• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan Nilai Parameter Status Besi Reticulocyte Hemoglobin Equivalent Setelah Pemberian Suplemen Besi Intravena Pada Pasien Hemodialisis Reguler

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Peningkatan Nilai Parameter Status Besi Reticulocyte Hemoglobin Equivalent Setelah Pemberian Suplemen Besi Intravena Pada Pasien Hemodialisis Reguler"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN NILAI PARAMETER STATUS BESI

RETICULOCYTE HEMOGLOBIN EQUIVALENT SETELAH

PEMBERIAN SUPLEMEN BESI INTRAVENA PADA

PASIEN HEMODIALISIS REGULER

TESIS

Oleh

NAOMI NIARI DALIMUNTHE

097101013

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

PENINGKATAN NILAI PARAMETER STATUS BESI

RETICULOCYTE HEMOGLOBIN EQUIVALENT SETELAH

PEMBERIAN SUPLEMEN BESI INTRAVENA PADA

PASIEN HEMODIALISIS REGULER

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister

Kedokteran Klinik dan Spesialis Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NAOMI NIARI DALIMUNTHE

097101013

(3)

Judul Tesis : Peningkatan Nilai Parameter Status Besi

Reticulocyte Hemoglobin Equivalent Setelah Pemberian Suplemen Besi Intravena Pada Pasien Hemodialisis Reguler

Nama Mahasiswa : Naomi Niari Dalimunthe

Nomor Induk Mahasiswa : 097101013

Program Studi : Magister Kedokteran Klinik-Spesialis Ilmu Penyakit Dalam

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

NIP. 195010111980121001

Dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH

Ketua Program Studi Kepala Departemen Departemen Ilmu Penyakit Dalam Ilmu Penyakit Dalam

dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP

(4)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama : Naomi Niari Dalimunthe

NIM : 097101013

(5)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Naomi Niari Dalimunthe

NIM : 097101013

Program Studi : Magister Kedokteran Klinik dan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam

Jenis Karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas

Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right ) atas tesis saya yang berjudul:

PENINGKATAN NILAI PARAMETER STATUS BESI RETICULOCYTE

HEMOGLOBIN EQUIVALENT SETELAH PEMBERIAN SUPLEMEN BESI INTRAVENA PADA PASIEN HEMODIALISIS REGULER

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-eksklusif

ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola

dalam bentuk database, merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari

saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal : Juni 2014

(6)

Telah diuji

Pada Tanggal :

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH

Anggota : Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH

Dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI

(7)

Telah diuji

Pada Tanggal :

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Lukman Hakim Zain, SpPD-KGEH ...

Anggota : Dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH ...

Dr. Yosia Ginting, SpPD-KPTI ...

(8)

ABSTRAK

Anemia merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK), terutama yang menjalani hemodialisis reguler. Mayoritas anemia tersebut disebabkan oleh defisiensi eritropoetin, namun penyebab lain seperti defisiensi besi juga sering ditemukan. Inflamasi kronis pada pasien PGK dapat menyebabkan kerancuan hasil interpretasi status besi bila menggunakan parameter konvensional yaitu feritin serum dan saturasi transferin (ST). Reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-HE) merupakan parameter baru untuk menilai status besi. RET-HE merepresentasikan rata-rata distribusi kandungan hemoglobin di dalam retikulosit yang merupakan gambaran ketersediaan besi untuk proses eritropoesis di sumsum tulang. Beberapa keunggulan RET-HE antara lain nilainya tidak dipengaruhi oleh kondisi inflamasi, interval evaluasi lebih cepat dengan biaya yang lebih murah.

Penelitian ini bertujuan mengetahui peningkatan nilai RET-HE setelah pemberian suplemen besi intravena pada pasien PGK hemodialisis reguler dengan anemia defisiensi besi.

Penelitian uji klinis tanpa kontrol dilakukan pada 15 pasien PGK hemodialisis reguler dengan anemia defisiensi besi (Hb ≤10 g/dl atau Ht ≤30% dengan feritin serum <100 ng/ml dan/atau ST<20%). Diberikan 100 mg iron sucrose intravena setiap sesi hemodialisis 2x/minggu selama 4 minggu. Selanjutnya dilakukan analisis perbandingan nilai Hb, Ht dan RET-HE sebelum dan setelah intervensi.

Hasil analisis diperoleh nilai rerata Hb, Ht dan RET-HE sebelum intervensi adalah 8,65±1,09 g/dl, 28,02±4,25% dan 29,98±3,85 pg. Setelah intervensi nilai rerata Hb, Ht dan RET-HE menjadi 9,98±1,77 g/dl, 31,76±5,31% dan 32,6±3,24 pg. Peningkatan ini bermakna secara statistik dengan nilai p=0,023, p=0,049 dan p=0,019.

Sebagai kesimpulan, terjadi peningkatan signifikan nilai RET-HE setelah pemberian suplemen besi intravena selama 4 minggu pada pasien PGK hemodialisis reguler dengan anemia defisiensi besi. Peningkatan RET-HE ini sejalan dengan peningkatan Hb dan Ht. Penelitian lanjutan diperlukan untuk menentukan nilai cutoff RET-HE dalam diagnosis defisiensi besi, sehingga parameter ini dapat digunakan dalam praktek klinis di RSUP H Adam Malik Medan.

(9)

ABSTRACT

Anemia is a common complication in patients with chronic kidney disease (CKD), especially those undergoing regular hemodialysis. The mayor cause of anemia is erythropoietin deficiency, but iron deficiency is frequently found. A mayor difficulty encountered in diagnosis iron deficiency using conventional parameters such as serum ferritin and transferrin saturation (TSAT) when iron deficiency occurs simultaneously with chronic inflammation. Reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-HE) is a new parameter for evaluating iron status. RET-HE estimates the amount of hemoglobin in the reticulocyte, which reasonably good reflection of how much iron was available for erythropoesis in bone marrow. RET-HE is advantageous in that it has no interference with inflammatory conditions, has faster response from iron therapy and lower cost compare to conventional parameters.

The aim of the present study was to assess the improvement of RET-HE after administration of iron supplement in regular hemodialysis patients with iron deficiency anemia.

In this uncontrolled clinical study, 15 regular hemodialysis patients with iron deficiency anemia (Hb ≤10 g/dl or Ht ≤30% with serum ferritin <100 ng/ml and/or TSAT <20%) received 100 mg iron sucrose intravenous during every dialysis session (2x/weeks) for 4 weeks. The changes in Hb, Ht and RET-HE after the intervention were analyzed.

Mean Hb, Ht and RET-HE before intervention were 8,65±1,09 g/dl, 28,02±4,25% and 29,98±3,85 pg, respectively. After intervention they were 9,98±1,77 g/dl, 31,76±5,31% and 32,6±3,24 pg, respectively. This changes were statistically significant with p=0,023, p=0,049 and p=0,019, respectively.

In conclusion, RET-HE was significantly higher after administration of intravenous iron supplement for 4 weeks in regular hemodialysis patients with iron deficiency anemia. These changes were also found in Hb and Ht. Future studies are needed to determine cutoff level of RET-HE to diagnose iron deficiency so that it could be used in daily clinical practice in Adam Malik Hospital Medan.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis

pada Program Magister Kedokteran Klinik dan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam di

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Selama mengikuti pendidikan dan proses penyelesaian penelitian untuk

tesis ini, penulis telah mendapat banyak bimbingan, petunjuk, bantuan, arahan

serta dorongan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Untuk itu

perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih dan hormat yang tiada

terhingga kepada :

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar

A Siregar, SpPD-KGEH yang telah memberikan izin dan menerima penulis untuk

mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik dan Spesialis Ilmu Penyakit

Dalam di FK USU.

Direktur RSUP H Adam Malik dan Direktur RSUP Dr. Pirngadi Medan

yang telah memberikan kemudahan dan izin menggunakan fasilitas dan sarana

rumah sakit untuk menunjang pendidikan dan penelitian.

dr. Salli R Nasution, SpPD-KGH selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FK USU yang telah memberikan bimbingan, kemudahan dan perhatian

yang besar selama penulis mengikuti pendidikan.

dr. Zulhelmi Bustami, SpPD-KGH dan dr. Zainal Safri, SpPD, SpJP

sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Dalam yang telah

senantiasa membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis selama mengikuti

pendidikan.

dr. Abdurrahim R Lubis, SpPD-KGH selaku Kepala divisi Nefrologi dan

Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan sebagai pembimbing pertama

(11)

yang dapat penulis berikan semoga kiranya Allah SWT dapat melimpahkan berkat

yang berlimpah kepada mereka beserta keluarga.

Rasa terima kasih dan hormat penulis sampaikan kepada seluruh staf

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU khususnya divisi Nefrologi dan

Hipertensi kepada Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH, Prof. dr. Yusuf

Nasution, SpPD-KGH, dr. Syafrizal Nasution, SpPD dan para senior peserta

PPDS-II Nefrologi dan Hipertensi, dr. Rahmawati, SpPD, dr. Alwi Thamrin,

SpPD, dr. Chairil Anwar, SpPD dan dr. Abdullah, SpPD.

