariasi tergantung kualitasnya, bisa sampai Rp. 400.000,00 per kg.

      

31 Srintil merupakan kotoran kambing dengan bentuk bulat lancip berwarna hitam. Istilah ini dipakai dalam karena tembakau menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan bentuk srintil (kotoran kambing. Mutu khusus dari tembakau hitam (srintil) memiliki mutu dan harga tertinggi, sangat langka dan tidak semua tempat dan musim dapat menghasilkan kualitas ini. Biasanya kualitas srintil ini hanya bisa di dapat pada lahan tegal (daerah gunung) dan pada daun yang paling atas. Dalam petik tembakau ada tiga tahap penting yaitu: (1) ngrewos/ngampat, memetik daun bagian bawah (± 4 daun); (2) nenggok, dilakukan 2-3 kali berfungsi untuk menyeragamkan kualitas daun atas; dan (3) ngurut, petikan daun yang paling atas. Daun pada proses ngurut inilah yang akan menjadi srintil.

Untuk mendapatkan tembakau srintil ini, petani di beberapa dusun merekayasa tembakau yang tidak kualitas srintil seolah-olah srintil agar mendapatkan keuntungan lebih. Tembakau dengan kualitas srintil ditandai pada saat “ngimbu” (memeram) biasanya dari empat (4) gulung akan mengendap menjadi sama tebalnya dengan 1 (satu) gulung. Apabila pada tembakau yang tidak nyrintil setelah dieramkan akan layu dan berwarna kuning kehitam-hitaman, sementara tembakau srintil akan meluruh dan berlendir. Untuk menyiasati tembakau yang bukan kualitas srintil menjadi srintil biasanya sebelum dieramkan tembakau di jemur sehingga mengalami kelayuan secara cepat yang pada akhirnya akan menghasilkan tembakau mirip kualitas srintil.

Tidak semua wilayah di lereng Sindoro-Sumbing bisa menghasilkan tembakau hitam (srintil). Ada 7 (tujuh) golongan daerah penanaman tembakau yang membedakan mutu hasil tembakau, yaitu:

1. LAMUK, tersebar di lereng timur gunung Sumbing (Tegalmulyo pada lahan >

1.100 m dpl, menghasilkan mutu Srintil Istimewa

2. LAMSI tersebar di lereng utara dan timur laut Gunung Sumbing (Bulu dan Parakan) pada lahan Regosol>1.100 m dpl, kelerengan 15-40 %, mutu Srintil Istimewa

3. PAKSI tersebar di lereng timur gunung Sundoro (Ngadirejo dan Bansari) pada lahan Regosol > 1.100 m dpl, mutu Srintil cukup istimewa

4. TOALO tersebar di lereng selatan gunung Sundoro dan barat Gunung Sumbing (Kledung) pada lahan Regosol > 1,100 m, mutu sedang

5. TIONGGANG tersebar pada lahan persawahan 500-700 m dpl, mutu sedang 6. SWANBING tersebar di sekitar gunung Prahu (Tretep dan Wonoboyo), lahan

Ondosol 900-1.400 m dpl, mutu sedang

7. KIDUL tersebar di tenggara Gunung Sumbing pada daerah baru, mutu sedang Maraknya tembakau impor, penambahan gula, dan adanya “srintil rekayasa” membuat pedagang dan grader semakin tidak percaya kepada petani.

Ketidakpercayaan tersebut diwujudkan dengan memberikan harga yang rendah dan semakin merosot. Akibat banyak tembakau yang tidak terjual atau terjual dengan harga rendah mengakibatkan hutang-hutang petani kepada pedagang tidak dapat dibayarkan. Sedangkan untuk membudidayakan tanaman tembakau memerlukan banyak modal. Pada sisi lain pedagang yang biasanya memberikan bantuan modal sudah memiliki rasa tidak percaya lagi kepada petani.

6.1.3. Domain “Strategi Migrasi Temporer”

Migrasi merupakan salah satu strategi penting bagi rumahtangga dalam meningkatkan kelangsungan hidup. Ada beberapa manfaat dari adanya migrasi, diantaranya adalah pertama, penghasilan dari remittance dapat digunakan untuk investasi lahan. Kedua, dapat memberikan modal input pertanian sehingga bisa dikerjakan lebih intensif. Ketiga, dapat diinvestasikan untuk biaya pendidikan anak. Keempat, dapat dipergunakan untuk investasi aktifitas non-pertanian (Ellis dan Freeman, 2005).

Ellis (2003) menyatakan bahwa remmitance dari migrasi –melalui sumbangan sumberdaya manusia (tenaga kerja)- dapat meningkatkan aset-aset yang dimiliki oleh rumahtangga yang pada gilirannya akan menurunkan kemiskinan (poverty32). Remmitance juga dapat menurunkan risiko dari karakteristik pertanian yang bersifat musiman yang kemudian akan menurunkan kondisi petani yang penuh kerentanan (vulnerability). Penurunan kemiskinan dan tingkat kerentanan secara bersama-sama akan meningkatkan penghidupan petani.

