• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANTI-KORUPSI DALAM PERSPEKTIF KRISTIAN

Dalam dokumen Semakin menjadi manusiawi. (Halaman 121-127)

ANTI KORUPSI DALAM PERSPEKTIF MORAL KATOLIK

D. ANTI-KORUPSI DALAM PERSPEKTIF KRISTIAN

Yesus menolak dengan tegas setiap godaan untuk memperoleh keuntungan dan kenikmatan dengan cara yang bertentangan

dengan kehendak Allah. Dalam Matius 4:1-11 Yesus menunjukkan integritas dan kualitas diri-Nya saat si Jahat menggodanya dengan berbagai strategi agar Ia menggunakan kuasa ke-Putera Allah-an- Nya untuk melakukan kepentingan diri. Ketika lapar, Ia diminta mengubah batu menjadi roti. Ia juga digoda untuk menggunakan popularitas diri untuk menjatuhkan diri dari bubungan Bait Allah supaya dapat memerintah malaikat menyelamatkan-Nya. Ia juga digoda untuk mengabdi setan agar mendapatkan seluruh kekayaan di dunia. Semua godaan itu Ia tolak sebab Ia memilih untuk taat dan berbakti kepada Allah semata.

Taat kepada Allah berarti kesediaan membiarkan hati dan pikiran untuk tidak dijangkiti egoisme melainkan keterbukaan untuk memahami kebutuhan sesama dan kehendak Allah (Heuken, 1982: 17). Dan dalam 1 Tim 6: 10-11 kita mengetahui kehendak Allah yang perlu kita taati adalah ajakan-Nya supaya kita tidak jatuh pada godaan keserakahan dan kelobaan akan harta:

“Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Oleh karena memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka. Tetapi engkau hai manusia Allah, jauhilah semuanya itu, kejarlah keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan”.

Jadi nafsu keserakahan yang menjadi akar pertama dari tindakan korups hanya dapat dilawan apabila kita menghidupi nilai-nilai anti-korupsi seperti: keadilan, ibadah, kesetiaan, kasih, kesabaran dan kelembutan. Keadilan perlu menjadi prioritas utama apabila kita tidak ingin dikuasai oleh kecenderungan keserakahan. Mengapa? Sebab pengertian keadilan atau kebenaran menurut Kitab Suci selalu mencakup semua bentuk relasi yang memberikan kehidupan yakni dengan: Allah, diri sendiri, sesama dan seluruh alam ciptaan.

Kata keadilan berakar pada kata Ibrani sedeq yang berarti apa yang baik, relasi yang baik. Dan dalam suatu masyarakat di mana

ada pihak penindas dan yang ditindas, relasi yang baik berarti membela yang tertindas. Kata itu juga berakar pada kata Ibrani lainnya: sedaqah yang berarti membereskan hubungan yang tidak beres dan menunjukkan compassion terhadap para kurban. Dengan melihat akar katanya, maka keadilan selalu ada kaitannya dengan relasi-relasi sosial dan berbagi dalam makna terdalam dari relasi- relasi tersebut, yakni membela orang-orang lemah, pemulihan terhadap para kurban, dan pembebasan terhadap orang-orang yang tertindas (John Fuellenbach, S.V.D. 1998). Jadi apabila kita bersikap adil, maka pasti kita pun akan menunjukkan sikap peduli terhadap kebutuhan sesama maupun lingkungan sekitar.

Sikap Yesus yang tidak mentolerir kebohongan atau kemunafikan orang Farisi juga dikarenakan Ia sangat menjunjung tinggi nilai kejujuran (Matius 5:34-37) berikut ini:

“Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kaki-Nya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; Janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambut pun.Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat…”

Yesus dalam hidupnya mengajak para murid untuk hidup jujur, saling dapat dipercaya, sesuai dengan keadaan asalinya yang luhur: amat baik adanya. Jujur merupakan nilai anti-korupsi yang harus dijalankan oleh para pengikut-Nya yang nampak dalam sikap tidak mau bertindak curang juga culas, menjalankan semua tugas dan tanggungjawabnya dengan lurus hati dan serta senantiasa menomorsatukan kebenaran (Jika ya, mengatakan ya; jika tidak, mengatakan tidak).

