• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Makna Korupsi pada Ilustrasi Sampul antara Majalah Gatra dan Tempo Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Makna Korupsi pada Ilustrasi Sampul antara Majalah Gatra dan Tempo Tahun 2013"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Untuk Memenuhi Persyaratan Meraih Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh

ATHIFA RAHMAH NIM: 1110051100061

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Depok, September 2014

(5)

i Athifa Rahmah

PERBANDINGAN MAKNA KORUPSI PADA ILUSTRASI SAMPUL ANTARA MAJALAH GATRA DAN TEMPO TAHUN 2013

Majalah adalah penerbitan berkala yang menggunakan kertas bersampul, memuat bermacam-macam tulisan yang dihiasi ilustrasi maupun foto-foto. Dari segi isi dibagi dalam dua jenis yakni majalah umum dan majalah khusus. Isinya meliputi berbagai liputan jurnalistik, pandangan tentang topik aktual yang patut diketahui pembaca. Majalah berita terbesar dan teraktual di Indonesia di antaranya

Gatra dan Tempo. Keduanya merupakan dua majalah berita terbesar di Indonesia

yang terbit setiap minggu. Hal ini untuk menjaga keaktualan berita.

Sampul majalah merupakan gerbang untuk mengantarkan pembaca masuk ke dalam isi majalah. Sebagian besar majalah Gatra dan Tempo menggunakan ilustrasi pada sampulnya. Pada beberapa edisi khususnya kasus-kasus korupsi, baik Gatra maupun Tempo seringkali menggunakan ilustrasi yang bersifat mengejek untuk menarik pembaca.

Kemudian muncul pertanyaan bagaimana representasi makna pada ilustrasi sampul majalah Gatra dan Tempo tahun 2013 yang bertema korupsi? Apa saja perbandingan mengenai makna korupsi pada ilustrasi sampul antara majalah

Gatra dan Tempo tahun 2013 yang bertema korupsi?

Melihat konteks penelitian, tinjauan teoritis yang digunakan adalah semiotika menurut Charles Sanders Peirce, yaitu dengan melihat makna atas sign (ikon, indeks, dan simbol), object dan interpretant. Ikon merupakan tanda yang dirancang untuk merepresentasikan sumber acuan melalui simulasi atau persamaan (artinya, sumber acuan dapat dilihat, didengar, dan seterusnya dalam ikon). Indeks merupakan tanda yang dirancang untuk mengindikasikan sumber acuan atau saling menghubungkan sumber acuan. Sedangkan simbol merupakan tanda yang dirancang untuk menjadkan sumber acuan melalui kesepakatan atau persetujuan.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis semiotik yang bersifat kualitatif model deskriptif. Data yang didapatkan adalah ilustrasi sampul majalah Gatra dan Tempo selama 2013 yang bertemakan korupsi. Dikarenakan perbandingan, dipilih edisi yang menampilkan ilustrasi kasus korupsi yang sama. Juga ditambah dengan observasi buku dan dokumentasi.

Setelah melihat delapan ilustrasi sampul majalah yang diteliti, maka kesimpulannya, meski mengangkat kasus korupsi yang sama, antara Gatra dan

Tempo mempunyai cara yang berbeda dalam menginterpretasikan setiap kasus ke

bentuk ilustrasi. Hal ini terkait dengan kebijakan redaksional dan ideologi yang dianut oleh sebuah majalah.

(6)

ii

Assalamu’allaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahirobbil’alamin, puja dan puji syukur peneliti panjatkan

hanya kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, nikmat, dan karunia yang begitu banyak sehingga dengan ridho-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan banyak pencerahan kepada umatnya, dari zaman jahiliyah menuju zaman penuh ilmu seperti yang kita rasakan sekarang.

Alhamdulillah peneliti telah menyelesaikan skripsi sebagai tugas akhir

pendidikan Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti menyadari tanpa bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, penelitian skripsi ini tidak akan selesai, untuk itu pada kesempatan kali ini peneliti ingin menyampaikan kata terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. H. Arief Subhan, M.Ag, Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Suparto, M.Ed, M.A, Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, Drs. Jumroni, M.Si, serta Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, Dr. H. Sunandar Ibnu Nur, MA.

(7)

iii

menyediakan waktu di tengah kesibukannya untuk membimbing peneliti sehingga skripsi ini selesai dengan baik. Terima kasih atas bimbingan, ilmu, dan pencerahan yang telah Bapak berikan selama peneliti mengerjakan skripsi.

4. Segenap Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas ilmu dan dedikasi yang diberikan kepada peneliti.

5. Yang paling spesial teruntuk kedua orang tua peneliti, Ibunda Riski Soeciningsih dan Ayahanda R. Kristianto Harijono, yang senantiasa mencurahkan doa, cinta, kasih sayang, dan motivasinya kepada peneliti sampai peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Untuk ketujuh adik-adik peneliti yang selalu membuat warna di kehidupan peneliti.

6. Segenap keluarga besar, khususnya untuk Mbah Kakung, Mbah Putri, Eyang Putri, Budhe, Pakde, Om, Tante, dan sepupu-sepupu. Terima kasih atas dukungan semangatnya kepada peneliti hingga skripsi ini selesai. 7. Terima kasih untuk sahabat-sahabat peneliti selama kuliah, Aulia Rahmi,

(8)

iv

9. Teman-teman KKN SIMFONI 2013 Tanjakan Mekar. Terima kasih atas pengalaman hidup bersama satu bulan yang penuh rasa kekeluargaan. 10.Terima kasih kepada teman-teman di Aliansi Remaja Independen yang

telah banyak merubah cara pandang peneliti terhadap sesuatu hal.

11.Terima kasih kepada teman-teman di Save Street Child atas pengalaman berorganisasi, bertemu dan berdiskusi dengan orang-orang hebat yang menginspirasi.

12.Teman-teman di KMPLHK RANITA yang telah merubah peneliti menjadi

wanita ‘tangguh’. Terima kasih atas pengalaman naik gunung, wall

climbing, dan rafting yang tidak akan peneliti lupa.

Peneliti menyadari bahwa dalam skripsi masih banyak kekurangan. Karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat peneliti harapkan sehingga skripsi ini menjadi jalan penerang bagi peneliti dan bermanfaat bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Depok, September 2014

(9)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR TABEL ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 2

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

D. Tinjauan Pustaka ... 4

E. Metodologi Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Pesan dan Ideologi pada Ilustrasi Sampul Majalah ... 10

1. Pengertian Majalah ... 10

2. Pengertian Sampul Majalah ... 12

B. Makna Korupsi dan Islam ... 18

1. Makna Korupsi ... 18

2. Korupsi dalam Pandangan Islam ... 27

C. Semiotika sebagai Upaya Melihat Tanda dan Ideologi ... 33

1. Semiotika ... 33

2. Semiotika Charles Sanders Pierce ... 36

BAB III PROFIL MAJALAH GATRA DAN TEMPO A. Sejarah dan Perkembangan Majalah Gatra dan Tempo ... 39

