• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Studi kasus adalah studi aras mikro (menyorot satu atau beberapa kasus) dan menggunakan multi-metode. Dalam pengumpulan data menggunakan teknik:

(1) pengamatan berperan serta, (2) wawancara mendalam, (3) analisis dokumen, (4) dan studi pendahuluan melalui survey dasar untuk memahami gambaran tentang strategi nafkah dari level rumahtangga petani strata atas, menengah, dan bawah. Pengamatan berperan serta adalah proses penelitian yang mempersyaratkan interaksi antara peneliti dengan tineliti dalam lingkungan sosial tineliti sendiri, guna keperluan pengumpulan data dengan cara yang sistematis (Taylor dan Bogdan, 1984 yang dikutip Sitorus, 1998). Paling tidak ada dua alasan penting menggunakan metode pengamatan berperan serta: (1) pengamatan berperan serta memungkinkan peneliti melihat, merasakan, dan memaknai dunia beserta ragam peristiwa dan gejala sosial di dalamnya sebagaimana tineliti melihat, merasakan dan memaknainya; dan (2) pengamatan berperan serta memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama oleh peneliti dan tineliti (intersubyektivitas) (Moelong, 1989 yang dikutip Sitorus, 1998). Dalam konteks penelitian ini Kegunaan masing-masing metode tersebut diuraikan pada tabel 3.1.

Wawancara mendalam merupakan temu-muka berulang antara peneliti dan tineliti dalam rangka memahami pandangan tineliti mengenai hidupnya, pengalamannya, ataupun situasi sosial sebagaimana ia ungkapkan dalam bahasanya sendiri (Taylor dan Bogdan, 1984 yang dikutip Sitorus, 1998). Teknik wawancara dilakukan secara tidak berstruktur dimana wawancara bersifat lepas dengan subyek penelitian, namun terlebih dahulu dibuat pokok-pokok pertanyaan.

Sebagai pendukung penyimpanan data dari ketiga teknik yang dipakai, maka peneliti membuat catatan harian. Catatan harian yang dimaksud berisi data kualitatif hasil pengamatan berperan serta dan wawancara mendalam dalam bentuk uraian rinci maupun kutipan langsung (Sitorus, 1998) (contoh bentuk catatan harian dapat dilihat pada lampiran 5).

Tabel 3.1. Data yang akan dikumpulkan dan teknik yang dipergunakan Teknik

pengumpulan data

Data yang akan dikumpulkan

Pengamatan

berperan serta • Aktivitas RT dalam kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi tembakau

• Pola interaksi petani-petani, petani-pedagang, pemilik lahan-buruh

• Kondisi agro-ekologi (lahan pertanian)

• Aktifitas strategi nafkah dari berbagai lapisan

• Aktifitas pembagian kerja anggota keluarga

• Aktifitas diversifikasi dalam strategi nafkah Wawancara

mendalam • Sejarah pemilikan atau penguasaan lahan

• Kalender musim

• Pembagian kerja dalam satuan rumahtangga petani

• Kegiatan usahatani tembakau (cara memperoleh input produksi, modal, teknologi, jenis tembakau, harga, dan lainnya)

• Alur kegiatan distribusi produk tembakau

• Kelembagaan yang dibangun baik dalam kegiatan produksi maupun distribusi

• Peran aktivitas non-pertanian dalam menopang kehidupan ekonomi dan mengapa bekerja pada sektor non-pertanian

• Bagaimana alur perjalanan modal petani mulai dari kegiatan pertanian, pasar, hingga konsumsi atau akumulasi, dan kembali untuk modal pertanian atau bidang lainnya

Analisis

dokumen • Mengkaji sejarah desa

• Mengkaji kondisi sosio-ekonomi rumahtangga petani

• Mengkaji sejarah pertembakauan di Kabupaten Temanggung

• Mengkaji data terkait dengan pertanian tembakau, seperti: luas lahan, produksi pertahun, jumlah rumahtangga petani, dan lainnya

3.5. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, dalam penelitian ini digunakan metode analisis data kualitatif. Hal penting yang dilakukan dalam analisa data ini adalah reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data ”kasar” yang muncul

dari catatan-catatan di lapangan. Proses ini berlangsung terus-menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul, sebagaimana tampak dari kerangka konseptual wilayah penelitian, permasalahan penelitian dan pendekatan pengumpulan data yang dipilih peneliti. Reduksi dalam proses pengumpulan data meliputi kegiatan-kegiatan: (1) meringkas data; (2) mengkode;

(3) menelusur tema; (4) membuat gugus-gugus; (5) membuat partisi; (6) membuat memo. Kegiatan ini berlangsung sejak pengumpulan data sampai dengan penyusunan laporan. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kesimpulan akhir (Sitorus, 1998).

