• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Koridor 11 

Salah satu hal yang menarik dalam merancang sistem kawasan konservasi

adalah menggunakan koridor habitat. Koridor habitat dapat menghubungkan

kawasan dilindungi yang terisolasi, agar dapat terbentuk suatu sistem kawasan

yang lebih luas. Koridor habitat adalah jalur lahan yang menjadi penghubung

antara satu kawasan konservasi dengan kawasan lainnya yang berdekatan. Koridor

habitat (koridor konservasi atau koridor pergerakan) memungkinkan tumbuhan

dan satwa untuk menyebar dari satu kawasan ke kawasan yang lain, serta

memungkinkan terjadinya aliran gen dan bahkan kolonisasi habitat yang sesuai.

Melalui koridor habitat tersebut, beberapa kawasan yang terisolasi dapat

dihubungkan satu sama lain. Populasi-populasipun dapat saling berintegrasi,

sehingga membentuk suatu metapopulasi (Indrawan et al. 2007).

Menurut Forman dan Godron (1986), koridor adalah areal yang

menghubungkan dua daerah dalam suatu lansekap. Koridor dapat digunakan

untuk habitat, penghubung, jalur pergerakan, proteksi, sumberdaya alam, dan

estetika. Kebanyakan koridor digunakan untuk penghubung (konektifitas) karena

merupakan areal yang efisien untuk mekanisme pergerakan hewan, akan tetapi

koridor sering kali juga dimanfaatkan oleh pemburu untuk menangkap hewan

yang lewat di sana. Pada saat hewan melewati koridor, pemburu biasanya dengan

mudah dapat menangkap hewan-hewan tersebut, karena areal koridor yang

biasanya relatif kecil. Koridor kadang-kadang juga merupakan daerah isolasi

bagi hewan-hewan tertentu, karena biasanya merupakan suatu areal dengan

vegetasi yang hampir seragam.

Caughley dan Sinclair (1994) menyatakan keuntungan dari adanya koridor

adalah:

1. Mempertinggi kecepatan migrasi, dimana dapat:

a. Meningkatkan species richness (prediksi teori biogeograpi pulau).

b. Meningkatkan ukuran populasi untuk spesies tertentu dan kemungkinan

menurunkan kepunahan (memberikan penyelamatan), atau mengadakan

kembali populasi lokal yang sudah punah di alam.

c. Mencegah terjadinya inbreeding dan mempertahankan variasi genetik dalam

populasi.

2. Memberikan perluasan areal mencari makan untuk berbagai spesies.

3. Memberikan jalan untuk lari dari predator untuk bergerak diantara patch.

4. Memberikan macam-macam habitat dan dapat memperoleh rangkaian tingkat

penerimaan, untuk spesies yang memerlukan variasi habitat untuk aktifitas

yang berbeda, atau sikap dalam tingkatan siklus hidup mereka.

5. Memberikan alternatif tempat perlindungan untuk gangguan yang besar,

seperti keluar dari gangguan kebakaran.

6. Memberikan jalan keluar untuk perpindahan, menyediakan kesempatan

rekreasi, dan mempercantik pemandangan alam dan penggunaan lahan.

Kerugian dari adanya koridor menurut Caughley dan Sinclair (1994) adalah:

1. Meningkatkan angka imigrasi, dimana dapat:

a. Memudahkan penyebaran penyakit endemik, serangga hama, spesies

eksotik, rumput-rumputan, dan menimbulkan spesies-spesies yang tidak

diingini dan melewati lansekap.

b. Menurunkan level variasi genetik diantara populasi atau sub populasi, atau

mengganggu adaptasi lokal dan menjadikan terbentuknya gen komplek

(tekanan silang luar).

2. Memfasilitasi penyebaran sumber bencana, seperti kebakaran dan gangguan

abiotik lainnya (penularan sumber bencana).

3. Peningkatan keberadaan pemburu satwa liar dan predator.

4. Koridor pada umumnya memotong bidang suatu areal, mengakibatkan satwa

sulit untuk memperluas areal penyebaran.

5. Ketika kualitas habitat koridor rendah, dibutuhkan biaya sebagai pemeliharaan

daerah konvensional untuk melindungi habitat spesies terancam punah.

Koridor merupakan areal yang cukup diperhitungkan untuk fungsi ekologis,

dalam suatu areal lansekap. Koridor dapat berupa pagar dari tumbuhan yang

berfungsi sebagai tempat perlindungan, jalan untuk perpindahan atau konektifitas

dan saluran. Pembuatan koridor pada suatu areal lansekap biasanya diperlukan

untuk kepentingan komunitas hewan tertentu, karena dapat menambah keragaman

habitat. Penambahan elemen-elemen lansekap, mampu meningkatkan kerapatan

spesies hewan tertentu (Lavers dan Haines-Young 1993). Semakin banyak jumlah

fragmen yang saling terhubung atau semakin tinggi konektifitas antar fragmen

dalam suatu lansekap, dan akan dapat meningkatkan kepadatan populasi asli yang

dapat bertahan di lokasi tersebut (Indrawan et al. 2007).

