• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA A. Tinjauan Umum Tentang Korporasi 1. Pengertian Korporasi - Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA A. Tinjauan Umum Tentang Korporasi 1. Pengertian Korporasi - Asas Strict Liability dan Asas Vicarious Liability Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup (Analisis"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA

A. Tinjauan Umum Tentang Korporasi 1. Pengertian Korporasi

Korporasi juga disebut dalam bidang hukum perdata sebagai badan hukum

atau rechtspersoon. Secara etimologis kata korporasi (Belanda: corporatie,

Inggris: corporation, Jerman: corporation) berasal dari kata “corporatio” dalam

bahasa latin. Seperti kata-kata lainnya yang berakhiran dengan “tio” maka

korporasi sebagai kata benda (substantium), berasal dari kata kerja “corporare”.

Corporare berasal dari kata corpus yang berarti memberikan badan atau

membadankan.Dengan demikian, corporatio adalah hasil dari pekerjaan yang

membadankan, atau dengan kata lain, badan yang dijadikan orang, badan yang

diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang

terjadi menurut alam.66

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli Hukum

Pidana untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain khususnya Hukum

Perdata sebagai badan hukum atau dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau

corporation.67

66

Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 66

67

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hlm. 11

(2)

badan atau usaha yang mempunyai identitas sendiri, kekayaan sendiri terpisah dari

kekayaan anggota.”68

Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan pengertian korporasi sebagai

badan hukum, yaitu :69

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Korporasi adalah :

an entity (ussualy business) having authority under law to act a single person distinct from the shareholder who own it and having rights to issue stock and exist indefinitely, a group or succession of person esthabilished in accordance with legal rules into a legal or justice person that’s the legal personality distinct from the natural persons who make it up exist indefinetly apart from them, and has the legal that’s constitution gives it.

70

1. Badan usaha yang sah; badan hukum;

2. Perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa

perusahaan yang dikelola dan dijalankan sebagai suatu perusahaan

besar.

Menurut kamus hukum, korporasi adalah suatu perkumpulan atau

organisasi, yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (persona),

ialah sebagai pengemban hak dan kewajiban; memiliki hak menggugat atau

digugat dimuka pengadilan.71

Berbicara mengenai pengertian korporasi, para sarjana memberikan

pengertian yang berbeda, menurut Utrecht/Moh. Soleh Djindang korporasi

68

Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Loc.Cit.

69

Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 2

70Kamus Besar Bahasa Indonesia

, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 596

71

(3)

adalah:72

Satjipto Rahardjo, menyatakan:

“suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak

bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri suatu personifikasi.

Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak dan

kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing.”

73

Ronald A. Anderson, Ivan Fox dan David P. Twomey dalam bukunya

Business Law mengatakan bahwa “The corporation as a legal person”,

selanjutnya dikatakan bahwa :

“Korporasi adalah suatu badan hasil

ciptaan hukum.Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur

fisiknya dan kedalamnya hukum memasukan unsur animus yang membuat badan

itu mempunyai kepribadian.Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan

hukum kecuali penciptaannya, kematiannya juga ditentukan oleh hukum”.

74

Menurut Loebby Loqman, dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana

tentang apa yang dimaksud dengan korporasi terdapat dua pendapat. Pendapat

pertama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu

kumpulan dagang yang berbadan hukum.Jadi dibatasi bahwa korporasi yang dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang sudah berbadan a corporation is an artificial legal being, created by government grant and endowed with certain powers. That is the corporation exists in the eyes of the law as a person, separate and distinct from the people who own the corporation... The corporation can use and be used in its own name with respect to corporate rights and liabilities, but the shareholders cannot use or be used as to those rights and liabilities.

72

Chidir Ali, Op.Cit., hlm. 64

73

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni 1986), hlm. 110

74

(4)

hukum. Alasannya adalah bahwa dengan sudah berbadan hukum, telah jelas

susunan pengurus serta sejauhmana hak dan kewajiban dalam korporasi tersebut.

Pendapat lain adalah yang bersifat luas; dimana dikatakan bahwa korporasi tidak

perlu harus berbadan hukum. Setiap kumpulan manusia, baik dalam hubungan

suatu dagang ataupun usaha lainnya, dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.

Dalam kaitannya dengan hal ini lanjutnya bahwa ternyata terdapat kelemahan

dalam bidang perUndang-undangan di Indonesia, yakni sejauh ini Indonesia

belum mempunyai Undang-undang korporasi, seperti halnya corporate law di

Amerika Serikat atau Undang-undang tentang perseroan di Belanda. Meskipun

sudah ada Undang-undang tentang perseroan di Indonesia ternyata masih harus

diperbaharui untuk disesuaikan dengan perkembangan sistem perkembangan

perekonomian dunia. Dengan adanya ketentuan tentang korporasi dalam suatu

perUndang-undangan akan lebihmudah untuk menunjukkan sejauh mana

pertanggungjawaban dalam korporasi tersebut.75

Pengertian badan hukum itu sendiri, sebenarnya terjadi sebagai akibat dari

perkembangan masyarakat menuju modernisasi. Dahulu di alam yang masih

primitif ataupun didalam kehidupan yang masih sederhana, kegiatan-kegiatan

usaha dijalankan secara perorangan. Perkembangannya, tumbuh kebutuhan untuk

menjalankan usaha secara bekerja sama dengan beberapa orang yang mungkin

atas dasar pertimbangan agar dapat menghimpun modal yang lebih berhasil

75

(5)

daripada dilaksanakan sendiri. Beranjak dari itu kemudian timbul keinginan untuk

membuat suatu wadah seperti badan hukum agar kepentingan-kepentingan

masing-masing lebih mudah dijalankan dan untuk membagi resiko yang mungkin

timbul dari bentuk kerjasama yang dijalankan.76

Adapun yang menjadi ciri-ciri sebuah badan hukum/korporasi adalah :77

1. Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang lain-orang yang

menjalankan kegiatan dari badan-badan hukum tersebut;

2. Memiliki hak-hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban

orang-orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut;

3. Memiliki tujuan tertentu;

4. Berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak

terikat pada orang-orang tertentu, karena hak dan kewajibannya tetap tetap

ada meskipun orang yang menjalankannya berganti.

Ronald A. Anderson et. al., menggolongkan korporasi berdasarkan

hubungannya dengan publik, sumber kekuasaan dan sifat aktivitas dari korporasi

itu sendiri. Dari penggolongan tersebut maka dalam negara Anglo Saxon,

jenis-jenis korporasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :78

1. Korporasi Publik, adalah sebuah korporasi yang didirikan oleh pemerintah

yang mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas administrasi di bidang urusan

publik, contohnya pemerintahan Kabupaten atau Kota;

76

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hlm. 13

77

Mochtar Kusumaadmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), hal. 81

78

(6)

2. Korporasi Privat, yaitu korporasi yang didirikan untuk kepentingan pribadi

yang dapat bergerak di bidang industri dan perdagangan, contohnya PT.

Garuda Tbk;

3. Korporasi Publik Quasi, atau yang lebih dikenal dengan korporasi yang

melayani kepentingan umum (public service), contohnya PT. Kereta Api

Indonesia, Perusahaan Air Minum dan Perusahaan Listrik Negara.

Memperhatikan penggolongan korporasi di negara Anglo Saxon tersebut di

atas, maka di Indonesia, penggolongan badan hukum dilihat dari jenisnya dapat

dibedakan menjadi dua yakni badan hukum publik dan badan hukum privat.

