• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

VI. STRATEGI NAFKAH RUMAH TANGGA PETANI TEMBAKAU

6.1. Strategi Nafkah Rumahtangga Petan

6.1.1. Domain “base livelihood” 1.Strategi Produks

6.1.1.5. Strategi Berhutang

Menurut Bomgaard dalam Li (2002), bahwa pada masyarakat pegunungan ada lima kombinasi penting yang menciptakan sistem yang berkelanjutan bagi kehidupan petani, yaitu: (1) jagung; (2) kacang-kacangan; (3) ternak; (4) tembakau; dan (5) kredit. Unsur kredit penting, mengingat tembakau merupakan jenis tanaman yang berisiko, banyak penanam tembakau di dataran tinggi di Jawa tidak dapat hidup terus tanpa adanya sistem perlindungan (patronase) yang melibatkan pedagang dan penyalur Cina. Ada kemungkinan para pedagang ini tidak membiarkan para penanam tembakau mengumpulkan modal, tetapi mereka melindungi para petani dari pengaruh negative karena partisipasi mereka di pasaran perdagangan dunia.

Strategi berhutang berkaitan akses petani terhadap modal finansial. Kerentanan terhadap perubahan cuaca dan musim menyebabkan rumahtangga petani tembakau memililiki risiko terhadap gagal panen, bahkan terkadang peristiwa ini berlangsung secara berturut-turut. Bagi petani berlahan sempit persoalannya bukan hanya modal finansial semata tetapi juga modal alami yang terbatas. Akibatnya modal finansial sebagai aspek penting dalam kegiatan usaha tani tembakau diperoleh melalui strategi berhutang. Keterbatasan modal finansial ini “memaksa” petani untuk “memainkan” modal sosial untuk mereproduksi modal finansial.

Berhutang merupakan sebuah tindakan yang sudah menjadi kebiasaan rumahtangga petani tembakau bahkan hampir semua petani telah merasakan bagaimana merasakan hutang. Pada kondisi normal, hutang ditujukan untuk melakukan kegiatan reproduksi atau sebagai modal kegiatan usahatani tembakau. Ada beraneka bentuk hutang dan mekanismenya yaitu: pertama; hutang kepada pedagang. Model ini didasarkan atas trust (kepercayaan) karena tidak adanya agunan baik berbentuk sertifikat tanah, BPKB, dan lainnya. Berbagai kesepakatan dibangun tanpa adanya bukti tertulis. Beberapa kesepakatan yang umum dipakai adalah adanya sistem nglimolasi, ketika berhutang 1 juta rupiah maka dalam kurun waktu satu musim tanam akan mengembalikan 1,5 juta rupiah. Apabila terjadi gagal panen yang beruntun/berurutan, maka pembayaran hutang bisa ditunda dengan tidak ada perubahan terhadap jumlah bunga. Pada umumnya pada panen tiba, petani menjual kepada pedagang yang telah memberi hutangan sebagai rasa terima kasih dan sekaligus dapat menutup hutang-hutangnya.

Gambar 6.5. Strategi berhutang petani kepada pedagang/tengkulak

Petani Pedagang/

tengkulak

Petani berhutang kepada pedagang/tengkulan dengan jaminan

trust dengan sistem pembayaran

nglimolasi

Petani menjual hasil panen sebagai balas budi dan menjaga trust

sehingga bisa meminjam pada waktu yang lain

Kedua, hutang kepada grader, model ini hanya bisa diakses oleh petani yang telah ikut dalam keanggotaan grader tersebut. Bukti keanggotaan dapat berwujud informal (didasarkan pada kebiasaan selama ini) hingga berbentuk kartu keanggotaan yang mereka sebut dengan KTA (Kartu Tanda Anggota). Salah satu keistimewaan dari keikutsertaan menjadi anggota adalah bisa mengakses modal dari grader tersebut. Karena keanggotaannya mutlak ditentukan oleh grader, maka tidak semua rumahtangga petani mampu mengakses hutang dari grader. Grader tidak memungut bunga dari uang yang telah diberikan kepada petani, jadi apabila petani hutang 1 juta rupiah maka dia mengembalikan 1 juta rupiah. Sebagai ganti dari bunga tersebut, biasanya grader memotong atau mengurangi harga tembakau yang dijual kepadanya. Ketika petani mengalami gagal panen, hutang ditangguhkan hingga musim tanam berikutnya dan seterusnya sehingga terkadang hutang terakumulasi menjadi banyak. Beberapa grader tidak mengambil bunga dari petani, tetapi hasil tembakaunya harus di jual ke grader tersebut. Konsekuensi lainnya adalah harga yang ditetapkan dibawah harga pasaran. Misalnya: seandainya harga tembakau per kg Rp. 35.000,00 maka hanya dihargai Rp. 32.500,00.