Kepada Kepala Instalasi Hemodialisis RSUP H Adam Malik, dr. Salli R

Nasution, SpPD-KGH, Kepala Ruangan Hemodialisis RSUP H Adam Malik,

Hj. Suriaty Skep, NERS beserta seluruh perawat hemodialisis, penulis

menyampaikan terimakasih atas izin, kemudahan dan bantuan selama pelaksanaan

penelitian. Serta kepada pasien hemodialisis yang bersedia ikut serta dalam

penelitian ini penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga hasil

penelitian ini dapat memberikan manfaat.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para Guru Besar di

Lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU Prof. dr. Bachtiar Fanani

Lubis, SpPD-KHOM, Prof. dr. Habibah Hanum, SpPD-KPsi, Prof. dr. Sutomo

Kasiman, SpPD, SpJP, Prof. dr. OK. Moehadsyah, SpPD-KR, Prof. dr. Lukman

Hakim Zain, SpPD-KGEH, Prof. dr. Abdul Majid, SpPD-KKV, Prof. Dr. Harris

Hasan, SpPD, SpJP, Prof. dr. Harun Al Rasyid Damanik, SpPD-KGK, yang telah

memberikan bimbingan dan teladan selama penulis menjalani pendidikan.

Kepada seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU,

para guru penulis DR. dr. Dharma Lindarto, SpPD-KEMD, DR. dr. Juwita

Sembiring, SpPD-KGEH, DR. dr. Blondina Marpaung, SpPD-KR, DR. dr.

Rustam Effendi YS, SpPD-KGEH, dr. Mardianto, SpPD-KEMD, dr. Santi

Syafril, SpPD-KEMD, dr. Mabel Sihombing, SpPD-KGEH, dr. Leonardo Basa

(12)

Lubis, SpPD, dr. Fransiscus Ginting, SpPD, dr. T. Abraham, SpPD, dr. Daud

Ginting, SpPD, dr. Hariyani Adin, SpPD, dr. Suhartono, SpPD, dr. Asnawi Arief,

SpPD, dr. Saut Marpaung, SpPD, dr. Endang, SpPD, dr. Meutia, SpPD, dr.

Jerahim Tarigan, SpPD, dr. Ameliana Purba, SpPD, dr. Bastanta, SpPD, dr. Ida

Nenci, SpPD, dr. Deske Muhadi, SpPD, dr. Anita R Dalimunthe, SpPD, dr. Lenny

Sihotang, SpPD, dr. Radar Tarigan, SpPD, dr. Taufik Sungkar, SpPD, dr. Imelda

Rey, SpPD, dr. Henny Safitri, SpPD, dr. T. Realsyah, SpPD, dr. Wika Lubis,

SpPD, dr. Aryanto pUrba, SpPD, dr. Dina Aprilia, SpPD, dr. Melati S Nasution,

SpPD, dr. Aron Pase, SpPD, dr. Sumi Ramadhani, SpPD, dr. Restuti H Saragih,

SpPD serta para guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,

penulis hanturkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga atas kesabaran

dan perhatiannya senantiasa membimbing penulis selama mengikuti pendidikan.

Rasa terima kasih penulis ucapkan kepada para senior dan rekan-rekan

PPDS Ilmu Penyakit Dalam serta teman-teman seangkatan dr. Katharine , dr. Sari

Harahap, dr. Bayu Rusfandi Nasution, dr. Elisabet Sipayung, dr. Junita M.Kes, dr.

Ratna Karmila, dr. Ester Silalahi, dr. Nelila Fitriani Siregar, dr. Herlina Yani, dr.

Riki Muljadi, dr. M. Budiman, dr. Doharjo Manulang, dr. Agustina, dr. Wirandi

Dalimunthe, dr. M. Azhari serta dr. Faisal Parlindungan, dr. Andri I Mardia, dr.

Meivina R Pane, dr. Dian A Lubis, dr. Siti Fatimah Hasibuan, dr. Nurfatimah I

Ritonga dan seluruh rekan seperjuangan peserta PPDS Ilmu Penyakit Dalam FK

USU, yang telah mengisi hari-hari penulis dengan persahabatan, kerja sama,

keceriaan, dan kekompakan dalam menjalani kehidupan sebagai residen.

Kepada seluruh pegawai administrasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FK USU Syarifuddin Abdullah, Lely Husna, Deni, Wanti, Erjan dan Ali, dan

seluruh pegawai lainnya yang telah banyak membantu memfasilitasi dalam

menyelesaikan proses pendidikan, penulis ucapkan terima kasih.

Kepada kedua orang tua penulis Prof. dr. Darwin Dalimunthe, PhD dan dr.

Ria Masniari Lubis, Msi yang penulis sayangi, tiada kata yang paling tepat untuk

mengungkapkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala

(13)

Kepada berbagai pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu

pada kesempatan ini penulis ucakan terimakasih yang setulus-tulusnya. Izinkanlah

penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak yang terkait atas

segala kekurangan dan kesalahan selama penulis mengikuti Pendidikan Program

Spesialis Ilmu Penyakit Dalam dan penulisan tesis ini. Semoga tulisan ini dapat

bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2014

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak... i

Abstract... ii

Kata Pengantar... iii

Daftar Isi... vii

Daftar Tabel... viii

Daftar Gambar... ix

Daftar Singkatan dan Lambang... x

Daftar Lampiran... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah... 3

1.3 Hipotesis... 3

1.4 TujuanPenelitian... 3

1.5 Manfaat Penelitian... 3

1.6 Kerangka Konseptual... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia pada Penyakit Kronis... 4

2.2 Terapi ESA dan Defisiensi Besi... 4

2.3 Keterbatasan Parameter Konvensional dalam Menilai Status Besi... 5 2.4 RET-HE... 7

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian... 10

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 10

3.3 Populasi Terjangkau... 10

3.4 Kriteria Inklusi... 10

3.5 Kriteria Eksklusi... 10

3.6 Besar Sampel... 10

3.7 Cara Penelitian... 11

3.8 Definisi Operasional... 12

3.9 Analisis Data... 13

3.10 Kerangka Operasional... 13

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian... 14

4.2 Pembahasan... 17

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 23

5.2 Saran... 23

DAFTAR KEPUSTAKAAN... 24

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Penyebab Anemia pada PGK... 4 2.2 Rekomendasi Penatalaksanaan Anemia pada PGK dengan

Hemodialisis...

7

2.3 Sensitivitas dan Spesifisitas Parameter Status besi... 7 4.1 Karakteristik Data Dasar... 15

4.2 Perbandingan Hasil Penelitian Sebelum dan Setelah

Pemberian Suplemen Besi Intravena...

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Kerangka Konseptual... 3 2.1 Panduan Terapi ESA pada Pasien PGK yang Menjalani

Hemodialisis...

6

3.1 Kerangka Operasional... 13 4.1 Alur Penelitian... 14 4.2 Perubahan Rerata Hb, Ht dan RET-HE Sebelum dan Setelah

Pemberian Besi Intravena...

16

4.3 Grafik Nilai Hb dan RET-HE; A. Sebelum, B. Setelah Pemberian Suplemen Besi Intravena...

16

4.4 Grafik Korelasi; A. RET-HE dan Feritin Serum, B. RET-HE dan ST...

(17)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN Nama Pemakaian

pertama kali pada halaman

PGK Penyakit Ginjal Kronis 1

ESA Erythropoesis Stimulating Agent 1

KBS Kadar Besi Serum 1

CHr Reticulocyte hemoglobin content 2

RET-HE Reticulocyte Hemoglobin

Equivalent

2

ST Saturasi Transferin 5

TIBC Total Iron Binding Capacity 5

pg Pico gram 8

Hb Hemoglobin 11

Ht Hematokrit 11

ng nanogram 12

MCV Mean Corpuscular Volume 15

MCH Mean Corpuscular Haemoglobin 15

SD Standar Deviasi 15

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Persetujuan Komisi Etik Penelitian... 26

2 Lembaran Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian... 27

3 Surat Persetujuan Setelah Penjelasan... 29

4 Kertas Kerja Profil Peserta Penelitian... 30

5 Data Hasil Penelitian... 31

6 Analisis Statistik - Uji Beda Mean... 32

7 Analisis Statistik – Korelasi... 33

(19)

ABSTRAK

Anemia merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (PGK), terutama yang menjalani hemodialisis reguler. Mayoritas anemia tersebut disebabkan oleh defisiensi eritropoetin, namun penyebab lain seperti defisiensi besi juga sering ditemukan. Inflamasi kronis pada pasien PGK dapat menyebabkan kerancuan hasil interpretasi status besi bila menggunakan parameter konvensional yaitu feritin serum dan saturasi transferin (ST). Reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-HE) merupakan parameter baru untuk menilai status besi. RET-HE merepresentasikan rata-rata distribusi kandungan hemoglobin di dalam retikulosit yang merupakan gambaran ketersediaan besi untuk proses eritropoesis di sumsum tulang. Beberapa keunggulan RET-HE antara lain nilainya tidak dipengaruhi oleh kondisi inflamasi, interval evaluasi lebih cepat dengan biaya yang lebih murah.

Penelitian ini bertujuan mengetahui peningkatan nilai RET-HE setelah pemberian suplemen besi intravena pada pasien PGK hemodialisis reguler dengan anemia defisiensi besi.