Sebelum penarikan kesimpulan akhir, maka perlu diverifikasi selama penelitian berlangsung dengan cara: (1) memikir ulang selama penulisan; (2) tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan; (3) peninjauan kembali dan tukar pikiran antar teman sejawat untuk mengembangkan ”kesepakatan intersubyektif”;

dan (4) upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam seperangkat data yang lain (Sitorus, 1998).

3.6. Pemilihan Daerah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di dua desa yaitu Desa Wonotirto dan Desa Campursari. Kedua desa tersebut masuk wilayah Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung. Pemilihan daerah tersebut didasarkan pada beberapa alasan :

1. Kabupaten Temanggung adalah penghasil tembakau sejak zaman kolonial dan hingga sekarang adalah salah satu penyumbang tembakau rakyat (rajangan) selain Madura

2. Kecamatan Bulu adalah wilayah yang paling luas melakukan budidaya tembakau di Kabupaten Temanggung

3. Pemilihan desa Wonotirto dan desa Campursari didasarkan pada setting ekologi yang berbeda dimana desa Wonotirto terletak di lereng Gunung Sindoro yang berbasis pada lahan pegunungan, sementara desa Campursari terletak di wilayah kaki gunung Sumbing dimana berbasis lahan sawah.

3.7. Unit Analisis

Unit analisa dalam penelitian ini adalah rumahtangga yang direpresentasikan oleh kepala rumahtangga. Rumahtangga menjadi sangat penting dalam analisis dalam penelitian ini karena didasarkan pada beberapa alasan yaitu:

(1) menurut White (1980), rumahtangga adalah dasar unit produksi, reproduksi, konsumsi, seremonial, dan interaksi politik; dan (2) menurut Chayanov (1966) bahwa pangkal tolak untuk memahami perilaku ekonomi petani adalah melihat rumahtangga petani sebagai unit produksi sekaligus sebagai unit konsumsi.

Namun demikian, dalam mengatur strategi nafkahnya, rumahtangga tidak berdiri sendiri melainkan senantiasa berhubungan dengan anggota komunitas dan membangun kelembagaan nafkah sehingga sistem nafkah rumahtangga dapat berkelanjutan.

3.8. Definisi Operasional

Agar lebih mudah dalam memahami beberapa variabel penting dalam penelitian ini, maka perlu dijelaskan dalam bentuk definisi operasional sebagai berikut:

1. Rumahtangga petani tembakau. Rumahtangga petani usaha tanaman perkebunan adalah kegiatan yang menghasilkan produk tanaman perkebunan dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual/ditukar atau memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko usaha. Suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga pertanian perkebunan apabila banyak pohon/rumpun/luas yang diusahakan rumah tangga tersebut lebih besar atau sama dengan batas minimal usaha (BMU) masing-masing jenis tanaman tersebut. BMU untuk tanaman tembakau adalah 1600 m2 (BPS, 2005)

2. Strategi bertahan hidup (survival strategy) adalah tindakan ekonomi yang disengaja oleh rumahtangga dengan motivasi yang tinggi untuk memuaskan sebagian besar kebutuhan dasar manusia, paling tidak pada level yang minimum, sesuai dengan norma social dan budaya masyarakat (Meert, Mistiaen, dan Kesteloot, 1997 yang dikutip oleh Owusu, 2007)

3. Strategi nafkah meliputi asset (modal alam, modal fisik, modal SDM, modal financial, dan modal social), aktifitas, dan akses terhadap asset-aset tersebut yang dikombinasikan untuk menentukan kehidupan bagi individu maupun rumah tangga (Conway dan Chambers, 1992).

4. Aset-aset rumah tangga petani tembakau (Ellis, 2000)

a. Modal alam (natural capital) terdiri dari tanah, air, dan sumberdaya biologi yang di gunakan oleh manusia sebagai sarana bertahan hidup.

