• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.3 Korelasi RET-HE dengan Parameter Status Besi Konvensional Feritin Serum dan ST

Dilakukan uji normalitas menggunakan shapiro-wilk terhadap nilai

RET-P= 0,023 P=0,049 P= 0,019 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Hb (g/dl) Ht (%) RET He (pg) Sebelum Setelah 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 20 25 30 35 40 H b (g /dl ) RET He (pg)

A

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 20 25 30 35 40 H b (g /dl ) RET He (pg)

B

Gambar 4.2 Perubahan Rerata Hb, Ht dan RET-HE Sebelum dan Setelah Pemberian Besi Intravena

normal. Selanjutnya dilakukan transfomasi data terhadap feritin serum sehingga data terdistribusi normal. Analisis Pearson’s digunakan untuk menilai korelasi antara RET-HE dengan feritin serum dan ST. Hasilnya tidak diperoleh korelasi baik antara RET-HE dengan feritin serum (r=0,355, P=0,195) maupun RET-HE dengan ST (r=0,023, P=0,935).

Gambar 4.4 Grafik Korelasi ; A. RET-HE dan feritin serum, B. RET-HE dan ST 4.2 Pembahasan

Anemia terjadi pada mayoritas pasien PGK terutama mereka yang menjalani hemodialisis. Penyebab utama adalah berkurangnya produksi eritropoetin akibat kerusakan ginjal itu sendiri. Namun demikian, besi juga merupakan elemen penting dalam sintesis hemoglobin. US Renal Data System

pada tahun 1997 melaporkan bahwa defisiensi besi terjadi pada 60% pasien anemia pada PGK dengan hemodialisis, NKF-KDOQI pada tahun 2000 menyatakan terdapat 25-37,5% sementara The Dialysis Outcomes and Practice Pattern Study (DOPPS) pada tahun 2003 melaporkan 31-38% kasus defisiensi besi pada kondisi serupa (Nissenson et al. 1999). Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa anemia terjadi pada mayoritas pasien PGK yang menjalani

20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 0 500 1000 1500 2000 RE T H e (p g ) Feritin Serum (ng/ml)

A

20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 5 10 15 20 RE T H e (p g ) Saturasi Transferin (%)

B

Berbagai upaya dilakukan untuk memperbaiki kondisi anemia pada pasien PGK dengan hemodialisis reguler. Pemberian ESA merupakan salah satu upaya koreksi. Namun sering kali terjadi kegagalan terapi ESA disebabkan oleh adanya defisiensi besi. Secara umum, kondisi anemia defisiensi besi dinyatakan apabila ST <20% atau feritin serum <100 ng/ml. Namun apabila kondisi ini terjadi secara bersamaan pada pasien yang juga sedang mengalami inflamasi kronis seperti halnya pada pasien PGK dengan hemodialisis reguler, maka penggunaan parameter konvensional sering menimbulkan kerancuan. Rekomendasi oleh NKF-KDOQI (2006) adalah melalui kombinasi pemeriksaan Hb, feritin serum dan ST atau CHr. Karena kombinasi ketiga pemeriksaan ini dapat menggambarkan keseimbangan besi eksternal dan distribusi besi internal. Pentingnya evaluasi terhadap status besi ini adalah untuk mengetahui potensiasi adanya defisiensi besi sebagai penyebab anemia serta prediksi respon terhadap pemberian terapi besi.

Anemia defisiensi besi memiliki gambaran morfologi hipokromik mikrositik, sedangkan anemia karena inflamasi kronis biasanya memiliki gambaran normokromik normositik. Namun seiring dengan tingkat keparahan dan durasi inflamasi bisa juga dijumpai gambaran mikrositik dan hipokromik (Jayaranee et al. 2010). Pada penelitian ini dari 15 subjek penelitian terdapat 6 pasien (40%) dengan gambaran morfologi darah tepi mikrositik dan atau hipokromik, sementara 9 pasien (60%) normokromik normositik berdasarkan nilai MCV dan MCH.

