• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

B. Makna Korupsi dan Islam

2. Korupsi dalam Pandangan Islam

Di dalam Islam, konsep atau istilah yang sering dikaitkan dengan korupsi karena ditinjau dari perspektif sebagai pengkhianatan atas amanah yang semestinya dipelihara ialah ghulûl. Ghulûl secara leksikal dimaknai

akhdu al-syai‟ wa dassahu fi mata‟ihi” yang artinya “mengambil sesuatu

dan menyembunyikannya dalam hartanya.” Dalam sejarah Islam, konsep

ghulûl muncul karena adanya penggelapan harta rampasan perang sebelum

dibagikan. Ibn Hajar al-Asqalani mendefinisikannya sebagai “al-khinayah

fi al-maghnam” yaitu “pengkhianatan pada harta rampasan perang.” Di

dalam Al-Quran tindakan ghulûl tersebut dijelaskan dengan sanksi akhirat tanpa memberikan sanksi yang jelas dalam kehidupan di dunia24, sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. Ali Imran ayat 161 berikut:

“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”(Q.S. Ali Imran: 161)

Rasulullah memperinci makna ghulûl ini meliputi tindakan seseorang yang mengambil sesuatu di luar gajinya yang sudah ditetapkan

24

Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah”, dalam Wijayanto & Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 820.

dan orang yang mendapatkan hadiah karena jabatan yang melekat pada dirinya.25

Selain konsep ghulûl, di dalam Islam dikenal juga istilah risywah yang secara leksikal mengacu pada kata rasya-yarsyu-risywatan yang bermakna al-ju‟l yang artinya upah, hadiah, pemberian atau komisi. Sedangkan risywah secara terminologis adalah tindakan memberikan harta dan yang sejenis untuk membatalkan hak milik pihak lain atau mendapatkan atas hak milik pihak lain. Di samping itu, definisi lain

risywah adalah sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau yang

lainnya agar orang tersebut mendapatkan kepastian hukum atau sesuatu yang diinginkannya. Rumusan terakhir ini dikenal dengan istilah “isti‟jal fi

al-qadhiyah”, yakni usaha untuk menyegerakan pengurusan masalah

hukum, termasuk pengurusan masalah lainnya tanpa melalui prosedur yang berlaku. Dalam bahasa Indonesia, istilah risywah dapat diartikan sebagai sogok.26

Di dalam Al-Quran dikemukakan jenis korupsi lain yaitu khianat. Di dalamnya dijelaskan tentang larangan mengkhianati amanat sesama manusia beriringan dengan larangan mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Amanat sesama manusia di sini dapat meliputi banyak hal, mulai dari

25

Wijayanto & Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 820.

26

Nasruddin al-Barabbasi, “Kisah-Kisah Islam Antikorupsi”, dalam Wijayanto & Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 820.

amanat politik, ekonomi, bisnis, sosial, dan pergaulan.27 Sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Anfal ayat 27 berikut:

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah

SWT dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”(Q.S. Al-Anfal: 27)

Selain ketiga istilah tersebut di atas, di dalam Islam terdapat istilah

ghasab yang artinya “mengambil sesuatu dari tangan seseorang dengan

jalan paksaan” dan saraqah yaitu “tindakan mengambil harta pihak lain secara sembunyi-sembunyi tanpa ada pemberian amanat atasnya”, kejahatan ini disinggung dalam Al-Quran. Selanjutnya ada konsep yang sering juga dikaitkan dengan korupsi, yaitu intikhab (merampas) dan

ikhtilash (mencopet). Dua konsep ini dapat dikatakan korupsi dilihat dari

hakikatnya sebagai pemindahan hak secara melawan hukum.28 Sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Mai’dah ayat 38 mengenai hukuman bagi para pencuri, sebagai berikut:

“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan

27

Wijayanto & Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 821.