Penelitian uji klinis tanpa kontrol dilakukan pada 15 pasien PGK hemodialisis reguler dengan anemia defisiensi besi (Hb ≤10 g/dl atau Ht ≤30% dengan feritin serum <100 ng/ml dan/atau ST<20%). Diberikan 100 mg iron sucrose intravena setiap sesi hemodialisis 2x/minggu selama 4 minggu. Selanjutnya dilakukan analisis perbandingan nilai Hb, Ht dan RET-HE sebelum dan setelah intervensi.

Hasil analisis diperoleh nilai rerata Hb, Ht dan RET-HE sebelum intervensi adalah 8,65±1,09 g/dl, 28,02±4,25% dan 29,98±3,85 pg. Setelah intervensi nilai rerata Hb, Ht dan RET-HE menjadi 9,98±1,77 g/dl, 31,76±5,31% dan 32,6±3,24 pg. Peningkatan ini bermakna secara statistik dengan nilai p=0,023, p=0,049 dan p=0,019.

Sebagai kesimpulan, terjadi peningkatan signifikan nilai RET-HE setelah pemberian suplemen besi intravena selama 4 minggu pada pasien PGK hemodialisis reguler dengan anemia defisiensi besi. Peningkatan RET-HE ini sejalan dengan peningkatan Hb dan Ht. Penelitian lanjutan diperlukan untuk menentukan nilai cutoff RET-HE dalam diagnosis defisiensi besi, sehingga parameter ini dapat digunakan dalam praktek klinis di RSUP H Adam Malik Medan.

(20)

ABSTRACT

Anemia is a common complication in patients with chronic kidney disease (CKD), especially those undergoing regular hemodialysis. The mayor cause of anemia is erythropoietin deficiency, but iron deficiency is frequently found. A mayor difficulty encountered in diagnosis iron deficiency using conventional parameters such as serum ferritin and transferrin saturation (TSAT) when iron deficiency occurs simultaneously with chronic inflammation. Reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-HE) is a new parameter for evaluating iron status. RET-HE estimates the amount of hemoglobin in the reticulocyte, which reasonably good reflection of how much iron was available for erythropoesis in bone marrow. RET-HE is advantageous in that it has no interference with inflammatory conditions, has faster response from iron therapy and lower cost compare to conventional parameters.

The aim of the present study was to assess the improvement of RET-HE after administration of iron supplement in regular hemodialysis patients with iron deficiency anemia.

In this uncontrolled clinical study, 15 regular hemodialysis patients with iron deficiency anemia (Hb ≤10 g/dl or Ht ≤30% with serum ferritin <100 ng/ml and/or TSAT <20%) received 100 mg iron sucrose intravenous during every dialysis session (2x/weeks) for 4 weeks. The changes in Hb, Ht and RET-HE after the intervention were analyzed.

Mean Hb, Ht and RET-HE before intervention were 8,65±1,09 g/dl, 28,02±4,25% and 29,98±3,85 pg, respectively. After intervention they were 9,98±1,77 g/dl, 31,76±5,31% and 32,6±3,24 pg, respectively. This changes were statistically significant with p=0,023, p=0,049 and p=0,019, respectively.

In conclusion, RET-HE was significantly higher after administration of intravenous iron supplement for 4 weeks in regular hemodialysis patients with iron deficiency anemia. These changes were also found in Hb and Ht. Future studies are needed to determine cutoff level of RET-HE to diagnose iron deficiency so that it could be used in daily clinical practice in Adam Malik Hospital Medan.

(21)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Anemia merupakan komplikasi yang kerap terjadi pada pasien dengan

penyakit ginjal kronis (PGK), terlebih lagi pada yang menjalani hemodialisis.

Koreksi terhadap anemia memberikan banyak manfaat diantaranya perbaikan

kemampuan fungsi fisik, kognitif, kardiovaskular, meningkatkan kualitas hidup,

menurunkan angka rawatan di rumah sakit, dan tentunya menurunkan angka

mortalitas (Butarello et al. 2010). Berkurangnya produksi eritropoetin merupakan

penyebab utama anemia pada PGK (Lubis HR et al. 2001).

Selain kondisi anemia, keadaan defisiensi besi juga kerap terjadi pada

pasien hemodialisis. Kondisi ini terjadi baik karena penyebab absolut seperti

malnutrisi, perdarahan saluran cerna, darah yang tertahan di alat dialiser,

seringnya pengambilan darah, dan juga karena penyebab fungsional yaitu

keterbatasan aktivitas eritropoesis sumsum tulang untuk memobilisasi cadangan

besi yang ada dalam tubuh (Butarello et al. 2010).

Untuk mengatasi hal

ini erythropoesis stimulating agent (ESA) diberikan pada pasien yang menjalani

hemodialisis.

Defisiensi besi berpengaruh pada efektivitas terapi ESA (Fisbane et al.

2001). Oleh karena itu sebelum ESA diberikan harus dipastikan terlebih dahulu

bahwa status besi dalam tubuh pasien cukup, bila ternyata dijumpai keadaan

defisiensi besi maka suplemen besi intravena akan diberikan (Kaneko et al. 2003).

Pemberian suplemen besi terutama melalui jalur intravena ini memiliki resiko

diantaranya reaksi anafilaksis, hemosiderosis, disfungsi hepar dan sistem

kardiovaskular, penurunan fungsi leukosit dan meningkatkan resiko infeksi (Wish

JB 2006). Oleh karena itu pemberiannya selektif hanya pada pasien tertentu yang

(22)

ini dalam menilai status besi, sebab selain ketiganya merupakan parameter tidak

langsung, feritin serum termasuk protein fase akut yang nilainya akan meningkat

pada penyakit inflamasi kronis seperti uremia, sementara KBS nilainya

berfluktuasi sepanjang hari (Wish JB 2006).

Berbagai penelitian dilakukan untuk menemukan parameter terbaik dalam

menilai status besi, diantaranya percentage of hypochromic erythrocytes

(%HYPO), reticuloyte hemoglobin content (CHr), soluble transferin receptor

(sTfR), erythrocyte zinc protoporphyrin (Er-ZPP), dan reticulocyte hemoglobin

equivalent (RET-HE) (Tessitore et al. 2001).

RET-HE merepresentasikan nilai rata-rata distribusi kandungan

hemoglobin (hemoglobin content) di dalam reticulosit yang dapat

menggambarkan ketersediaan besi dalam proses eritropoesis di sumsum tulang

dalam beberapa hari terakhir (Miwa et al. 2010). Dengan demikian merupakan

penilaian langsung yang dapat menyatakan status besi. Selain itu pengukuran nilai

RET-HE bersamaan dengan pemeriksaan darah rutin dan retikulosit, sehingga

lebih sederhana dan biaya yang diperlukan lebih murah.

Beberapa studi sebelumnya telah melaporkan kegunaan RET-HE sebagai

parameter untuk evaluasi status besi. Studi oleh Brugnara et al (2006) yang

membandingkan parameter konvensional (KBS, TIBC, feritin serum) dengan

RET-HE, diperoleh hasil RET-HE dapat digunakan untuk mendiagnosis defisiensi

besi dengan sensitivitas 93,3% dan spesifisitas 83,2%. Studi oleh Miwa et al

(2010) melaporkan bahwa RET-HE memiliki kemampuan yang sama dengan CHr

untuk evaluasi status besi, dengan nilai sensitivitas 74,3% dan spesifisitas 64,9%,

hasil lain yang juga diperoleh bahwa RET-HE dapat digunakan untuk evaluasi

perbaikan status besi pasien yang mendapat terapi suplemen besi.

Berdasarkan uraian di atas, ingin diteliti kemampuan RET-HE sebagai

parameter alternatif untuk menilai defisiensi besi pada pasien hemodialisis.

Sementara studi

oleh Buttarello et al(2010) yang membandingkan parameter biokimia dan selular

sebagai prediktor defisiensi besi, diperoleh hasil bahwa RET-HE dapat digunakan

(23)

Pasien PGK dengan hemodialisis reguler

Eritropoetin↓↓

anemia

Defisiensi besi ESA

Suplemen besi 1.2Perumusan Masalah

Apakah terjadi peningkatan nilai RET-HE setelah pemberian suplemen

besi pada pasien hemodialisis reguler.

1.3Hipotesis

Terjadi peningkatan nilai RET-HE setelah pemberian suplemen besi pada

pasien hemodialisis reguler.

1.4Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui peningkatan nilai RET-HE setelah pemberian suplemen

besi pada pasien hemodialisis reguler.

1.5Manfaat Penelitian

1. Parameter RET-HE dapat menjadi alternatif parameter konvensional yang

telah digunakan selama ini, dengan pemeriksaan yang lebih sederhana,

biaya yang lebih murah dan hasil yang lebih akurat.

2. Pemantauan efektivitas pemberian suplemen besi dapat dilakukan lebih

cepat (4 minggu).