Modal alam lebih banyak mengacu pada sumber daya lingkungan (environtmental resources) baik yang dapat diperbaharui atau tidak.

b. Modal Fisik (Physical Capital) menyangkut modal yang diciptakan oleh proses ekonomi produksi seperti: bangunan, irigasi, jalan, mesin, dan lainnya.

c. Modal sumber daya manusia (Human Capital) mengacu kepada sumber daya tenaga kerja yang ada pada rumah tangga seperti: pendidikan, keterampilan, dan kesehatan.

d. Modal financial (Financial Capital and substitutes) mengacu kepada persediaan uang yang telah diakses oleh rumah tangga misalnya: tabungan, akses untuk mendapatkan kredit dalam bentuk bantuan.

e. Modal Sosial (Social Capital) mencakup adanya kepercayaan (trust), clientization, hubungan kekerabatan, suku, daerah asal, almamater, dan lain sebagainya.

5. Aktifitas nafkah adalah wujud nyata dari strategi yang diterapkan oleh rumahtangga petani meliputi kegiatan pertanian (on farm dan off farm) dan non pertanian (non farm) (Ellis, 1998)

a. on-farm; didasarkan dari sumber hasil pertanian dalam arti luas (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dll)

b. off-farm, yaitu dapat berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system), kontrak upah tenaga kerja non upah dan lain-lain.

c. non farm, yaitu sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi 5 yaitu: (1) upah tenaga kerja pedesaan bukan dari pertanian; (2) usaha sendiri di luar kegiatan pertanian, (3)

pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa), (4) kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota; dan (5) kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri.

6. Kelembagaan adalah norma yang dijadikan acuan oleh komunitas untuk berperilaku, biasanya tidak tertulis. Tujuan kelembagaan adalah untuk melestarikan eksistensi komunitas dan mempertahankan norma yang mendasari keberlanjutan (Tjondronegoro, 1984).

                                   

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Sekilas Tentang Temanggung

Secara administratif, Temanggung adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa Tengah (Lihat gambar 4.1.). Kabupaten Temanggung terletak antara 110o23’-110o46’30’’ Bujur Timur; 7o14’-7o32’35’’ Lintang Selatan. Jarak terjauh dari Barat ke Timur adalah 43,437 Km dan jarak terjauh dari Utara ke Selatan adalah 34,375 Km. Temanggung di batasi oleh beberapa Kabupaten, antara lain:

Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Kendal dan Kabupaten Semarang

Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Magelang Sebelah Barat : berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo

Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan Kabupaten Magelang.

Wilayah Kabupaten Temanggung terbagi menjadi 20 kecamatan, 289 desa, 1.511 dusun, 5.542 RT, dan 1.632 RW. 20 nama kecamatan tersebut adalah:

Parakan, Kledung, Bansari, Bulu, Temanggung, Tlogomulyo, Tembarak, Selopampang, Kranggan, Pringsurat, Kaloran, Kandangan, Kedu, Ngadirejo, Jumo, Gemawang, Candiroto, Bejen, Tretep, dan Wonoboyo.

Bentuk Kabupaten Temanggung secara makro merupakan cekungan atau depresi, artinya rendah di bagian tengah, sedangkan sekelilingnya berbentuk pegunungan, bukit atau gunung. Morfologi Kabupaten Temanggung pada dasarnya dibedakan dataran rendah dan dataran tinggi. Dataran rendah dibentuk oleh sedimen atau alluvial, sedang dataran tinggi dibentuk oleh pegunungan perbukitan yang keadaanya bergelombang.

Wilayah Kabupaten Temanggung sebagian besar merupakan dataran dengan ketinggian antara 500-1450 mdpl. Dengan keadaan tanah sekitar 50 % dataran tinggi dan 50 % dataran rendah. Jenis tanahnya adalah latosol coklat (32,13 %); latosol coklat kemerahan (9,53 %), latosol merah kekuningan (35,33

%), Regosol (20,14 %), andosol (2,60 %).