Badan hukum publik misalnya Negara Republik Indonesia, Pemerintah

Kota/Kabupaten dan sebagainya, sedangkan badan hukum privat misalnya

Perseroan Terbatas, Yayasan dan lain sebagainya. Kriteria untuk menentukan

suatu badan hukum dikatakan badan hukum publik atau badan hukum privat ada

dua yaitu:79

1. Dilihat dari pengelolaannya, badan hukum publik didirikan oelh

Pemerintah/Negara, sedangkan badan hukum privat didirikan

orang-perseorangan;

2. Dilihat dari kepentingannya, pada prinsipnya didirikannya badan hukum

tersebut apakah bertujuan untuk kepentingan umum atau tidak; artinya jika

lapangan pekerjaannya bertujuan untuk kepentingan umum, maka badan

hukum tersebut merupakan badan hukum publik, akan tetapi jika tujuannya

79

(7)

untuk kepentingan perseorangan maka badan hukum itu merupakan badan

hukum privat.

Korporasi dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum.

1. Badan hukum

Ada beberapa teori yang sering digunakan dalam rangka mengetahui

hakekat badan hukum yaitu antara lain:

a. Teori Finctie Dari Von Savigny

Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan

hukum itu hanyalah fiksi, yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada tetapi orang

menghidupkannya dalam bayangan sebagai subyek hukum yang dapat melakukan

perbuatan hukum seperti manusia.

b. Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel Vermogens Theorie)

Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum,

namun ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang,

tetapi kekayaan itu terikat dengan tujuan tertentu. Kekayaan inilah yang disebut

badan hukum.

c. Teori Organ dari Otto Van Gierke

Badan hukum menurut teori ini bukan sesuatu yang abstrak (fiksi) dan

bukan merupakan kekayaan (hak) yang tidak bersubyek, tetapi badan hukum

merupakan organism yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan

(8)

ada padanya (pengurus dan anggota-anggotanya), seperti manusia biasa yang

mempunyai panca indera.

d. Teori Propriete Collective

Teori ini diajarkan oleh Planiol dan Molengraff yang mengatakan bahwa

hak dan kewajiban badan hukum pada hakekatnya adalah hak dan kewajiban para

anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama

semua anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu

kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum.oleh karena

itu badan hukum adalah konstruksi yuridis saja.

e. Teori Kenyataan Yuridis

Badan hukum merupakan suatu reliteit, konkrit, rill, walaupun tidak bisa

diraba, bukan khayal tetapi kenyataan yuridis. Teori yang dikemukan oleh Mayers

ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan

manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.

Menurut Rudhy Prasetya, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Mulyadi,

badan hukum itu dapat mengambil berbagai bentuk, yaitu antara lain:80

1) Ada yang berbentuk perseroan terbatas seperti yang diatur dalam Bab III

Buku I KUHP Pasal 36-57;

2) Berbentuk perkumpulan sebagaiamana diatur dalam Titel IX Buku III KUHP;

80

(9)

3) Dapat berbentuk koperasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor

17 tahun 2012. Dalam undang-undang tersebut yang dimaksud dengan

koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau

badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai

modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan

bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan

prinsip Koperasi;

4) Berbentuk BUMN sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 19

tahun 2003 berupa perusahaan perseroan, perusahaan jawatan, perusahaan

jawatan;

5) Yayasan (Stichting) merupakan badan hukum berdasarkan Undang-undang

Nomor 16 tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.

Sedangkan menurut Pasal 1635 BW, badan hukum dapat dibagi atas tiga,

yaitu:

a) Badan hukum yang diadakan pemerintah/kekuasaan umum, misalnya Daerah

Tingkat I, Daerah Tingkat II/Kotamadya, bank-bank, yang didirikan oleh

negara dan sebagainya;

b) Badan hukum yang diakui oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya

perkumpulan,organisasi keagamaan dan sebagainya;

c) Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak

bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan seperti perseroan

(10)

2. Bukan Badan Hukum

Adapun badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum dapat

dikategorikan menjadi tiga bentuk yaitu: persekutuan perdata,

persekutuan/perusahaan firma (fa) persekutuan/perusahaan komanditer (CV).

Perbedaan antara badan hukum yang berbentuk badan hukum dan bukan badan

hukum terlihat dari perbedaan prosedur pendirian badan usaha tersebut. Untuk

pendirian badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum, maka syarat adanya

pengesahan akta pendirian dari pemerintah tidak diperlukan.81

1. Perusahaan perseorangan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan

dimiliki oleh pengusaha perseorangan, misalnya: perusahaan industri,

perusahaan dagang dan perusahaan jasa.

Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad, badan usaha yang

berbentuk bukan badan hukum dapat dikategorikan sebagai:

2. Perusahaan persekutuan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan

dimiliki oleh beberapa orang pengusaha secara bekerjasama. Perusahaan ini

dapat menjalankan usaha dalam semua bidang perekonomian, yaitu bidang

industri, dagang dan jasa yang dapat berbentuk perusahaan Firma (fa) dan

persekutuan komanditer (CV).82

Dalam konteks mati atau bubarnya korporasi, terdapat tiga kemungkinan

mengenai hal itu, yaitu:83

81Ibid

., hal 209

82Ibid

., hal. 210

83

(11)

1. Jangka waktu pendiriannya telah sampai, sedangkan para pendirinya tidak

memperpanjang “usia” dari korporasi itu. Bubarnya korporasi yang demikian

disebut bubar demi hukum;

2. Dibubarkan oleh para pendirinya atau oleh para pemegang saham berdasarkan

keputusan RUPS;

3. Dibubarkan oleh pengadilan berdasarkan putusan pengadilan atas

pertimbangan-pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim atau majelis

hakim yang memeriksa perkara tersebut;

4. Dibubarkan oleh undang-undang.

Berkaitan dengan badan hukum (korporasi) sebagai subyek hukum,

menurut Sudikno Mertokusumo subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat

memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Hak dan kewajiban dari hukum itu

hanyalah manusia.84

Menurut Alvi Syahrin, suatu badan hukum merupakan suatu badan (entity)

yang keberadaannya terjadi karena hukum atau undang-undang, dan sebagai

subyek hukum secara materiil ia (badan hukum) mencakup hal-hal sebagai

berikut:

Kenyataan dewasa ini, dalam lapangan masyarakat bukan

saja manusia yang oleh hukum diakui sebagai subyek hukum tetapi juga diberikan

kepada subyek hukum yang bukan manusia yaitu badan hukum.

85

84

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1999), hal. 67

85

Alvi Syahrin, Tinjauan Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.

862/K/PID.SUS/2010,

(12)

1. Kumpulan atau asosiasi modal (yang ditujukan untuk menggerakkan kegiatan

perekonomian dan atau tujuan khusus lainnya).

2. Kumpulan modal ini dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling)

dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking), dan ini menjadi tujuan

dari sifat dan keberadaan badan hukum, sehingga ia dapat digugat atau

menggugat di depan pengadilan.

3. Modal yang dikumpulkan ini selalu diperuntukkan bagi kepentingan tertentu,

berdasarkan pada ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang

mengaturnya. Sebagai suatu perkumpulan modal, maka kumpulan modal

tersebut harus dipergunakan untuk dan sesuai dengan maksud dan tujuan

yang sepenuhnya diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya, yang menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Kumpulan modal ini mempunyai pengurus yang akan bertindak untuk

mewakili kepentingan badan hukum ini, yang berarti adanya pemisahan

antara keberadaan harta kekayaan yang tercatat atas nama kumpulan modal

ini dengan pengurusan harta kekayaan tersebut oleh pengurus.