1. Sejarah Tempo Inti Media ... 39

2. Sejarah Gatra ... 41

B. Visi dan Misi ... 43

1. Visi dan Misi Tempo Inti Media ... 43

2. Visi dan Misi Majalah Gatra ... 44

(10)

vi

B. Perbandingan Makna Korupsi pada Ilustrasi Majalah Gatra dan Tempo ... 95

1. Perbandingan 1 ... 95

2. Perbandingan 2 ... 98

3. Perbandingan 3 ... 100

4. Perbandingan 4 ... 102

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 106

(11)

vii

Gambar 4.1 Sampul Majalah Gatra Edisi 07 - 13 Februari 2013 ... 46

Gambar 4.2 Sampul Majalah Tempo Edisi 11 - 17 Februari 2013 ... 52

Gambar 4.3 Sampul Majalah Gatra Edisi 14 - 20 Februari 2013 ... 61

Gambar 4.4 Sampul Majalah Tempo Edisi 18 - 24 Februari 2013 ... 67

Gambar 4.5 Sampul Majalah Gatra Edisi 16 - 22 Mei 2013 ... 73

Gambar 4.6 Sampul Majalah Tempo Edisi 20 - 26 Mei 2013 ... 79

Gambar 4.7 Sampul Majalah Gatra Edisi 07 - 13 November 2013 ... 85

Gambar 4.8 Sampul Majalah Tempo Edisi 07 - 13 Oktober 2013 ... 90

Gambar 4.9 Perbandingan 1 ... 95

Gambar 4.10 Perbandingan 2 ... 98

Gambar 4.11 Perbandingan 3 ... 100

(12)

viii

Tabel 4.2 ... 49

Tabel 4.3 ... 50

Tabel 4.4 ... 56

Tabel 4.5 ... 57

Tabel 4.6 ... 63

Tabel 4.7 ... 64

Tabel 4.8 ... 69

Tabel 4.9 ... 70

Tabel 4.10 ... 74

Tabel 4.11 ... 75

Tabel 4.12 ... 81

Tabel 4.13 ... 82

Tabel 4.14 ... 86

Tabel 4.15 ... 87

Tabel 4.16 ... 93

Tabel 4.17 ... 93

Tabel 4.18 ... 96

Tabel 4.19 ... 98

Tabel 4.20 ... 99

(13)

1

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Majalah adalah sebuah media publikasi yang diterbitkan secara berkala. Sebuah majalah berisi berbagai artikel, gambar, cerita pendek, opini, ilustrasi, dan kanal lainnya. Karena lengkapnya informasi yang diberikan, majalah seringkali dijadikan bahan rujukan oleh para pembaca. Majalah menjadi salah satu media yang menyediakan nilai-nilai informasi sekaligus hiburan, yang juga memiliki segmentasi secara khusus.

Meski tak seaktual surat kabar yang terbit setiap hari, majalah yang terbit setiap minggu, dwi mingguan atau bahkan bulanan memiliki strategi dan gaya penyajian tersendiri agar majalah tetap menarik untuk dibaca. Majalah berita merupakan salah satu contoh dari majalah mingguan, yang memiliki segmentasi masyarakat umum. Siapapun bisa membaca dan menikmati majalah berita karena sifatnya yang mengikuti berita-berita umum yang aktual.

(14)

pembaca atau khalayak. Dalam sampul majalah, tersimpan gambaran pesan yang tidak terbaca oleh setiap pembaca, namun menjadi kesimpulan mengenai edisi yang sedang terbit.

Sampul majalah harus terlihat menarik agar masyarakat tertarik untuk membeli dan membacanya. Sampul majalah menjadi salah satu faktor apakah suatu majalah akan laku atau tidak di pasaran. Sebelum membeli, orang akan melihat dan memperhatikan terlebih dahulu sampul majalahnya. Dua majalah di Indonesia yang menggunakan pendekatan ilustrasi pada sampulnya adalah

Gatra dan Tempo. Selain itu keduanya merupakan dua majalah berita terbesar

di Indonesia dengan jumlah oplah 110.000 – 180.000 eksemplar setiap terbit. Majalah Gatra dan Tempo merupakan majalah berita mingguan yang terbit setiap seminggu sekali.

Baik majalah Gatra maupun Tempo, masing-masing memiliki ciri khas dalam penyajian ilustrasi terutama saat mengangkat laporan utama kasus-kasus korupsi di Indonesia. Penyajian ilustrasi untuk kasus-kasus korupsi pada sampul majalah Gatra maupun Tempo beberapa cukup keras menyindir elit politik yang terlibat dalam kasus korupsi.

(15)

yang ditanganinya. Tak hanya pejabat pemerintahan, beberapa petinggi partai yang dekat dengan pejabat pemerintahan juga terjebak dalam kasus-kasus korupsi di tahun 2013. Seperti Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq yang ditetapkan sebagai tersangka atas keterlibatannya dalam kasus korupsi pengaturan kuota daging sapi impor juga Anas Urbaningrum yang menjadi tersangka atas kasus Hambalang.

Menjamurnya kasus korupsi di kalangan pejabat pemerintah mengakibatkan kekhawatiran, karena perbuatan korupsi sangat merugikan negara dan masyarakat. Di dalam Islam, korupsi diibaratkan seperti perbuatan mencuri. Meski dianggap sebagai perbuatan mencuri, Islam tidak membahas secara detail mengenai hukuman korupsi.

Oleh karena permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini adalah terkait dengan tanda-tanda dalam foto, maka untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan pendekatan yakni semiotika Charles Sanders Peirce. Peneliti akan meneliti perbandingan makna korupsi yang muncul dari masing-masing ilustrasi sampul majalah Gatra dan Tempo tahun 2013 yang bertema korupsi melalui pendekatan semiotika. Mengapa membandingkan? Peneliti menganalisa bahwa ada perbedaan-perbedaan dalam menampilkan sebuah kasus korupsi menjadi ilustrasi sampul di antara kedua majalah. Seperti perbedaan tokoh yang ditampilkan, ekspresi atau gesture, dan tanda-tanda lainnya, sehingga menimbulkan representasi makna yang berbeda-beda pula.

Dari uraian latar belakang di atas, peneliti tertarik meneliti dengan judul Perbandingan Makna Korupsi Pada Ilustrasi Sampul Antara Majalah

(16)

B.Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat majalah Gatra dan Tempo adalah majalah mingguan, maka untuk membatasi pembahasan dalam penelitian ini peneliti hanya meneliti analisis semiotika pada beberapa ilustrasi sampul majalah Gatra

dan Tempo tahun 2013 yang bertema korupsi.

2. Rumusan Masalah

Untuk memperjelas masalah yang akan diteliti oleh peneliti, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana representasi makna pada ilustrasi sampul majalah Gatra

dan Tempo tahun 2013 yang bertema korupsi?

b. Apa saja perbandingan mengenai makna korupsi pada ilustrasi sampul majalah Gatra dan Tempo tahun 2013 yang bertema korupsi?

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah memberi pengetahuan mengenai perbandingan makna korupsi dalam ilustrasi sampul antara majalah Gatra dan

Tempo dan untuk mengatasi salah membaca pesan dari sebuah ilustrasi sampul

majalah.

Manfaat Penelitian

(17)

ilustrasi sampul majalah untuk Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik.

2. Manfaat Praktis. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi awal bagi penelitian serupa di masa mendatang. Selain itu juga memberi masukan akademis bagi para tim produksi majalah.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam menentukan judul skripsi ini peneliti sudah mengadakan tinjauan pustaka ke perpustakaan yang terdapat di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti belum menemukan skripsi mahasiswa/i yang meneliti tentang judul ini. Ada beberapa skripsi mahasiswa/i yang hampir serupa, namun berbeda dengan yang peneliti teliti, di antaranya:

Analisis Semiotika Foto Berita Headline Koran Tempo karya Angga Rizal

Nurhuda, Semiotika Keluarga Pada Cover Majalah Ummi karya Virlindayani Nur Maulida, Analisis Semiotik Kritik Sosial Handphone Dalam Kartun Benny

& Mice Talk About Hape karya Nurma Wazibali.

(18)

E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma penelitian konstruktivis yang bersifat subjectivist. Data yang didapat adalah sesuatu yang menjadi perasaan dan keinginan pihak yang diteliti untuk menyatakannya dengan penafsiran atau konstruksi makna.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan suatu fenomena dengan lebih mendalam melalui pengumpulan data sebanyak-banyaknya. Penelitian sosial dengan pendekatan kualitatif memiliki relasi dengan analisis data visual dan data verbal yang merefleksikan pengalaman sehari-hari.

3. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis semiotika yang bersifat kualitatif deskriptif yang bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek tertentu.1 Analisis semiotika memberi penekanan pada pencarian makna melalui relasi-relasi tanda yang ada dalam teks itu sendiri (bukan relasi teks dengan pengarangnya, pembacanya atau konteksnya).2 Pendekatan teori semiotika yang peneliti lakukan memakai pendekatan teori semiotik Charles Sanders Peirce.