1.6Kerangka Konseptual

Gambar 1.1 Kerangka Konseptual

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anemia pada Penyakit Kronis

Anemia dijumpai pada sebagian besar pasien dengan PGK. Penyebab

utama adalah berkurangnya produksi eritropoetin (Buttarello et al. 2010). Namun

anemia juga dapat disebabkan oleh penyebab lainnya. Oleh karena itu diperlukan

evaluasi laboratorium untuk mencari penyebab lain terutama apabila derajat

anemia tidak sebanding dengan defisit fungsi ginjal, adanya tanda defisiensi besi,

adanya leukopenia dan trombositopenia. Beberapa penyebab anemia pada PGK

antara lain:

Tabel 2.1 Penyebab Anemia pada PGK (Lubis HR et al. 2001)

No Penyebab anemia pada PGK 1 Defisiensi eritropoetin 2 Defisiensi besi

3 Kehilangan darah (flebotomi berulang, retensi darah pada dialiser, perdarahan saluran cerna)

4 Hiperparatiroid berat 5 Inflamasi akut atau kronis 6 Toksisitas aluminium 7 Defisiensi asam folat

8 Masa hidup eritrosit yang pendek 9 Hipotiroid

10 Hemoglobinopati

PGK, penyakit ginjal kronis

2.2 Terapi ESA dan Defisiensi Besi

Penyebab utama anemia pada PGK adalah defisiensi eritropoetin, maka

terapi rasional adalah dengan pemberian ESA. Namun sering terjadi kegagalan

terapi dimana setelah pemberian ESA tidak terjadi perbaikan dari status anemia

pasien PGK, salah satu penyebabnya adalah defisiensi besi (Fisbane et al. 2001).

ESA merangsang sumsum tulang meningkatkan eritropoesis dengan tujuan

meningkatkan jumlah hemoglobin. Sementara besi merupakan salah satu bahan

(25)

Pada pasien PGK terutama yang mendapat terapi ESA bisa terjadi

defisiensi besi yang absolut maupun fungsional. Defisiensi besi absolut ditandai

dengan nilai ST <20% atau feritin serum <100 ng/ml, hal ini terjadi akibat

meningkatnya kehilangan darah, darah tertinggal di alat dialiser, seringnya

pengambilan sampel darah, perdarahan saluran cerna, pembedahan berulang untuk

akses vaskular ataupun karena menurunnya absorpsi besi di saluran cerna akibat

restriksi diet, kurangnya konsumsi makanan yang banyak mengandung besi

(Brugnara et al. 2006).

Sementara defisiensi besi fungsional (relatif) terutama terjadi pada pasien

PGK yang mendapat terapi ESA, dimana ESA akan meningkatkan laju produksi

eritrosit di sumsum tulang, sehingga kebutuhan akan besi meningkat, sementara

kemampuan transpor besi dari tempat cadangan besi ke sumsum tulang tidak

dapat mengimbangi laju eritropoesis. Hal ini ditandai dengan nilai ST <20%

namun feritin serum bisa normal atau meningkat (Maconi et al. 2009). Pada

keadaan ini sebenarnya cadangan besi dalam tubuh cukup, namun terjadi

gangguan dalam transpor besi. Pada kasus yang ekstrem dapat terjadi blokade

transpor besi dari organ tempat penyimpanan besi (organ reticuloendotelial)

dimana dalam keadaan inflamasi ataupun infeksi akut dan kronis, cadangan besi

tidak dapat ditranspor oleh transferin. Akibatnya ST rendah, sedangkan feritin

serum meningkat. Dengan demikian penggunaan parameter konvensional ini akan

menimbulkan keraguan, apakah pasien benar dalam keadaan defisiensi besi atau

tidak serta memerlukan suplemen besi atau tidak (Piva et al. 2010).

2.3 Keterbatasan Parameter Konvensional dalam Menilai Status Besi

Rekomendasi yang ada saat ini masih menggunakan parameter

konvensional dalam menilai status besi dan target terapi besi. Feritin serum

menyatakan cadangan protein dalam tubuh namun juga merupakan protein fase

akut yang nilainya akan meningkat pada keadaan inflamasi akut maupun kronis.

Keadaan uremia pada pasien PGK dengan hemodialisis juga merupakan kondisi

(26)

transferin-yang juga sebagai protein fase akut, sehingga pada keadaan inflamasi

nilai ST dapat turun (Wish JB 2006). Nilai transfrerin rendah bila sintesisnya

berkurang, misalnya pada keadaan malnutrisi atau penyakit kronis lainnya. ST

juga memiliki nilai variasi diurnal yang menyulitkan interpretasi hasil apabila

waktu pengambilan sampel darah berubah-ubah (Buttarello et al. 2010).

Pada pasien PGK dengan hemodialisis, sering ditemui keadaan dimana ST

rendah dan feritin serum tinggi karena terjadi defisiensi besi fungsional atau

blokade transpor besi dari organ retikuloendotelial (Wish JB 2006). Hal ini

menyebabkan adanya dilema dalam memutuskan pemberian suplemen besi.

Diperlukan pertimbangan yang matang antara manfaat dan kerugian yang timbul

(27)

Dari beberapa penelitian yang mencoba mengkaji nilai diagnostik dari

parameter konvensional ini, diperoleh kesimpulan bahwa nilai ST <20% memiliki

sensitivitas yang baik untuk menyatakan defisiensi besi, namun nilai feritin serum

baik 100 ataupun 200 ng/ml tidak menunjukkan sensitivitas yang baik (Wish JB

2006).

2.4 RET-HE

Berdasarkan berbagai pertimbangan keterbatasan dan kelemahan parameter

konvensional dalam menilai status besi maka berbagai penelitian dilakukan untuk

menemukan parameter baru yang dapat lebih baik dalam menilai status besi

pasien. Beberapa parameter yang telah dikembangkan sampai saat ini antara lain

percentage of hypochromic erythrocytes (%HYPO), reticuloyte hemoglobin

content (CHr), soluble transferin receptor (sTfR), erythrocyte zinc protoporphyrin

Tabel 2.2 Rekomendasi Penatalaksanaan Anemia pada PGK dengan Hemodialisis Reguler (Butarello et al. 2010)

(28)

Namun sampai saat ini parameter baru yang telah masuk ke dalam rekomendasi

NKF-KDOQI (2006) adalah CHr.

RET-HE memiliki prinsip yang sama namun tidak identik dengan CHr

dalam menilai status besi. Kedua parameter ini mengestimasi jumlah hemoglobin

di dalam retikulosit. Retikulosit adalah “calon” eritrosit matang yang beredar di

darah tepi. Dalam 1-2 hari setelah dilepaskan dari sumsum tulang retikulosit akan

menjadi eritrosit matang (Piva et al. 2010). Oleh karena itu pemeriksaan ini dapat

memberikan gambaran banyaknya besi yang tersedia di dalam sumsum tulang

untuk proses eritropoesis dalam beberapa hari terakhir (Kaneko et al. 2003).

Selain itu parameter ini juga dapat memonitor respon awal terapi besi intravena

dan dapat mencegah resiko overload besi dalam tubuh (Buttarello et al. 2004).

Beberapa penelitian menyatakan respon terhadap pemberian suplemen besi sudah

dapat dinilai pada minggu ke-2 atau ke-4 setelah memulai pemberian suplemen

besi intravena (Chuang et al. 2003). Sementara bila menggunakan parameter

konvensional pedoman NKF-KDOQI (2006) menganjurkan tiap 3 bulan sekali.

Beberapa penelitian telah membuktikan adanya korelasi yang positif antara

RET-HE dengan CHr (Frank S et al. 2004). Nilai CHr hanya dapat diperoleh

apabila pemeriksaan darah dilakukan menggunakan Bayer ADVIA hematology

analyser (Siemens Healthcare Diagnostic Inc.) (Fukui et al. 2002), sementara

RET-HE dapat diperiksa menggunakan alat pemeriksaan darah lengkap

berdasarkan prinsip flourescence flow cytometer yang lebih banyak digunakan di

berbagai laboratorium dengan menambahkan aplikasi perangkat lunak XE

RET-Master (Frank et al. 2004).

Dengan demikian penggunaan RET-HE dapat meminimalisir resiko terjadinya

overload akibat pemberian suplemen besi (Urrechaga et al. 2010).

Sampai saat ini belum ada rekomendasi yang menetapkan nilai cutoff

RET-HE untuk diagnosis defisiensi besi. Nilai normal berada dalam interval

28,2-38,6 pg dan secara umum dianggap <26 pg dapat menyatakan defisiensi besi pada

pasien PGK dengan hemodialisis. Canals et al (2005) melaporkan RET-HE

(29)

(2006) melaporkan dengan nilai cutoff 27,2 pg diperoleh sensitivitas 93,3% dan

spesifisitas 83,2%. Grazia et al (2007) melaporkan bahwa nilai cutoff 30,5 pg

terbaik untuk diagnosis defisiensi besi. Maconi et al (2009) melaporkan nilai

cutoff RET-HE 29,4 pg memiliki kemampuan diagnosis 97,5%.

RET-HE merupakan parameter yang mudah, murah dan memiliki

kemampuan diagnostik yang baik dalam diagnosis defisiensi besi serta dapat

secara dini menilai efektivitas pemberian suplemen besi. Pemeriksaan ini dapat

dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan darah lengkap dan diharapkan nantinya

dapat termasuk parameter yang direkomendasikan untuk penilaian status besi

pada pasien PGK dengan hemodialisis reguler.