28

Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah”, dalam Wijayanto & Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 821.

dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S Al-Maidah: 38)

Islam tidak secara spesifik membahas jenis hukuman bagi para koruptor. Setidaknya terdapat beberapa model hukuman yang dapat diberlakukan kepada pelaku korupsi seperti pertama, sanksi di dunia berupa hukuman sebagaimana pencuri, dan diusir atau diasingkan sebagaimana hirabah atau qath‟u al-thariq dalam kondisi dikhawatirkan mengancam kehidupan atau keselamatan orang lain.29

Kedua, sanksi sosial saat masyarakat secara sadar akan

merendahkan orang-orang yang mendapatkan harta yang diraih dengan jalur tidak halal atau koruptif. Sanksi tersebut dapat berupa30:

1. Dijauhi oleh masyarakat karena memakan harta korupsi identik dengan memakan barang haram (al-suht).

2. Pelaku korupsi tidak akan diterima kesaksiannya seperti dalam kesaksian di pengadilan, kesaksian dalam penetapan ketentuan-ketentuan syariah Islam – seperti kesaksian penentuan awal mula masuk bulan Ramadhan, kesaksian pernikahan dan lain sebagainya. Ini semua berangkat dari anggapan bahwa pelaku korupsi adalah orang yang berkhianat kepada orang lain.

Ketiga, sanksi moral ketika meninggal dunia, pelaku korupsi

jenazahnya haram untuk dishalati, karena bagaimanapun juga seorang koruptor adalah orang tercela dan celaka.

29

Wijayanto & Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 821.

30

Wijayanto & Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, h. 821-822.

Selain ketiga hukuman di atas, masih ada sanksi lain yang cukup berat, yaitu hukuman kelak di akhirat. Perbuatan koruptif dapat menghalangi pelakunya masuk surga, selain itu harta yang didapatkannya juga akan membebaninya kelak di hari kiamat.31

Hafidhuddin32 mencoba memberikan gambaran korupsi dalam perspektif ajaran Islam. Ia menyatakan, bahwa dalam Islam korupsi termasuk perbutaan fasad atau perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar) dan harus dikenai sanksi dibunuh, disalib atau dipotong tangan dan kakinya dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri dengan kaki kanan) atau diusir. Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-„adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang sekali-kali amat dikutuk Allah SWT.

Pengertian al-fasad sendiri dapat diterjemahkan sebagai segala perbuatan yang menyebabkan hancurnya kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat teror yang menyebabkan orang takut, membunuh, melukai dan mengambil atau merampas harta orang lain. Berdasarkan

31

Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah” dan PBNU, “NU Melawan Korupsi Kajian Tafsir dan Fiqih” dalam Wijayanto & Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan

(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 822

32

pendapat tersebut, Didin menegaskan bahwa “korupsi sama buruk dan jahatnya dengan terorisme. Yang aneh, banyak kalangan tidak menyadarinya seolah-olah korupsi itu dianggap perbuatan kriminal biasa, bahkan sering dianggap perbuatan yang wajar.”33

Bagi Didin, ungkapan seperti ini sudah pasti harus ditolak dinafikan. Karena, hanya dengan menolak korupsi sebagai perilaku kriminal biasa, barulah perang terhadap korupsi dapat dilakukan senyaring dan sekeras perang melawan terorisme. Antara terorisme dan korupsi, merupakan dua entitas yang sangat membahayakan eksistensi serta keutuhan masyarakat dan bangsa. Demikian pula bila seorang koruptor meninggal dunia, seyogyanya jenasahnya tidak perlu dishalatkan oleh kaum muslim, sebelum harta hasil korupsinya itu dijamin akan dikembalikan oleh ahli warisnya kepada negara. Hal ini dianalogikan dengan orang yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki utang, yang tidak boleh dishalatkan sebelum ada keluarga yang bersedia menjaminnya. Jika tidak, kelak alam kuburnya, pelaku tindak perkara korupsi akan terombang-ambing oleh kejahatan korupsinya.34

C.Semiotika sebagai Upaya Melihat Tanda dan Ideologi

Dokumen terkait