• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rumahtangga sebagai basis ekonomi petani

II. PENDEKATAN TEORITIS

2.1.2. Konsep Petani

2.1.2.2. Rumahtangga sebagai basis ekonomi petani

3 Komunitas tersub-ordinasi

4 Penguasa/pemilik lahan

Banyaknya kajian Sangat banyak Banyak Sedang Sedang Sangat sedikit

Contoh Popkin (1979)

Lichbach (1994)

*untuk sementara konseptualisasinya Wolf dimasukkan dalam kelompok Marxian, walaupun terkadang argument theoriticalnya masuk dalam kelompok ekonomi moral

Sumber: dikutip dari Kurtz (2000:96)

Kelompok Minimalis memandang petani sebagai pengolah tanah di pedesaan (rural cultivator), dimana mereka berpegang kuat pada teori pilihan rasional. Petani dianggap tidak berbeda dari perilaku ekonomi lainnya.

Anthropologi menambahkan satu dimensi penting lainnya yaitu komunitas petani yang bercirikan perilaku budaya yang khas sehingga berbeda dari pola budaya urban. Kelompok ekonomi moral menambahkan satu dimensi lagi yaitu petani merupakan komunitas yang tersubordinasi kuat oleh kekuasaan dari luar. Selain sebagai rural cultivator, komunitas tersubordinasi, kelompok Marxian menambahkan satu aspek penting yaitu dimensi penguasaan/pemilikan lahan yang diolah petani. Sedangkan kelompok Weberian mengacu keempat dimensi tersebut

2.1.2.2. Rumahtangga sebagai Basis Ekonomi Petani

Banyak para ilmuwan yang berusaha memahami konsep petani berdasarkan pengalaman empirisnya. Salah satu ciri penting dari petani adalah basis ekonominya adalah rumahtangga. Sahlin yang dikutip Wolf (1983:3-4) menyatakan bahwa di dalam perekonomian-perekonomian primitive, bagian terbesar dari hasil produksi dimaksudkan untuk digunakan oleh penghasil-penghasilnya sendiri atau untuk menunaikan kwajiban-kwajiban kekerabatan, dan

adalah bahwa penguasaan de facto atas sarana-sarana produksi di dalam masyarakat primitive terdesentralisasi, bersifat local dan kekeluargaan.

Redfield (1985) mendefinisikan petani sebagai produsen pertanian dengan skala kecil, peralatannya sederhana, dan tenaga kerja berasal dari keluarga, produk utama yang dihasilkan sebagian besar untuk konsumsi sendiri, dan untuk memenuhi kwajiban-kwajiban kepada kekuatan ekonomi dan politik. Petani merupakan masyarakat dengan nilai setengah desa setengah kota. Ada proses reinterpretasi dan reintegrasi dengan elemen-elemen yang dipandang lebih tinggi dari mereka (kota)-“tradisi agung”.

Ellis (1993) petani adalah rumahtangga yang sumber nafkahnya utamanya berasal dari pertanian, tenaga kerja utama produksi pertaniannya dari keluarga, dan berhubungan dengan pasar secara tidak sempurna. Mendasarkan diri pada penelitiannya di masyarakat nelayan Malaysia, Firth (1966) mendefinisikan petani sebagai sebuah sistem produksi skala kecil dengan teknologi sederhana untuk pemenuhan kebutuhan pangan sendiri dengan basis ekonomi pada rumahtangga.

Chayanov (1986) mengambarkan ekonomi rumah tangga petani dengan houseshold utility maximization dimana adanya upaya memaksimalkan potensi ekonomi rumah tangga melalui tenaga kerja rumah tangga tanpa bayar, dan memaksimalkan fungsi lahan pertanian yang sempit. Ekonomi usaha tani petani adalah berbasis pada perekonomian keluarga (family economy) sehingga semua keluarga tani lebih mudah berhubungan dengan tanah untuk dikerjakan. Seluruh organisasinya ditentukan oleh ukuran dan komposisi keluarga petani itu dan oleh tuntutan-tuntutan konsumsinya dengan jumlah tangan yang bekerja. Usahatani keluarga tidak bersifat profit maximation, melainkan membangun dan menjaga keseimbangan “consumer-labour ratio” (C/L). Apabila kebutuhan konsumsi rumahtangga tidak tercukupi dengan luasan lahan yang ada, maka mereka akan mengolah tanah lebih intensif (menambah jumlah jam kerja). Hasil pertanian hanya digunakan untuk konsumsi keluarga dan kalau dijual harga ditentukan oleh pasar.