Gambar 4.1. Peta Kabupaten Temanggung

Kemiringan tanah di kabupaten temanggung bervariasi, antara datar, hampir datar, agak terjal, hamper terjal, terjal dan sangat terjal, sebagaimana terlihat pada kelas lereng :

Lereng 0-2 % seluas 298 ha (1,17 %) Lereng 2-15 % seluas 32492 Ha (39,31 %) Lereng 15-40 % seluas 31232 (37,88%) Lereng >40 % seluas 17983 ha (21,64 %)

Kabupaten Temanggung memiliki dua musim yaitu: musim kemarau antara bulan April s.d. September dan musim penghujan antara bulan Oktober s.d.

maret dengan curah hujan tahunan pada umumnya tinggi. Data tahun 2001 menunjukkan bahwa curah hujan di Kabupaten Temanggung berkisar 1000-3100 mm setahun. Curah hujan pada dataran rendah lebih kecil dibandingkan pada dataran tinggi.

Daerah kabupaten Temanggung pada umumnya berhawa dingin dimana udara pegunungan berkisar antara 20OC – 30OC. Daerah berhawa sejuk terutama di daerah kecamatan tretep, Kecamatan Bulu (Lereng Sumbing), Kecamatan Tembarak, Kecamatan Ngadirejo serta Kecamatan Candiroto. Gunung-gunung yang tertinggi adalah gunung Sumbing (+ 3260 m) dan gunung Sindoro (+3151m). Adapun sungai-sungai yang tergolong besar antara lain: Waringin, Lutut, Elo, Progo, Kuas, Galeh, dan Tingal.

4.2.Kondisi Umum Desa Campursari dan Wonotirto

Desa Campursari dan Wonotirto merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Bulu. Dari Kota Temanggung, Ibu kota kecamatan Bulu terletak ± 6 Km ke arah Barat (arah ke Wonosobo). Dengan kendaraan bermotor dapat ditempuh ± selama 15 menit melalui jalan yang sudah diaspal. Luas wilayah Kecamatan Bulu adalah 4.303,96 Ha dengan rincian sebagai berikut: 1.370,84 Ha (31,85%) merupakan lahan sawah dan 2.933,12 Ha (68,15 %) termasuk lahan bukan sawah. Lahan bukan sawah diperuntukkan untuk bangunan seluas 365.83 (12,47%); tegal/ladang 2.102,47 ha (71,68 %); kolam 1,86 ha (0,06 %); hutan Negara 411 ha (14,01 %); dan lainnya 51,95 ha (1,77 %).

Desa Campursari lebih dekat dengan ibu kota Kecamatan Bulu dibandingkan Wonotirto. Dengan menggunakan kendaraan bermotor dapat ditempuh selama ± 10 menit. Desa ini relative dekat dengan pusat kota, dan dengan kondisi jalan yang sudah beraspal halus dengan basis pertanian lahan sawah (86,8 %). Sedangkan di Wonotirto semua lahannya (100 %) bukan merupakan lahan sawah (tegal) (lihat table 4.1.).

Tabel 4.1. Luas Penggunaan Lahan Menurut Jenisnya Tahun 2007

Desa Luas lahan (Ha) % terhadap

luas Kec.

Bulu Lahan

Sawah % Bukan

Sawah % Jumlah

Wonotirto - 0,00 544,33 100,00 544,33 12,65

Campursari 130,20 86,80 19,8 13,20 150 3,49

Bulu 1370,84 31,85 2933,12 68,15 4303,96 100

Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

Keberadaan lahan sawah dan tegal di kedua desa tersebut sangat dipengaruhi oleh ketinggiannya dari permukaan laut. Rata-rata ketinggian wilayah di Kecamatan Bulu adalah 772 mdpl. Desa campursari terletak pada 550 mdpl, sedangkan Wonotirto berada pada 1.200 mdpl (lihat pada table 4.2.). Kecamatan Bulu terletak di lereng Gunung Sumbing, sementara ketinggian Gunung Sumbing adalah ± 3.260 mdpl) atau 1,5 kali dari ketinggian desa Wonotirto.

Ketinggian wilayah ini juga mempengaruhi sarana transportasi yang tersedia. Desa campursari yang terletak di pusat kota kecamatan relative lebih banyak pilihan sarana transportasi baik umum maupun pribadi. Desa ini dilalui jalan raya Temanggung-Wonosobo, disamping merupakan jalan utama menuju Parakan yang merupakan pusat perdagangan tembakau di Kabupaten Temanggung. Sementara di Desa Wonotirto, sarana transportasi pribadi6 lebih dominan terutama untuk mobilitas yang bukan untuk perdagangan tembakau.

