• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korelasi merupakan koefisien yang menggambarkan derajat hubungan antar peubah. Perhitungan koefisien korelasi linear (r) sederhana ditentukan oleh sejumlah keragaman dalam satu peubah yang dapat dijelaskan oleh peubah lainnya. Nilai r negatif menunjukkan perubahan positif pada satu peubah berhubungan dengan perubahan negatif pada peubah lainnya, sedangkan nilai r positif menunjukkan perubahan ke arah yang sama antara dua peubah (Gomez dan Gomez, 1995).

Lamanya umur simpan dan perubahan mutu buah dapat diduga secara langsung dengan edible part, karena edible part berhubungan dengan penerimaan konsumen terhadap buah. Oleh sebab itu, edible part merupakan peubah yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui hubungan antar satu peubah dengan peubah lainnya.

Tabel 7. Korelasi Antar Peubah pada 6 HSP K SB PTT ATT R SB 0.658tn PTT -0.888* -0.660tn ATT -0.739tn -0.495tn 0.675tn R -0.757tn -0.749tn 0.833tn 0.248tn EP -0.815tn -0.707tn 0.836tn 0.280tn 0.988**

Keterangan: SB: Susut Bobot; PTT: Padatan Terlarut Total; ATT: Asam Tertitrasi Total; R: Rasio daging buah dengan kulit buah; EP: Edible

Part; K: Kekerasan kulit buah; tn : tidak berbeda nyata, *: berbeda nyata, **: berbeda sangat nyata pada taraf 5%

Tabel 7 menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara edible part dan rasio daging buah dengan kulit buah. Nilai r antara kedua peubah tersebut sebesar 0.988 [(100)(0.988)2 = 97.61%], yang dapat diartikan bahwa terdapat 97.61% dari keragaman edible part yang dapat diterangkan oleh peubah rasio daging buah dengan kulit buah.

Tabel 8. Korelasi Antar Peubah pada 12 HSP

K SB PTT ATT R SB 0.778tn PTT 0.939* 0.578tn ATT 0.008tn -0.266tn 0.331tn R -0.664tn -0.706tn -0.686tn -0.382tn EP -0.701tn -0.592tn -0.807tn -0.597tn 0.938*

Keterangan : SB: Susut Bobot; PTT: Padatan Terlarut Total; ATT: Asam Tertitrasi Total; R: Rasio daging buah dengan kulit buah; EP:

Edible Part; K: Kekerasan kulit buah; tn : tidak berbeda nyata, *: berbeda nyata

Korelasi antara peubah edible part dengan rasio daging buah dan kulit buah juga ditunjukkan pada tabel 8. Nilai r antara kedua peubah tersebut sebesar 0.938 [(100)(0.938)2 = 87.98%], yang berarti terdapat 87.98% keragaman edible

Tabel 9. Korelasi Antar Peubah pada 18 HSP K SB PTT ATT R SB -0.826tn PTT 0.793tn -0.422tn ATT 0.365tn -0.187tn 0.034tn R 0.304tn 0.123tn 0.238tn 0.857tn EP 0.403tn -0.043tn 0.197tn 0.864tn 0.957*

Keterangan : SB: Susut Bobot; PTT: Padatan Terlarut Total; ATT: Asam Tertitrasi Total; R: Rasio daging buah dengan kulit buah; EP:

Edible Part; K: Kekerasan kulit buah; tn : tidak berbeda nyata, *: berbeda nyata

Tabel 9 menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara edible part dengan rasio daging buah dan kulit buah dengan nilai r 0.957 [(100)(0.957)2 = 91.58%]. Nilai tersebut dapat diartikan bahwa terdapat 91.58% keragaman edible part yang dapat diterangkan oleh rasio daging buah dan kulit buah. Nilai r yang positif pada setiap korelasi antara edible part dengan rasio daging buah dan kulit buah menunjukkan bahwa semakin tingginya persentase edible part buah, maka semakin besar pula rasio daging buah dan kulit buah.