1

Rachmat Krisyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana 2006) Cet-2, h. 69.

2

(19)

4. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah majalah Gatra dan Tempo. Sedangkan objek pada penelitian ini adalah beberapa ilustrasi dari sampul majalah

Gatra dan Tempo tahun 2013 yang bertema korupsi. Berdasarkan

pengamatan peneliti, selama tahun 2013 ada empat edisi di Gatra dan

Tempo yang menampilkan ilustrasi sampul dengan tema kasus korupsi

yang sama. Berikut adalah judul pada ilustrasi sampul majalah Gatra dan

Tempo yang akan diteliti:

a. Majalah Gatra

- Politik Daging Sapi (Edisi 07 - 13 Februari 2013) - Ada Apa Dengan Anas (Edisi 14 - 20 Februari 2013) - Setelah Lutfi Siapa Lagi (Edisi 16 - 22 Mei 2013)

- Kisah Dangdut Akil Mochtar (Edisi 07 - 13 November 2013) b. Majalah Tempo

- Hangus! (Edisi 11 - 17 Februari 2013)

- Buruk Anas Partai Dibelah (Edisi 18 - 24 Februari 2013)

- Selingkuh Fathanah dan Partai Dakwah (Edisi 20 - 26 Mei 2013) - Wani Piro? (Edisi 07 - 13 Oktober 2013)

5. Teknik Analisis Data

(20)

bersifat kemiripan. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Sedangkan simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya.3

Menurut Charles Sanders Peirce, semiotika berangkat dari tiga elemen utama tersebut, yang disebut Peirce sebagai teori segitiga makna atau triangle meaning.4

6. Teknik Pengumpulan Data

Adapun tahapan-tahapan dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode mengumpulkan majalah dan pengamatan secara menyeluruh dari semua sampul majalah maupun isi teks.

a. Observasi

Observasi adalah metode pertama yang digunakan dalam penelitian ini, dengan melakukan pengamatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki. Observasi pada penelitian ini diartikan sebagai kegiatan mengamati subjek (majalah Gatra dan

Tempo) dan objek (ilustrasi sampul majalah Gatra dan Tempo tahun

2013 yang bertema korupsi) secara langsung. Pada penelitian ini, peneliti hanya menggunakan analisis dokumen sebagai instrumen observasi. Analisis dokumen hanya mengamati dokumen sebagai sumber informasi dan menginterpretasikannya ke dalam hasil

3

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 42.

4

(21)

penelitian. Dokumen yang digunakan yaitu majalah Gatra dan Tempo tahun 2013 yang bertema korupsi.

b. Dokumentasi

(22)

10 BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A.Pesan dan Ideologi pada Ilustrasi Sampul Majalah 1. Pengertian Majalah

Majalah adalah penerbitan berkala yang berisi bermacam-macam artikel dalam subyek yang bervariasi. Majalah biasanya memiliki artikel mengenai topik populer yang ditujukan kepada masyarakat dan ditulis dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti oleh banyak orang.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) majalah adalah terbitan berkala yang isinya meliputi berbagai liputan jurnalistik, pandangan tentang topik aktual yang patut diketahui pembaca, dan menurut waktu penerbitannya dibedakan atas majalah bulanan, tengah bulanan, mingguan, dan sebagainya, dan menurut penyusunan isinya dibedakan atas majalah berita, wanita, remaja, olahraga, sastra, ilmu pengetahuan tertentu, dan sebagainya.

(23)

seperti majalah wanita, majalah keluarga, majalah humor, majalah kecantikan, politik, kebudayaan, cerpen, dll.1

Meskipun sama-sama sebagai media cetak, majalah tetap dapat dibedakan dengan surat kabar, karena majalah memiliki karakteristik tersendiri, yaitu2:

1. Penyajian lebih dalam.

Frekuensi terbit majalah pada umumnya adalah mingguan selebihnya dwi mingguan, bahkan bulanan (satu kali sebulan). Majalah berita biasanya terbit mingguan, sehingga para reporternya mempunyai waktu cukup lama untuk memahami dan mempelajari suatu peristiwa. Mereka juga mempunyai waktu yang leluasa untuk melakukan analisis terhadap peristiwa tersebut, sehingga penyajian berita dan informasinya dapat dibahas secara lebih mendalam.

2. Nilai aktualitas lebih lama.

Apabila nilai aktualitas surat kabar hanya berumur satu hari, maka nilai aktualitas majalah bisa satu minggu. Sebagai contoh, kita akan menganggap usang surat kabar kemarin atau dua hari yang lalu bila kita baca saat ini. Akan tetapi kita tidak pernah menganggap usang majalah yang terbit dua atau tiga hari yang lalu. Sebagaimana kita alami bersama, bahwa dalam membaca majalah kita tidak pernah tuntas sekaligus. Pada hari pertama kita hanya membaca topik yang kita senangi atau relevan dengan profesi kita, hari esok dan seterusnya

1

Kurniawan Effendi, Ensiklopedia Pers Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), h. 154-155.

2

Ardianto, Elvinaro, & Lukiati Komala Erdiyana, Komunikasi Massa Suatu Pengantar

(24)

kita membaca topik lain sebagai referensi. Dengan demikian, majalah mingguan baru tuntas kita baca dalam tempo tiga atau empat hari. 3. Gambar atau foto lebih banyak.

Jumlah halaman majalah lebih banyak, sehingga selain penyajian beritanya yang mendalam majalah juga dapat menampilkan gambar atau foto yang lengkap dengan ukuran besar dan kadang-kadang berwarna, serta kualitas kertas yang digunakan pun lebih baik. Foto-foto yang ditampilkan majalah memiliki daya tarik tersendiri apabila foto tersebut sifatnya eksklusif.

4. Di samping foto, cover atau sampul majalah juga merupakan daya tarik tersendiri.

Sampul majalah adalah ibarat pakaian dan aksesori pada manusia. Sampul majalah biasanya menggunakan kertas yang bagus dengan gambar dan warna yang menarik pula. Menarik tidaknya sampul majalah sangat bergantung pada tipe majalahnya serta konsistensi keajegan majalah tersebut dalam menampilkan ciri khasnya.

2. Pengertian Sampul Majalah

Menurut Ellen McCracken yang mengutip pernyataan dari Goerge Gerbner bahwa sampul majalah memegang peran utama dalam mengiklankan sebuah majalah yang bertujuan untuk membentuk karakter budayanya yang dituangkan lewat sebuah sampul majalah itu. Ellen McCracken menjelaskan bagaimana peran sampul depan majalah ini di dalam tulisannya The Cover: window to the future self dalam buku

(25)

majalah menjadi sebuah nilai tambah serta iklan yang paling penting yang dilakukan oleh sebuah majalah, karena inilah salah satu alat yang bisa membedakan majalah satu dengan majalah yang lain. Gaya dan aliran suatu majalah adalah elemen terpenting dalam memposisikan sebuah majalah di mana majalah tersebut akan menawarkan dan membentuk pembaca melalui sebuah proses pemahaman.3

McCracken menambahkan bahwa kebanyakan sampul mencoba untuk membentuk representasi pembaca yang ideal, yang ingin disasar oleh pemasang iklan. Selain itu yang sering juga dilakukan adalah sebuah ikon yang berfungsi sebagai penanda, ataupun konotasi lain pada sebuah kasus tertentu. Tanpa kecuali, teks verbal pada sampul yang terdiri dari nama majalah dalam huruf yang besar dan rangkaian topik utama didesain untuk menarik pembaca dengan tulisan tertentu yang ada di dalam majalah.4

McCracken juga menyebutkan bahwa identitas gaya atau aliran sebuah majalah sangat menentukan penjualan majalah dan jumlah pembaca, dan berperan penting untuk pembaca dalam memahami dirinya saat dia membacanya. Pesan yang disampaikan dalam sampul secara umum dapat dilakukan dalam lingkup publik, jadi ketika pembaca membeli majalah, membaca di ruang publik, ataupun meletakkan majalah di atas meja sebuah kedai kopi, pembaca lain akan mengenali bahwa keduanya membaca majalah yang sama. Ketika sebuah sampul

3

Helen Baehr & Ann Gray, Turning It On A Reader in Women & Media (New York: St. Martin Press Inc, 1996), h. 97.