Sarana transportasi umum biasanya menggunakan pick-up yang juga dipergunakan untuk mengangkut barang pada saat musim tembakau. Pada musim tembakau frekuensi mobil pick-up lebih sering dibandingkan non-tembakau. Saat musim panen tembakau, satu hari bisa 5-7 kali dari Wonotirto ke Parakan atau Temanggung dengan jumlah pick-up yang relative banyak (4-8 buah). Sedangkan di luar musim tembakau biasanya hanya 2-3 kali per hari dengan jumlah pick-up yang lebih sedikit.

Tabel 4.2. Ketinggian desa dari permukaan laut dan jaraknya ke pusat pemerintahan dirinci per desa di kecamatan Bulu tahun 2007

Desa Ketinggian dari

Permukaan Laut (m)

Jarak dari kantor desa ke ibu kota Kecamatan Kabupaten Propinsi

Wonotirto 1200 14 8,6 65

Campursari 650 1 4,07 85

Rata-rata Kec. Bulu 772 4,47 6 84,47

Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

      

6 Pada kelompok kelas menengah ke bawah mayoritas memiliki sepeda motor yang dibeli pada saat panen

Lahan sawah di desa campursari 45,23 % berpengairan teknis; 34,18 % berpengairan ½ teknis; dan lainya adalah berpengairan sederhana PU (lihat table 4.3.). Potensi ini dimanfaatkan oleh masyarakat dengan melakukan kegiatan tanam sebanyak tiga kali. Pilihan komoditasnya pun relative lebih banyak, misalnya: padi-padi-padi; padi-padi-tembakau; padi-padi-jagung. Hal tersebut berbeda dengan desa Wonotirto dengan lahan tegalan. Pilihan komoditas tanaman hanya bisa dilakukan pada musim tanam Nopember-April yaitu: cabe, jagung, diselingi dengan tanaman tumpangsari. Sedangkan pada musim tanam April-September pilihan komoditas menggantungkan diri pada tanaman tembakau, mengingat untuk saat ini tanaman yang paling tahan terhadap musim kemarau adalah tembakau. Secara umum, ketergantungan petani dari sudut pandang agro-ekologi terhadap tembakau pada lahan tegal di lereng Gunung Sindoro-Sumbing jauh lebih tinggi dibandingkan pada lahan sawah. Pada lahan sawah, petani memiliki pilihan komoditas yang lebih banyak. Namun demikian, keterikatan terhadap tembakau tidak serta merta merenggang. Berbagai harapan akan harga tinggi mendorong petani tetap mengusahakan tembakau walaupun pilihan untuk menanam padi juga relative terbuka.

Tabel 4.3. Luas Lahan Sawah berdasarkan Pengairan Tahun 2007

Desa Irigasi Tadah

hujan Teknis ½ teknis Sederhana

PU Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

Pada lahan sawah, petani melakukan strategi perubahan komoditas. Pada tahun-tahun yang kurang menguntungkan untuk tanaman tembakau7, untuk mengurangi resiko gagal panen, petani lahan sawah tidak menanam tembakau dan menggantinya dengan tanaman padi yang relative lebih aman (risiko rendah).

      

7 Didasarkan pada ramalan sesepuh atau grader atau berdasarkan pengalaman petani dengan angka tahun pada digit terakhir 8 dianggap kurang baik untuk menanam tembakau terutama yang didahului angka ganjil, misalnya: tahun 1978, 1998, dan lainnya.

Pilihan menaman padi selama tiga musim tanam sebenarnya mengandung risiko terhadap serangan tikus. Namun demikian dibandingkan gagal panen tembakau, risiko menanam padi lebih kecil.

Kecamatan Bulu terdiri dari 19 Desa8, 91 dusun, 84 RW, dan 297 RT.

Desa Wonotirto terdiri dari 4 dusun, 4 RW (Rukun Warga), 20 RT (Rukun Tetangga) dan 901 KK (Kepala Keluarga). Sedangkan desa Campursari terdiri dari 6 dusun, 6 RW, 18 RT, dan 567 KK (lihat table 4.4.). Keenam dusun di Desa Campursari adalah Sojayan, Watukarung, Gregesan, Sewatu, Dalangan, Tegalsari.