Apabila seseorang memiliki komitmen sosial untuk memperjuangkan keadilan dan kejujuran secara tulus dan tuntas,

maka diharapkan ia itu sungguh menunjukkan jati dirinya sebagai pribadi yang otonom (Agustinus Rahmat, 2013: 4-5). Pendidikan moral bertujuan mengembangkan kualitas moral seseorang hingga menjadi pribadi yang dewasa atau otonom. Secara moral, pribadi yang dewasa adalah pribadi yang sanggup mengendalikan nafsu dan nalurinya, sanggup mengatur kebutuhan dan keinginan hidupnya berdasarkan norma atau kaidah moral yang telah dibatinkan dalam suara hatinya sendiri (self-rule/self-governing). Dengan demikian, orang yang mempunyai otonomi moral tidak akan mengikuti sembarang desakan keinginan & kebutuhan, melainkan hanya akan mengikuti apa yang ia anggap sebagai “lawful needs & desires” (aneka kebutuhan dan keinginan yang halal karena selaras dengan norma moral). Itulah sebenarnya arti yang dimaksud dengan istilah “otonomi” yang berasal dari kata Yunani “auto” dan “nomos” yang berarti kemampuan untuk memberi dan menerapkan norma moral pada perilaku kita sendiri (giving and applying norms to oneself).

Ringkasnya, otonomi moral berarti kesanggupan untuk menertibkan diri sendiri tanpa paksaan dan pengawasan dari luar. Perilaku orang yang otonom itu tidaklah kompromistik, melainkan konsistent (taat azas dan aturan). Dan aturan (kaidah) moral yang paling mendasar dan paling relevant guna memberantas tuntas korupsi ialah “yang baik itu harus dilakukan; yang jahat haruslah ditolak” (bonum faciendum, malum vitandum). Korupsi jelas adalah suatu “malum” (kejahatan) yang harus kita lawan dan tolak dengan sekuat tenaga dan sepenuh hati.

E. PENUTUP

Sikap anti-korupsi hanya dapat terjadi apabila kita memiliki: (1) Kemampuan menguasai diri untuk tidak membiarkan diri dikuasai kecenderungan keserakahan, kesenangan melakukan jalan pintas, kebohongan dan kemunafikan. (2) Kemampuan mengendalikan kehendak terhadap naluri, dan memberi keseimbangan dalam

penggunaan barang-barang ciptaan karena menyadari jika barang- barang itu hanyalah sarana dan bukan tujuan hidup. (3) Memegang teguh nilai keadilan yang diwujudkan dalam kehendak yang teguh dan terus-menerus memberikan kepada orang lain yang menjadi haknya.

KEPUSTAKAAN

---. 2013. ”Korupsi bagai Kanker”, dalam: Kompas, Selasa 17 Desember 2013, hlm.1 dan 15).

Fuellenbach, John. 1998. Throw Fire. Manila: Logos Publications, Inc.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. 2011. Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Heuken, A. 1982. Ajaran Sosial Gereja: Menghadapi Masalah-masalah Aktuil. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.

Heuken, A. 1993. “Korupsi”, dalam: Ensiklopedi Gereja, Jilid III. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.

Rahmat, Agustinus. 2013. “Beberapa Catatan tentang Sikap Mental & Moral atas Praktek Korupsi di Indonesia” . (Makalah, tidak diterbitkan).

SUMBER INTERNET

---. “Ini Kekayaan Akil Mochtar”, dalam: http:// ekbis.sindonews.com/read/2013/10/03/13/790334/ini- kekayaan-akil-mochtar. Diunduh, Kamis 22 Januari 2014. ---. “Gelimang Harta Ratu Atut Vs Kemiskinan Rakyat

Banten”, dalam: http://newspaper.co.id/news/detail/144/ gelimang-harta-ratu-atut-vs-kemiskinan-rakyat-banten. Diunduh, Kamis 22 Januari 2014.

MORAL LINGKUNGAN HIDUP:

Dalam dokumen Semakin menjadi manusiawi. (Halaman 121-127)