5. Keberadaan modal badan hukum ini tidak dikaitkan dengan keanggotaan

tertentu. Setiap orang yang memenuhi syarat dan persyaratan yang diatur

dalam statuta atau anggaran dasarnya dapat menjadi anggota badan hukum ini

dengan segala hak dan kewajibannya.

6. Sifat keanggotaannya tidak permanen dan dapat dialihkan atau beralih kepada

siapapun juga, meskipun keberadaan badan hukum ini sendiri adalah

(13)

7. Tanggungjawab badan hukum dibedakan dari tanggungjawab pendiri,

anggota, maupun pengurus badan hukum tersebut.

Dengan demikian didalam Hukum Perdata, badan hukum sudah tidak

diragukan lagi adalah merupakan subyek hukum disamping orang

(natuurlijkperson), bagaimana didalam Hukum Pidana, apakah badan hukum

dapat dijadikan sebagai subyek Hukum Pidana ?

2. Perkembangan Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana

Dalam hukum dikenal pengertian subjek hukum yang dalam istilah

Belanda meliputi “persoon” dan “recthpersoon”. Persoon adalah manusia atau

orang yang memiliki kewenangan untuk bertindak dalam lapangan hukum,

khususnya hukum perdata. Rechtpersoon ialah badan hukum yang diberi

kewenangan oleh Undang-undang untuk dapat bertindak sebagaimana orang yang

masuk dalam golongan persoon.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam pandangan KUHP, yang dapat

menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah

terlihat pada perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakkan

daya berpikir sebagai syarat sebagai subjek tindak pidana, juga terlihst dsri wujud

hukuman atau pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman

penjara, kurungan dan denda.86

Korporasi sebagai subjek Hukum Pidana mulai berkembang sebagai akibat

terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat dalam menjalankan aktivitas

86

(14)

usaha. Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup dijalankan

secara perorangan. Namun dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi

sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerjasama dengan pihak lain

dalam menjalankan kegiatan usahanya. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan

untuk mengadakan kerjasama tersebut adalah terhimpunnya modal yang lebih

banyak, tergabungnya keterampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik

dibandingkan dengan yang dijalankan seorang diri, serta dapat membagi resiko

kerugian secara bersama.

Dalam pembahasan mengenai perkembangan konsep korporasi sebagai

subjek Hukum Pidana, Rudy Prasetyo mengatakan bahwa timbulnya konsep

badan hukum dalam hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan

kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi (badan hukum)

merupakan suatu ciptaan hukum, yakni pemberian status sebagai subjek hukum

kepada suatu badan, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah.

Dengan demikian, badan hukum dianggap dapat menjalankan atau melakukan

suatu tindakan hukum.87

Pemberian status subjek hukum khusus yang berupa badan tersebut, dalam

perkembangannya dapat terjadi karena berbagai macam alasan dan/atau motivasi.

Salah satunya misalnya untuk memudahkan menentukan siapa yang harus

bertanggung jawab diantara mereka yang terhimpun dalam badan tersebut, yakni

secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk badan hukum sebagai subjek

87

(15)

yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangan eksistensi

sebagai subjek hukum, diakui pula oleh bidang hukum di luar hukum perdata,

misalnya hukum pajak, hukum administrasi negara, serta Hukum Pidana.

Terdapat perbendaan pendapat mengenai kedudukan korporasi sebagai

subjek Hukum Pidana. Beberapa sarjana menyatakan korporasi tidak dapat

dijadikan subyek Hukum Pidana dengan alasan sebagai berikut :

a. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan

kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah;88

b. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat dapat

dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh

persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan dan

sebagainya; “selain itu juga disebutkan dalam buku Barda Nawawi dalam

perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh korporasi, misal:

bigami, perkosaan, sumpah palsu”89

c. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak

dapat dikenakan pada korporasi; “hal ini juga disebutkan Barda Nawawi

dalam bukunya, yaitu dalam perkara yang satu-satunya pidana yang dapat

dikenakan tidak mungkin dikenakan kepada korporasi, misal pidana penjara

atau pidana mati”90

88

Syamsul Arifin dan Muhammad Hamdan, Op.Cit., hal 34

89

Barda Nawawi Arief , Op.Cit, hal 45-46

(16)

d. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya

mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah, misalnya para pemegang

saham dan karyawan;91

e. Bahwa didalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas

dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu

sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana;

92

f. Sulit untuk membuktikan unsur kesengajaan dan perencanaan dari suatu

perbuatan badan hukum.93

Sedangkan yang setuju menempatkan korporasi sebagai subyek Hukum

Pidana menyatakan :

a. Mengingat di dalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin

memainkan peranan yang penting pula;94

b. Huku m Pidana harus mempunyai fungsi didalam masyarakat dan

menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat;95

c. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu upaya

untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai itu sendiri;96

d. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represif

terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi.

91

Syamsul Arifin dan Muhammad Hamdan, Op.Cit., hal 35

92Ibid

.

93Ibid

.

94

Mahmud Mulyadi dan Ferri Antoni Surbakti, Op.Cit., hal 18

95Ibid. 96

(17)

Karenanya diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi;

korporasi dan pengurus; atau pengurus saja.97

Pengakuan korporasi (rechtsperson) sebagai subjek hukum dalam Hukum

Pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoritis, tidak seperti pengakuan subjek

Hukum Pidana pada manusia. Terdapat dua alasan mengapa kondisi tersebut

terjadi. Pertama, begitu kuatnya pengaruh teori fiksi (fiction theory) oleh Von

Savigny, yakni kepribadian hukum sebagai kesatuan-kesatuan dari manusia

merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada

manusia. Negara-negara, korporasi-korporasi, ataupun lembaga-lembaga, tidak

dapat menjadi subjek hak dan perseorangan, tetapi diperlakukan seolah-olah

badan-badan itu manusia. Semua hukum ada demi kemerdekaan yang melekat

pada tiap individu. Oleh karena itu konsep asli kepribadian harus sesuai dengan

cita-cita manusia.98

Kedua, masih dominannya asas universalitas delinguere non potest yang

berarti badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana dalam sistem

Hukum Pidanadi banyak negara.Asas ini merupakan hasil pemikiran dari abad

ke-19, dimana kesalahan menurut Hukum Pidana selalu diisyaratkan dan

sesungguhnya hanya kesalahan dari manusia, sehingga erat kaitannya dengan

individualisasi KUHP. Dalam konteks, KUHP yang hingga saat ini masih

diberlakukan di Indonesia, asas tersebut ternyata begitu mempengaruhi

kemunculan Pasal 59 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:99

97

Syamsul Arifin dan Muhammad Hamdan, Loc.Cit.

98

Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 64-65

99

R.Soesilo, Loc.Cit.

(18)

mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota

badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan

pengurus, atau komisaris ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran

tindak pidana.”

Pasal 59 KUHP tersebut esensinya berbicara tentang tindak pidana yang

hanya bisa dilakukan oleh manusia, tidak termasuk korporasi. Oemar Seno Adji

berpendapat, sebagaimana yang dikutip oleh Mahrus Ali, bahwa Pasal 59 KUHP

menunjukkan bahwa tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh seorang/manusia.

Fiksi badan hukum tidak berlaku dalam KUHP. Sedangkan Van Bemmelen secara

lebih rinci menyatakan bahwa pasal itu tidak membicarakan tindak korporasi,

iahanya memuat dasar penghapus pidana bagi anggota pengurusnya atas suatu

pelanggaran yang dilakukan tanpa sepengetahuannya.100

Dalam perkembangannya dua alasan tersebut lama kelamaan mulai

melemah pengaruhnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya usaha untuk

menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dalam lingkungan pidana, yaitu

adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya.Usaha tersebut dilatarbelakangi

fakta bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil

kejahatan yang dilakukan oleh pengurusnya. Begitu juga dengan kerugian yang

dialami oleh masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindakan

pengurus-pengurus korporasi.101

100Ibid

., hlm. 65-66

101Ibid

.