Antar dusun terletak berdekatan satu sama lain dan hanya dipisahkan oleh jalan raya. Sementara di dusun-dusun di Wonotirto: Kwadungan, Grubug, Tritis, Wunut, jarak antar dusun dipisahkan oleh bukit, lahan tegalan, dan ada yang terhubung dengan jalan yang relative sulit untuk dilalui.

Tabel 4.4. Banyaknya Dusun, RW, RT di Kecamatan Bulu, Desa Wonotirto dan desa Campursari Tahun 2007

Desa Dusun RW RT KK Jml Penduduk

L P Jml

Wonotirto 4 4 20 901 1.846 1.746 3.594

Campursari 6 6 18 567 973 1.035 2.008

Bulu 91 84 297 10.786 21.312 21.448 42760

Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

Dilihat dari jumlah penduduk, desa Campursari lebih padat dibandingkan Wonotirto maupun Kecamatan Bulu baik dari sisi geografis maupun agraris (lihat table 4.5.). Semakin kecil angka kepadatan penduduknya (geografis dan agraris) maka akan berimplikasi kepada luas kepemilikan lahan baik lahan pertanian maupun non pertanian. Hal ini dapat dilihat dari data sensus pertanian tahun 2003 yang menunjukkan luas kepemilikan di atas 1 hektar di desa Wonotirto adalah 31,23 %; Campursari sebesar 0,56 %; dan Kecamatan Bulu adalah 8,26 %.

Berdasarkan komposisi jenis kelamin, terlihat di Wonotirto terdapat 110 laki-laki per 100 perempuan; Campursari 95 laki-laki per 100 perempuan; dan di Kecamatan Bulu 99 laki-laki per 100 perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa       

8Desa-desa tersebut adalah: Wonotirto, Pagergunung, Wonosari, Bansari, Pandemulyo, Malangsari,

komposisi laki-laki terhadap perempuan relative sama atau tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Sementara dari angka beban tanggungan (ABT) di desa Wonotirto terlihat lebih tinggi dibandingkan Campursari yaitu terdapat 65 pendudukan usia non produktif per 100 usia produktif. Hal ini bermakna bahwa setiap 100 penduduk usia produktif menanggung 65 orang usia non produktif.

Tabel 4.5. Kepadatan geografis dan Agraris, Sex ratio, dan Angka Beban Tanggungan (ABT) di Desa Campursari, Wonotirto, dan Kec. Bulu Tahun 2007

Desa Kepadatan Geografis9

Kepadatan Agraris10

Sex Ratio11 Angka Beban Tanggungan (ABT)12

Wonotirto 666 9 110 65,00

Campursari 1.357 15 95 50,52

Bulu 994 11 99 48,63

Sumber: diolah dari Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

Kondisi geografi suatu wilayah akan mempengaruhi jenis mata pencaharian penduduknya. Mayoritas pekerjaan penduduk Wonotirto adalah sebagai petani perkebunan, terutama adalah petani tembakau. BPS (2005) mendefinisikan rumahtangga petani usaha tanaman perkebunan adalah kegiatan yang menghasilkan produk tanaman perkebunan dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya dijual/ditukar atau memperoleh pendapatan/keuntungan atas resiko usaha. Suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga pertanian perkebunan apabila banyak pohon/rumpun/luas yang diusahakan rumah tangga tersebut lebih besar atau sama dengan batas minimal usaha (BMU) masing-masing jenis tanaman tersebut. BMU untuk tanaman tembakau adalah 1600 m2. Sedangkan desa Campursari yang lahannya berbasis pada sawah petani yang mengusahakan tembakau tidak sebanyak di desa Wonotirto. Sebagian besar adalah petani tanaman pangan terutama padi (lihat table 4.6.)

      

9 Kepadatan geografis adalah perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah (km3)

10 Kepadatan agraris adalah perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas lahan pertanian (ha)

11 Sex Rasio adalah rasio antara penduduk laki-laki dengan perempuan

12 Angka Beban Tanggungan (ABT) adalah rasio antara penduduk non produktif (0-14 tahun dan 65+) dengan penduduk produktif (15-64 tahun)

 

Tabel 4.6. Mata Pencaharian Penduduk 10 tahun ke atas Tahun 2007

Mata Pencaharian Ds. Wonotirto Ds. Campursari Kec. Bulu

Petani tanaman pangan 179 798 12.369

Peternak 100 3 756

Petani perkebunan 1.160 30 3.045

Pertambangan/penggalian 4 2 14

Industri Pengolahan 0 3 347

Bangunan 3 7 765

Perdagangan, hotel, RM 22 77 2.614

Pengangkutan dan

komunikasi 22 32 556

Jasa 0 352 2.481

Lainnya 36 30 462

Jumlah 1.526 1.333 23.801

Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

Komoditas pertanian yang diusahakan di Wonotirto lebih bervariasi dibandingkan di Campursari. Komoditas utama desa Campursari adalah padi dan paling tidak sekali musim tanam dalam setahun mengusahakan tembakau.