Koridor juga dapat berfungsi membantu melestarikan satwa yang harus

melakukan migrasi musiman diantara berbagai seri habitat yang berbeda-beda,

untuk mendapatkan makanan; bila satwa ini hanya dibatasi pada satu cagar alam

tunggal, maka mereka dapat mati kelaparan. Prinsip ini telah dipraktekkan di

Costa Rika untuk menghubungkan dua suaka marga satwa, Taman Nasional

Braulio Carillo dan Stasion Biologi La Selva. Kedua daerah konservasi yang

berbeda ketinggian tersebut dihubungkan oleh La Zona Protectora, suatu koridor

hutan yang luasnya 7.700 ha dengan lebar beberapa kilometer. Areal ini

memungkinkan setidaknya 35 spesies burung bermigrasi antara kedua kawasan

konservasi tersebut (Indrawan et al. 2007).

Hewan-hewan besar seperti gajah, idealnya kawasan habitat mereka harus

mencakup seluruh daerah jelajah populasi gajah tersebut. Beberapa negara telah

menetapkan koridor gajah untuk melindungi daerah alam di sepanjang jalur

migrasi, seperti Muangthai dan Sri Lanka (MacKinnon et al. 1993). Pengamatan

terhadap mamalia arboreal di Brasil menunjukkan bahwa, koridor-koridor selebar

30 sampai 40 meter cukup untuk perpindahan sebahagian besar spesies dan bila

lebar koridor ditingkatkan menjadi 200 meter cukup untuk perpindahan semua

spesies (Indrawan et al. 2007).

Secara nyata ide mengenai koridor tampaknya menarik, akan tetapi koridor

juga mempunyai beberapa dampak negatif, misalnya memungkinkan perpindahan

berbagai spesies pembawa hama dan penyakit. Suatu penyakit dapat menyebar

dengan cepat melalui jalur hubungan yang ada, sehingga satu investasi tunggal

saja akan dapat secara cepat menyebar ke seluruh cagar alam yang berhubungan.

Keadaan ini akan menyebabkan kepunahan dari beragam populasi dari spesies

langka. Hewan yang berpindah melalui koridor juga mungkin akan berhadapan

dengan resiko predasi yang lebih besar, karena baik pemburu maupun pemangsa

(termasuk manusia) cenderung untuk terkonsentrasi pada jalur yang digunakan

hewan tersebut. Saat ini bukti nyata yang mendukung nilai dari koridor masih

sangat terbatas, secara umum nilai dari koridor habitat akan bervariasi menurut

kasus masing-masing kawasan (Indrawan et al. 2007).

Koridor secara jelas dibutuhkan pada jalur perpindahan, yang telah diketahui

oleh satwa di daerah tersebut. Potongan habitat asli yang disisakan di antara dua

kawasan konservasi, sering dapat berfungsi sebagai ”batu loncatan” yang akan

menjembatani perpindahan satwa. Koridor-koridor yang sudah terbentuk perlu

selalu dilestarikan. Banyak diantara koridor yang ada sekarang terletak sepanjang

aliran sungai, dan karena itu dapat merupakan habitat tersendiri bagi spesies

tertentu yang secara biologi penting keberadaannya (Indrawan et al. 2007).

Berdasarkan bentuk dan fungsinya Forman (1982) membedakan koridor

menjadi empat tipe yaitu:

1.

Line Corridor: Berupa pagar tanaman pada pinggir jalan, arealnya biasanya

sempit berfungsi untuk memberikan jalur perpindahan, dan merupakan habitat

utama bagi edge spesies.

2.

Strip Corridor: Arealnya lebih luas dengan lingkungan interior yang dapat

memberikan jalur perpindahan dan habitat bagi spesies interior.

3.

Gabungan antara Line dan Strip Corridor: Koridor ini berbentuk lingkaran,

sehingga dapat memberikan jalur alternatif untuk perpindahan, yang bertujuan

untuk menjauhi predator, berfungsi juga untuk tempat mencari makan dan

biasanya lebih disukai oleh banyak hewan.

4.

Stream Corridor: Merupakan bentuk ganda dari Strip Corridor dengan pinggir

jalur perairan, cukup lebar untuk memberikan lingkungan interior dengan

aliran air yang baik. Koridor ini berfungsi untuk membantu kontrol nutrient

permukaan, erosi, endapan lumpur dan banjir.

Koridor TNGHS merupakan areal memanjang dari Barat ke Timur, yang

menghubungkan dua kawasan penting di TNGHS yaitu kawasan Gunung

Halimun dan Gunung Salak. Wilayah koridor merupakan areal yang sangat

penting bagi TNGHS, karena berfungsi sebagai penghubung dua ekosistem utama

yaitu Gunung Halimun dan Gunung Salak, sebagai tempat terjadinya aliran

genetik dalam pelestarian keanekaragaman hayati dan fungsinya sebagai sistem

penyangga kehidupan (Rinaldi et al. 2008).

Koridor TNGHS berada pada dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi dan

Kabupaten Bogor. Kabupaten Sukabumi meliputi Kecamatan Kabandungan

(Desa Cihamerang, Cipeuteuy, dan Kabandungan), sedangkan Kabupaten Bogor

meliputi Kecamatan Leuwiliang (Desa Purasari) dan Kecamatan Pamijahan (Desa

Purwabakti). Bagian Utara koridor seluas 1.662, 78 hektar masuk ke dalam

wilayah Kabupaten Bogor, sedangkan bagian Selatan seluas 2.533,00 hektar

berada dalam Kabupaten Sukabumi. Perbatasan ke dua kabupaten ini terletak

memanjang dari Barat ke Timur yang merupakan bagian tertinggi dari kawasan

koridor TNGHS (GHSNPMP-JICA 2009).

Sebagai areal yang menghubungkan dua fungsi ekologis, yaitu kawasan

Gunung Halimun dan Gunung Salak. Koridor TNGHS berfungsi sebagai habitat,

sumber pakan, jalur pergerakan satwa, dan lintasan pemencaran biji pepohonan

dari kedua kawasan tersebut. Koridor TNGHS merupakan habitat yang dapat

mendukung kelangsungan hidup keanekaragaman hayati pada dua ekosistem yang

terfragmen yaitu Gunung Halimun dan Gunung Salak, serta untuk lebih

meningkatkan fungsi kedua ekosistem tersebut sebagai sistem penyangga

kehidupan (GHSNPMP-JICA 2009).

Hutan di koridor TNGHS mengalami degradasi yang signifikan dalam 11

tahun terakhir. Degradasi hutan yang terjadi di koridor TNGHS sebesar 52% atau

seluas 347,523 hektar, dimana luas hutan di koridor TNGHS 666,508 hektar pada

tahun 1990 menjadi 318,985 hektar pada tahun 2001 (Cahyadi 2003). Degradasi

ini mengakibatkan konektivitas ekosistem satwa terganggu, seperti owa jawa yang

memerlukan pohon-pohon sebagai media pergerakan, pohon tidur, dan sumber

pakan seperti jenis saninten (Castanopsis argentea), pasang (Quercus sp.), dan

Ficus sp. (Iskandar 2007). Macan tutul (Panthera pardus) yang menjadi satwa

maskot Provinsi Jawa Barat juga terancam. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), salah

satu satwa terancam punah dalam Appendix II CITES juga mengalami hal serupa.

Saat ini diperkirakan koridor TNGHS sudah tidak mampu lagi menyediakan

pohon-pohon untuk kelangsungan hidup hewan-hewan tersebut (GHSNPMP-

JICA 2007b).

Faktor penyebab rusaknya koridor TNGHS adalah okupasi lahan garapan

dan penebangan liar yang mengakibatkan lahan semak belukar (4.206,18 ha)

mendominasi kawasan koridor, dan hutan alam primer yang tersisa diperkirakan

hanya tinggal sekitar 216 ha saja. Garapan terjadi karena sebelum tahun 2003 oleh

Perum Perhutani dilaksanakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)

di hutan produksi dan hutan lindung, dengan menanam jati dan tanaman pertanian

dan perkebunan (GHSNPMP-JICA 2009).

Restorasi di koridor TNGHS perlu mempertimbangkan aspek ekologis dan

pengaturan akses kepada masyarakat. Departemen Kehutanan mendesain zona

khusus di koridor TNGHS, yang memungkinkan akses kepada masyarakat

diberikan melalui penanaman jenis asli yang sekaligus bermanfaat bagi

masyarakat dan lingkungannya, serta menanam tanaman obat/palawija sebagai

tanaman sela (GHSNPMP-JICA 2009).

Pencanangan restorasi kawasan konservasi di Propinsi Jawa Barat dan

Banten pada tahun 2007, dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan

dan Konservasi Alam (PHKA) di koridor TNGHS. Pencanangan tersebut

menandai dimulainya zona khusus di koridor TNGHS. Pencanangan ditandai

dengan penanaman aren (Arenga pinnata) seluas 22,5 hektar sepanjang batas

kawasan, 7,5 hektar tanaman penghidupan; durian, mangga, rambutan di luar

batas kawasan dan penanaman hutan rakyat 20 hektar di luar kawasan.

Penanaman tersebut merupakan rangkaian kegiatan Model Kampung Konservasi

yang didampingi oleh konsorsium yang terdiri dari TNGHS, GHSNPMP-JICA,

PT. Chevron, PT. PLN, Pemerintah Kabupaten Sukabumi, Lembaga Swadaya

Masyarakat PEKA dan Absolut (GHSNPMP-JICA 2009).

Dokumen terkait