Oleh karenanya, dianggap tidak adil bila korporasi tidak

(19)

kemudian memunculkan tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek

huku m dalam Hukum Pidana.

Adapun tahapan-tahapan perubahan dan perkembangan kedudukan

korporasi sebagai subjek Hukum Pidana dapat dibedakan dalam tiga tahap,

yaitu:102

1. Tahap Pertama

Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar agar sifat delik yang dilakukan

korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon).Sehingga apabila suatu

tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana tersebut

dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.Tahap ini merupakan dasar

bagi Pasal 59 KUHP.

Melihat ketentuan tersebut diatas, maka para penyusun kitab

Undang-undang Hukum Pidana dipengaruhi oleh asas societas delinquere non potest, yaitu

badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana.

Pengurus pada tahap ini tidak memenuhi kewajiban yang sebenarnya

merupakan kewajiban korporasi dapat dinyatakan bertanggungjawab.Kesulitan

yang timbul dalam Pasal 59 KUHP ini adalah apabila hal pemilik atau

pengusahanya adalah korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa

pengurusnya bertanggungjawab, maka bagaimana memutuskan tentang pembuat

dan pertanggungjawabannya? Kesulitan ini dapat diatasi dengan perkembangan

kedudukan dalam tahap kedua.

2. Tahap Kedua

102

(20)

Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang

Dunia I dalam perumusan Undang-undang bahwa suatu tindak pidana, dapat

dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi).Tanggung jawab untuk

itu juga menjadi beban dari pengurus badan hukum tersebut.

Tanggung jawab pada tahap ini perlahan-lahan beralih dari anggota

pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan

apabila melalaikan memimpin secara sesungguhnya. Tahap ini menyebabkan

korporasi dapat menjadi pembuat delik, akan tetapi yang dipertanggungjawabkan

adalah para anggota pengurus, asal dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu.

Walaupun pertanggungjawaban pidana secara langsung dari korporasi masih

belum muncul.

3. Tahap Ketiga

Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya tanggung jawab yang

langsung dari korporasi yang dimulai pada waktu dan sesudah Perang Dunia II.

Pada tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta

pertanggungjawabannya menurut Hukum Pidana. Alasan lain adalah karena

misalnya dalam delik-delik ekonomi dan fisik keuntungan yang diperoleh

korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya

sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada

pengurus korporasi saja. Alasan yang diajukan bahwa dengan memidana para

pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi

(21)

dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati

peraturan bersangkutan.

Adapun tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek Hukum

Pidana di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan yang terjadi di Belanda.

Pada tahap pertama dalam W.v.S. Belanda, Pasal 51 sebelum diadakan perubahan

ketentuan tersebut rumusannya sama dengan ketentuan Pasal 59 KHUP. Hal ini

dipengaruhi oleh asas universitas delingquere nonpotest, yaitu sifat delik yang

dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan.103

Pada tahap kedua baik di Belanda maupun di Indonesia, di dalam

perumusan Undang-undang dikenal bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan

oleh korporasi, akan tetapi pertanggungjawaban pidana secara langsung belum

timbul, sehingga yang dapat dipertanggungjawabkan adalah pengurus

korporasi.104

Tahap ketiga di negeri Belanda maupun di Indonesia, pertanggungjawaban

pidana korporasi secara langsung sudah dikenal.Di negeri Belanda perkembangan

pertanggungjawaban langsung pidana korporasi pada mulanya terdapat

dalamperUndang-undangan khusu di luar KUHP, seperti Pasal 15 Wet op de

Ecconomische DelictenTahun 1950, Pasal 74 jo.Pasal 2 Rijksbelastingen Wet

Tahun 1959. Perkembangan ini juga terjadi di Indonesia, seperti yang terdapat

dalam Pasal 15 Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-undang Nomor

7 Drt. Tahun 1955), Pasal 17 Undang-undang Nomor 11 PNPS Tahun 1963

103

Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 61

104Ibid

(22)

tentang Tindak Pidana Subversi. Tetapi, perkembangan pertanggungjawaban

pidana secara langsung terhadap korporasi di negeri Belanda akhirnya berlaku

secara umum dalam Hukum Pidana, dengan mengadakan perubahan Pasal 15

W.v.S Belanda pada tahun 1976. Akan tetapi perkembangan tersebut di Indonesia

belum terjadi.105

B. Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana

Dengan demikian di dalam Hukum Pidana umum belum dikenal

pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung. Indonesia dewasa ini,

pertanggungjawaban pidana korporasi secara langsung hanya terdapat dan berlaku

dalam terhadap beberapa perUndang-undangan khusus diluar KUHP. Ternyata

dalam prospek pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi menganut pula

perkembangan yang terjadi di negeri Belanda. Hal ini terlihat dalam Rancangan

KUHP Buku I Tahun 2011-2012 Pasal 182 yang berbunyi: “Korporasi adalah

kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan

hukum maupun bukan badan hukum”.

1. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing disebut juga

Torekenbaardheid atau criminal responsibility, yang menjurus kepada

pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang

terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang

105Ibid

(23)

terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana itu adalah diteruskannya celaan

objektif yang ada pada tindak pidana.106

Terdapat dua pandangan tentang pertanggungjawaban pidana, yaitu

pandangan monistis dan pandangan dualistis. Pandangan monistis atau monisme

dikemukakan antara lain oleh Simon. Menurut aliran monisme, unsur-unsur

strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan yang lazim disebut unsur objektif,

maupun unsur pembuat yang lazim dinamakan unsur subjektif. Oleh karena itu,

dicampurnya unsur perbuatan dan unsur pembuatnya, maka dapat disimpulkan

bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana,

sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi strafbaar feit, maka pasti

pelakunya dapat dipidana.107

Penganut pandangan monistis tentang strafbaar feit atau criminal act

berpendapat, bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut

pembuat delik meliputi :108

a. Kemampuan bertanggungjawab;

b. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan;

c. Tidak ada alasan pemaaf.

Adapun orang pertama yang menganut pandangan dualistis adalah Herman

Kontorowicz, pada tahun 1933 sarjana Hukum Pidana Jerman yang menentang

kebenaran pendirian mengenai kesalahan (schuld) yang ketika itu berkuasa yang

beliau namakan objective schuld oleh karena kesalahan disitu dipandang sebagai

106

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Op.Cit., hlm. 34

107

Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 63

108

(24)

sifat daripada kelakuan (merkmal der handlung). Untuk adanya

Strafvoraussetzungen (syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat)

diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya strafbare handlung (perbuatan

pidana), lalu setelah itu dibuktikan schuld atau kesalahan subjektif.109

Hubungan kesalahan dengan pemidanaan menurut ajaran dualistis dapat

digambarkan sebagai berikut:

Menurut ajaran dualistis, tindak pidana dipisahkan dari

pertanggungjawaban pidana. Kesalahan sebagai penentu utama berat ringannya

pidana yang dijatuhkan meliputi dua hal, yakni menunjuk kepada tindakan yang

tercela atau actus reus yaitu dilanggarnya standar etis masyarakat yang telah

diformulasikan dalam Undang-undang sebagai delik, dan pertanggungjawaban

pidana atau mens rea, yaitu sikap bathin atau keadaan psikologis pelaku diukur

menurut nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, yang seharusnya dilakukan

atau tidak dilakukan oleh pelaku, tetapi dilanggar.