Studi oleh Miwa

et al(2010) melaporkan dengan nilai cutoff 33,0 pg diperoleh sensitivitas 74% dan

spesifisitas 64,9%. Urrechaga et al(2010) melaporkan nilai cutoff 32,4 pg terbaik

untuk diagnosis defisiensi besi pada pasien PGK dengan hemodialisis. Buttarello

(30)

(

)

2

Penelitian dilaksanakan secara uji klinis tanpa kontrol (Dawson et al. 2001)

3.2Waktu dan Tempat enelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2011 di Instalasi

Hemodialisis RSUP H Adam Malik dengan persetujuan Komisi Etik Penelitian

FK USU. Pengambilan dan pemeriksaan sampel darah dilaksanakan oleh

Laboratorium Patologi Klinik RSUP H Adam Malik.

3.3 Populasi Terjangkau

Pasien PGK yang menjalani hemodialisis >3 bulan di Instalasi

Hemodialisis RSUP H Adam Malik.

3.4Kriteria Inklusi

Subjek menerima informasi serta memberikan persetujuan ikut serta dalam

penelitian secara sukarela dan tertulis (informed consent).

3.5Kriteria Eksklusi

a. Mendapat suplemen besi baik oral maupun intravena 3 bulan terakhir.

b. Episode perdarahan yaitu kejadian perdarahan (muntah darah, buang

air besar berdarah, mimisan, gusi berdarah) yang diketahui oleh pasien

atau yang tercatat dalam rekam medis dalam 4 minggu terakhir.

c. Mendapat transfusi darah (whole blood atau packed red cell) yang

tercatat dalam rekam medis dalam 4 minggu terakhir.

d. Bukti infeksi yaitu adanya peningkatan leukosit >11.000/mm3

e. Bukti keganasan yang tercatat dalam rekam medis.

saat

pemeriksaan data awal penelitian.

3.6Besar Sampel

Untuk memperkirakan besar sampel dipergunakan rumus sampel dari dua

kelompok berpasangan (Dahlan et al. 2005):

(31)

Zβ : derivat baku β : kesalahan tipe II : 20% : 0,842 S : simpangan baku RET-HE pada studi sebelumnya

(Miwa et al. 2010)

: 4

X1-X2

Maka dari perhitungan diperoleh n: 7

: selisih rerata minimal yang dianggap bermakna : 4

Untuk antisipasi sejumlah sampel yang drop out (DO) selama perlakuan

dan pengamatan digunakan rumus (Madiyono et al. 2008):

Keterangan :

n : jumlah sampel minimal yang diperlukan

f : perkiraan proporsi drop out (DO) = 20%

maka dari perhitungan rumus diperoleh jumlah sampel minimal = 10 3.7Cara Penelitian

Terhadap seluruh pasien yang termasuk dalam penelitian diminta

memberikan persetujuan tertulis (informed consent) dan dilakukan pemeriksaan

serta intervensi sebagai berikut :

a. Pengumpulan data pasien dari rekam medis, yaitu umur, jenis kelamin,

saat mulai menjalani hemodialisis, riwayat transfusi darah, riwayat

penggunaan ESA maupun penggunaan preparat besi.

b. Pengambilan sampel darah dilakukan sebelum sesi hemodialisis

dimulai. Sampel darah sebanyak 10 ml diambil melalui vena punksi

dari vena mediana cubiti pada tangan yang tidak terpasang

artery-venous shunt. Sampel darah ini digunakan untuk pemeriksaan darah

rutin, feritin serum, KBS, TIBC dan RET-HE.

c. Dilakukan analisis terhadap hasil laboratorium. Apabila pasien

memenuhi kriteria anemia defisiensi besi (Hb ≤10 g/dl atau Ht ≤30% dan ST <20% dan/atau feritin serum <100 ng/ml) diberikan suplemen

besi (100 mg iron sucrose) intravena setiap sesi hemodialisis

(32)

3.8Definisi operasional

a. Usia : berdasarkan yang tertera pada rekam medis dengan

satuan tahun

b. Jenis kelamin : berdasarkan yang tertera pada rekam medis dengan hasil

pria atau wanita

c.

PGK-Hemodialisis

reguler

: berdasarkan data dari rekam medis yang menyatakan

diagnosis PGK dan telah menjalani hemodialisis selama

>3 bulan

d. Kadar Hb : hasil pemeriksaan kadar Hb dalam plasma darah dengan

satuan g/dl. Menggunakan metode SLS (Sodium Laurel

Sulphate) dengan nilai normal wanita 14±2 g/dl, pria

15,5±2 g/dl

e. Kadar Ht : hasil pemeriksaan kadar Ht dalam plasma darah dengan

satuan %. Diperiksa menggunakan metode SLS (Sodium

Laurel Sulphate) dengan nilai normal wanita 41±5%,

pria 47±6%

f. Kadar KBS : hasil pemeriksaan kadar KBS dalam plasma darah

dengan satuan µg/dl. Diperiksa dengan metode

Guanidine/Ferrozine dengan nilai normal wanita 37-145

µg/dl, pria 61-157 µg/dl

g. Kadar TIBC : hasil pemeriksaan kadar TIBC dalam plasma darah

dengan satuan µmol/L. Diperiksa dengan metode

Guanidine/Ferrozine, nilai normal 112-346 µmol/L

h. ST : hasil pembagian nilai KBS/TIBC, dalam %

i. Kadar feritin

serum

: hasil pemeriksaan kadar feritin dalam plasma darah

dengan satuan ng/ml. Diperiksa dengan metode electro

chemiluminescence immunoassay (ECLIA) dengan nilai

normal 15-300 ng/ml

(33)

3.9Analisis Data

a. Untuk menampilkan gambaran deskriptif data dasar pasien digunakan

sistem tabulasi.

b. Untuk menilai tingkat perbedaan kadar Hb, Ht dan RET-HE sebelum dan

setelah intervensi besi digunakan paired sample t-test.

c. Untuk menyatakan hubungan antara variabel (RET-HE-feritin serum dan

RET-HE-ST) digunakan uji korelasi Pearson.

d. Nilai p<0,05 dinyatakan signifikan.

3.10 Kerangka Operasional k. Suplemen

besi

intravena

: preparat iron sucrose 100 mg yang diberikan secara

intravena pada setiap sesi hemodialisis (2x/minggu)

selama 4 minggu.

Pasien PGK dengan hemodialisis reguler

• Hb ≤10 g/dl atau Ht ≤30% dan

• feritin serum <100 ng/ml atau ST <20%

Tanpa defisiensi besi Pemeriksaan

darah rutin, feritin serum, ST RET-HE

Suplemen besi 100mg iron sucrose intravena setiap sesi hemodialisis (2x/minggu) selama 4 minggu

Analisis korelasi

• RET-HE- feritin serum

• RET-HE- ST

(34)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Telah dilakukan penelitian dengan metode uji klinis tanpa kontrol di

Instalasi Hemodialisis RSUP H Adam Malik pada bulan April-Mei 2011.

Dilakukan screening darah rutin dan profil status besi terhadap seluruh pasien

hemodialisis di instalasi tersebut. Terdapat 72 pasien yang memenuhi kriteria

inklusi. Dari keseluruhan pasien ini, 54 pasien (75%) menderita anemia dan 16

pasien (29,6%) diantaranya dengan defisiensi besi. Sehingga diperoleh subjek

penelitian yang memenuhi persyaratan sebanyak 16 orang, namun 1 orang loss of

follow up.

4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Subjek penelitian berjumlah 15 orang, terdiri dari 14 orang laki-laki

(35)

Parameter n= 15

Umur (tahun)* 49,33±11,93

Pria (orang) 14

Feritin (ng/ml)* 513,86±732,89

ST (%)* 16,02±3,58

*Data dinyatakan dalam x±SB; SB, simpangan baku

4.1.2 Pengaruh Pemberian Suplemen Besi Intravena

Setelah pemberian suplemen besi intravena 100 mg iron sucrose setiap

sesi hemodialisis selama 4 minggu dilakukan penilaian laboratorium kembali,

yaitu nilai Hb, Ht dan RET-HE. Diperoleh hasil nilai rerata Hb adalah 9,98 g/dl,

Ht 31,76% dan RET-HE 32,60 pg.

Karena jumlah subjek penelitian kurang dari 50 orang maka dilakukan uji

normalitas menggunakan shapiro-wilk terhadap Hb, Ht dan RET-HE. Data

seluruhnya terdistribusi normal. Selanjutnya analisis statistik menggunakan paired

sample t-test. Diperoleh hasil bahwa perubahan nilai Hb, Ht dan RET-HE

sebelum dan setelah pemberian suplemen besi signifikan bermakna secara statistik

(p<0,05). Data disajikan pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.2.

Tabel 4.2 Perbandingan Hasil Penelitian Sebelum dan Setelah Pemberian Suplemen Besi Intravena

(36)

Pada Gambar 4.3 terlihat bahwa peningkatan Hb yang terjadi setelah pemberian

suplemen besi intravena seiring dengan peningkatan nilai RET-HE.

Gambar 4.3 Grafik Nilai Hb dan RET-HE; A. Sebelum, B. Setelah Pemberian Suplemen Besi Intravena

4.1.3 Korelasi RET-HE dengan Parameter Status Besi Konvensional Feritin Serum dan ST

Dilakukan uji normalitas menggunakan shapiro-wilk terhadap nilai

RET-P= 0,023

(37)

normal. Selanjutnya dilakukan transfomasi data terhadap feritin serum sehingga

data terdistribusi normal. Analisis Pearson’s digunakan untuk menilai korelasi

antara RET-HE dengan feritin serum dan ST. Hasilnya tidak diperoleh korelasi

baik antara RET-HE dengan feritin serum (r=0,355, P=0,195) maupun RET-HE

dengan ST (r=0,023, P=0,935).

