• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

KR FR DR INP No. Jenis

(%) (%) % % 1 Avicennia marina 7.37 9.30 3.16 19.83 2 Bruguiera gimnorrhiza 3.16 4.65 0.43 8.24 3 Bruguiera parviflora 5.26 6.98 1.01 13.25 4 Ceriops tagal 10.53 11.63 4.03 26.18 5 Excoecaria agallocha 2.11 2.33 0.23 4.67 6 Rhizophora apiculata 8.42 9.30 2.65 20.38 7 Rhizophora mucronata 36.84 27.91 73.53 138.28 8 Rhizophora stylosa 15.79 16.28 12.23 44.30 9 Sonneratia alba 6.32 6.98 1.72 15.01 10 Xylocarpus granatum 4.21 4.65 1.01 9.87 Jumlah 100 100 100 300 Indeks keragaman (H) = 1.78

Kerapatan individu mangrove kelompok pancang yang terdapat di kawasan penelitian setelah tsunami 633 individu/ha. Rhizophora mucronata merupakan salah satu jenis mangrove yang tumbuh cepat dan propagul yang jatuh langsung menancap ke tanah. Setelah tiga bulan propagul yang menancap tanah telah tumbuh lima helai daun. Rhizophora mucronata merupakan salah satu jenis yang lebih menguasai kawasan Pantai Timur.

Mangrove kelompok pancang memperlihatkan adanya pemisahan indeks

nilai penting menjadi dua kelompok yaitu indeks nilai penting tinggi (di atas 92 %) yaitu Rhizophora mucronata. Rhizophora mucronata mempunyai

nilai penting (138.28 %), jenis ini merupakan jenis mangrove kelompok pancang yang paling menguasai lingkungan pesisir khususnya daerah berlumpur (payau) di kawasan Pantai Timur. Sedangkan sembilan jenis mangrove kelompok pancang mempunyai indeks keragaman yang rendah (di bawah 46 %). Jenis-jenis tersebut

adalah Avicennia marina, Bruguiera gimnorrhiza, Bruguiera parviflora, Ceriops

tagal, Excoecaria agallocha, Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa, Sonneratia alba dan Xylocarpus granatum seperti yang ditampilkan pada

Gambar 28. Jenis mangrove kelompok pancang dapat digolongkan ke dalam kelompok yang mempunyai indeks keragaman yang rendah (H= 1,78). Jenis

mangrove kelompok pancang jumlah jenis yang tidak merata, dan didominasi oleh satu jenis yaitu Rhizophora mucronata.

19.83 8.24 13.25 26.18 4.67 20.38 138.28 44.30 15.01 9.87 0 20 40 60 80 100 120 140 160 A. ma rina B. gim norrh yza B. par viflor a C. ta gal E. ag alloc ha R. api culat a R. m ucron ata R. st ylosa S. alba X. gran atum In d eks N il a i P e n ti n g Jen is (% )

Gambar 28 Indeks nilai penting jenis-jenis mangrove kelompok pancang di kawasan Pantai Timur.

Jumlah jenis mangrove kelompok semai yang terdapat di kawasan Pantai Timur terdiri atas sepuluh jenis seperti yang ditampilkan pada Tabel 11. Jenis mangrove kelompok semai yang paling mendominasi kawasan Pantai Timur hanya satu jenis yang paling unggul yaitu Rhizophora mucronata. Hal ini terlihat dari besarnya nilai penting yang diperoleh jenis tersebut, yaitu sebesar 50.92 %, sedangkan jenis-jenis magrove kelompok semai yang lain masih di bawah 30 %, akan tetapi distribusi indeks nilai penting lebih seragam dibandingkan jenis magrove kelompok pohon dan pancang.

Tabel 11 Jumlah jenis mangrove kelompok semai yang di temukan di kawasan Pantai Timur KR FR INP No. Jenis % % % 1 Avicennia marina 4.14 6.90 11.03 2 Bruguiera gimnorrhyza 2.63 5.17 7.80 3 Bruguiera parviflora 5.26 5.17 10.44 4 Ceriops tagal 19.92 6.90 26.82 5 Nypa fruticans 3.01 10.34 13.35 6 Rhizophora apiculata 11.65 13.79 25.45 7 Rhizophora mucronata 31.95 18.97 50.92 8 Rhizophora stylosa 10.90 12.07 22.97 9 Sonneratia alba 8.27 13.79 22.06 10 Xylocarpus granatum 2.26 6.90 9.15 Jumlah 100 100.00 200 Indeks keragaman (H) = 2.13

Rhizophora mucronata merupakan salah satu jenis mangrove yang tumbuh

cepat, pertumbuhan optimal terjadi pada areal yang tergenang. Jenis ini merupakan salah satu jenis mangrove yang paling penting dan tersebar luas serta perbungaan terjadi sepanjang tahun. Pertumbuhan Rhizophora mucronata sering mengelompok. Hal ini disebabkan karena propagul yang sudah matang akan jatuh dan langsung menancap ke tanah karena mempunyai propagul yang besar dan panjang. Jenis mangrove kelompok semai tergolongkan ke dalam kelompok yang mempunyai indeks keragaman sedang (H= 2.13). Jenis mangrove kelompok

semai jumlah jenis dan kehadiran lebih merata dibandingkan kelompok pohon dan pancang. Kelompok semai juga masih didominasi oleh satu jenis yaitu

Rhizophora mucronata.