Wolf (1983:19-20) melihat kaum tani dengan cara yang berbeda. Wolf melihat bahwa kaum tani adalah suatu kelompok masyarakat yang secara terpaksa

mempertahankan suatu keseimbangan antara tuntutan-tuntutan orang-orang luar dan akan mengalami ketegangan-ketegangan yang ditimbulkan oleh perjuangan untuk mempertahankan keseimbangan itu. Orang luar pertama-tama memandang petani pedesaan sebagai suatu sumber tenaga kerja dan barang yang dapat menambah dana kekuasaannya (fund of power). Akan tetapi petani adalah juga pelaku ekonomi (economic agent) dan kepala rumahtangga. Tanahnya adalah satu unit ekonomi dan rumahtangga.

Secara lebih rinci, Shanin (1966) mencirikan petani dengan beberapa karakteristik, yaitu: (1) Ciri-ciri ekonomi petani ditentukan oleh keterkaitan petani dengan lahan dan karakteristik produksi pertanian yang khas; (2) usahatani keluarga adalah unit dasar dari kepemilikan petani, produksi, konsumsi, dan kehidupan social; (3) dalam kegiatan ekonomi usahatani, tidak terlalu memperhatikan spesialisasi kerja; (4) budaya tradisional petani sangat berkaitan dengan kehidupan masyarakat desa; dan (5) didominasi oleh pihak luar melalui:

land-tenure, penyalahgunaan dalam kekuatan pasar.

Berdasarkan berbagai pemikiran beberapa ahli (Wolf, 1983; Redfield, 1985; Chayanov, 1986; Ellis, 1993; dan Shanin,1966) memiliki pandangan yang sama bahwa basis ekonomi petani adalah pada level rumahtangga. Ortiz dalam Carrier (2005) menyatakan bahwa pada masyarakat non-Barat basis sumberdaya dikelola pada unit rumahtangga dan komunitas yang berbasis kekerabatan.

Keputusan dalam kegiatan produksi dan investasi lebih cenderung dilakukan oleh rumahtangga dibandingkan pada level individu.

2.1.3. Strategi Nafkah Rumahtangga: Sebuah Tinjauan Konseptual

Konsep strategi bertahan hidup di kalangan ilmuwan barat pertama kali digunakan oleh Duque dan Pastrana (1973) dalam studi mereka mengenai keluarga miskin di Santiago, Chili. Semenjak itu, konsep tersebut menjadi sangat popular dan digunakan di dalam referensi untuk rasionalitas strategi dalam meminimalkan resiko di dalam ekonomi yang tidak menentu (Crow, 1989).

Strategi nafkah rumahtangga di kalangan ilmuwan Barat berkembang dalam kegiatan semua study Amerika Latin dan Afrika dimana ekonomi informal paling

tidak sama pentingnya dengan ekonomi formal dalam pemahaman perilaku ekonomi sehari-hari diantara masyarakat miskin di dalam upaya bertahan hidup akibat lingkungan yang semakin berisiko (Portes, 1994; Crow, 1989; Owusu;

2007).

Namun demikian, sector informal di Afrika masih menjadi perdebatan paling tidak pihak-pihak yang menganut pandangan reformist, institutionalist, dan neo-marxist. Kaum reformist memandang bahwa sector informal adalah solusi bagi pengangguran di Afrika dan mendorong pemerintah untuk mendukungnya.

Secara umum kaum institutionalist tidak setuju dengan pandangan kaum reformis.

Mereka menyalahkan intervensi pemerintah untuk pengembangan sector informal dan melihat spontanitas orang dan tanggapan kreatif terlalu berlebihan dan tidak perlu diatur dalam regulasi oleh Negara (de soto, 1989; World Bank 1989 yang dikutip oleh Owusu, 2007). Kaum neo-marxis tidak setuju akan pendapat pandangan kaum reformis dan institutionalis perihal pentingnya pemerintah dalam memberikan manfaat kepada kaum miskin. Mereka lebih memandang bahwa kemiskinan pada sector informal merupakan hasil dari hubungan yang eksploitatif dengan produksi dan distribusi kapitalis.