Pembahasan

Sebelum penelitian, dilakukan percobaan pendahuluan yang bertujuan untuk mengetahui kondisi buah dan lingkungan yang baik untuk penelitian ini. Pada percobaan pendahuluan, buah yang digunakan dipanen secara bersamaan, namun tidak dilakukan pengelompokkan per tandan maupun per sisir pisang. Buah yang diperoleh digunakan seluruhnya, termasuk bagian pinggir sisir, sehingga pada percobaan ini kematangan pisang tidak seragam, bahkan pada pisang dalam satu kemasan. Koefisien keragaman yang diperoleh dari hasil pengolahan data juga sangat tinggi. Pada percobaan selanjutnya dilakukan pengelompokkan untuk mengatasi kekurangan ini, sehingga didapatkan pisang dengan kematangan yang seragam pada setiap kelompok dan kemasannya.

Buah pisang yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari dua tempat yang berbeda, yaitu dari pedagang pengumpul pisang di pasar Bogor serta dari petani pisang di daerah Palasari Bogor. Buah pisang yang diperoleh dari pedagang pengumpul di pasar Bogor memiliki waktu penyimpanan lebih singkat yang

ditandai dengan buah yang telah berwarna kuning penuh pada 6 Hari Setelah Perlakuan (HSP), sedangkan buah pisang yang dipanen langsung dari petani warna hijau kulit buah dan tekstur yang keras dapat dipertahankan hingga 15 HSP. Pada akhir pengamatan (18 HSP) sebagian besar buah telah berwarna kuning kehitaman, sangat lunak, dan berbau busuk sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.

Pengamatan awal (0 HSP) dilakukan untuk mengetahui kondisi buah sebelum penyimpanan dan diberi perlakuan. Bobot buah pada awal pengamatan berkisar antara 130-250 g/2 jari, indeks skala warna 1 (hijau penuh), kekerasan kulit buah 0.84 kg/detik, padatan terlarut total 12.4° Brix, rasio daging buah dengan kulit buah 1.16, edible part 58.3%, serta asam tertitrasi total 34 mg/100 g. Pada akhir pengamatan yaitu pada 18 HSP didapatkan susut bobot buah mencapai 65.63%, indeks skala warna 8 (kuning dengan bercak coklat yang meluas), kekerasan kulit buah 0.47 kg/detik, padatan terlarut total 36.5° Brix, perbandingan daging buah dengan kulit buah 3.0, edible part 75%, serta asam tertitrasi total 78.4 mg/100 g.

Gejala penyakit pasca panen mulai menyerang buah pisang yang diperoleh dari pasar Bogor pada 6 HSP, yaitu penyakit busuk buah antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum musae dan penyakit crown rot yang disebabkan oleh gabungan dari cendawan Colletotrichum musae dan Ceratocytis paradoxa. Gejala awal penyakit ini adalah bagian pangkal buah berwarna hitam, lunak, memiliki luka cekung yang menyebar di permukaan kulit buah. Serangan lanjut dari penyakit ini ditandai dengan permukaan kulit buah yang ditutupi oleh bercak basah kemerahan yang menyebar pada buah pisang lain yang belum terserang (Feakin, 1971) seperti yang terlihat pada gambar 4. Gejala ini menjadi semakin parah dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Buah pisang yang telah parah terserang penyakit ditutupi oleh cendawan berwarna putih pada seluruh permukaan buah (Gambar 5). Gejala penyakit yang sama juga menyerang buah pisang yang diperoleh dari petani di Palasari pada 15 HSP. Kondisi ruang penyimpanan yang memiliki suhu rata-rata 27.84°C dan kelembaban relatif 66.12 % merupakan kondisi yang cocok bagi perkembangan cendawan penyebab penyakit.

Gambar 4. Gejala Awal Penyakit Pasca Panen pada 6 HSP

Gambar 5. Gejala Lanjut Penyakit Pasca Panen pada 12 HSP

Penggunaan sekat bertujuan untuk mengurangi terjadinya benturan antar buah, serta menghambat penyebaran etilen yang dihasilkan oleh buah agar tidak mempengaruhi kematangan buah yang lain. Menurut Santoso dan Purwoko (1995) buah yang telah matang memproduksi etilen cukup tinggi yang dapat mempengaruhi dan mempercepat pemasakan buah lainnya. Proses pematangan buah dalam kemasan bersekat diharapkan terjadi secara alami tanpa adanya pengaruh buah yang lain.