110

1. Kesalahan actus reus menentukan batas minimal dan maksimal yang

dibolehkan oleh undang-undang;

2. Kesalahan pada mens rea menentukan range pemidanaan;

3. Hal-hal lain yang memberatkan maupun yang meringankan menentukan

pemidanaan antara batas range bawah sampai range atas.

109

Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 66

110

(25)

Berdasarkan uraian diatas, bahwa masalah pertanggungjawaban pidana

berkaitan erat dengan unsur kesalahan, membicarakan unsur kesalahan dalam

Huku m Pidana ini berarti mengenai jantungnya. Sejalan dengan itu, menurut

Sauer ada tiga pengertian dasar dalam Hukum Pidana, yaitu:111

1. Sifat melawan huku m (unrecht);

2. Kesalahan (schuld);

3. Pidana (strafe).

Menurut Roeslan Saleh, dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk

hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya

perbuatan.Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga

dipidana, tergantung apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai

kesalahan atau tidak. Apabila memang mumpunyai kesalahan tentulah akan

dipidana.112

Berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana, Sudarto menyatakan

pendapatnya sebagai berikut:113

111

Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 14-15

112

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 75

113

Mahrus Ali, Op.Cit., hlm. 95

Dipidananya sesorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.Jadi meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik dalam Undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana.Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.

(26)

Secara lebih rinci, Sudarto menyatakan bahwa agar seseorang memiliki

aspek pertanggungjawaban pidana, dalam arti dipidananya pembuat, terdapat

beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:114

1. Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat;

2. Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan;

3. Adanya pembuat yang bertanggung jawab;

4. Tidak ada alasan pemaaf.

Dalam Hukum Pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban”

merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa

latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini

dilandaskan pada konsepsi bahwa suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang

bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat.Disini berlaku apa yang disebut asas

“tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld atau geen straf zonder

schuld atau nullapoena sine culpa). Dalam Hukum Pidana Inggris asas ini dikenal

dalam bahasa Latin yang berbunyi “actus non facit reum misi mens sit rea” (an

act does not make a person guilty, unless the mind is guilty).115

Asas tersebut disebut juga dengan asas legalitas dan tercantum secara

implisit dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau dalam Di dalam doktrin

ini terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang,

yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/tindak pidana (actus reus) dan ada

sikap batin jahat/tercela (mens rea).

114Ibid

.

115

(27)

peraturan lain, akan tetapi berlakunya asas tersebut tidak diragukan lagi. Pasal 6

ayat (2) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

berbunyi:116

Terdapat beberapa pengertian dari kesalahan menurut para sarjana, antara

lain :

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan

karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang, mendapat keyakinan

bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas

perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”Dari bunyi pasal tersebut jelas unsur

kesalahan sangat penting bagi penentuan akibat dari perbuatan yang dilakukan

seseorang yaitu berupa penjatuhan pidana.

117

1. Mazger mengatakan: “Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi

dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat pidana.

2. Simons mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “social-ethisch”,

dan mengatakan antara lain: “sebagai dasar untuk pertanggungjawaban dalam

Hukum Pidana ia berupa keadaan psikis (jiwa) dari si pembuat, dan

hubungannya terhadap perbuatannya dan di dalam arti bahwa berdasarkan

psikis (jiwa) itu perbuatannya dicelakan kepada si pembuat.

3. Van Hamel mengatakan bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan

pengertian psikologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat dan

terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah

116

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076)

117

(28)

pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de

verantwoor-delijkheidrechtens)”.

4. Pompe mengatakan antara lain : “pada pelanggaran norma yang dilakukan

karena kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi

luarnya. Yang bersifat melawan hukum adalah perbuatannya. Segi dalamnya

yang bertalian dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan. Kesalahan ini

dapat dilihat dari dua sudutmenurut akibatnya ia adalah hal yang dapat

dicelakan (verwijtbaarheid) dan menurut hakikatnya ia adalah hal yang dapat

dihindarkannya (vermijdbaarheid) perbuatan melawan hukum”.

Dari pendapat-pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa kesalahan itu

mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak

pidana.Pencelaan disini bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan

pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Sebagaimana yang dikatakan oleh

Sudarto bahwa untuk adanya kesalahan maka harus ada pencelaan ethics, betapa

pun kecilnya.118

Sudarto membedakan pengertian kesalahan psikologis dan pengertian

kesalahan normatif.Pengertian kesalahan psikologis yaitu bahwa kesalahan hanya

dipandang sebagai hukum psikologis (batin) antara sipembuat dan

perbuatannya.Hubungan batin tersebut dapat berupa keengajaan atau

kealpaan.Pada kesengajaan hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatan

(beserta akibatnya) dan pada kealpaan tidak ada kehendak demikian.Sehingga

118Ibid

(29)

hanya menggambarkan keadaan batin sipembuat, sedangkan yang menjadi

ukurannya adalah sikap batin yang berupa kehendak terhadap perbuatan atau

akibat perbuatan.119

Adapun pengertian kesalahan normatif, menentukan kesalahan seseorang

tidak hanya berdasarkan sikap batin atau hubungan batin antara pembuat dan

perbuatannya, tetapi disamping itu harus ada unsur penilaian atau unsur normatif

perbuatannya. Penilaian dari luar ini merupakan pencelaan dengan memakai

ukuran yang terdapat dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya diperbuat oleh

si pembuat. Dalam pengertian ini, sikap batin si pembuat adalah merupakan

kesengajaan dan kealpaan tetap diperhatikan, namun hanya merupakan unsur dari

kesalahan atau unsur lain yaitu penilaian mengenai keadaan jiwa si pembuat, ialah

kemampuan bertanggungjawab dan tidak hanya penghapus kesalahan.120

Berdasarkan uraian mengenai pengertian kesalahan di atas, dapat

dikatakan bahwa kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban

pidana.Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin

antara si pembuat dan perbuatannya.Adanya kesalahan pada seseorang maka

orang tersebut dapat dicela. Mengenai keadaan jiwa seseorang yang melakukan

perbuatan merupakan apa yang lazim disebut sebagai kemampuan bertanggung

jawab, sedangkan hubungna batin antara si pembuat dan perbuatannya itu

merupakan kesengajaan, kealpaan, serta alasan pemaaf. Dengan demikian, untuk

119Ibid

., hlm. 90

120Ibid

(30)

menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa unsur antara

lain :121

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat;

2. Hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang merupakan

kesengajaan (dolus) datau kealpaan (culpa) ini disebut bentuk kesalahan;

3. Tidak adanya alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.

Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan. Yang satu bergantung kepada yang lain, yang disebutkan kemudian

bergantung kepada yang disebutkan terlebih dahulu, artinya ketiganya

berhubungan satu dengan yang lainnya. Konkretnya tidaklah mungkin dapat

dipikirkan tentang adanya kesengajaan ataupun kealpaan, apabila orang itu tidak

mampu bertanggung jawab.Begitupula tidak dapat dipikirkan tentang alasan

pemaaf apabila orang tidak mampu bertanggung jawab dan tidak pula adanya

kesengajaan atau kealpaan.Selanjutnya karena tidak ada gunanya

mempertanggungjawabkan terdakwa yang melakukan perbuatan apabila

perbuatannya tidaklah bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut sekarang dapat

pula dinyatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya

perbuatan pidana, dan kemudian unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula

dengan perbuatan pidana yang dilakukan. Sehingga untuk adanya kesalahan yang

mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah: (a) melakukan

121Ibid

(31)

perbuatan pidana, (b) mampu bertanggung jawab; (c) dengan kesengajaan atau

kealpaan; (d) tidak adanya alasan pembenar dan pemaaf.122

Mengenai rumusan bertanggung jawab KUHP tidak memberikan

perumusan, hanya terdapat dalam Memorie van Toelichting (memori penjelasan)

secara negatif menyebutkan mengenai pengertian kemampuan bertanggung jawab

itu, yaitu tidak adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat:123

a. Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memiliki antara berbuat dan

tidak berbuat apa yang oleh undang-undang dilarang atau diperintahkan,

dengan kata lain dalam hal perbuatan dipaksa.

b. Dalam hal pembuat ada dalam suatu keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat

menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan tidak

mengerti akibat perbuatannya itu (nafsu patologis, gila dan sebagainya).