Menurut Redclift (1986) orang-orang dalam posisi yang termarginalkan seperti petani, kelompok usaha kecil dan keluarga petani dikatakan memiliki strategi di dalam bertahan hidup yang sering disebut sebagai “strategi survival”

atau “strategi coping”. Menurut Meert, Mistiaen, dan Kesteloot (1997) yang dikutip oleh Owusu (2007) Secara umum, strategi bertahan hidup (survival strategy) didefinisikan sebagai tindakan ekonomi yang disengaja oleh rumahtangga dengan motivasi yang tinggi untuk memuaskan sebagian besar kebutuhan dasar manusia, paling tidak pada level yang minimum, sesuai dengan norma social dan budaya masyarakat.

Dalam khasanah penelitian mengenai strategi nafkah, Dharmawan (2007) membandingkan dua kelompok studi yang concern terhadap kajian sistem penghidupan, yaitu Mazhab Bogor dan Mazhab Sussex. Mazhab Bogor dikembangkan oleh Sajogyo, White, Dharmawan, dan ilmuwan sosial dari IPB.

Sedangkan mazhab Sussex dipelopori oleh Chambers dan Conway, de Haan,

Bebbington dan Batterbury, Scoones, Ellis, dan lainnya. Secara kesejarahan mazhab Bogor muncul sebagai respon-aktif atas keprihatinannya pada persoalan kemiskinan dan kemunduran ekonomi pedesaan yang disebabkan oleh ketidakmampuan petani kecil dalam menyelaraskan diri pada proses-proses modernisasi pertanian berteknologi padat modal via pembangunan di Indonesia dan Jawa. Sementara pada mazhab Sussex, studi livelihood dilatarbelakangi adanya keprihatinan terhadap kehancuran yang menghempaskan komunitas lokal pada derajad ketidakpastian nafkah yang sangat dalam.

Mazhab Bogor menggunakan tradisi pemikiran strukturalisme-Marxian dimana faktor-faktor sosial-ekonomi (seperti lahan, kapital, jumlah tenaga kerja, struktur rumahtangga) menjadi determinan penting atas munculnya beragam tipe strategi nafkah di pedesaan. Sementara mazhab Sussex kebih banyak menggunakan pendekatan sosio-ekologis dalam menjelaskan fenomena kemiskinan dan sistem penghidupan. Secara metotodologi, kedua mazhab menganut aliran pendekatan yang mirip, yaitu: kualitatif-konstruktuf-reflektif, dimana obyektifitas dibangun melalui apresiasi pemahaman subyektif dari orang miskin yang diamati di lapangan (Dharmawan, 2007)

Kajian White yang dikutip Sajogyo (1990) telah melihat bahwa kondisi lahan yang semakin sempit, rumah tangga petani berusaha untuk melakukan kegiatan nafkah di luar pertanian. Beberapa tesis White adalah: (1) terjadi (sebagian) proses “orang terdorong ke luar (pertanian), imbalan di luar pertanian lebih rendah, orang menjalaninya karena terpaksa; dan (2) (sebagian lain) proses

“orang tertarik ke dalam (nafkah bukan pertanian)”, dimana imbalan di luar pertanian yang lebih baik. Ada kecenderungan rumahtangga di lapisan bawah (miskin) yang terkena proses “terdorong keluar” sebagai suatu strategi bertahan hidup.

Ide pemikiran Sajogyo tentang studi nafkah non pertanian yang seringkali diberi merupakan spesifik untuk kondisi petani di Indonesia terutama di Jawa.

Berbagai penelitian ini dilatarbelakangi adanya keprihatinan atas gejala perubahan social terutama perubahan struktur agraria yang mendorong adanya upaya

tersebut, akhirnya muncul ide dan pemikiran industrialisasi pedesaan. Ide tersebut dipublikasikan melalui “symposium industrialisasi pedesaan” yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat Studi Pembangunan Lembaga Penelitian IPB dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Jakarta pada tanggal 18 Desember 1989.

Industrialisasi pedesaan tersebut muncul paling tidak dengan beberapa alasan, yaitu: (1) masih banyaknya jumlah penduduk yang menggantungkan diri pada sector pertanian, (2) sebagian besar berpenghasilan dari skala usaha yang kecil, dan (3) menurunnya dasa absorbsi sector pertanian terhadap tenaga kerja.