Pada anemia defisiensi besi dan anemia karena inflamasi kronis dijumpai penurunan kadar besi serum, namun penyebabnya berbeda. Pada anemia defisensi besi hal ini menyatakan kekurangan besi yang absolut dalam tubuh, sementara pada anemia karena inflamasi kronis hal ini disebabkan penumpukan cadangan besi pada organ sistem reticuloendotelial. Demikian pula ST yang menurun dapat dijumpai pada kedua kondisi ini, namun pada anemia defisiensi besi hal ini disebabkan oleh peningkatan dari nilai transferin, sementara pada anemia karena inflamasi kronis hal ini akibat penurunan KBS, sementara kadar transferin dapat normal atau meningkat. Demikian pula feritin serum yang juga merupakan protein

Pada penelitian ini dari 15 subjek penelitian hanya 6 pasien (40%) yang diagnosis defisiensi besi ditegakkan berdasarkan hasil ST <20% dan feritin serum <100 ng/ml. Sementara 9 pasien (60%) lainnya nilai feritin serum dijumpai sangat meningkat di atas 500 ng/ml. Hal ini menimbulkan kerancuan sebab kadar feritin serum yang tinggi tersebut tidak menyatakan bahwa cadangan besi yang tersedia dalam tubuh cukup, namun lebih cenderung sebagai petanda adanya kondisi inflamasi kronis. Di Amerika Serikat, sekitar 60% pasien hemodialisis reguler memiliki kadar feritin serum >500 ng/ml, 20% dengan ST <21% (Coyne et al. 2007). Studi Dialysis Patients’ respone to IV Iron with Elevated Ferritin (DRIVE) melaporkan bahwa pasien dengan feritin serum <800 ng/ml maupun >800 ng/ml memberikan respon terapi yang sama terhadap pemberian besi intravena. Hal ini membuktikan bahwa feritin serum saja tidak dapat dijadikan acuan bahwa pasien tidak membutuhkan suplemen besi intravena. Hasil studi ini berbeda dengan rekomendasi NKF-KDOQI (2006) yang justru tidak menganjurkan pemberian suplemen besi bila kadar feritin serum >500 ng/ml.

Beberapa penelitian sebelumnya telah mencoba mencari parameter baru dalam penilaian status besi untuk menghindari kerancuan interpretasi hasil yang dapat terjadi apabila menggunakan parameter konvensional yang ada saat ini. RET-HE merupakan salah satu parameter baru yang mulai diperkenalkan dan diteliti akurasinya. Pemilihan reticulosit sebagai parameter cadangan besi berdasarkan pada fungsi fisiologisnya yang merupakan bentuk peralihan dari eritroblas yang berada di sumsum tulang menjadi eritrosit matang di darah perifer. Sehingga diharapkan dapat menggambarkan cadangan besi yang tersedia di sumsum tulang dalam beberapa hari terakhir.

Berbagai penelitian antara lain oleh Canal et al (2005), Tazza et al (2006), Brugnara et al (2006), Grazia et al (2007), Manconi et al (2008), Miwa et al (2010), Urrechaga et al (2010) dan Buttarello et al (2010) melaporkan bahwa RET-HE memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik sebagai parameter status

banyak dibuktikan dalam penelitian sebelumnya. Penelitan ini justru mencoba menilai aplikasi klinis penggunaan RET-HE pada pasien yang menjalani hemodialisis reguler.

Pada penelitian ini diberikan suplemen besi pada pasien dengan hemodialisis reguler yang berdasarkan parameter konvensional ST atau feritin serum mengalami defisiensi besi. Terlihat bahwa setelah pemberian suplemen besi selama 4 minggu, terjadi peningkatan yang signifikan baik nilai Hb, Ht maupun RET-HE. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Chuang et al (2003) yang melaporkan terjadi peningkatan Hb, Ht dan Chr pada 4 minggu setelah pemberian suplemen besi intravena. Sementara penelitian oleh Miwa et al (2010) menyatakan dalam waktu 2 minggu setelah pemberian suplemen besi intravena terjadi peningkatan dari nilai RET-HE sementara kadar Hb dan Ht meningkat signifikan setelah pemberian suplemen besi intravena selama 4 minggu. Pada studi DRIVE terjadi peningkatan nilai Hb dan Chr setelah pemberian suplemen besi intravena selama 6 minggu. Studi DRIVE juga melaporkan bahwa peningkatan nilai CHr sudah terlihat secara signifikan pada minggu ke-2 dan ke-3 setelah pemberian suplemen besi. Tidak dilakukan penilaian ulang kadar feritin serum maupun ST pada penelitian ini sebab evaluasi baru dapat dilakukan setelah interval 3 bulan (Hori, 2007). Peningkatan nilai Hb setelah pemberian suplemen besi ini selain karena kebutuhan besi menjadi tercukupi, namun juga karena adanya perbaikan terhadap kondisi inflamasi kronis (Coyne et al. 2007). Suplemen besi tersebut ternyata juga memiliki efek antiinflamasi yang mampu meningkatkan sitokin anti-inflamasi IL-4 dan menurunkan sitokin pro inflamasi TNF-α.