Sedangkan di Wonotirto komoditas utamanya adalah tembakau dan jagung.

Kacang tanah, kedelai, sayuran, kacang merah adalah sebagai tanaman tumpangsari yang tidak selalu dijual melainkan untuk konsumsi pribadi. Secara perlahan, jagung juga sudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan tanaman cabe karena alasan lebih menguntungkan. Untuk melihat lebih jelas mengenai luasan lahan dan panen komoditas pertanian dapat dilihat pada table 4.7.

Tabel 4.7. Luas dan Panen komoditas pertanian di desa Wonotirto, Campursari, dan Kecamatan Bulu Tahun 2007

Komoditas

Wonotirto Campursari Kec. Bulu

Luas

Padi 0 0 3.999,14 13,91 4.053 26.032

Jagung 112,18 129,64 0 0 1.777 5.082

Kacang Tanah 15,6 12,27 0 0 39 81

Kedelai 0,8 0,3 0 0 2 2

Cabe 59,64 133,31 1,19 6,96 630 17.216

Kacang Merah 3,69 9,02 0,07 0,47 39 1165

Kobis 67,62 15.723,03 0 0 128 27.403

Tembakau 367,58 51,42 72,31 0 1.627 976,20

Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

Beternak adalah salah satu aktivitas penting bagi rumahtangga petani.

Binatang ternak dapat dijadikan sebagai tabungan sekaligus investasi. Sebagai tabungan ketika mengalami kebutuhan yang mendadak, sewaktu-waktu bisa dijual. Sedangkan sebagai investasi, karena diupayakan agar bernak-pinang atau paling tidak bisa menghasilkan keuntungan selama dipelihara. Pakan ternak biasanya sebagian diambil dari jerami untuk rumahtangga petani berbasis padi sawah selain mencari rumput di sekitar desa yang kepemilikannya bersifat umum.

Sementara pada masyarakat pegunungan seperti Wonotirto, para petani mencari rumput hingga di luar desa.

Pada umumnya. sambil mengelola lahan mereka mencari rumput di pinggir jalan bahkan terkadang berombongan dengan para tetangga mencari ke luar desa. Rumput yang sudah diambil dimasukkan dalam karung. Apabila yang mencari rumput perempuan, karung tersebut digendong dengan menggunakan kain panjang seperti selendang. Sedangkan kalau laki-laki, karung tersebut di panggul atau di letakkan di atas kepala (jawa: disunggi). Apabila persediaan rumput di dalam desa sudah menipis atau habis mereka berjalan hingga 1-2 km untuk mencari rumput yang masih tersedia. Jenis hewan piaraan di Wonotirto paling banyak adalah kambing dan sapi, sedangkan di Campursari lebih banyak jenis kerbau (lihat table 4.8.). Bangunan kandang ternak ada yang dibuat secara sederhana dengan memakai kayu yang dirangkai berbentuk limas dengan lantai tanah dan ada yang dengan lantai yang sudah dikeraskan. Letak kandang biasanya berdekatan dengan dapur rumah, dan sebagian besar di Desa Wonotirto kandang kambing menyatu dengan dapur.

Tabel 4.8. Ternak besar, kecil, unggas Desa Campursari, Wonotirto, dan Kecamatan Bulu Tahun 2007.

Desa Sapi Kerbau Kuda Kambing

Wonotirto 18 - - 910

Campursari 5 59 9 2

Bulu 647 151 23 6808

Sumber: Kecamatan Bulu dalam Angka Tahun 2008

Meskipun jauh dari kota kecamatan (± 14 km), namun dari sisi pendidikan

Meskipun jauh dari kota kecamatan (± 14 km), namun dari sisi pendidikan