Gambar 4.4 Grafik Korelasi ; A. RET-HE dan feritin serum, B. RET-HE dan ST

4.2 Pembahasan

Anemia terjadi pada mayoritas pasien PGK terutama mereka yang

menjalani hemodialisis. Penyebab utama adalah berkurangnya produksi

eritropoetin akibat kerusakan ginjal itu sendiri. Namun demikian, besi juga

merupakan elemen penting dalam sintesis hemoglobin. US Renal Data System

pada tahun 1997 melaporkan bahwa defisiensi besi terjadi pada 60% pasien

anemia pada PGK dengan hemodialisis, NKF-KDOQI pada tahun 2000

menyatakan terdapat 25-37,5% sementara The Dialysis Outcomes and Practice

Pattern Study (DOPPS) pada tahun 2003 melaporkan 31-38% kasus defisiensi

besi pada kondisi serupa (Nissenson et al. 1999). Pada penelitian ini diperoleh

hasil bahwa anemia terjadi pada mayoritas pasien PGK yang menjalani 20

0 500 1000 1500 2000

(38)

Berbagai upaya dilakukan untuk memperbaiki kondisi anemia pada pasien

PGK dengan hemodialisis reguler. Pemberian ESA merupakan salah satu upaya

koreksi. Namun sering kali terjadi kegagalan terapi ESA disebabkan oleh adanya

defisiensi besi. Secara umum, kondisi anemia defisiensi besi dinyatakan apabila

ST <20% atau feritin serum <100 ng/ml. Namun apabila kondisi ini terjadi secara

bersamaan pada pasien yang juga sedang mengalami inflamasi kronis seperti

halnya pada pasien PGK dengan hemodialisis reguler, maka penggunaan

parameter konvensional sering menimbulkan kerancuan. Rekomendasi oleh

NKF-KDOQI (2006) adalah melalui kombinasi pemeriksaan Hb, feritin serum dan ST

atau CHr. Karena kombinasi ketiga pemeriksaan ini dapat menggambarkan

keseimbangan besi eksternal dan distribusi besi internal. Pentingnya evaluasi

terhadap status besi ini adalah untuk mengetahui potensiasi adanya defisiensi besi

sebagai penyebab anemia serta prediksi respon terhadap pemberian terapi besi.

Anemia defisiensi besi memiliki gambaran morfologi hipokromik

mikrositik, sedangkan anemia karena inflamasi kronis biasanya memiliki

gambaran normokromik normositik. Namun seiring dengan tingkat keparahan dan

durasi inflamasi bisa juga dijumpai gambaran mikrositik dan hipokromik

(Jayaranee et al. 2010). Pada penelitian ini dari 15 subjek penelitian terdapat 6

pasien (40%) dengan gambaran morfologi darah tepi mikrositik dan atau

hipokromik, sementara 9 pasien (60%) normokromik normositik berdasarkan nilai

MCV dan MCH.

Pada anemia defisiensi besi dan anemia karena inflamasi kronis dijumpai

penurunan kadar besi serum, namun penyebabnya berbeda. Pada anemia defisensi

besi hal ini menyatakan kekurangan besi yang absolut dalam tubuh, sementara

pada anemia karena inflamasi kronis hal ini disebabkan penumpukan cadangan

besi pada organ sistem reticuloendotelial. Demikian pula ST yang menurun dapat

dijumpai pada kedua kondisi ini, namun pada anemia defisiensi besi hal ini

disebabkan oleh peningkatan dari nilai transferin, sementara pada anemia karena

inflamasi kronis hal ini akibat penurunan KBS, sementara kadar transferin dapat

(39)

Pada penelitian ini dari 15 subjek penelitian hanya 6 pasien (40%) yang

diagnosis defisiensi besi ditegakkan berdasarkan hasil ST <20% dan feritin serum

<100 ng/ml. Sementara 9 pasien (60%) lainnya nilai feritin serum dijumpai sangat

meningkat di atas 500 ng/ml. Hal ini menimbulkan kerancuan sebab kadar feritin

serum yang tinggi tersebut tidak menyatakan bahwa cadangan besi yang tersedia

dalam tubuh cukup, namun lebih cenderung sebagai petanda adanya kondisi

inflamasi kronis. Di Amerika Serikat, sekitar 60% pasien hemodialisis reguler

memiliki kadar feritin serum >500 ng/ml, 20% dengan ST <21% (Coyne et al.

2007). Studi Dialysis Patients’ respone to IV Iron with Elevated Ferritin (DRIVE)

melaporkan bahwa pasien dengan feritin serum <800 ng/ml maupun >800 ng/ml

memberikan respon terapi yang sama terhadap pemberian besi intravena. Hal ini

membuktikan bahwa feritin serum saja tidak dapat dijadikan acuan bahwa pasien

tidak membutuhkan suplemen besi intravena. Hasil studi ini berbeda dengan

rekomendasi NKF-KDOQI (2006) yang justru tidak menganjurkan pemberian

suplemen besi bila kadar feritin serum >500 ng/ml.

Beberapa penelitian sebelumnya telah mencoba mencari parameter baru

dalam penilaian status besi untuk menghindari kerancuan interpretasi hasil yang

dapat terjadi apabila menggunakan parameter konvensional yang ada saat ini.

RET-HE merupakan salah satu parameter baru yang mulai diperkenalkan dan

diteliti akurasinya. Pemilihan reticulosit sebagai parameter cadangan besi

berdasarkan pada fungsi fisiologisnya yang merupakan bentuk peralihan dari

eritroblas yang berada di sumsum tulang menjadi eritrosit matang di darah perifer.

Sehingga diharapkan dapat menggambarkan cadangan besi yang tersedia di

sumsum tulang dalam beberapa hari terakhir.

Berbagai penelitian antara lain oleh Canal et al (2005), Tazza et al (2006),

Brugnara et al (2006), Grazia et al (2007), Manconi et al (2008), Miwa et al

(2010), Urrechaga et al (2010) dan Buttarello et al (2010) melaporkan bahwa

(40)

banyak dibuktikan dalam penelitian sebelumnya. Penelitan ini justru mencoba

menilai aplikasi klinis penggunaan RET-HE pada pasien yang menjalani

hemodialisis reguler.

Pada penelitian ini diberikan suplemen besi pada pasien dengan

hemodialisis reguler yang berdasarkan parameter konvensional ST atau feritin

serum mengalami defisiensi besi. Terlihat bahwa setelah pemberian suplemen besi

selama 4 minggu, terjadi peningkatan yang signifikan baik nilai Hb, Ht maupun

RET-HE. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Chuang et al (2003) yang

melaporkan terjadi peningkatan Hb, Ht dan Chr pada 4 minggu setelah pemberian

suplemen besi intravena. Sementara penelitian oleh Miwa et al (2010)

menyatakan dalam waktu 2 minggu setelah pemberian suplemen besi intravena

terjadi peningkatan dari nilai RET-HE sementara kadar Hb dan Ht meningkat

signifikan setelah pemberian suplemen besi intravena selama 4 minggu. Pada

studi DRIVE terjadi peningkatan nilai Hb dan Chr setelah pemberian suplemen

besi intravena selama 6 minggu. Studi DRIVE juga melaporkan bahwa

peningkatan nilai CHr sudah terlihat secara signifikan pada minggu ke-2 dan ke-3

setelah pemberian suplemen besi. Tidak dilakukan penilaian ulang kadar feritin

serum maupun ST pada penelitian ini sebab evaluasi baru dapat dilakukan setelah

interval 3 bulan (Hori, 2007). Peningkatan nilai Hb setelah pemberian suplemen

besi ini selain karena kebutuhan besi menjadi tercukupi, namun juga karena

adanya perbaikan terhadap kondisi inflamasi kronis (Coyne et al. 2007).

Suplemen besi tersebut ternyata juga memiliki efek antiinflamasi yang mampu

meningkatkan sitokin anti-inflamasi IL-4 dan menurunkan sitokin pro inflamasi

TNF-α.

Konfirmasi terbaik adanya defisiensi besi dinyatakan bila dijumpai

peningkatan Hb 1-2g/dl setelah pemberian suplemen besi intravena selama 2-4

minggu (Hori, 2007). Nilai Hb pada penelitian ini terlihat meningkat pada 10

pasien (66,7%), menurun pada 3 pasien (20%) dan tetap pada 2 pasien (13,3%).

Namun diantara 10 pasien dengan peningkatan Hb, hanya 6 pasien (40%) yang

(41)

Peningkatan nilai Ht juga sering dijadikan indikator keberhasilan

pemberian suplemen besi. Sebuah studi oleh Chuang et al (2003) menyatakan

respon terhadap pemberian suplemen besi intravena apabila terjadi peningkatan Ht ≥3% setelah pemberian suplemen besi selama 2-4 minggu. Pada penelitian ini Ht meningkat pada 10 pasien (66,6%), menurun pada 4 pasien (26,6%) dan tetap

pada 1 pasien (6,6%). Terdapat 3 pasien dengan peningkatan Ht <3%.