4

(26)

menyandikan sebuah gaya semata-mata digunakan untuk menjual majalah, sampul tersebut juga menawarkan sebuah ideologi, yang membantu pembaca dalam menggambarkan diri mereka kepada orang lain.5

McCracken menjelaskan tentang fungsi dari sampul majalah yaitu untuk membantu apa yang dibangun majalah tersebut dengan melekatkan definisi awal melalui judul majalah, berita utama, dan foto atau ilustrasi. Kalimat, penekanan, warna, gambar visual, gambaran tersembunyi dari karya yang dinikmati sampai pada posisi pada isi sebuah majalah. Pembaca tidak hanya melihat sebuah isi majalah dari sampulnya, tapi model interpretasi yang diberikan adalah bagian dari simbol yang ada pada sampul yang mempunyai pengaruh yang kuat. Sampul adalah hal yang paling penting dalam beriklan di dunia majalah, dan lalu melalui perannya sebagai identitas gaya, sistem semiotik, dan kerangka. Hubungan saling mempengaruhi dari fotografi, kata verbal, dan teks yang berwarna dalam tiap sampul majalah menciptakan nilai yang dimuat dalam pengertian kebudayaan tetapi bermaksud untuk menarik pengiklan dan meningkatkan penjualan. Sampul majalah menjalankan peran sebagai pengenal aliran, sistem tanda, dan kerangka untuk meraih hasil. Setiap peran yang dimainkan sangat dekat hubungannya dengan struktur komersial dari industri majalah dan akan menjadi berbeda dengan tujuan majalah lain yaitu melakukan perubahan.6

5

Helen Baehr & Ann Gray, Turning It On A Reader in Women & Media (New York: St. Martin Press Inc, 1996), h. 99.

6

(27)

Unsur-unsur dalam sampul depan majalah ternyata juga terdapat pada iklan cetak. Iklan cetak merupakan sebuah teks yang kompleks dimana di dalam mengkonstruksikan pesan menggunakan bahasa visual yang meliputi bahasa gambar dan tulisan. Dalam buku Komunikasi Periklanan Cetak karangan Dendi Sudiana, dikemukakan beberapa unsur dalam iklan cetak, dimana unsur-unsur tersebut juga terdapat dalam halaman muka majalah. Unsur-unsur tersebut antara lain7:

1. Judul

Judul merupakan suatu unsur cetak terpenting dalam persaingan untuk menarik perhatian pembaca. Ilustrasi mungkin menarik, tetapi mungkin ditafsirkan terpisah. Dengan pembubuhan judul, pembaca dituntun dalam penyeberangan dari ilustrasi ke pesan. Dalam suatu pengertian umum, judul melayani dwifungsinya: (1) secara ringkas dan langsung menyarankan isi pesan, atau (2) menampilkan daya tarik terhadap suatu kepentingan dasar pembaca setelah menyajikan pesan sumber.

Sifat penting judul terhadap badan naskah sangat berperan bagi pertimbangan tata letak. Bila hasil guna iklan bergantung pada tingkat keterbatasan teks, judul harus ditampakkan rupa dalam upaya menuntun mata pembaca dari suatu titik tolak daya tarik ke naskah. 2. Naskah

Naskah iklan meliputi pesan kata-kata. Sebagaimana halnya judul, semboyan, dan ilustrasi, naskah atau teks merupakan suatu bagian atau

7

(28)

unit dalam iklan yang menyandang peranan tertentu masing-masing pada penampilannya. Fungsi naskah adalah menjelaskan produk atau jasa yang ditawarkan, sekaligus mengarahkan secara demikian rupa agar pembaca berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai dengan harapan pemasang iklan. Naskah merupakan komunikasi dengan pengisian kata-kata secara tepat guna berdasarkan gagasan atau daya tarik tentang keunggulan, kemajuan, dan keindahan produk atau jasa yang diiklankan.

Pendekatan kreatif naskah dapat bersifat dogmatis; bersifat menampilan alasan-alasan, misalnya dengan mengungkapkan fakta-fakta, bagan, dan statistik; menampilkan daya tarik (appeals), baik yang menyenangkan maupun yang menggelisahkan (fear appeals). Bagaimana pun, naskah iklan perlu direka secara menarik, bersahabat, dan meyakinkan.

3. Ilustrasi

Ilustrasi merupakan salah satu unsur penting yang sering digunakan dalam komunikasi periklanan karena sering dianggap sebagai “bahasa universal” yang dapat menembus rintangan yang

ditimbulkan oleh perbedaan bahasa kata-kata (dalam hal ini termasuk pula foto, diagram, peta, grafik, dan tanda-tanda) dapat mengungkapkan suatu hal secara lebih cepat dan lebih berhasil guna daripada teks.

(29)

- Merangsang minat membaca keseluruhan pesan - Menonjolkan salah satu keistimewaan produk - Menjelaskan suatu pernyataan

- Memenangkan persaingan dalam menarik perhatian pembaca di antara rentetan pesan lainnya dalam suatu media yang sama

- Menciptakan suasana yang khas - Mendramatisasi pesan

- Menonjolkan suatu merk atau menunjang semboyan yang ditampilkan

- Mendukung judul iklan 4. Logo dan Merk Dagang

Pengkasatmataan iklan melibatkan pengambil keputusan yang berkenaan dengan “tanda-tanda identifikasi”, terutama logo perusahaan

atau merk dagang. Bila kita perhatikan perilaku konsumen di pasar, sering terjadi seseorang “membeli merk”, terutama terhadap barang

-barang yang dipandang dapat menaikkan gengsi atau stastusnya di lingkungan sekitarnya. Dengan demikian logo, logogram, adcuts, dan merk dagang ternyata dapat memainkan peran penting dalam komunikasi periklanan.

5. Warna

(30)

orang-orang sekarang memilih warna dengan kesadaran. Pada dasarnya, warna adalah suatu mutu cahaya yang dipantulkan dari suatu objek ke mata manusia.

B.Makna Korupsi dan Islam 1. Makna Korupsi

Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis oleh banyak ilmuwan dan filosof. Aristoteles misalnya, sejak awal telah merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral

corruption).8 Korupsi moral merujuk pada berbagai bentuk konstitusi yang

sudah melenceng, hingga para penguasa rezim termasuk dalam sistem demokrasi, tidak lagi dipimpin oleh hukum, tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri.9

Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus. Kemudian, muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi.10 Akan tetapi definisi korupsi yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank dan UNDP, adalah “the abuse of public office

for private gain”. Dalam arti yang lebih luas, definisi korupsi adalah

penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi atau privat

8

Albert Hasibuan, “Titik Pandang Untuk Orde Baru”, dalam Mansyur Semma, Negara dan Korupsi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 32.

9

Mansyur Semma, Negara dan Korupsi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 32.

10

(31)

yang merugikan publik dengan cara-cara bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.11 Definisi ini merupakan konsensus yang banyak diacu para pakar di bidang antikorupsi. Walau demikian, definisi ini belum sempurna meski cukup membantu dalam membatasi pembicaraan tentang korupsi. Beberapa kelemahan definisi tersebut di antaranya bias yang cenderung memojokkan sektor publik, serta definisi yang mencakup tindakan korupsi oleh privat walaupun sama-sama merugikan publik.12

Korupsi terjadi jika tiga hal terpenuhi, yaitu (1) Seseorang memiliki kekuasaan termasuk untuk menentukan kebijakan publik dan melakukan administrasi kebijakan tersebut, (2) Adanya economic rents, yaitu manfaat ekonomi yang ada sebagai akibat kebijakan publik tersebut, dan (3) Sistem yang ada membuka peluang terjadinya pelanggaran oleh pejabat publik yang bersangkutan. Apabila satu dari ketiga parameter ini tidak terpenuhi, tindakan yang terjadi tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan korupsi.13

Secara umum, tindakan ilegal seperti penggelapan uang dan penyelundupan selama tidak melibatkan pejabat publik, menurut definisi di atas, tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan korupsi. Padahal, secara tidak langsung tindakan ini merugikan publik karena mengurangi pendapatan negara dari sektor pajak. Dalam studi Lambsdorff disebutkan

15

Peter Langseth et al, “The Role of a National Integrity System in Fighting Corruption”, dalam Wijayanto & Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 6.