Dalam kasus rumahtangga petani tembakau, tidak semata-mata mengurangi risiko karena sifatnya yang musiman tetapi akan menurunkan risiko adanya berbagai kondisi stress akibat kondisi alam yang dapat menyebabkan gagal panen. Dengan melakukan migrasi, maka rumahtangga petani mampu menutupi kerugian-kerugian yang diakibatkan karena kerentanan akibat gagal panen atau harga yang merosot (Lihat gambar 6.6.).

Kegagalan berturut-turut pada tahun 2003,2004, dan 2005 membuat petani bermigrasi ke daerah-daerah yang disana ada kerabat atau tetangga yang telah lama merantau atau bahkan telah menetap didaerah perantauan, kebanyakan mereka merantau ke Kalimantan. Pada tahun 2007, kondisi pertembakauan dirasakan membaik (iklim mendukung bagi pertumbuhan tembakau), maka secara bersama-sama mereka kembali ke desa dan melanjutkan usaha tani tembakau.

      

32 Konsep kemiskinan (poverty) dan kerentanan (vulnerability) memiliki perbedaan. Ukuran kemiskinan (povert/y) pada umumnya tetap pada suatu waktu tertentu dan merupakan konsep yang bersifat statis.

Vulnerability lebih dinamis dan mampu menangkap proses perubahan yang dilakukan manusia dalam upaya keluar dari kemiskinan (Lipton dan Maxwell, 1992).

Gambar 6.6. Keterkaitan antara Migrasi dan Peningkatan Penghidupan (sumber: Ellis, 2005 yang dimodifikasi)

Pada komunitas petani tembakau di lereng Sumbing-Sindoro, migrasi dianggap sebagai penyelamat sumber nafkah yang bersifat incidental. Hal ini bermanfaat bagi kelangsungan hidup rumahtangga petani walaupun bersifat sementara. Paling tidak memberikan kontribusi yang positif terhadap kontinuitas usaha tani.

6.2. Dinamika Sosiologis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Tembakau pada berbagai lapisan

Strategi nafkah rumahtangga petani dibangun sebagai bagian dari adaptasi terhadap berbagai risiko yang dihadapi dengan mengkombinasikan berbagai aset (alami, finansial, fisik, sumberdaya manusia, dan sosial). Strategi yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan kepemilikan sumberdaya. Pada petani berlahan luas dengan kepemilikan modal alami yang lebih besar akan berbeda dengan pola nafkah petani dengan lahan sempit.

MIGRASI

Remmitances Sumberdaya Manusia (Tenaga Kerja) Menurunkan

Meningkatkan

Risiko

Menurunkan  

Kemiskinan

(Poverty) Kerentanan

(Vulnerability) Aset-aset

Musiman Gagal Panen

Livelihoods Improving

6.2.1. Petani lahan luas

6.2.1.1. Rumahtangga Petani Tembakau berbasis Sawah

Pada rumahtangga petani tembakau berbasis sawah, secara agro-ekologi memiliki peluang untuk mengusahakan tanaman di luar tembakau bahkan pada musim tembakau sekalipun. Namun demikian, secara umum pola gilir tanam selama satu tahun adalah padi-padi-tembakau. Pola gilir ini umum terjadi pada semua rumahtangga petani baik yang berlahan luas maupun lahan sempit.

Pada situasi normal (tidak mengalami puso) atau istilah di pertembakauan adalah musim baik, dimana musim penghujan tiba pada saat masa tanam dan kemarau pada saat masa menjemur, strategi yang melekat pada rumahtangga petani berlahan luas adalah solidaritas vertikal dan manipulasi komoditas.

Solidaritas vertikal ini sebagai faktor penting karena berkaitan dengan harga dari tembakau, apalagi pada saat krisis.

Sedangkan pada saat surplus produksi terjadi, maka petani akan mengakumulasikan modalnya untuk kegiatan non-farm. Beberapa aktifitas ini antara lain: membuka penyewaan dan rias pengantin, toko saprodi, berdagang.

Manipulasi komoditas yang dilakukan pada petani lahan sawah adalah impor dan manipulasi berat dengan menambahkan gula. Sedangkan manipulasi kualitas rendah seolah menjadi kualitas srinthil tidak mungkin dilakukan karena kualitas tersebut tidak bisa dihasilkan pada lahan sawah (lihat gambar 6.7.)

Sumber: Analisis Data Primer, 2009

Gambar 6.7. Strategi nafkah rumahtangga petani tembakau lahan luas yang berbasis tanah sawah pada berbagai situasi

Situasi Normal Situasi Surplus

Situasi Krisis

Strategi akumulasi:

investasi di luar sektor pertanian

Strategi berhutang Strategi solidaritas

vertikal

• Strategi Solidaritas vertikal

• Strategi manipulasi komoditas

Strategi produksi

Pada saat krisis, rumahtangga petani akan menggunakan strategi berhutang kepada grader untuk modal pertanian. Cara lain yang ditempuh adalah dengan strategi produksi, seperti: mengurangi jumlah input pertanian atau mengusahakan tanaman yang memerlukan modal sedikit dengan risiko yang rendah.

Mengusahakan tanaman padi membutuhkan modal yang lebih kecil dan risiko gagal panen dan fluktuasi harga yang lebih rendah. Sehingga pada saat terjadi krisis maka pola tanam yang akan dilakukan adalah padi-padi-padi.

6.2.1.2. Rumahtangga Petani Tembakau berbasis tegal (pegunungan)

Pada rumahtangga petani di lahan tegal (pegunungan) memiliki strategi yang hampir sama dengan rumahtangga petani di lahan sawah. Persamaan tersebut daintaranya adalah strategi solidaritas vertikal dan manipulasi komoditas. Strategi solidaritas vertikal yang berbasis trust menjadi sangat penting bagi petani mengingat komoditas tembakau adalah tanaman penting yang diharapkan mampu menopang kehidupan rumahtangga petani. Strategi manipulasi komoditas dilakukan tidak hanya dengan melakukan “impor” dan manipulasi berat melainkan juga memanipulasi tembaku kualitas rendah (grade A, B, C) seolah-olah menjadi kualitas tinggi (srinthil, grade F,G,H).

Sumber: Analisis Data Primer, 2009

Gambar 6.8. Strategi nafkah rumahtangga petani tembakau lahan luas yang berbasis tanah tegal (pegunungan) pada berbagai situasi

Situasi Normal Situasi Surplus

Situasi Krisis

Strategi akumulasi:

investasi lahan

Strategi berhutang Strategi solidaritas

vertikal

• Strategi Solidaritas vertikal

• Strategi manipulasi komoditas

Strategi produksi

Sedangkan pada saat rumahtangga petani mengalami surplus produksi (pada saat musim baik) dari tembakau, maka yang dilakukan berbeda dengan rumahtangga petani lahan luas pada lahan sawah. Orientasi rumahtangga petani lahan tegal adalah untuk investasi dengan membeli lahan dan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi baik primer, sekunder, dan tersier seperti: membangun rumah, membeli mobil, membeli sepeda motor. Hanya sebagian kecil yang melakukan kegiatan akumulasi modal dengan melakukan aktifitas di luar pertanian. Sementara pada saat masa krisis, rumahtangga petani berusaha beradaptasi dengan cara, menggunakan uang tabungan, memberokan sebagian lahan yang dimiliki, menjalin hubungan baik dengan grader sehingga memperoleh akses modal melalui berhutang.

6.2.2. Petani Lahan Sempit

6.2.2.1.Rumahtangga Petani Tembakau berbasis lahan Sawah

Pada rumahtangga petani berlahan sempit (gurem) atau bahkan tunakisma, strategi utama (domain strategi) adalah patronase. Petani menjalin trust dengan pemilik lahan luas untuk mengakses lahan yang dimilikinya dengan sistem maro.

Strategi ini menjadi katup penyelamat bagi rumahtangga petani gurem di pedesaan lahan sawah.

Sumber: Analisis Data Primer, 2009

Gambar 6.9. Strategi nafkah rumahtangga petani tembakau lahan sempit yang berbasis tanah sawah pada berbagai situasi

Strategi nafkah yang melekat lainnya adalah srabutan, dimana selain berusaha tani tetapi juga bekerja pada bidang lain sesuai kemampuan dan peluang yang ada. Beberapa bidang pekerjaan tersebut antara lain: buruh tani, buruh bangunan, kuli angkut, penggali pasir, dan lainnya. Pada situasi tertentu

Situasi Normal Situasi krisis

Strategi berhutang

• Strategi patronase

• Strategi srabutan

Strategi produksi

(misalnya: puso), rumahtangga petani akan menambah strategi berhutang sebagai penyambung kehidupannya, baik kepada patron (petani lahan luas) maupun kepada kerabat atau tetangga dekat. Sedangkan dalam aktifitas produksi, lebih banyak pengambilan keputusan dilakukan oleh pemilik lahan luas. Teknologi dalam kegiatan usahatani biasanya diintrodusir oleh patron.