Melalui industrialisasi pedesaan tersebut paling tidak berfungsi untuk: (1) mendorong pertumbuhan pedesaan dengan mendiversifikasi sumber pendapatan;

(2) meningkatkan dampak pertumbuhan permintaan di dalam atau di luar suatu daerah; (3) meningkatkan kesempatan kerja baru; (4) mendekatkan hubungan fungsional antara pertanian dengan sector urban/industry; (5) meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan penerimaan industry; dan (6) mengurangi kemiskinan pedesaan, ekonomi uang, dan pasar (Usman dalam Sajogyo, 1990).

Dalam ranah penelitian, strategi rumahtangga dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) sebagai konsep; (2) sebagai metode analisis; dan (3) sebagai unit analisis (Wallace, 2002). Pertama: Sebagai konsep, strategi rumahtangga dapat didefinisikan dalam dua pengertian: (1) bahwa rumahtangga benar-benar duduk dan merencanakan aktivitas mereka dalam menghadapi ketidakpastian-“strong definition”; (2) rumahtangga mengorganisasikan berbagai sumber nafkah baik formal, non formal, dan tenaga kerja rumahtangga untuk bertahan hidup baik direncanakan maupun tidak “weak definition” (Warde, 1990 yang dikutip Wallace, 2002). Kedua: Sebagai metode analisis, terutama dipergunakan untuk memahami kombinasi formal, non-formal, dan pekerjaan rumahtangga dan pembagian kerja diantara mereka. Kombinasi ini biasanya hanya terbatas pada aktivitas yang tidak diatur oleh Negara dan kadang-kadang berbentuk resiprositas atau pertukaran yang tidak dibayar diantara rumahtangga.

Ketiga: sebagai unit analisis, digunakan untuk memahami perilaku ekonomi pada level rumahtangga. Menurut White (1980) alasan rumahtangga menjadi dasar unit

analisis adalah bahwa rumahtangga adalah dasar unit produksi, reproduksi, konsumsi, seremonial, dan interaksi politik. Hal ini senada dengan pernyataan Chayanov (1966) bahwa pangkal tolak untuk memahami perilaku ekonomi petani adalah melihat rumahtangga petani sebagai unit produksi sekaligus sebagai unit konsumsi.

2.1.4. Basis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani

Dalam upaya memperjuangkan kehidupan ekonominya rumahtangga petani di pedesaan biasanya akan melakukan diversifikasi sumber nafkah yaitu proses yang dilakukan oleh keluarga pedesaan untuk melakukan berbagai aktivitas dan kemampuan dorongan social mereka dalam upaya berjuang untuk bertahan hidup dan untuk meningkatkan standar hidup. Secara luas bahwa adanya diversifikasi nafkah tidak sekedar untuk bertahan hidup, yang dikonotasikan sebagai resistensi, artinya seolah-olah tidak berkembang. Oleh karena itu, bahwa strategi nafkah selain bertahan hidup tetapi juga berusaha memperbaiki standar hidup (Ellis, 1998; Redclift, 1986).

Menurut Ellis (1998) pembentuk strategi nafkah dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu pertama: berasal dari on-farm; merupakan strategi nafkah yang didasarkan dari sumber hasil pertanian dalam arti luas (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dll). Kedua: berasal dari off-farm, yaitu dapat berupa upah tenaga kerja pertanian, sistem bagi hasil (harvest share system), kontrak upah tenaga kerja non upah dan lain-lain. Ketiga: berasal dari non farm, yaitu sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi 5 yaitu: (1) upah tenaga kerja pedesaan bukan dari pertanian; (2) usaha sendiri di luar kegiatan pertanian, (3) pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa), (4) kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota; dan (5) kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri. Namun, pada kenyataanya klasifikasi tersebut hanya dibagi menjadi dua yaitu dari sector pertanian (on farm dan off farm) dan sector non pertanian (non farm).