12

Wijayanto & Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, h. 6.

13

(32)

bahwa besarnya proporsi bujet pemerintah terhadap GDP suatu negara berkorelasi positif terhadap tingkat korupsi.14

Definisi tersebut menyamaratakan korupsi di negara yang menganut sistem kerajaan dan demokrasi. Dalam negara kerajaan, raja mempunyai wewenang untuk mengatur distribusi kekayaan negara, karena pada prinsipnya tidak ada pemisahan antara kekayaan negara dan kekayaan pribadi raja. Seorang raja bisa saja menggunakan uang kerajaan untuk urusan pribadi dan ini tidak dianggap sebagai tindakan korupsi. Tindakan yang sama akan menjadi kasus korupsi besar apabila terjadi di negara demokrasi.15

Sedangkan Transparansi Internasional mempunyai definisi yang lebih fleksibel tentang korupsi, yaitu “penyalahgunaan kepercayaan yang

diberikan orang lain, untuk kepentingan pribadi”. Di sisi lain, Indonesia

juga telah mengambil langkah maju dalam mendefinisikan tindak korupsi, saat jenis tindakan yang termasuk dalam kategori korupsi diperluas, bahkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencantumkan daftar 29 perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai korupsi baik melibatkan maupun tidak melibatkan pejabat publik.16

14

Johann G. Lambdorff, “Corruption in Empirical Research-A Review”, dalam Wijayanto & Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 7.

15

Wijayanto & Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, h. 7.

16

(33)

Mahzar17, menandaskan istilah korupsi secara umum sebagai “tindakan gelap dan tidak sah (illicit or illegal activities)” untuk

mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Gagasan yang diambil dari Philip ini, menyebutkan definisi korupsi sebagai; Pertama, pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publik (public office-centered

corruption), yang didefinisikan sebagai tingkah laku dan tindakan

seseorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau keuntungan bagi orang-orang tertentu yang berkaitan erat dengannya seperti keluarga, karib kerabat dan teman. Pengertian ini, juga mencakup kolusi dan nepotisme memberikan patronase lebih karena alasan hubungan kekeluargaan (ascriptive) daripada merit.

Kedua, pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Dalam kerangka ini, korupsi dapat dikatakan terjadi, jika seorang pemegang kekuasaan atau fungsionaris pada kedudukan publik yang melakukan tindakan-tindakan tertentu dari orang-orang yang akan memberikan imbalan (apakah uang atau materi lain), sehingga dengan demikian merusak kedudukannya dan kepentingan publik. Ketiga, pengertian korupsi yang berpusat pada pasar

(market-centered) berdasarkan analisis tentang korupsi yang menggunakan

17

(34)

teori pilihan publik dan sosial, dan pendekatan ekonomi di dalam kerangka analisis politik.18

Berdasarkan kerangka ini, korupsi berarti lembaga ekstra-legal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Karena itu, eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain. Masih dalam kerangka ini, korupsi juga berarti penyalahgunan kekuasaan oleh pegawai atau pejabat pemerintah untuk mendapatkan tambahan pendapatan dari publik. Dengan demikian, kedudukan publik telah dijadikan lahan bisnis, yang selalu akan diusahakannya untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya.19

Definisi korupsi yang dikemukakan oleh Benveniste dalam bukunya yang berjudul “Birokrasi”. Dalam buku tersebut, korupsi didefinisikan ke dalam 4 jenis sebagai berikut20:

a. Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya

kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. Contoh: Seorang pelayan perijinan Tenaga Kerja Asing, memberikan layanan yang lebih cepat kepada “calo” atau orang

yang bersedia membayar lebih, ketimbang para pemohon yang

18

Asyumardi Mahzar, “Pemberantasan Korupsi Menuju Tata Pemerintahan yang Lebih Baik; Makalah Seminar Internasional, Praktik-praktik yang Baik Dalam Memerangi Korupsi di Asia”, dalam Mansyur Semma, Negara dan Korupsi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 34-35.

19

Mansyur Semma, Negara dan Korupsi, h. 34-35.

20

(35)

biasa saja. Alasannya karena calo adalah orang yang bisa memberikan pendapatan tambahan. Dalam kasus ini, sulit dibuktikan tentang praktek korupsi, karena tidak ada peraturan yang dilanggar.

b. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud

mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu. Contoh: Di dalam peraturan lelang dinyatakan bahwa untuk pengadaan barang jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Namun karena waktunya mendesak, maka proses tender itu tidak dimungkinkan. Untuk itu pemimpin proyek mencari dasar hukum mana yang bisa mendukung atau memperkuat pelaksanaan pelelangan, sehingga tidak disalahkan oleh inspektur. Dicarilah pasal-pasal dalam peraturan yang memungkinkan untuk bisa dipergunakan sebagai dasar hukum guna memperkuat sahnya pelaksanaan tender. Dari sekian banyak pasal, misal ditemukan suatu pasal yang mengatur perihal “keadaan darurat”. Dari sinilah dimulainya illegal corruption,

yakni ketika pemimpin proyek mengartikulasikan tentang keadaan darurat yang dimaksud. Dalam beberapa kasus, letak illegal corruption berada pada kecanggihan memainkan kata-kata bukan substansinya.

c. Mercenery corruption, ialah jenis korupsi yang dimaksud untuk

(36)

uang “sogok” atau “semir” dalam jumlah tertentu. Jika permintaan ini

dipenuhi oleh kontraktor yang mengikuti tender, maka panitia lelang ini sudah termasuk ke dalam kategori mercenary corruption. Bentuk “sogok” atau “semir” itu tidak mutlak berupa uang, namun bisa juga

dalam bentuk lain.

d. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun

discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.

Sedangkan menurut tingkatannya, kasus korupsi dibagi menjadi dua yakni21:

1. Grand Corruption atau korupsi besar adalah korupsi yang dilakukan

oleh pejabat publik tingkat tinggi menyangkut kebijakan publik dan keputusan besar di berbagai bidang, termasuk bidang ekonomi. Korupsi disebut juga corruption by greed atau korupsi akibat keserakahan karena para pelaku umumnya sudah berkecukupan secara materiil.

Korupsi ini menyebabkan kerugian negara yang sangat besar secara finansial maupun nonfinansial. Modus operandi yang umum terjadi adalah kolusi antara kekuatan ekonomi, kekuatan politik dan para pengambil kebijakan publik. Melalui pengaruh yang dimiliki, kelompok kepentingan tertentu mempengaruhi pengambil kebijakan guna mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kelompoknya. Apabila pengaruh kelompok tersebut begitu besar dan seolah dapat

21

(37)

mengontrol proses perumusan kebijakan publik, fenomena ini sering disebut dengan state capture atau elit capture.