Kondisi kematangan buah pisang yang layak untuk dikonsumsi didapatkan pada penyimpanan 12 HSP. Hal ini ditandai dengan warna kulit buah yang

mencapai kuning penuh dan padatan terlarut total yang berkisar antara 25-30° Brix. Hasil ini sesuai dengan laporan Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (2005), bahwa warna kulit buah pisang raja bulu yang matang adalah kuning cerah dengan padatan terlarut total berkisar antara 28-30° Brix. Kondisi pisang pada akhir penyimpanan (18 HSP) sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Warna kulit buah pisang telah mencapai indeks skala warna 8 (kuning dengan bercak coklat yang meluas), tekstur buah sangat lunak, serta terlalu matang dan busuk seperti pada gambar 6.

Gambar 6. Kondisi buah pisang pada akhir pengamatan (18 HSP) Keterangan : Perlakuan sama seperti gambar 2.

Perlakuan sekat yang diberikan selama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap umur simpan dan mutu buah dilihat dari peubah-peubah yang diamati. Perlakuan hanya memberikan pengaruh nyata pada hari ke-6 dan hari ke-12 terhadap rasio daging buah dengan kulit buah dan edible part. Pengaruh yang tidak nyata diduga karena adanya keragaman pada buah yang digunakan. Buah pisang yang diamati berasal dari kebun yang berbeda sehingga memiliki perlakuan budidaya yang berbeda, umur panen yang tidak seragam, serta jumlah buah yang tersedia sangat terbatas. Hal ini mempengaruhi perbedaan proses pematangan buah pasca panen. Untuk mengurangi tingginya tingkat keragaman, maka dilakukan pengelompokkan. Pengelompokan yang dilakukan cukup efektif dalam mengatasi keragaman tersebut, ditunjukkan dengan pengaruh pengelompokkan yang nyata pada seluruh peubah yang diamati, kecuali rasio daging buah dengan kulit buah dan edible part (Tabel 10).

K1 K2

K3

Tabel 10. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh sekat dalam kemasan terhadap umur simpan dan mutu buah pisang Raja Bulu.

Peubah HSP Perlakuan Kelompok

Warna 3 tn tn 6 tn ** 9 tn ** 12 tn * 15 tn * 18 tn * Susut Bobot 3 tn * 6 tn tn 9 tn tn 12 tn tn 15 tn * 18 tn **

Kekerasan Kulit Buah 6 tn **

12 tn **

18 tn *

Daging buah : kulit buah 6 * tn

12 * tn 18 tn tn Edible Part 6 * tn 12 * tn 18 tn tn PTT 6 tn ** 12 tn ** 18 tn tn ATT 6 tn * 12 tn tn 18 tn *

Ket : tn : tidak berbeda nyata pada uji BNJ (Tukey) taraf 5% * : berbeda nyata pada uji BNJ (Tukey) taraf 5% ** : berbeda nyata pada uji BNJ (Tukey) taraf 1%

Uji korelasi antar peubah menunjukkan terdapat korelasi positif antara

edible part dengan rasio daging buah dan kulit buah buah pisang. Hal ini diduga karena dipengaruhi oleh kandungan air daging buah yang semakin meningkat selama penyimpanan karena terjadinya perpindahan air dari kulit buah ke daging buah. Perpindahan air tersebut menyebabkan bobot kulit buah semakin berkurang dan bobot daging buah semakin bertambah. Peningkatan bobot daging buah

sebagai bagian buah pisang yang dapat dimakan menyebabkan edible part buah pisang juga meningkat.

Perlakuan kemasan tanpa sekat cenderung dapat menghambat pematangan buah jika dibandingkan dengan kemasan bersekat, walaupun perbedaannya tidak terlihat nyata. Kemasan bersekat diduga membuat lingkungan simpan pada masing-masing buah menjadi lebih sempit sehingga suhu dan kelembabannya juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan kemasan tanpa sekat. Proses respirasi dan transpirasi buah akan meningkat dengan semakin tingginya suhu, sehingga buah akan lebih cepat matang. Selain itu, kondisi ruang penyimpanan yang memiliki suhu dan kelembaban yang cukup tinggi juga mempengaruhi suhu dan kelembaban di dalam kemasan. Hal ini terjadi karena kemasan kotak kardus yang digunakan memiliki kelemahan yaitu tidak kedap udara dan air, sehingga dapat menyerap kelembaban dari udara luar.

Dokumen terkait