Beberapa hal penting yang mendorong terjadinya diversifikasi sumber

bersifat musiman maka untuk mengisi waktu tunggu panen atau musim panen berikutnya, maka hal ini mendorong petani untuk mencari pekerjaan di luar sektor petanian. Kedua; perbedaan pasar tenaga kerja, hal ini mendorong pemanfaatan berbagai peluang kerja tersebut untuk memenuhi kebutuhan subsistensinya atau memperbaiki standar hidupnya. Ketiga; strategi mengurangi risiko, melalui berbagi upaya yang dilakukan diharapkan petani mampu menghindari risiko kelaparan, kebutuhan subsistensiya tidak terpenuhi, dan risiko lainnya. Keempat;

sebagai perilaku penyesesuain, maksud penyesesuain disini adalah untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan upaya yang dilakukan sehingga tidak akan terjadi kekurangan. Kelima; strategi menabung dan investasi sementara, berbagai strategi nafkah yang dilakukan dalam upaya memberikan kenyamanan dan keamanan dalam bentuk tabungan atau investasi walaupun bersifat sementara, misalnya: beternak sapi, dianggap sebagai tabungan yang apabila sewaktu-waktu dibutuhkan dapat dijual (Ellis, 1998).

Dalam kerangka untuk bertahan hidup dan meningkatkan standar hidup tersebut, masyarakat melakukan berbagai strategi diantaranya adalah: (1) meningkatkan produktivitas lahan seperti intensifikasi dan ekstensifikasi pada lahan pertanian, sementara pada masyarakat nelayan berusaha meningkatkan teknologi sehingga lebih mudah menangkap ikan; (2) adanya pembagian tugas untuk mencari nafkah antara suami, istri, dan anak; (3) menjalin kerjasama dengan

anggota komunitas dalam upaya mempertahankan jaminan sosial masyarakat;

(4) untuk tetap survive juga menjalin hubungan patron-klien; (5) melakukan migrasi untuk bekerja baik ke kota maupun menjadi TKI ke luar negeri (Ellis, 1998).

Menurut Chambers (1995), beberapa cara yang dipergunakan oleh rumahtangga dalam kerangka bertahan hidup antara lain: (1) mutual help dengan tetangga atau saudara, (2) kontrak lepas, (3) pekerjaan sambilan, (4) pekerjaan khusus (tukang cukur, tukang kayu, penjahit), (5) memanfaatkan tenaga kerja anak, (6) pekerjaan kerajinan, (7) menggadaikan dan menjual asset, (8) pemisahan anggota keluarga (menitipkan anak pada kerabat), (9) migrasi musiman, (10) remitten, (11) penghematan makanan dan konsumsi, dan lainnya.

Sementara menurut pemikiran Barat, strategi nafkah meliputi asset (modal alam, modal fisik, modal SDM, modal financial, dan modal social), aktifitas, dan akses terhadap asset-aset tersebut yang dikombinasikan untuk menentukan kehidupan bagi individu maupun rumah tangga (Conway dan Chambers, 1992).

Modal alam (natural capital) terdiri dari tanah, air, dan sumberdaya biologi yang di gunakan oleh manusia sebagai sarana bertahan hidup. Modal alam lebih banyak mengacu pada sumber daya lingkungan (environtmental resources) baik yang dapat diperbaharui atau tidak. Modal Fisik (Physical Capital) menyangkut modal yang diciptakan oleh proses ekonomi produksi seperti: bangunan, irigasi, jalan, mesin, dan lainnya. Modal sumber daya manusia (Human Capital) mengacu kepada sumber daya tenaga kerja yang ada pada rumah tangga seperti:

pendidikan, keterampilan, dan kesehatan. Modal financial (Financial Capital and substitutes) mengacu kepada persediaan uang yang telah diakses oleh rumah tangga misalnya: tabungan, akses untuk mendapatkan kredit dalam bentuk bantuan. Modal Sosial (Social Capital) mencakup adanya kepercayaan (trust), clientization, hubungan kekerabatan, suku, daerah asal, almamater, dan lain sebagainya (Ellis, 2000). Selain lima asset yang disebut sebagai pentagon asset, Odero (2007) menambahkan satu asset penting lainnya yaitu asset informasi (information capital).

Menurut Chambers (1995), bahwa strategi nafkah rumahtangga lebih mengacu kepada sarana untuk memperoleh kehidupan, termasuk kemampuan berupa tangible assets dan intangible assets. Inti dari livelihood dapat dinyatakan sebagai kehidupan (a living). Melalui campur tangan manusia, asset-asset nyata (tangible assets) dan asset tidak nyata (intangible assets) berkontribusi terhadap kehidupan (a living) (lihat gambar 2.1).

Gambar 2.1. Komponen dan bagan alir nafkah rumah tangga

Tangible assets di kendalikan oleh rumah tangga dalam dua bentuk, yaitu:

(1) simpanan (store), contoh: stok makanan, simpanan berharga seperti emas dan perhiasan, tabungan dan (2) dalam bentuk sumber daya (resources) seperti: lahan, air, pohon, ternak, peralatan pertanian, alat dan perkakas domestic. Intangible assets terdiri dari claims yang dapat dibuat untuk material, moral atau pendukung lainnya dan access adalah kesempatan untuk menggunakan sumberdaya, simpanan atau jasa, atau untuk memperoleh informasi, material, teknologi, kesempatan kerja, makanan atau pendapatan

Untuk mempermudah pemahaman mengenai livelihood, scoone (1998) membuat sebuah kerangka pemikiran. Kerangka pemikiran tersebut mencoba mengkaitkan antara kondisi, konteks, dan berbagai kecenderungan (trends) mempengaruhi sumber nafkah (natural capital, financial capital, human capital, social capital, dan lainnya). Perubahan pada sumber nafkah juga mempengaruhi struktur organisasi dan proses institusional untuk kemudian berkorelasi dengan strategi nafkah dan muaranya berpengaruh terhadap keberlanjutan sumber nafkah (lihat gambar 2.2).

Livelihood capabilities

Stores and

Resources Claims and

access People

Tangible Assets Intangible Assets

A Living

Policy  Contexts, conditions

and trends Livelihood resources

Sumber : Scoones, 1998

Gambar 2.2. Framework Strategi Nafkah

Dalam kaitan dengan asset-atau yang sering disebut sebagai capital-tidak secara sederhana sumber daya (resources) yang ada langsung digunakan di dalam membangun nafkah (livelihood). Berbagai asset yang ada akan menentukan bagaimana strategi nafkah dibentuk dalam rangka meningkatkan kesejahteraan karena asset (capital) tersebut memberikan orang kemampuan (capability).

Melalui berbagai kemampuan tersebut akan membuat kehidupan menjadi lebih berarti dan berkelanjutan (Bebbington, 1999) (lihat gambar 2.3).

Gambar 2.3. Asset, livelihood, dan kemiskinan

2.1.5. Beberapa studi tentang strategi nafkah dan posisi penelitian dalam konteks kekinian

Kajian mengenai strategi nafkah telah dilakukan beberapa puluh tahun yang lalu oleh Sajogyo walaupun hanya secara implisit. Berbagai kajian sistem penghidupan tersebut biasanya dikaitkan dengan kemiskinan di pedesaan.

Penelitian Geertz memberikan gambaran bahwa kondisi pertanian di Jawa mengalami kemandegan terutama karena lahan yang terbatas harus menanggung beban penduduk yang semakin padat.

Persoalan kepemilikan dan penguasaan lahan menjadi isu penting dalam kaitannya dengan ekonomi rumah tangga petani. Penelitian White (1973) yang dikutip Sajogyo (1990) menyatakan bahwa dalam kondisi lahan yang semakin sempit, rumah tangga petani berusaha untuk melakukan kegiatan nafkah di luar pertanian. Beberapa tesis White adalah: (1) terjadi (sebagian) proses “orang

Meaning Household and

its member

Access

• Use

• Transformation

• Reproduction Material

weel-being Capability

Cultural Capital Produced

Capital

Social Capital

Natural Capital

Human Capital

terdorong ke luar (pertanian), imbalan di luar pertanian lebih rendah, orang menjalaninya karena terpaksa; dan (2) (sebagian lain) proses “orang tertarik ke dalam (nafkah bukan pertanian)”, dimana imbalan di luar pertanian yang lebih baik. Ada kecenderungan rumahtangga di lapisan bawah (miskin) yang terkena proses “terdorong keluar” sebagai suatu strategi bertahan hidup. Sajogyo (1998) menyebut sebagai pola nafkah ganda.