State capture dapat terjadi dalam berbagai bentuk, World Bank

dalam bukunya Anti-Corruption in Transition 2, menjabarkan beberapa bentuk state capture yaitu: (1) suap kepada anggota DPR untuk mempengaruhi perundangan, (2) suap kepada pejabat negara untuk mempengaruhi kebijakan publik, (3) suap kepada lembaga peradilan untuk memengaruhi keputusan terkait dengan kasus-kasus besar, (4) suap kepada pejabat bank sentral untuk memengaruhi kebijakan moneter, dan (5) sumbangan kampanye ilegal untuk partai politik.22

Kerugian terbesar bagi negara dan rakyat tidak saja diakibatkan oleh besarnya nilai uang yang hilang, tetapi juga bergesernya orientasi kebijakan publik dari dan untuk kepentingan rakyat menjadi kepentingan segelintir individu. Dalam jangka menengah dan panjang,

grand corruption akan melahirkan problem struktural yang sulit untuk

ditata ulang. Contoh klasik korupsi besar adalah privatisasi aset negara secara tidak transparan dan fair, pemberian konsesi eksploitasi tambang dan kekayaan alam lainnya kepada kelompok tertentu, proses tender proyek skala besar yang tidak transparan, keringanan pajak dan biaya masuk untuk sektor dan kelompok tertentu, dan bailout secara pilih kasih kepada perusahaan tertentu agar lolos dari jebakan krisis ekonomi.

22

(38)

2. Petty Corruption atau korupsi kecil, sering disebut survival corruption atau corruption by need, adalah korupsi yang dilakukan oleh pegawai pemerintah guna mendukung kebutuhan hidup sehari-hari, akibat pendapatan yang tidak memadai.23 Korupsi kecil merupakan fenomena yang terjadi di banyak negara yang gagal menyusun dan mengimplementasikan kebijakan publik yang menyejahterakan rakyat.

Pemberantasan korupsi kecil sama strategisnya dengan pemberantasan grand corruption mengingat: pertama, kendati nilai kerugian per-kejadian relatif besar, tetapi dikarenakan jumlah kejadian yang massif, total kerugian yang diderita oleh negara dan masyarakat akibat korupsi ini sangat besar. Kedua, korupsi kecil ini menyangkut sisi kehidupan sehari-hari masyarakat. Apabila tidak segera ditanggulangi, masyarakat akan menganggap korupsi sebagai bagian dari keseharian mereka yang akan menciptakan masyarakat yang permisif dan toleran terhadap korupsi. Ketiga, korupsi kecil menyemai korupsi besar. Pejabat tingkat bawah yang terlibat korupsi kecil dengan berjalannya waktu akan menjadi pejabat tinggi dengan diskresi kekuasaan yang besar. Ada kecenderungam seseorang mengulangi kejahatan yang pernah dilakukannya sepanjang ada kesempatan sehingga meningkatkan potensi terjadinya korupsi besar.

23

(39)

2. Korupsi dalam Pandangan Islam

Di dalam Islam, konsep atau istilah yang sering dikaitkan dengan korupsi karena ditinjau dari perspektif sebagai pengkhianatan atas amanah yang semestinya dipelihara ialah ghulûl. Ghulûl secara leksikal dimaknai

akhdu al-syai‟ wa dassahu fi mata‟ihi” yang artinya “mengambil sesuatu

dan menyembunyikannya dalam hartanya.” Dalam sejarah Islam, konsep

ghulûl muncul karena adanya penggelapan harta rampasan perang sebelum

dibagikan. Ibn Hajar al-Asqalani mendefinisikannya sebagai “al-khinayah

fi al-maghnam” yaitu “pengkhianatan pada harta rampasan perang.” Di

dalam Al-Quran tindakan ghulûl tersebut dijelaskan dengan sanksi akhirat tanpa memberikan sanksi yang jelas dalam kehidupan di dunia24, sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. Ali Imran ayat 161 berikut:

“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”(Q.S. Ali Imran: 161)

Rasulullah memperinci makna ghulûl ini meliputi tindakan seseorang yang mengambil sesuatu di luar gajinya yang sudah ditetapkan

24

(40)

dan orang yang mendapatkan hadiah karena jabatan yang melekat pada dirinya.25

Selain konsep ghulûl, di dalam Islam dikenal juga istilah risywah yang secara leksikal mengacu pada kata rasya-yarsyu-risywatan yang bermakna al-ju‟l yang artinya upah, hadiah, pemberian atau komisi. Sedangkan risywah secara terminologis adalah tindakan memberikan harta dan yang sejenis untuk membatalkan hak milik pihak lain atau mendapatkan atas hak milik pihak lain. Di samping itu, definisi lain

risywah adalah sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau yang

lainnya agar orang tersebut mendapatkan kepastian hukum atau sesuatu yang diinginkannya. Rumusan terakhir ini dikenal dengan istilah “isti‟jal fi

al-qadhiyah”, yakni usaha untuk menyegerakan pengurusan masalah

hukum, termasuk pengurusan masalah lainnya tanpa melalui prosedur yang berlaku. Dalam bahasa Indonesia, istilah risywah dapat diartikan sebagai sogok.26

Di dalam Al-Quran dikemukakan jenis korupsi lain yaitu khianat. Di dalamnya dijelaskan tentang larangan mengkhianati amanat sesama manusia beriringan dengan larangan mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Amanat sesama manusia di sini dapat meliputi banyak hal, mulai dari

25

Wijayanto & Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 820.

26

(41)

amanat politik, ekonomi, bisnis, sosial, dan pergaulan.27 Sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Anfal ayat 27 berikut:

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah

SWT dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”(Q.S. Al-Anfal: 27)

Selain ketiga istilah tersebut di atas, di dalam Islam terdapat istilah

ghasab yang artinya “mengambil sesuatu dari tangan seseorang dengan

jalan paksaan” dan saraqah yaitu “tindakan mengambil harta pihak lain

secara sembunyi-sembunyi tanpa ada pemberian amanat atasnya”, kejahatan ini disinggung dalam Al-Quran. Selanjutnya ada konsep yang sering juga dikaitkan dengan korupsi, yaitu intikhab (merampas) dan

ikhtilash (mencopet). Dua konsep ini dapat dikatakan korupsi dilihat dari

hakikatnya sebagai pemindahan hak secara melawan hukum.28 Sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. Al-Mai’dah ayat 38 mengenai hukuman bagi para pencuri, sebagai berikut:

“Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan

27

Wijayanto & Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 821.

28

(42)

dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S Al-Maidah: 38)

Islam tidak secara spesifik membahas jenis hukuman bagi para koruptor. Setidaknya terdapat beberapa model hukuman yang dapat diberlakukan kepada pelaku korupsi seperti pertama, sanksi di dunia berupa hukuman sebagaimana pencuri, dan diusir atau diasingkan sebagaimana hirabah atau qath‟u al-thariq dalam kondisi dikhawatirkan mengancam kehidupan atau keselamatan orang lain.29

Kedua, sanksi sosial saat masyarakat secara sadar akan

merendahkan orang-orang yang mendapatkan harta yang diraih dengan jalur tidak halal atau koruptif. Sanksi tersebut dapat berupa30:

1. Dijauhi oleh masyarakat karena memakan harta korupsi identik dengan memakan barang haram (al-suht).

2. Pelaku korupsi tidak akan diterima kesaksiannya seperti dalam kesaksian di pengadilan, kesaksian dalam penetapan ketentuan-ketentuan syariah Islam – seperti kesaksian penentuan awal mula masuk bulan Ramadhan, kesaksian pernikahan dan lain sebagainya. Ini semua berangkat dari anggapan bahwa pelaku korupsi adalah orang yang berkhianat kepada orang lain.

Ketiga, sanksi moral ketika meninggal dunia, pelaku korupsi

jenazahnya haram untuk dishalati, karena bagaimanapun juga seorang koruptor adalah orang tercela dan celaka.

29

Wijayanto & Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 821.

30

(43)

Selain ketiga hukuman di atas, masih ada sanksi lain yang cukup berat, yaitu hukuman kelak di akhirat. Perbuatan koruptif dapat menghalangi pelakunya masuk surga, selain itu harta yang didapatkannya juga akan membebaninya kelak di hari kiamat.31

Hafidhuddin32 mencoba memberikan gambaran korupsi dalam perspektif ajaran Islam. Ia menyatakan, bahwa dalam Islam korupsi termasuk perbutaan fasad atau perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar) dan harus dikenai sanksi dibunuh, disalib atau dipotong tangan dan kakinya dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri dengan kaki kanan) atau diusir. Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-„adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang sekali-kali amat dikutuk Allah SWT.

Pengertian al-fasad sendiri dapat diterjemahkan sebagai segala perbuatan yang menyebabkan hancurnya kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat teror yang menyebabkan orang takut, membunuh, melukai dan mengambil atau merampas harta orang lain. Berdasarkan

31

Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah” dan PBNU, “NU Melawan Korupsi Kajian Tafsir dan Fiqih” dalam Wijayanto & Ridwan Zachrie, Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan

(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 822

32

(44)

pendapat tersebut, Didin menegaskan bahwa “korupsi sama buruk dan jahatnya dengan terorisme. Yang aneh, banyak kalangan tidak menyadarinya seolah-olah korupsi itu dianggap perbuatan kriminal biasa, bahkan sering dianggap perbuatan yang wajar.”33

Bagi Didin, ungkapan seperti ini sudah pasti harus ditolak dinafikan. Karena, hanya dengan menolak korupsi sebagai perilaku kriminal biasa, barulah perang terhadap korupsi dapat dilakukan senyaring dan sekeras perang melawan terorisme. Antara terorisme dan korupsi, merupakan dua entitas yang sangat membahayakan eksistensi serta keutuhan masyarakat dan bangsa. Demikian pula bila seorang koruptor meninggal dunia, seyogyanya jenasahnya tidak perlu dishalatkan oleh kaum muslim, sebelum harta hasil korupsinya itu dijamin akan dikembalikan oleh ahli warisnya kepada negara. Hal ini dianalogikan dengan orang yang meninggal dunia dalam keadaan masih memiliki utang, yang tidak boleh dishalatkan sebelum ada keluarga yang bersedia menjaminnya. Jika tidak, kelak alam kuburnya, pelaku tindak perkara korupsi akan terombang-ambing oleh kejahatan korupsinya.34

C.Semiotika sebagai Upaya Melihat Tanda dan Ideologi 1. Semiotika

Secara etimologis semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti penafsir tanda atau tanda di mana sesuatu dikenal. Semiotika ialah ilmu tentang tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan

33

Pramono U.Thantowi, Op Cit, h. 257

34

(45)

berfungsi. Semiotika ialah cabang ilmu dari filsafat yang mempelajari “tanda” dan biasa disebut filsafat penanda. Semiotika adalah teori dan

analisis berbagai tanda dan pemaknaan. Menurut Umberto Eco, tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.35

Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913).36 Menurut Charles Sanders Peirce semiotika adalah tidak lain daripada sebuah nama lain bagi logika, yakni “doktrin formal tentang tanda-tanda”.

Bagi Peirce semiotika adalah suatu cabang dari ilmu filsafat. Sedangkan menurut Ferdinand de Saussure semiologi adalah sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat, menurutnya semiologi adalah bagian dari disiplin ilmu psikologi sosial. Baik istilah semiotika maupun semiologi dapat digunakan untuk merujuk kepada ilmu tentang tanda-tanda tanpa adanya perbedaan pengertian yang terlalu tajam.37

Semiotika berupaya menemukan makna tanda termasuk hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah tanda (teks, iklan, berita). Karena sistem tanda sifatnya amat kontekstual dan bergantung pada pengguna tanda tersebut. Pemikiran pengguna tanda merupakan hasil pengaruh dari berbagai konstruksi sosial di mana pengguna tanda tersebut berada.38

35

Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 95.

36

Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h. 11.

37

Kris Budiman, Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitias (Yogyakarya: Jalasutra, 2011), h. 3.

38

(46)

Menurut Saussure, tanda adalah kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda, di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra manusia yang disebut

signifier, bidang penanda atau bentuk. Aspek lainnya disebut signified,

bidang petanda atau konsep atau makna.39

Penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, objek, dan sebagainya. Sedangkan petanda terletak pada

level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan

melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna. Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain. Ini disebut referent.40

Alex Sobur, Msi dalam bukunya “Analisis Isi Teks Media”

menjelaskan bahwa Semiotika sebagai suatu kajian yang menitikberatkan objek penelitiannya pada tanda yang pada awalnya dimaknai dengan suatu hal yang menunduk atau merujuk pada benda lain. Sebagaimana juga bila kita melihat rambu lalu lintas berupa lampu merah yang diartikan sebagai tanda bahwa kendaraan harus berhenti, sedangkan bila lampu berwarna hijau berarti kendaraan diperbolehkan berjalan.41

39

Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), h. 12-13.

40

Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, h. 12-13.

41

[image:46.595.102.518.213.600.2]
(47)

2. Semiotika Charles Sanders Peirce

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidak terbatas pada benda.

Charles Sanders Peirce adalah salah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan multidimensional. Menurut Peirce, tanda

(representament) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain

dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu kepada sesuatu yang lain, oleh Peirce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi,

interpretant adalah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima

tanda.42

Bagi Peirce, tanda “is something which stands to somebody for

something in some respect or capacity”. Sesuatu yang digunakan agar

tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni

ground, object dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Peirce

mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda; misalnya kata-kata kasar, keras, lemah,

42

(48)

lembut, merdu. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menendakan bahwa ada hujan di hulu sungai.

Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya rambu-rambu

lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia.43

Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda atas icon (ikon),

index (indeks) dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan

antara penanda dan petandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan.44 Misalnya, majalah Gatra dan Tempo seringkali menampilkan sampul dengan ilustrasi dari sosok tokoh atau politisi Indonesia yang sedang terjerat kasus korupsi, seperti pada sampul majalah

Gatra pada edisi 20 Februari 2013 yang menampilkan ilustrasi Anas

Urbaningrum.

Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan atau sebagai bukti.45 Misalnya, teks yang ada pada sampul majalah Gatra dan Tempo yang mewakili keterangan atas ilustrasi yang ditampilkan. Teks “Ada Apa

Dengan Anas?” adalah indeks dari ilustrasi pada sampul majalah Gatra

pada edisi 20 Februari 2013 yang menampilkan ilustrasi sosok Anas

43

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 41.

44

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 41.

45

(49)

Urbaningrum. Tanda dapat pula mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan di antaranya bersifat arbiter atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.46

Berdasarkan interpretant, tanda (sign, representamen) dibagi atas rema (rheme), dicent sign atau dicisign dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, pada ilustrasi sampul majalah Tempo edisi 07 Oktober 2013 dapat saja menandakan bahwa ilustrasi tersebut adalah ilustrasi dari kasus korupsi yang menjerat Akil Mochtar. Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, pada sampul majalah tersebut ditambahkan teks yang menyatakan bahwa ilustrasi tersebut adalah mengenai kasus yang menjerat Akil. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.47

46

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 41.

47

(50)

38

A.Sejarah dan Perkembangan Majalah Gatra dan Tempo Inti Media 1. Sejarah Tempo Inti Media

Di tahun 1969, sekumpulan anak muda berangan-angan membuat sebuah majalah berita mingguan. Alhasil, terbitlah majalah berita mingguan bernama Ekspres. Di antara para pendiri dan pengelola awal, terdapat nama seperti Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Christianto Wibisono, dan Usamah. Namun, akibat perbedaan prinsip antara jajaran redaksi dan pihak pemilik modal utama, terjadilah perpecahan. Goenawan cs keluar dari Ekspres pada 1970.1

Di sudut Jakarta yang lain, seorang Harjoko Trisnadi sedang mengalami masalah. Majalah Djaja, milik Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI), yang dikelolanya sejak 1962 macet terbit. Menghadapi kondisi tersebut, karyawan Djaja menulis surat kepada Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin, minta agar Djaja diswastakan dan dikelola Yayasan Jaya Raya – sebuah yayasan yang berada di bawah Pemerintah DKI. Lalu terjadi rembugan tripartite antara Yayasan Jaya Raya – yang dipimpin Ir.Ciputra - orang-orang bekas majalah Ekspres, dan orang-orang bekas majalah Djaja. Disepakatilah berdirinya majalah Tempo di bawah PT. Grafiti Pers sebagai penerbitnya.2

1 Tempo Media Group, “Sejarah Tempo”, artikel ini diakses pada 14 Juli 2014 pukul

01:39 WIB dari http://korporat.tempo.co/tentang/sejarah

2 Tempo Media Group, “Sejarah Tempo”, artikel ini diakses pada 14 Juli 2014 pukul

[image:50.595.102.518.234.626.2]
(51)

Mengenai filosofi dari kata Tempo, menurut Goenawan karena kata ini mudah diucapkan, terutama oleh para pengecer. Cocok pula dengan sifat sebuah media berkala yang jarak terbitnya longgar, yakni mingguan. Edisi perdana majalah Tempo terbit pada 6 Maret 1971.3

Pada tahun 1982, untuk pertama kalinya Tempo dibredel. Tempo dianggap terlalu tajam mengkritik rezim Orde Baru dan kendaraan politiknya, Golkar. Saat itu tengah dilangsungkan kampanye dan prosesi Pemilihan Umum. Tapi akhirnya Tempo diperbolehkan terbit kembali setelah menandatangani semacam "janji" di atas kertas segel dengan Ali Moertopo, Menteri Penerangan saat itu (zaman Soeharto ada Departemen Penerangan yang fungsinya, antara lain mengontrol pers).4

Makin sempurna mekanisme internal keredaksian Tempo, makin mengental semangat jurnalisme investigasinya. Maka makin tajam pula daya kritik Tempo terhadap pemerintahan Soeharto yang sudah sedemikian melumut. Puncaknya, pada Juni 1994. Untuk kedua kalinya Tempo dibredel oleh pemerintah, melalui Menteri Penerangan Harmoko. Tempo dinilai terlalu keras mengkritik Habibie dan Soeharto ihwal pembelian kapal-kapal bekas dari Jerman Timur.5

Selepas Soeharto lengser pada Mei 1998, mereka yang pernah bekerja di Tempo – dan tercerai berai akibat bredel – berembuk ulang. Mereka bicara ihwal perlu – tidaknya majalah Tempo terbit kembali.

3 Tempo Media Group, “Sejarah Tempo”, artikel ini diakses pada 14 Juli 2014 pukul

01:39 WIB dari http://korporat.tempo.co/tentang/sejarah

4 Tempo Media Group, “Sejarah Tempo”, artikel ini diakses pada 14 Juli 2014 pukul

01:39 WIB dari http://korporat.tempo.co/tentang/sejarah

5 Tempo Media Group, “Sejarah Tempo”, artikel ini diakses pada 14 Juli 2014 pukul

(52)

Hasilnya, Tempo harus terbit kembali. Maka, sejak 12 Oktober 1998, majalah Tempo hadir kembali.6

Untuk meningkatkan skala dan kemampuan penetrasi ke bisnis dunia media, maka pada tahun 2001, PT. Arsa Raya Perdana go public dan menjual sahamnya ke public dan lahirlah PT. Tempo Inti Media Tbk. (PT.TIM) sebagai penerbit majalah Tempo - yang baru. – Pada tahun yang sama (2001), lahirlah Koran Tempo yang berkompetisi di media harian.7

Sebaran informasi di bawah bendera PT.TIM Tbk, terus berkembang dengan munculnya produk-produk baru seperti majalah Tempo Edisi Bahasa Inggris, Travelounge (2009) dan Tempo Interaktif - yang kemudian menjadi tempo.co serta Tempo News Room (TNR), kantor berita yang berfungsi sebagai pusat berita media Group Tempo. Tempo juga mencoba menembus bisnis televisi dengan mendirikan Tempo TV, kerjasama dengan kantor berita radio KBR 68 H.8

2. Sejarah Majalah Gatra

Gatra adalah sebuah majalah berita mingguan yang diterbitkan di

Indonesia sejak tahun 1994. Banyak anggota majalah Tempo yang baru saja dibredel saat itu kemudian menjadi anggota majalah ini. Didirikan oleh pengusaha yang dekat dengan rezim Orde Baru, Bob Hasan, majalah ini dikenal propemerintah saat pemerintah Orde Baru masih berkuasa.

6 Tempo Media Group, “Sejarah Tempo”, artikel ini diakses pada 14 Juli 2014 pukul

01:39 WIB dari http://korporat.tempo.co/tentang/sejarah

7 Tempo Media Group, “Sejarah Tempo”, artikel ini diakses pada 14 Juli 2014

pukul 01:39 WIB dari http://korporat.tempo.co/tentang/sejarah

8 Tempo Media Group, “Sejarah Tempo”, artikel ini diakses pada 14 Juli 2014 pukul

(53)

Seperti Tempo, format sampulnya juga meniru sampul majalah TIME dengan garis merah di sepanjang sisi.9

Kini, Gatra menjadi salah satu majalah berita terbesar di Indonesia. Gatra diolah dan dikemas oleh tangan-tangan profesional yang mempunyai sejarah panjang di ladang jurnalistik. Para penggerak Gatra adalah pekerja-pekerja pers yang telah menjalani spesialisasi majalah berita lebih dari dua dasawarsa.10

Oplah Gatra saat ini 150.000 eksemplar setiap terbit, ditambah dengan Gatra dalam format digital yang bisa dibaca via website, maupun piranti tablet Apple dan Android, yang bisa diunduh dari berbagai toko buku digital. Gatra cetak saat ini bisa diperoleh di semua kota besar di Indonesia, hingga sejumlah kota di mancanegara. Dari hasil survei tim

Gatra, readership Gatra mencapai 1.000.000 orang.11

Mayoritas pembaca Gatra adalah dari kelompok usia produktif antara 20 sampai 50 tahun sebesar 71,5% sementara pembaca di atas usia 50 tahun sebesar 28,9%. Mayoritas pembaca Gatra, ternyata, adalah kalangan berpendidikan tingkat sarjana hingga doctoral sebesar (67,2%).

Gatra juga dipilih oleh pemasang iklan di Indonesia selama

bertahun-tahun sebagai media yang efektif untuk berpromosi dan mengiklankan produknya. Mulai dari bisnis otomotif, properti, telekomunikasi, elektroik,

9 Doremindo Agency, “Media Kit Majalah Gatra”, artikel i

ni diakses pada 3 Juli 2014 pukul 00:23 WIB dari http://blog.doremindo.com/majalah-gatra

10

Gatra Media Group, Company Profile Gatra Media Group.

11

Gambar

gambar, warna, objek, dan sebagainya. Sedangkan petanda terletak pada
GAMBARAN UMUM
Sampul Majalah Tabel 4.1 Gatra dan Tempo yang Diteliti
Sampul Majalah Gambar 4.1 Gatra Edisi 07 - 13 Februari 2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan oleh Hertiningsih (2003) meneliti pengembangan silabus dan materi pembelajaran bahasa Indonesia dengan media gambar untuk siswa kelas satu semester I dan

Menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul PERENCANAAN STRATEGIS TEKNOLOGI INFORMASI PADA PONDOK PESANTREN SALAFIYAH SYAFI’IYAH SITUBONDO DENGAN METODE WARDPEPPARD dalam rangka

Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) terhadap Efektivitas Kerja Karyawan Pada Bagian Penagihan Di PDAM Tirtawening Kota Bandung.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Hal ini karena proses belajar di sekolah adalah kegiatan yang paling kokoh dalam memberikan pengaruh pada berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan yang telah dicita-citakan.6

Awal pembatasan pers di masa demokrasi liberal adalah efek samping dari keluhan wartawan terhadap pers Belanda dan Cina, namun pemerintah tidak membatasi

Isometri adalah suatu transformasi atas Refleksi (pencerminan), Translasi (pergeseran), dan Rotasi (perputaran) pada sebuah garis yang mempertahankan jarak

(1) Orang Asing warga negara dari negara tertentu dan pemerintah wilayah administratif khusus dari negara tertentu yang telah diberikan bebas Visa kunjungan berdasarkan

disebut dengan buku panduan yang bertujuan agar siswa mampu membiasakan diri dengan kegiatan ibadah seperti melakukan sholat fardhu maupun sholat sunnah, puasa,