Konfirmasi terbaik adanya defisiensi besi dinyatakan bila dijumpai peningkatan Hb 1-2g/dl setelah pemberian suplemen besi intravena selama 2-4 minggu (Hori, 2007). Nilai Hb pada penelitian ini terlihat meningkat pada 10 pasien (66,7%), menurun pada 3 pasien (20%) dan tetap pada 2 pasien (13,3%). Namun diantara 10 pasien dengan peningkatan Hb, hanya 6 pasien (40%) yang peningkatannya mencapai 1-2 g/dl. Hal ini memperlihatkan bahwa pasien yang

Peningkatan nilai Ht juga sering dijadikan indikator keberhasilan pemberian suplemen besi. Sebuah studi oleh Chuang et al (2003) menyatakan respon terhadap pemberian suplemen besi intravena apabila terjadi peningkatan Ht ≥3% setelah pemberian suplemen besi selama 2-4 minggu. Pada penelitian ini Ht meningkat pada 10 pasien (66,6%), menurun pada 4 pasien (26,6%) dan tetap pada 1 pasien (6,6%). Terdapat 3 pasien dengan peningkatan Ht <3%.

Penelitian oleh Chuang et al (2003) membandingkan penilaian terhadap eritrosit dan reticulosit sebagai parameter status besi. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa evaluasi status besi setelah pemberian suplemen besi intravena dengan menggunakan parameter eritrosit yaitu Hb dan Ht baru dapat dinilai setelah 4 minggu. Sedangkan parameter reticulosit yang digunakan dalam penelitian tersebut, yaitu CHr sudah dapat dinilai pada minggu ke-2 setelah pemberian suplemen besi. Penilaian respon yang lebih cepat terhadap pemberian suplemen besi ini dapat meningkatkan efektivitas pengobatan dan pencegahan terhadap bahaya kelebihan besi. Pada penelitian ini digunakan parameter status besi berdasarkan reticulosit yaitu RET-HE. Prinsip pemeriksaan RET-HE sama dengan CHr yaitu mengestimasi jumlah hemoglobin dalam reticulosit. Terjadi peningkatan RET-HE pada 12 pasien (80%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Miwa et al (2010) dimana dari 12 pasien PGK dengan hemodialisis reguler yang mengalami anemia defisiensi besi, nilai RET-HE meningkat secara signifikan setelah diberikan suplemen besi intravena selama 4 minggu (Miwa et al. 2010). Belum ada rekomendasi yang secara jelas menetapkan nilai cutoff RET-HE untuk diagnosis defisiensi besi. Berbagai penelitian mengajukan nilai yang berbeda-beda antara 25-32,4 pg. Diperlukan penelitian lanjutan dengan sampel yang lebih banyak untuk dapat menetapkan nilai cutoff yang terbaik khususnya untuk pasien hemodialisis di Indonesia.

Studi sebelumnya oleh Miwa et al (2010) melaporkan adanya korelasi yang positif antara RET-HE dengan parameter status besi konvensional. Pada

korelasi antara RET-HE dengan feritin serum maupun ST. Hal ini mungkin disebabkan oleh besar sampel yang sedikit.

Kelemahan penelitian ini antara lain tidak dilakukan evaluasi lebih lanjut kemungkinan penyebab tidak terjadinya peningkatan Hb, Ht dan RET-HE pada beberapa pasien. Bukti adanya kondisi inflamasi kronis tidak diperkuat dengan adanya pemeriksaan petanda inflamasi seperti C-Reactive Protein.

BAB V

Dokumen terkait