Penelitian oleh Chuang et al (2003) membandingkan penilaian terhadap

eritrosit dan reticulosit sebagai parameter status besi. Hasil penelitian tersebut

menyatakan bahwa evaluasi status besi setelah pemberian suplemen besi intravena

dengan menggunakan parameter eritrosit yaitu Hb dan Ht baru dapat dinilai

setelah 4 minggu. Sedangkan parameter reticulosit yang digunakan dalam

penelitian tersebut, yaitu CHr sudah dapat dinilai pada minggu ke-2 setelah

pemberian suplemen besi. Penilaian respon yang lebih cepat terhadap pemberian

suplemen besi ini dapat meningkatkan efektivitas pengobatan dan pencegahan

terhadap bahaya kelebihan besi. Pada penelitian ini digunakan parameter status

besi berdasarkan reticulosit yaitu RET-HE. Prinsip pemeriksaan RET-HE sama

dengan CHr yaitu mengestimasi jumlah hemoglobin dalam reticulosit. Terjadi

peningkatan RET-HE pada 12 pasien (80%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

oleh Miwa et al (2010) dimana dari 12 pasien PGK dengan hemodialisis reguler

yang mengalami anemia defisiensi besi, nilai RET-HE meningkat secara

signifikan setelah diberikan suplemen besi intravena selama 4 minggu (Miwa et

al. 2010). Belum ada rekomendasi yang secara jelas menetapkan nilai cutoff

RET-HE untuk diagnosis defisiensi besi. Berbagai penelitian mengajukan nilai yang

berbeda-beda antara 25-32,4 pg. Diperlukan penelitian lanjutan dengan sampel

yang lebih banyak untuk dapat menetapkan nilai cutoff yang terbaik khususnya

untuk pasien hemodialisis di Indonesia.

Studi sebelumnya oleh Miwa et al (2010) melaporkan adanya korelasi

(42)

korelasi antara RET-HE dengan feritin serum maupun ST. Hal ini mungkin

disebabkan oleh besar sampel yang sedikit.

Kelemahan penelitian ini antara lain tidak dilakukan evaluasi lebih lanjut

kemungkinan penyebab tidak terjadinya peningkatan Hb, Ht dan RET-HE pada

beberapa pasien. Bukti adanya kondisi inflamasi kronis tidak diperkuat dengan

(43)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Terjadi peningkatan nilai RET-HE yang signifikan setelah pemberian

suplemen besi intravena selama 4 minggu pada pasien PGK hemodialisis reguler

dengan anemia defisiensi besi. Peningkatan nilai RET-HE ini sejalan dengan

peningkatan nilai Hb dan Ht.

5.2 Saran

Diperlukan penelitian lanjutan dengan sampel yang lebih besar untuk

menetapkan cutoff RET-HE dalam diagnosis defisiensi besi pada pasien PGK

(44)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Bovy, C, Gothot, A, Delanaye, P et al 2007, ‘Mature erytrocyte parameters as new markers of functional iron deficiency in hemodialysis: sensitivity and spesificity’, Nephrol Dial Transplant, vol. 22, pp. 1156-62.

Brugnara, C, Schiller, B, Moran, J 2006, ‘Reticulocyte hemoglobin equivalent (RET-HE) and assesment of iron-deficient states’, Clin Lab Haem, vol. 28, pp. 303-8.

Buttarello, M, Pajola, R, Novelo, E et al 2010, ‘Diagnosis of iron deficiency in patients undergoing hemodialysis’, Am J Clin Pathol, vol.133, pp. 949-54. Buttarello, M, Temporin, V, Ceravolo, R et al 2004,’ The automated Reticulocyte

parameters (RET-Y) of the Sysmex XE 2100’, Am J Clin Pathol, vol. 121, pp. 489-95.

Canals, C, Remacha, AF, Sarda, MP et al 2005,’ Clinical utility of the new Sysmex XE 2100 parameter-reticulocyte hemoglobin equivalent in the diagnosis of anemia’, The Hematology Journal, vol. 90, pp. 1133-4.

Chuang, CL, Liu, RS, Wei, YH et al 2003, ‘Early prediction of respone to intravenous iron supplementation by reticulocyte haemoglobin content and high-fluorescence reticulocyte count in haemodialysis patient’, Nephrol Dial Transplant, vol.18, pp. 370-7.

Coyne, DW, Kapoian, T, Suki, W et al 2007, ‘Ferric gluconate is highly efficacious in anemic hemodialysis patients with high serum feritin and low transferrin saturation: Results of the dialysis patients’ respone to IV iron with elevated ferritin (DRIVE) study’, J Am Soc Nephrol, vol. 18,pp. 975-84.

Dahlan, S 2005, ‘Menghitung besar sampel’, in: Besar sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan, Arkans, pp.64-6.

Dawson, B, Trapp, R (ed.) 2001, ‘Study Design in Medical Research’, in: Basic & Clinical Biostatistics, 3rd edn, McGraw-Hill Companies, Inc.,pp. 8-18. Fisbane, S, Shapiro, W, Dutka, P et al 2001, ‘A randomized trial of iron

deficiency testing strategies in hemodialysis patients’, Kidney Int, vol.60, pp. 2406-11.

Frank, S, Linssen, J, Messinger, M et al 2004, ‘Potensial utility of Ret-Y in the diagnosis of iron-Restricted erytropoesis,’ Clin Chem, vol.50, pp.1240-2. Fukui,Y, Samma, S, Fujimoto, K et al 2002, ‘Reticulocyte hemoglobin content as

a marker of iron status in patients receiving maintenance hemodialysis’,

Clin Exp Nephrol, vol. 6, pp. 147-53.

Garzia, M, Mario, AD, Ferraro, E et al 2007, ‘Reticulocyte Hemoglobin Equivalent: an indicator of reduced iron availability in chronic kidney disease during erytropoetin therapy’, Lab Hem, vol. 13, pp. 6-11.

(45)

Kaneko, Y, Miyazaki, S, Hirasawa, Y et al 2003, ‘Transferrin saturation versus reticulocyte hemoglobin content for iron deficiency in Japanese hemodialysis patients’, Kidney Int, vol. 63, pp. 1086-93.

Lubis, HR, Sukandar, E, Pranawa et al2001, Konsensus managemen anemia pada pasien gagal ginjal kronik. Jakarta. PERNEFRI.

Maconi, M, Cavalca, L, Danise, P et al 2009, ‘Erytrocyte and reticulocyte indices in iron deficiency in chronic kidney disease: comparation of two methods’,

The Scandinavian Journal of Clinical & Laboratory Investigation, vol. 69, pp. 365-70.

Madiyono, B, Moeslichan, S, Sastroasmoro, S et al 2008, ‘Perkiraan besar sampel’, in: Sastroasmoro S, Ismael S (eds.) Dasar-dasar Metodologi penelitian klinis. 3rd. ed. Sagung Seto, pp. 302-12.

Marziah, C 2012, ‘Gambaran cadangan besi menggunakan reticulosit hemoglobin equivalent (RET-HE) pada penderita penyakit ginjal kronis yang menjalani dialisis reguler, tesis magister, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Miwa, N, Akiba, T, Kimata, H et al 2010, ‘Usefulness of measuring reticulocyte hemoglobin equivalent in the management of hemodialysis patients with iron deficiency’, Int Jnl Lab Hem, vol. 32, pp. 248-55.

Nissenson, AR, Strobos, J 1999, ‘Iron deficiency in patients with renal failure’,

Kidney International, vol. 55, pp. S18-21.

NKF-KDOQI clinical practice guidelines and clinical practice recommendations for anemia in chronic kidney disease 2006, .Am J Kidney Dis, vol. 47, pp. S28-S70.

NKF-KDOQI Guidelines 2000, Guidelines for anemia of chronic kidney disease. Piva, E, Brugnara, C, Chiandetti, L et al 2010, ‘Automated reticulocyte counting:

state of the art and clinical applications in the evaluation of erytropoesis’,

Clin Chem Lab Med, vol. 48, pp. 1369-80.

Tazza, GM, Bossola, DMA, Luciani, G et al 2006, ‘Evaluation of the new RET-He parameter versus the CHr reference method in a cohort of 57 dialysed patients in a five months follow-up’, XIX International Simposium ISLH-International Society for Laboratory Hematology.

Tessitore, N, Solero, GP, Lippi, G et al 2001, ‘The role of iron status markers in predicting respone to intravenous iron in haemodialysis patients on maintenance erytropoetin’, Nephrol Dial Transplant, vol. 16, pp. 1416-23. Urrechaga, E, Borque, L, Escanero, JF 2010, ‘Analysis of reticulocyte parameters

on the Sysmex XE 5000 and LH 750 analyzers in the diagnosis of inefficient erythropoesis’, Int J Lab Pathol, vol. 33, pp. 37-44.