Mengenai kesengajaan atau kealpaan/kelalaian Dalam Criminal wetboek

tahun 1809 di cantumkan: “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak

melakukan perbuatan yang di larang atau di perintahkan oleh Undang-undang.”

Dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman sewaktu pengajuan

Criminal Wetboek tahun 1881 (yang menjadi kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Indonesia 1915), di jelaskan: “sengaja“ diartikan: “dengan sadar dari

kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu”.

Undang-undang tidak memberi definisi apakah kelalain itu. Hanya

memorie penjelasan (Memori van Toelichting) mengatakan bahwa kelalaian

122

Muladi dan Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 76

123Ibid

(32)

(culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimanapun juga culpa itu di

pandang lebih ringan di banding dengan sengaja. Oleh karena itu

Hazewinkel-suringa mengatakan bahwa delik culpa itu merupakan delik semu (quasidelict)

sehingga di adakan pengurangan pidana. Bahwa culpa itu terletak antara sengaja

dan kebetulan kata Hazewinkel-suringa di kenal pula di Negara-negara

anglo-saxon yang di sebut per infortunium the killing occurred accidently.

Mengenai tidak adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf, apabila tidak

dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan yang sesuai dengan

rumusan delik disebabkan karena hal-hal yang mengakibatkan tidak adanya sifat

melawan hukunya perbuatan, maka dikatakanlah hal-hal tersebut sebagai

alasan-alasan pembenar. Didalam KUHP hal ini diatur pada:124

a. Pasal 48, mengenai keadaan terpaksa;

b. Pasal 49 ayat (1), mengenai pembelaan darurat;

c. Pasal 50, mengenai menjalankan peraturan perundang-undangan;

d. Pasal 51 ayat (1), mengenai melaksanakan perintah jabatan yang sah.

Sebaliknya apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan

perbuatan yang sesuai dengan rumusan delik disebabkan karena tidak sepantasnya

orang itu dicela, tidak sepatutnya ia disalahkan, maka hal-hal yang menyebabkan

ia tak patut dicela disebut sebagai alasan pemaaf. Di dalam KUHP hal ini diatur

dalam:125

a. Pasal 44, mengenai tidak mampu bertanggung jawab;

124Ibid

., hlm. 51

125Ibid

(33)

b. Pasal 49 ayat (2), melakukan pembelaan yang melampaui batas;

c. Pasal 51 ayat (2), melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah, tetapi

dipandang sebagai perintah yang sah.

Dengan demikian pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai

diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada tindak pidana dan secara

subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya

itu. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat

dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak

pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan

tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan

menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.126

Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban

orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang

dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.

Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang

dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya

merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh Hukum Pidana untuk bereaksi

terhadap pelanggaran atau ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.127

2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Sehubungan dengan kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai

pelaku tindak pidana, timbul pertanyaan kriteria apa yang digunakan untuk

126

Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 75

127

(34)

menentukan kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek Hukum

Pidana mengingat bahwa korporasi tidak mempunyai sifat kejiawaan sebagaimana

halnya dengan manusia alamiah.

Menurut Rolling, sebagaimana yang dikutip oleh Mahmud Mulyadi, badan

hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana, bilamana perbuatan yang

terlarang yang pertanggungjawabannya dibebankan kepada badan hukum

(korporasi) dilakukan dalam rangka tugas dan pencapaian tujuan-tujuan badan

hukum tersebut. Menurutnya kriteria ini didasarkan pada delik fungsional.

Sehubungan dengan hal tersebut, yang dimaksud dengan delik fungsional adalah

delik-delik yang berasal dari ruang lingkup atau suasana sosial ekonomi dimana

dicantumkan syarat-syarat bagaimana aktivitas sosial atau ekonomi tertentu harus

dilaksanakan dan terarah atau ditujukan pada kelompok-kelompok fungsionaris

tertentu.128

Mencermati ajaran atau konsep pelaku fungsional, yakni perbuatan fisik

seseorang yang sebenarnya telah menghasilkan perbuatan fungsional lainnya,

maka kemampuan bertanggung jawab masih berlaku dalam

mempertanggungjawabkan korporasi dalam Hukum Pidana. Korporasi tidaklah

dibentuk tanpa suatu tujuan dan dalam pencapaian tujuan korporasi tersebut selalu

diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Dengan demikian kemampuan

bertanggung jawab oleh orang-orang yang berbuat untuk dan atas nama korporasi

dapat dialihkan menjadi kemampuan bertanggung jawab korporasi sebagai subjek

128

(35)

tindak pidana. Diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana oleh beberapa

peraturan perUndang-undangan diluar KUHP termasuk didalam Rancangan

KUHP menunjukkan bahwa terjadi perluasan mengenai siapa yang dikatakan

sebagai pelaku tindak pidana, dimana suatu badan hukum (korporasi) apabila

dituntut telah melakukan tindak pidana baik dilakukan dengan kesengajaan atau

kealpaan.129

Membicarakan korporasi sebagai pelaku tindak pidana, Mardjono

Reksodiputro, sebagaimna yang dikutip Mahmud Mulyadi, menyatakan bahwa

cara berpikir dalam hukum perdata dapat diambil alih ke dalam hukum pidana.

Sebelumnya dalam hukum perdata terdapat perbedaan pendapat apakah suatu

badan hukum dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).

Namun melalui asas kepatutan dan keadilan sebagai dasar utama, maka Ilmu

Hukum Perdata menerima suatu badan hukum dapat dianggap bersalah yang

merupakan perbuatan yang melawan hukum, lebih-lebih dalam lalu lintas

perekonomian.

Berkaitan dengan kesengajaan dan kealpaan korporasi timbul pertanyaan

apakah badan hukum (korporasi) yang tidak memiliki jiwa kemanusiaan dan

unsur-unsur psikis dapat memenuhi unsur kesalahan atau dengan kata lain apakah

asas kesalahan berlaku untuk dasar pemidanaan korporasi sebab asas tiada pidana

tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) adalah merupakan asas yang

fundamental dalam hukum pidana.

130

129Ibid

., hlm. 47

130Ibid

(36)

Ajaran ini mendasarkan pada pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh

pengurus harus dapat dipertanggungjawabkan kepada badan hukum, karena

pengurus dalam bertindak tidak melakukannya atas hak atau kewenanngannya

sendiri, tetapi melainkan atas hak atau kewenangan badan hukum yang

bersangkutan. Dengan demikian bahwa badan hukum juga tidak dpat melepaskan

diri dari kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang dilakukan oleh pengurusnya.