6.2.2.2.Rumahtangga Petani Tembakau berbasis lahan tegal (pegunungan) Pada petani lahan sempit yang bebasis lahan tegal sangat tergantung kepada aktifitas pertanian (on farm). Pada tataran hubungan dengan sesama petani lahan sempit, mereka mengandalkan strategi solidaritas horizontal dengan memanfaatkan sistem royongan sebagai bagian penting dalam kegiatan produksi tembakau. Sedangkan hubungannya dengan petani lahan luas, mereka menggunakan sistem nitip untuk membantu distribusi komoditas tembakau yang dihasilkanya. Selain itu, strategi yang dimainkan secara bersamaan adalah dengan beberapa strategi di atas adalah srabutan. Strategi ini di lakukan sebagai upaya untuk membantu memberikan penghasilan tambahan yang berasal dari off-farm, yaitu sebagai buruh tani.

Aktifitas menjadi buruh tani dilakukan secara bergantian dengan aktifitas usahatani pada lahan yang dimiliki. Pada kondisi gagal panen apalagi berturut-turut, salah satu strategi yang dianggap menjadi katup penyelamat adalah berhutang baik kepada pedagang Cina (pedagang perantara) atau kepada kerabat dekat. Mereka mengenal sistem nglimolasi, yaitu selama kurun waktu satu musim tanam (4 bulan) mereka membayar 1,5 kali dari uang yang dipinjam. Apabila musim tanam berikutnya berhasil, maka mereka akan mampu membayar hutang-hutangnya dengan cara menjual tembakaunya kepada pedagang Cina tersebut.

Sisa pembayaran hutang itu adalah pendapatan dari pertanian tembakau. Gagal panen berikutnya akan membuat rumahtangga petani menjual sebagian aset yang dimiliki diantaranya adalah lahan pertanian, sepeda motor, ternak, dan lainnya.

Selain berhutang dengan pedagang Cina, mereka juga berhutang kepada pemilik lahan luas. Rumahtangga petani akan membayar hutang-hutangnya dengan tenaga

yang dimiliki. Selama mereka masih memiliki tubuh yang sehat, maka mereka akan mampu membayar hutang-hutangnya.

Sumber: Analisis Data Primer, 2009

Gambar 6.10. Strategi nafkah rumahtangga petani tembakau lahan sempit yang berbasis tanah tegal (pegunungan) pada berbagai situasi

Apabila pada musim tanam ini mengalami gagal panen, maka pembayaran hutang ditangguhkan, untuk dibayar pada musim berikutnya. Gagal panen yang berturut-turut 3-4 musim tanam tembakau akan membuat hutang mereka bertumpuk dan akses berhutang kepada pedagang Cina mulai terbatas. Pada kondisi ini, rumahtangga petani akan berhenti berhutang untuk kemudian beberapa orang dari anggota rumahtangga akan bermigrasi ke daerah lain untuk memperoleh penghasilan dalam upaya menutup hutang-hutangnya. Sedangkan anggota rumahtangga lainnya tetap mengelola usahatani dengan modal seadanya, bahkan dengan cara berhutang kepada kerabat bukan hanya untuk kebutuhan produksi pertanian tetapi juga untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka akan bermigrasi untuk beberapa tahun (2-3 tahun). Setelah uang yang dirasakan cukup untuk membayar semua hutangnya, rumahtangga petani yang merantau akan segera kembali dan untuk kemudian menekuni kembali dunia pertembakauan.

6.3. Ikhtisar

6.3.1. Etika Moral, Strategi Nafkah, dan Kelembagaan

Tindakan ekonomi dalam menyusun nafkah rumahtangga petani dibentuk atas dasar etika dan moral. Etika-moral ini akan membentuk sebuah karakter yang mencirikan suatu komunitas petani. Kelompok formalis memandang bahwa

Situasi Normal Situasi Krisis

Strategi produksi Strategi berhutang

• Strategi Solidaritas vertikal

• Strategi solidaritas horizontal

• Strategi srabutan

Strategi migrasi temporer

tindakan manusia bersifat rasional dalam melakukan tindakan ekonomi. Beberapa hukum ekonomi yang menjadi landasannya adalah: (1) dalil mengenai gejala ekonomi sebagai fungsi kelangkaan sumberdaya, (2) tujuan ekonomi bersifat tidak terbatas, (3) ekonomi merupakan suatu pilihan yang ekonomis dari sejumlah sumberdaya yang terbatas, (4) berlakunya hukum permintaan dan penawaran dalam proses alokasi barang dan jasa di pasar, dan (5) berlakunya hukum law of

tindakan manusia bersifat rasional dalam melakukan tindakan ekonomi. Beberapa hukum ekonomi yang menjadi landasannya adalah: (1) dalil mengenai gejala ekonomi sebagai fungsi kelangkaan sumberdaya, (2) tujuan ekonomi bersifat tidak terbatas, (3) ekonomi merupakan suatu pilihan yang ekonomis dari sejumlah sumberdaya yang terbatas, (4) berlakunya hukum permintaan dan penawaran dalam proses alokasi barang dan jasa di pasar, dan (5) berlakunya hukum law of