(46)
(47)

LAMPIRAN 2

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN

Selamat pagi/siang Bapak/Ibu, saya dr. Naomi Niari Dalimunthe, saya

sedang menjalani Pendidikan Dokter Spesialis Penyakit Dalam di FK USU. Saat

ini saya akan melakukan penelitian yang berjudul “Peningkatan Nilai Parameter Status Besi Reticulocyte Hemoglobin Equivalent Setelah Pemberian Suplemen Besi Intravena pada Pasien Hemodialisis Reguler”. Penelitian ini bertujuan untuk menilai peranan RET-HE sebagai alternatif

parameter yang telah digunakan selama ini (feritin serum, saturasi transferin)

sebagai indikator terjadinya defisiensi besi pada pasien cuci darah. Hasil

penelitian ini nantinya akan memperlihatkan apakah parameter RET-HE dapat

menjadi parameter alternatif dengan pemeriksaan yang lebih sederhana, mudah

dan murah karena dapat dikerjakan bersamaan dengan pemeriksaan darah

lengkap.

Kepada Bapak/Ibu yang bersedia mengikuti penelitian ini nanti akan

diminta mengisi surat persetujuan tertulis kemudian dilakukan pemeriksaan

laboratorium awal berupa pengambilan sampel darah sebanyak 10 ml oleh petugas

laboratorium yang berpengalaman. Sampel darah tersebut selanjutnya digunakan

untuk pemeriksaan darah rutin dan status besi (serum iron (SI), total iron binding

capacity (TIBC), feritin serum dan RET-HE). Bila nanti hasil pemeriksaan

tersebut menyatakan Bapak/Ibu mengalami anemia defisiensi besi, maka akan

diberikan suplemen besi (100 mg iron sucrose) intravena pada setiap sesi

hemodialisis 2x / minggu, selama 4 minggu. Selanjutnya akan dilakukan

pemeriksaan laboratorium kembali untuk menilai status besi Bapak/Ibu setelah

pemberian suplemen besi.

(48)

Namun secara teori beberapa bahaya langsung yang dapat timbul antara lain

reaksi alergi, gangguan fungsi hati, jantung dan pembuluh darah. Untuk mencegah

bahaya tersebut preparat besi akan diberikan secara perlahan-lahan sambil diamati

kondisi klinis pasien, sehingga apabila timbul reaksi alergi, pemberian suplemen

besi dapat segera dihentikan dan diberikan penanganan yang diperlukan seperti

pemberian obat anti alergi. Segala biaya pemeriksaan laboratorium, penyediaan

obat dan biaya penanganan yang diperlukan bila timbul efek samping akan

menjadi tanggung jawab peneliti.

Terimakasih atas keikutsertaan Bapak/Ibu. Apabila ada hal-hal yang

terjadi selama penelitian dan ada keterangan yang saya berikan masih belum jelas

atau yang ingin ditanyakan, Bapak/Ibu dapat menghubungi saya :

Nama : dr. Naomi Niari Dalimunthe

Alamat : Jl. Dr. Sumarsono No. 1 Medan

Telefon : 061-8213676/08126090726

Peneliti,

(49)

LAMPIRAN 3

SURAT PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur : tahun

Jenis kelamin : Pria/wanita

Alamat :

No. Telp/HP :

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang kebaikan dan keburukan

prosedur penelitian ini, menyatakan dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan

bersedia ikut serta dalam penelitian. “Peningkatan Nilai Parameter Status Besi

Reticulocyte Hemoglobin Equivalent Setelah Pemberian Suplemen Besi Intravena pada Pasien Hemodialisis Reguler”. Apabila sewaktu-waktu saya mengundurkan diri dari penelitian ini, kepada saya tidak dituntut apapun.

Demikian surat persetujuan ini saya buat untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Medan, 2011

Pasien Peneliti

(...) (...)

(50)

LAMPIRAN 4

KERTAS KERJA PROFIL PESERTA PENELITIAN

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama :

Umur : tahun

Jenis Kelamin : pria/wanita

Riwayat penyakit : DM/hipertensi/batu ginjal/kista

HD sejak :

Riwayat penggunaan ESA : ya/tidak, selama..., jenis...

Riwayat transfusi darah : ya/tidak

Riwayat penggunaan preparat besi : ya/tidak, selama...,

jenis...

II. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Parameter Sebelum Setelah

Hb (g/dl) Ht (%) KBS (ng/ml) TIBC (ng/ml) ST (%)

Feritin serum (ng/ml) RET-HE (pg)

(51)

LAMPIRAN 5

Data Hasil Penelitian Sebelum Pemberian Suplemen Besi Intravena

(52)
(53)

LAMPIRAN 7 RETHE1 Pearson Correlation 1 ,355

Sig. (2-tailed) . ,195

N 15 15

T_FERITI Pearson Correlation ,355 1

Sig. (2-tailed) ,195 . RETHE1 Pearson Correlation 1 ,023

Sig. (2-tailed) . ,935

N 15 15

STRANS1 Pearson Correlation ,023 1 Sig. (2-tailed) ,935 .

(54)

LAMPIRAN 8

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas

Nama : Naomi Niari Dalimunthe

Tempat/Tgl Lahir : Medan / 24 Juni 1984 Suku/Bangsa : Mandailing / Indonesia

Agama : Islam

Alamat : Jl. Dr. Sumarsono No. 1 Medan-20154

Status : Belum menikah

II. Pendidikan

SD Swasta Harapan 2 Medan (1990-1996) SLTP Swasta Harapan 1 Medan (1996-1999) SMUN 1 Medan (1999-2002)

Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara (2002-2008)

III. Riwayat Pekerjaan

PNS FK USU 2009 s/d sekarang

IV. Perkumpulan Profesi Anggota IDI cabang Medan

V. Karya Ilmiah

1. Crohn’s Disease with Spontaneous Intestinal Perforation. Laporan kasus. Pekan Ilmiah Nasional XVIII/ Kongres Nasional XV Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PGI)/Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal Indonesia (PEGI) 2011, Surakarta, 19-22 September 2011.

2. Improvement of Reticulocyte Hemoglobin Equivalent value after administration of intravenous iron supplement in regular hemodialysis patients. Makalah Bebas Oral. Annual Scientific Meeting Indonesian Society of Nephrology, Denpasar, 11-14 Oktober 2012.

3. Buku Penyakit Ginjal dan Dialisis, 2013. ISBN 979-458-663-3

VI. Partisipasi dalam Kegiatan Ilmiah

(55)

3. Peserta dan panitia PIT XI Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, Medan, 1-3 April 2010.

4. Peserta dan Panitia Gastroenterohepatology Update VIII, PPHI-PGI-PEGI Cabang Sumut Divisi Gastroenterohepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 22-23 Oktober 2010. 5. Peserta Simposisum Hyperglycemia of Patients with Diabetes

Mellitus in Clinical Practice, PAPDI Cabang SUMUT, Medan, 28 November 2010.

6. Peserta Program Pengembangan Pendidikan Keprofesian

Berkelanjutan Ultrasonografi tahap pertama bagi Peserta Program Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam, Medan, 21-24 Maret 2011. 7. Peserta dan Panitia PIT XII Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK

USU, Medan, 28-30 April 2011. 8. Peserta The 6th

9. Peserta workshop Management Dyslipidemia The 6

New Trend in Cardiovascular Management, Medan, 23-25 Juni 2011.

th

10.Peserta Simposium Achieving Ambitious Glycamic Target in Diabetes: Stepwise Treatment from Sulfonilura to Insulin initiation & intensification (Basal and Basal Plus), Medan, 3 Juli 2011.

New Trend in Cardiovascular Management, Medan, 23-25 Juni 2011.

11.Peserta Seminar dan Workshop Diabetic Meal Plan Best Practice Approach in Diabetes Management, PAPDI Cabang SUMUT, Medan, 16 Juli 2011.

12.Peserta seminar dan workshop Paradigma Baru Pendidikan Bioetik Medikolegal dalam Pendidikan Dokter, Medan, 29 Juli 2011.

13.Peserta dan presentasi poster, Pekan Ilmiah Nasional XVIII/ Kongres Nasional XV Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PGI)/Perhimpunan Endoskopi Gastrointestinal Indonesia (PEGI) 2011, Surakarta, 19-22 September 2011.

14.Peserta Workshop Thalassemia and Blood transfusion, The 7th

15.Peserta Workshop Hemophilia and Supportive Treatmet in Cancer, The 7

National Convention of the Indonesian Society of Haematology and Blood Transfusion (PHTDI), Medan, 7 Oktober 2011.

th

16.Peserta dan Panitia Gastroenterohepatology Update IX, PPHI-PGI-PEGI Cabang Sumut Divisi Gastroenterohepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, 3-5 November 2011.

National Convention of the Indonesian Society of Haematology and Blood Transfusion (PHTDI), Medan, 7 Oktober 2011.

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka Konseptual
Tabel 2.1 Penyebab Anemia pada PGK (Lubis HR et al. 2001)
Gambar 3.1 Kerangka Operasional
Tabel 4.1 Karakteristik Data Dasar
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan protein dan zat besi dengan kadar hemoglobin pada pasien gagal ginjal kronik post hemodialisis di unit

Sesudah pemberian suplemen zat besi, responden paling banyak terdapat pada status tidak anemia (40%) dengan nilai rata-rata kadar hemoglobin sebesar 11,9 g/dl..

Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) merekomendasikan penilaian status nutrisi pasien hemodialisis reguler dengan kombinasi alat penilaian yang valid salah

status nutrisi( 7-point SGAdan Albumin serum) pasien hemodialisis reguler, maka. hasil penelitian ini dapat

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi dan jenis anemia pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis