• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di Indonesia perkembangan korporasi sebagai subjek tindak pidana terjadi diluar KUHP, yaitu terdapat dalam perUndang-undangan, baik Undang-undang pidana khusus maupun Undang-undang pidana administrasi. Sedangkan KUHP sendiri masih tetap menganut subjek tindak pidana berupa orang sebagaimana diatur dalam Pasal 59 KUHP.

Perumusan atau penyebutan korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam peraturan perUndang-undangan di Indonesia antara lain terdapat dalam :

1. Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (UUTPE)

Undang-Undang Nomor 7 Drt 1995 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (TPE) (Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 27) yang disingkat dengan UUTPE, diatur dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) yang berbunyi :149

(1) Jika suatu tindak-pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan-pidana dilakukan dan hukuman-pidana serta tindakan tata-tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak-pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.

(2) Suatu tindak-pidana ekonomi dilakukan juga oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, jika tindak itu dilakukan oleh orang-orang yang, baik berdasar hubungan-kerja maupun berdasar hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, tak perduli apakah orang-orang itu masing-masing tersendiri melakukan tindak-pidana ekonomi itu atau pada mereka bersama ada anasir-anasir tindak-pidana tersebut.

2. Undang-Undang Tentang Psikotropika

149

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Drt 1995 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 27)

Kemudian, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika150 menyatakan dengan tegas dalam Pasal 1 angka 13, bahwa “korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” Oleh karena kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dianggap sebagai kejahatan yang serius, maka ancaman pidananya pun lebih berat daripada yang dilakukan oleh perorangan. Selanjutnya, ketentuan yang berkaitan dengan korporasi tersebut diatur dalam Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 yang menyatakan :151

3. Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

“Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, maka disamping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan denda sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).”

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak menyatakan dengan tegas korporasi sebagai subyek Hukum Pidana sebagaimana dirumuskan oleh undang-undang yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dinyatakan :

Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara

150

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671)

151

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10)

Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

Lebih lanjut mengenai penjatuhan pidana tambahan diatur dalam Pasal 49 yang berbunyi :152

a. pencabutan izin usaha; atau

Pasal 49

Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:

b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduk i jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya

kerugian pada pihak lain

Dengan demikian meskipun dalam undang-undang ini tidak menentukan secara tegas tentang status korporasi sebagai subyek Hukum Pidana. Penyebutan badan pelaku usaha bisa berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum lebih mengarah kepada hukum keperdataan. Akan tetapi, bila dikaitkan dengan ketentuan pidana tambahan, tampak pembentuk undang-undang menghendaki korporasi dapat dijatuhi pidana.

4. Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 angka 3 mendefenisikan pelaku usaha sebagai:153

152

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33)

153

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 Tahun 1999)

“setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan

dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

5. Undang-Undang Tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar154

Meskipun terjadi perbedaan dalam redaksi pasal, akan tetapi apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 yang

telah diatur korporasi sebagai subyek Hukum Pidana yang dapat dijatuhi pidana berdasarkan undang-undang ini, karena korporasi juga dapat melakukan tindak pidana di bidang devisa. Akan tetapi, jika hendak mencari istilah korporasi dalam undang-undang ini tidak akan ditemukan karena dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 ditentukan bahwa: “Penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri.”

Ketentuan tersebut berbeda (misalnya) dengan ketentuan Pasal 1 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang berbunyi bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, selanjutnya dinyatakan bahwa yang dimaksud korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.

154

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa Dan Sistem Nilai Tukar, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844)

menyebutkan: “Barang siapa dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) diancam dengan pidana denda sekurang- kurangnya Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Ketentuan Pasal 3 ayat (2) yang dimaksud itu berbunyi: “Setiap Penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan Lalu Lintas Devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,” sementara itu, pengertian penduduk sebagaimana telah dikemukakan (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999) meliputi badan hukum.

6. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korporasi telah dimasukkan sebagai subyek tindak pidana yang sebelumnya di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19) tanggal 29 Maret 1971 tidak diatur demikian. Pasal 1angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan :155

7. Undang-Undang Tentang Minyak dan Gas Bumi

“korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan.” Karena itu, baik perseroan terbatas, yayasan, koperasi, maupun usaha yang tidak berbadan hukum dapat dituntut melakukan tindak pidana korupsi.

155

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor Nomor 140)

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Gas Dan Bumi, tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa korporasi merupakan subyek hukum yang dijatuhi pidana berdasarkan undang-undang tersebut. Akan tetapi, dalam ketentuan Pasal 1 angka 17 disebutkan bahwa badan usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk memastikan apakah korporasi merupakan subyek Hukum Pidana atau bukan, maka dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 56 undang-undang tersebut, yang menentukan beberapa hal sebagai berikut :156

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, tuntutan dan pidana dikenakan terhadap Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dan/atau pengurusnya.

(2) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap, pidana yang dijatuhkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap tersebut adalah pidana denda, dengan ketentuan paling tinggi pidana denda ditambah sepertiganya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 56 tersebut, berarti korporasi merupakan subyek Hukum Pidana, tetapi penyebutannya bukan korporasi melainkan badan usaha. Disamping itu, dengan adanya ketentuan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku berupa pidana denda maka jelas memperkuat argument ini.

8. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

156

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Gas Dan Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136)

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang ini menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi.. Selanjutnya, dalam Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan korporasi yakni kumpulan orang dan/atau kekayaan yang tergorganisasi baik sebagai badan hukum maupun bukan badan hukum.157

9. Undang-Undang Perikanan

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan pula pengertian korporasi dalam Pasal 1 angka 15 yang berbunyi : “Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorgansisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.

Kemudian dalam Pasal 101 disebutkan :158

10. Undang-Undang Kepabeanan

“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, dan Pasal 96 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan”.

157

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45)

158

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118)

undang yang mengatur tentang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 yang telah diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006. Mengenai pengaturan korporasi sebagai subyek Hukum Pidana telah diatur dalam Pasal 1 angka 12 yang menyatakan bahwa:159

11. Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang

“Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.”

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengartikan setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang. Sedangkan yang dimaksud dengan korporasi adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 yaitu kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.160

12. Undang-Undang Penanaman Modal

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal161

159

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93)

160

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58 Tahun 2007)

161

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724)

merumuskan penanaman modal sebagai perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing.

13. Undang-Undang Penanggulangan Bencana

Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana162

14. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

mendefenisikan setiap orang tidak hanya perseorangan atau kelompok orang, tetapi juga meliputi badan hukum/korporasi.

Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik163

15. Undang-Undang Pornografi

menyatakan bahwa yang dimaksud orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum. Sedangkan Pasal 1 angka 11 memaknai badan usaha sebagai perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi164

16. Undang-Undang Penerbangan

menyebutkan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

Pasal 1 angka 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan165

162

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723)

163

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843)

164

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 181 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928)

korporasi. Pasal 1 angka 20 merumuskan makna badan usaha angkutan udara sebagai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo dan/atau pos dengan memungut pembayaran. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 43 disebutkan bahwa badan usaha Bandar udara adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan Bandar udara untuk pelayanan umum.

17. Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara

Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara166

18. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

memasukkan badan usaha/korporasi subyek delik, yakni setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

165

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956)

166

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959)

Dalam Pasal 1 angka 33 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menyebutkan bahwa “setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.”167

19. Undang-Undang Tentang Narkotika

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam pasal 1 angka 21 menyebutkan pengertian korporasi sebagai kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Selanjutnya dalam Pasal 130 ayat (1) disebutkan :168

20. Undang-Undang Tentang Pos

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut. Kemudian pada ayat (2) dinyatakan : “Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: pencabutan izin usaha; dan/atau pencabutan status badan hukum.”

Dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos menyebutkan korporasi sebagai salah satu subyek Hukum Pidana yaitu dalam pasal 1 angka 13

167

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140)

168

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 143)

disebutkan :169

21. Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

“orang adalah perseorangan ataupun badan hukum.” Selanjutnya dalam BAB X ketentuan pidana dalam undang-undang ini tidak membedakan tindak pidana yang dilakukan oleh perorangan maupun badan hukum dan tidak ada ketentuan mengenai penjatuhan pidana kepada badan hukum.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang170

22. Undang-Undang Tentang Transfer Dana

secara eksplisit menyebutkan korporasi sebagai subyek Hukum Pidana. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 angka 9 yang menyatakan: “setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi” dan dalam angka 10 di Pasal yang sama dinyatakan : “korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana menyebutkan bahwa yang dimaksud penyelenggara transfer dana adalah bank dan badan usaha berbadan hukum Indonesia bukan badan yang menyelenggarakan kegiatan transfer dana.171

23. Undang-Undang Tentang Keimigrasian

169

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 146)

170

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122)

171

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5240)

Dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian,172

24. Undang-Undang Tentang Intelejen Negara

korporasi diartikan sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara memperluas makana setiap orang tidak hanya orang perorangan tapi juga badan hukum.173

25. Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Pasal 1 angka 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah174

26. Undang-Undang Kehutanan

merumuskan makna partai politik peserta pemilu sebagai partai politik yang telah memenuhi persyaratan sebagai Peserta Pemilu.

Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan menyebutkan bahwa:175

172

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216)

173

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5249)

174

Undang-Undang Republik Inonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316)

175

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5432)

“setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan

perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia dan/atau berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia”.

Dokumen terkait