WW (29 tahun) Awal mula tanam tembakau tahun 1998 sampai sekarang. Tanah yang diolah dari warisan orang tua sebesar 1 ¼ Ha, mengolah sawah bengkok kakaknya ¼ Ha dari tahun 2006. Total sawah yang digarap 1,5 Ha. Bengkok yang disewa per tahun sebesar 1,5 juta/ ¼ Ha. Masa tanam dalam satu tahun cabe, tembakau, jagung, bawang merah. Hasil tembakau dijual ke pengutang (grader) “Swbn” (dari PT. Dj), harga ditetapkan oleh pembeli. Modal awal tanam tembakau meminjam dari Swbn. Masa kejayaan tanam tembakau tahun 2006, 2007, 2008 dengan harga 200 ribu/kg. kegagalan dari menanam tembakau tahun 2003 dan 2005 dikarenakan cuaca basah. Pemasukan rendah hutang tidak terlunasi, untuk melunasi hutang menggunakan hasil panen dari tahun depan. Terkadang hutang bertumpuk-tumpuk sehingga seringkali mengalami kesulitan dalam melunasinya. Pada saat panen tembakau bagus, maka sebagian besar hasilnya digunakan untuk membayar hutang-hutangnya dan sebagian lainnya digunakan untuk kehidupan sehari-hari. Proses pelunasan hutang tersebut tidak dilakukan pada satu musim tanam, bahkan pernah sampai 2 (dua) musim tanam belum lunas. Berhutang adalah satu-satunya cara yang dapat ditempuh sehingga usata tani tembakau dan kehidupan dapat berlangsung. Kepercayaan dari pedagang kepada WW merupakan bukti bahwa modal sosial telah ikut “bermain” dalam sistem nafkah petani.

Sbyh (60 tahun) memiliki memiliki dua orang anak perempuan, merantau di Jakarta dan Surabaya. Sekarang dia tinggal bersama dua cucunya yang berumur 17 dan 12 tahun. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dia menggantungkan diri pada lahan yang dia miliki. Untuk mengerjakan lahannya, dia dibantu oleh kerabat dekatnya. Terkadang dia mendapat kiriman dari kedua anaknya yang merantau tetapi dengan jumlah nominal yang tidak pasti. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari- hari (makanan pokok), setelah musim tanam tembakau dia menanam jagung. Selain sebagai bahan pangan penting dalam kehidupan rumahtangganya, untuk membudidayakan tanaman jagung tidak membutuhkan banyak biaya dan risiko kegagalannya relatif rendah. Sebenarnya memiliki keinginan seperti tetangga-tetangganya untuk membudidayakan cabe, namun mengingat biaya yang dikeluarkan relatif besar dan risiko kegagalannya tinggi maka akhirnya dia memilih jagung sebagai komoditas yang diusahakan. Pada mulanya Sbyh tidak memiliki lahan pertanian dan bekerja sebagai buruh tani dengan mendapatkan upah Rp. 20.000,00/hari. Akibat gagal panen yang berturut-turut dia harus “memainkan” modal sosial dengan cara berhutang kepada tengkulak untuk kebutuhan usaha tani dan kerabat dan tetangga dekat untuk kebutuhan sehari-hari. Sehingga pada posisi tersebut dia menanggung double hutang sekaligus, yaitu kepada juragan/tengkulak dan kepada tetangga. Hasil upah buruh tani tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada akhirnya karena kondisi yang terpaksa, dia menjual lahan pekarangan yang dimilikinya untuk kemudian sebagian hasil penjualan tersebut dipergunakan untuk membayar hutang, sisanya untuk membeli lahan pertanian seluas 0,25 hektar.

Rkyh (70 tahun), memiliki lahan seluas 0,25 hektar dan menanam tembakau semenjak 25 tahun lalu bersama almarhum suaminya yang meninggal 8 tahun lalu. Dia menyatakan tidak pernah mengalami masa jaya tembakau karena hasil panenannya sedikit bahkan seringkali setiap panen tembakau tidak mampu memenuhi satu keranjang. Modal awal menanam dengan membangun trust dengan cara berhutang kepada pedagang Cina. Dia akan menjual hasil panennya kepada pedagang tersebut dan uang yang dibawa pulang adalah setelah dikurangi dengan hutang-hutangnya. Untuk menunjang pemenuhan kebutuhan hidupnya, dia juga melibatkan empat orang anaknya dalam kegiatan pertanian sehingga mengurangi biaya tenaga kerja. Selain mengelola usaha taninya, anggota rumahtangga juga menjadi buruh tani dengan upah Rp. 15.000,00 s.d. Rp. 20.000,00. Untuk mendukung perekonomian keluarganya satu anak perempuannya membuka warung kecil di rumahnya. Sehingga untuk menjamin keberlangsungan hidupnya Rkyh selain memanfaatkan modal sosialdengan membangun hubungan baik dengan pedagang tetapi juga memanfaatkan modal finansial dengan membuka usaha warungan.

Pada saat gagal panen berturut-turut, maka hutang tidak hanya diperuntukkan sebagai penunjang kegiatan reproduksi usaha tani melainkan lebih

pada untuk bertahan hidup. Pada peristiwa gagal panen satu atau dua musim tanam mungkin akses hutang kepada pedagang atau grader masih terbuka luas. Namun apabila mengalami gagal panen untuk musim berikutnya, kemungkinan akses tersebut mulai berkurang dan rumahtangga petani harus menyusun strategi yang lainnya.

Umumnya petani di Campursari dan Wonotirto telah memiliki akses kredit di perbankan. Sistem angsuran yang dipakai adalah musiman. Mereka berhutang pada saat musim tanam tiba dan membayar penuh beserta bunganya setelah enam bulan kemudian. Kelemahan di perbankan adalah masalah agunan. Kelompok petani dengan luas lahan sempit biasanya sulit untuk mengakses bank karena tidak memiliki agunan dan dirasakan lebih rumit. Snd (50 tahun) meminjam kepada bank sebesar Rp. 10 juta dengan agunan sertifikat tanah. Dalam kurun waktu 6 bulan dia harus mengembalikan Rp. 12.028.500,00.

6.1.2. Domain “livelihood diversification”