Cara berfikir dalam Hukum Perdata ini dapat diambil alih ke dalam Hukum

Pidana.131

Mengenai alasan penghapusan pidana korporasi, timbul pertanyaan apakah

alasan-alasan penghapusan pidana yang umumnya berlaku kepada seseorang

(manusia) juga dapat diberlakukan bagi badan hukum (korporasi). Sebagaimana

telah dijelaskan pada bagian terdahulu, bahwa alasan penghapusan pidana yang

dikenal dalam KUHP adalah alasan pembenar dan alasan pemaaf. Dari kedua

alasan ini terlihat bahwa alasan penghapusan pidana itu bersifat kejiwaan pada

manusia pribadi, yang tidak mungkin dimiliki badan hukum. Dengan demikian

alasan yang seperti ini, tidak dapat diberlakukan/digunakan oleh badan hukum.

Alasan yang dapat digunakan badan hukum adalah dengan cara kembali kepada

peraturan Undang-undang yang mengaturatau yang menyatakan bahwa suatu

badan hukum itu dapat dituntut atau dijatuhi sanksi pidana, atau kembali kepada

ajaran atau teori yang mengatur tentang hal tersebut. Dari ajaran/teori inilah dicari

alasan-alasan yang dapat digunakan oleh badan hukum.132

131Ibid

.

132

(37)

Kedudukan korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan dapat

dipertanggungjawabkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan Hukum Pidana,

terdiri dari beberapa hal yakni:133

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab

secara pidana.

Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha agar sifat tindak

pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan.Mengenai pengurus

korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab, maka terhadap pengurus

diberikan kewajiban-kewajiban yang sebenarnya adalah kewajiban

korporasi.Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan

pidana.Adapun yang menjadi dasar pemikirannya adalah bahwa korporasi itu

sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, tetapi

selalu penguruslah yang melakukan delik itu.Dan karenanya penguruslah yang

diancam pidana dan dipidana.

Sistem ini dinilai, tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan KUHP yang

menganut bahwa subjek tindak pidana adalah orang (naturalijk persoon) dengan

dilatarbelakangi pengaruh asas “societas delinguere non potest” yaitu badan

hukum tidak mungkin melakukan tindak pidana. Ketentuan yang mengatur hal ini

terdapat dalam KUHP, seperti pasal 169 KUHP, Pasal 398 KUHP dan 399

KUHP.

Menentukan pertanggungjawaban pidana korporasi dengan menggunakan

sistem ini dapat ditentukan beberapa ilustrasi, yaitu:134

133

(38)

1) Berkaitan dengan fungsi, yakni: perbuatan yang dilakukan atau diperintahkan

oleh pelaku tindak pidana, akan tetapi perbuatan tersebut tidak ada kaitannya

dengan tugas dan pekerjaan pengurus, maka tidak berwenang mengambil

keputusan yang mengikat untuk korporasi dalam melakukan tindak pidana.

2) Pengurus atau pegawai korporasi yang tidak ada kaitannya dengan tugas dan

pekerjaan pengurus tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan

yang mengikat korporasi dalam melakukan atau tidak melakukan perbuatan

itu agar dilakukan oleh orang lain, merupakan yang tidak sesuai dengan

tujuan dan maksud korporasi sebagaimana yang ditentukan dalam anggaran

dasarnya maka korporasi tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana.

b. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi yang

bertanggung jawab secara pidana.

Dalam sistem ini korporasi sebagai pembuat, penguruslah yang ditunjuk

untuk bertanggung jawab. Sistem ini ditandai dengan adanya pengakuan yang

timbul bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan

usaha (korporasi) akan tetapi tanggung jawab itu menjadi beban dari pengurus

badan hukum tersebut. Sehingga apa yang dipandang dilakukan oleh korporasi

adalah apa yang dilakukan oleh alat kelengkapan koporasi menurut wewenang

berdasarkan anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi,

pada pokoknya tindak pidana dilakukan seseorang tertentu sebagai pengurus dan

badan hukum tersebut.

134

(39)

Menetapkan korporasi sebagai pembuat, dapat dilakukan dengan

berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan pencapaian tujuan badan

hukum.Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi adalah merupakan perbuatan

seseorang sebagai pengurus badan hukum tersebut.Sifat dari perbuatan yang

menjadikan tindak pidana itu adalah onpersoonlijk.135

c. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang bertanggung

jawab secara pidana.

Suatu perbuatan dipandang

sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana

tersebut dilakukan oleh pegawai/pengurus dari korporasi yang memiliki

kewenangan untuk bertindak mewakili kepentingan dari korporasi itu sendiri.

Sistem ini memandang korporasi sebagai pelaku yang bertanggung jawab.

Alasannya adalah bahwa dengan memperhatikan perkembangan dari korporasi itu

sendiri, yaitu bahwa untuk beberapa delik tertentu, ditetapkannya pengurus saja

yang dapat dipidana ternyata tidak cukup. Misalnya berbagai delik-delik ekonomi,

bukan mustahil hukuman yang dijatuhkan kepada pengurus atas kerugian

ditimbulkan dalam masyarakat dibandingkan keuntungan yang diperoleh

korporasi, tidak akan seimbang sehingga tidak cukup untuk menjatuhkan

hukuman hanya kepada pengurus saja.

Sutan Rehmi Sjahdeini menambahkan satu bentuk sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi, sehingga menurut Sutan Rehmi Sjahdeini

terdapat empat bentuk sistem pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai

berikut:

135

(40)

d. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus korporasi

lah yang bertanggung jawab secara pidana

Penjatuhan pidana kepada pengurus tidak memberikan jaminan yang

cukup bahwa korporasi tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum.Oleh

karena itu diperlukan pula untuk memidana korporasi dan pengurusnya.

Alasan-alasan pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi

khususnya menyangkut pengurus dan korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan

pula yang bertanggung jawab, dapat diberlakukan terhadap keduanya:136

1) Apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka

tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian akibat perbuatan

pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan

untuk memberikan keuntungan bagi korporasi;

2) Apabila hanya korporasi yang dibebani pertanggungjawaban pidana

sedangkan pengurus tidak memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan

dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tangan”;

3) Pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi hanya mungkin dilakukan

secara vicarious liability;

4) Segala perbuatan hukum dilakukan oleh manusia dalam menjalankan

kepengurusan korporasi sehingga tidak seharusnya hanya korporasi saja yang

dimintai pertanggungjawaban pidana sedangkan pengurusnya dibebaskan

maupun sebaliknya.

136Ibid

(41)

Lebih lanjut dalam perusahaan dibedakan antara tanggung jawab pribadi

dengan tanggung jawab fungsional. Pengurus korporasi tidak dapat dimintai

pertanggungjawabannya secara pribadi selama ia menjalankan tugasnya sesuai

dengan ketantuan yang berlaku, baik sesuai peraturan perUndang-undangan

maupun sesuai dengan peraturan internal yang berlaku bagi korporasi tersebut.

Menurut pendapat Elliot dan Quinn, pentingnya pertanggungjawaban

korporasi dibandingkan dengan pertanggungjawaban individual, adalah:137

1) Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan

(korporasi) bukan mustahil dapat menghindarkan diri dari peraturan pidana

dan hanya pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana

yang merupakan kesalahan perusahaan;

2) Dalam beberapa delik, demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk menuntut

korporasi daripada para pegawai atau pengurusnya;

3) Sebuah korporasi lebih memilih kemampuan untuk membayar pidana denda

yang dijatuhkan daripada pegawai tersebut;

4) Ancaman tuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong pemegang

saham untuk mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan;

5) Apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha

yang illegal, seharusnya perusahaan perusahaan itu pula yang memikul sanksi

atas tindak pidana yang telah dilakukan bukannya pegawai perusahaan saja;

6) Pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan untuk

menekan pegawainya baik secara langsung maupun tidak langsung, agar para

137

(42)

pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari kegiatan usaha yang

illegal;

7) Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap perusahaan

(korporasi) itu dapat berfungsi sebagai pencegah bagi perusahaan untuk

melakukan kegiatan illegal.