White (1990) membedakan rumahtangga petani ke dalam tiga kelompok dengan strategi nafkah yang berbeda. Pertama, rumahtangga yang atau mengusahakan tanah pertanian luas, yang menguasai surplus produk pertanian diatas kebutuhan hidup mereka. Surplus ini seringkali dimanfaatkan untuk membiayai pekerjaan di luar sector non-pertanian, dengan imbalan penghasilan yang relative tinggi pula. Pada golongan pertama, strategi nafkah yang mereka terapkan adalah strategi akumulasi dimana hasil pertaniannya mampu diinvestasikan kembali baik pada sector pertanian maupun non pertanian. Kedua, rumahtangga usaha tani sedang (usahatani hanya mampu memenuhi kebutuhan subsisten). Mereka biasanya bekerja pada sector non pertanian dalam upaya melindungi diri dari gagal panen atau memberikan sumber pendapatan yang berkelanjutan mengingat usaha pertanian bersifat musiman. Strategi mereka ini dapat disebut sebagai strategi konsolidasi. Ketiga, rumahtangga usaha tani gurem atau tidak bertanah. Biasanya mereka bekerja dari usaha tani ataupun buruh tani, dimana penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar. Rumahtangga ini akanmengalokasikan sebagian dari tenaga kerja mereka-tanpa modal, dengan imbalan yang rendah-ke dalam kegiatan luar pertanian. Pada rumahtangga pada golongan ketiga ini menerapkan strategi bertahan hidup (survival strategy). White mencatat bahwa terkesan seolah rumahtangga yang memiliki tanah relative luas dan menguasai terbesar dari pertanian, cenderung juga menguasai penghasilan non-pertanian yang paling besar dibandingkan rumahtangga petani sedang dan kecil. Namun demikian, perlu dicatat bahwa ada banyak variasi antar desa, polanya berbeda-beda. Bagaimana pola distribusi penghasilan rumah tangga petani dari pertanian dan non pertanian menurut dapat dilihat pada gambar 2.4.

Luas sawah milik (ha)

Penghasilan

Rumah Tangga

≥ 1.00 2.14

0.5 – 0.99 0.71

0.25 – 0.49 0.60

< 0.25 0.33

(jutaan rupiah) Sumber: White, 1990

Gambar 2.4. Pola Distribusi Penghasilan Rumahtangga Petani di Jawa Pada posisi bertahan hidup, tanpa surplus pertanian, dengan modal kecil, rumahtangga petani memasuki nafkah di luar pertanian, dengan imbalan (Rp/jam) yang lebih rendah dari kerja pertanian. Dalam hal usaha sendiri yang mereka bisa bina di luar pertanian, mereka tak menghitung jumlah masukan jam kerja sendiri/rumahtangga, menjurus ke eksploitasi diri. Lebih jauh Sajogyo (1990) membandingkan pola strategi nafkah rumahtangga desa antara lapisan atas dan lapisan bawah. Pada keluarga lapisan atas yang bermodal kuat dengan luas lahan

>0,5 ha, punya surplus pertanian yang membesar akibat revolusi hijau dan dari surplus itu mampu memodali usaha luar pertanian. Sementara pada rumahtangga lapisan bawah (miskin tak bermodal) yang menunjukkan strategi “bertahan”: bagi mereka penghasilan total pada suatu waktu lebih penting, biarpun sebagian dari pekerjaan yang berimbalan lebih rendah.

Beberapa penelitian lain yang bertitik tolak dari pemikiran Sajogyo adalah Joan Hardjono (1990) yang mengkaitkan antara tanah, pekerjaan, dan nafkah di pedesaan Jawa Barat. Ide dasar strategi nafkah petani di pedesaan adalah kritik atas kebijakan intensifikasi pertanian yang dianggap berlebihan. Sehingga untuk

1.5 1.0 0.5 0 0.5 1.0 

0.30 0.41

0.24 0.36

0.1

PERTANIAN NON PERTANIAN

0.92 1.22

0.18

meningkatkan pendapatan rumahtangga petani diperlukan upaya ekstensifikasi dan diversifikasi pertanian disamping adanya nafkah di luar sector pertanian.

Dalam kajian anthropologi, Marzali (2003) juga melakukan penelitian tentang strategi peisan di Cikalong dalam menghadapi kemiskinan. Marzali

Dalam kajian anthropologi, Marzali (2003) juga melakukan penelitian tentang strategi peisan di Cikalong dalam menghadapi kemiskinan. Marzali