Adapun menurut Muladi, pembenaran pertanggungjawaban korporasi

sebagai pelaku tindak pidana, dapat didasarkan pada hal-hal berikut:138

1) Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu hendaknya diukur atas

dasar keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara kepentingan individu

dan kepentingan sosial;

2) Atas dasar kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;

3) Untuk memberantas anomie of success;

4) Untuk perlindungan konsumen;

5) Untuk kemajuan teknologi.

Menurut C.M.V Clarkson sebagaimana dikutip oleh Kariawan Barus,139

a. Identification Doctrine

terdapat beberapa konsep tentang sistem pertanggungjawaban pidana korporasi

yang merupakan dasar pembenaran dapat dipidananya korporasi yaitu :

Menurut doktrin ini, bila seseorang yang cukup senior dalam struktur korporasi, atau dapat mewakili korporasi melakukan suatu kejahatan dalam bidang jabatannya, maka perbuatan dan niat orang itu dapat dihubungkan dengan korporasi. Korporasi dapat diidentifikasi dengan perbuatan ini dan dimintai pertanggungjawaban secara langsung. b. Aggregation Doctrine

138

Dwidja Prayitno, Op.Cit., hlm. 89

139

(43)

Menurut pendekatan ini, tindak pidana tidak hanya bisa diketahui atau dilakukan oleh satu orang. Oleh karena itu, perlu mengumpulkan semua tindakan dan niat dari beberapa orang yang relevan dalam korporasi tersebut, untuk memastikan apakah secara keseluruhannya tindakan mereka akan merupakan suatu kejahatan atau senilai dengan apabila perbuatan dan niat itu dilakukan oleh satu orang.

c. Reactive Corporate Fault

Menurut pendekatan ini, suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana dilakukan oleh atau atas nama sebuah korporasi, pengadilan harus diberi kewenangan untuk memerintahkan korporasi untuk melakukan investigasi sendiri guna memastikan orang yang bertanggung jawab dan dan mengambil suatu tindakan disiplin yang sesuai atas kesalahan orang tersebut dan mengambil langkah-langkah perbaikan untuk menjamin kesalahan tersebut tidak akan terulang kembali. Apabila korporasi mengambil langkah penanganan yang tepat, maka tidak ada tanggung jawab pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi. Tanggung jawab pidana hanya bisa diterapkan terhadap korporasi apabila korporasi gagal memenuhi perintah pengadilan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, kesalahan korporasi bukanlah kesalahan pada saat kejahatan terjadi tetapi kesalahan karena korporasi gagal melakukan tindakan yang tepat atas kesalahan karena korporasi gagal melakukan tindakan yang tepat atas kesalahan yang dilakukan oleh pekerjanya.

d. Strict Liability

Menurut doktrin ini, bila korporasi melakukan suatu perbuatan yang telah melanggar apa yang dirumuskan dalam suatu peraturan perundang-undangan, maka ia dapat dibebankan tanggung jawab atas perbuatan tersebut tanpa perlu dibuktikan apakah korporasi tersebut memenuhi unsur kesalahan (kesengajaan/kelalain).

e. Vicarious Liability

Menurut doktrin ini, bila seseorang agen atau pekerja korporasi bertindak dalam lingkup pekerjaannya dan dengan maksud untuk menguntungkan korporasi, melakukan suatu kejahatan, tanggung jawab pidananya dapat dibebankan kepada perusahaan. Tidak menjadi masalah apakah perusahaan secara nyata memperoleh keuntungan atau tidak atau apakah aktivitas tersebut telah dilarang oleh perusahaan atau tidak.

f. Management Failure Model

Menurut pendekatan ini, bahwa kejahatan tanpa rencana (manslaughter) yang dilakukan oleh korporasi ketika ada kesalahan manajemen oleh korporasi yang menyebabkan seseorang meninggal dunia dan kegagalan tersebut merupakan perilaku yang secara rasional berada jauh dari yang diharapkan dilakukan oleh suatu korporasi. Kejahatan ini didefenisikan dengan mengacu ke kegagalan manajemen (sebagai lawan dari kegagaln korporasi).

g. Corporate Mens Rea Doctrine

(44)

Hanya orang-orang yang ada di dalam perusahaan yang dapat melakukan kejahatan. Namun demikian orang dapat menerima bahwa seluruh gagasan tentang personalitas korporasi adalah fiksi tetapi dibuat dengan baik dan sangat berguna. Berdasarkan pandangan ini, maka korporasi dapat diyakini sebagai agen yang melakukan keslahan yang bertindak melalui staff mereka dan pekerja dan mens rea-nya dapat ditemukan dalam praktek dan kebijakan korporasi. Ini penting untuk ditekankan bahwa keduanya, yaitu kesembronoan (recklessness) atau maksud, dapat ditemukan di dalam kebijakan-kebijakan, operasional prosedur dan lemahnya tindakan pencegahan korporasi.

h. Specific Corporate Offences

Dalam hal ini, masalah-masalah yang berkaitan dengan penegasan tentang kesalahan korporasi, seperti pembuktian dari niat atau kesembronoan, dapat diatasi dengan membuat defenisi khusus yang hanya dapat diterapkan kepada korporasi.

Langkah pertama untuk menerapkan pertanggungjawaban pidana

korporasi diambil oleh negara-negara Common Law seperti Inggris, Amerika

Serikat dan Kanada, dikarenakan revolusi indutrri lebih dahulu terjadi pada

negara-negara ini. Tanpa mengingat keengganan semula untuk menghukum

korporasi,140 pengakuan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi oleh

pengadilan Inggris dimulai pada tahun 1842, saat korporasi didenda karena gagal

dalam menjalankan tugasnya menurut pertauran perundang-undangan.141

Beberapa kurun waktu, pengadilan Inggris memakai doktrin respondeat

superior atau vicarious liability, dimana tindakan bawahan/subordinat

dilimpahkan kepada korporasi. Meskipun demikian, tanggung jawab eksplisit

140

Beberapa alasan keengganan tersebut yaitu: korporasi merupakan subjek hukum fiksi, dan menurut paham ultra vires (bersalah karena bertindak melewati kewenangan) kesalahan yang dapat dihukum apabila melanggar Anggaran Dasar Perusahaan, terdapat hambatan-hambatan lain seperti kurangnya mens rea serta siapa yang harus dihadirkan ke persidangan secara pribadi.

141

Referensi

Dokumen terkait

28,29 Data from experimental models of chancroid suggest that these lesions should be responsive to azithromycin, 31 and therefore, that mass distribution of azithromycin for yaws

Di dalam sumber yang sama Rgveda juga ditemukan konsepsi Tuhan yang tunggal sebagai berikut “Ekam sat wiprah bahudha vadanti” hanya satu Tuhan, tapi para bijaksana

Hal ini dipengaruhi adanya biaya tataniaga atau biaya pengolahan yang cukup besar yang dilakukan oleh pengumpul rotan sebelum menjual rotan tersebut yang meliputi

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda yang dilakukan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Current Ratio (CR), Net Profit Margin (NPM), dan

Diharapkan dengan literasi media sosial dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjadi pengguna media sosial yang bertanggung jawab dan dapat dijadikan bekal

Sears (1994) berpendapat bahwa konformitas adalah individu yang menyesuaikan diri dan pandangan kelompok terhadap suatu hal tertentu.individu terhadap persepsi dan

Audit laporan keuangan dilakukan untuk menentukan apakah laporan keuangan telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu dan pihak yang bertanggung jawab dalam mengaudit laporan