Kerapatan individu mangrove kelompok semai yang terdapat di kawasan penelitian setelah tsunami 4925 individu/ha. Indeks nilai penting keseluruhan jenis mangrove kelompok semai ditampilkan pada Gambar 24. Kelompok semai mempunyai tiga kelompok indeks nilai penting jenis yaitu tinggi, sedang dan rendah. Indeks nilai penting jenis tinggi (di atas 34 %) jenis tersebut adalah

Rhizophora mucronata (50.92 %), jenis ini merupakan jenis mangrove kelompok

semai yang paling dominan dan tingkat penyebarannya paling tinggi. Kelompok semai yang mempunyai indeks nilai penting jenis sedang (di atas 17 %, di bawah

34 %). Jenis jenis tersebut adalah Ceriops tagal (26.82 %), Rhizophora apiculata (25.45 %), Rhizophora stylosa (22.97 %), dan Sonneratia alba (22.06 %). Jenis mangrove kelompok semai yang lain merupakan jenis mangrove yang mempunyai indeks nilai rendah ( di bawah 17 %) jenis-jenis tersebut adalah Avicennia marina (11.03 %), Bruguiera gimnorrhiza (7.80%), Bruguiera parviflora (10.44 %),

Nypa fruticans (13.35 %), dan Xylocarpus granatum (9.15 %) seperti yang

ditampilkan pada Gambar 29.

Vegetasi mangrove merupakan tumbuhan yang sangat baik untuk menjaga atau memperbaiki kembali kawasan pesisir yang sudah rusak. Sistem perakaran sangat baik untuk perlindungan garis pantai, karena memiliki sistem perakaran yang kuat dan pertumbuhan yang cepat. Menurut Cruz (1980), Rhizophora sp.,

Bruguiera sp., Aegiceraas sp., Ceriops sp., dan Avicennia sp. mempunyai biji

yang berkecambah ketika masih berada di pohon induk yang disebut dengan

viviparous. Propagul viviparous merupakan suatu adaptasi reproduksi dari

tumbuhan mangrove. Propagul yang masak akan jatuh dan selain berkembang sendiri pada daerah berlumpur atau terpencar di bawa air saat pasang.

11.03 7.80 10.44 26.82 13.35 25.45 50.92 22.97 22.06 9.15 0 10 20 30 40 50 60 70 A. ma rina B. gim norrh yza B. pa rviflo ra C. ta gal N. fru ctica ns R. ap iculat a R. m ucron ata R. st ylosa S. alba X. gra natum Inde k s N il a i P e nti ng J e ni s (% )

Gambar 29 Indeks nilai penting jenis-jenis mangrove kelompok semai di kawasan Pantai Timur.

Profil vegetasi mangrove kawasan pesisir pantai Timur masih membentuk pola pertumbuhan dalam sistem zonasi. Hal ini disebabkan karena formasi

vegetasi mangrove kawasan ini tidak banyak yang mati akibat tsunami. Vegetasi mangrove di kawasan pesisir pantai Timur kerapatan individu lebih tinggi dibandingkan dengan kerapatan mangrove kawasan pesisir Pantai Barat. Vegetasi Paantai Timur juga ditemukan bentuk pertumbuhan pancang dan semai seperti yang ditampilkan pada Gambar 30.

Am Rm Bp Rm Ct Laut Ct Bp : Bruguiera parviflora Rm : Rhizophora mucronata Ct : Ceriops tagal Am : Avicennia marina

Gambar 30 Profil vegetasi mangrove di kawasan pesisir pantai Timur setelah

tsunami

Indeks keragaman jenis mangrove kelompok pohon 1.67, kelompok pancang 1.78, kelompok semai 2.06. Indeks keragaman jenis mangrove ketiga tingkatan kelompok pertumbuhan masih tergolong rendah. Jumlah jenis dalam suatu komunitas adalah penting dari segi ekologi karena keragaman jenis akan bertambah bila komunitas menjadi stabil. Barbour et. al (1987), menyatakan indeks keragaman jenis berkisar 0 – 7, nilai keragaman jenis dikatakan rendah apabila berkisar lebih kecil dari 2, dikatakan sedang apabila berkisar 2 – 4, dan dikatakan tinggi apabila lebih besar dari 4. Indeks keragaman kelompok vegetasi yang ditemukan di kawasan pantai timur ditampilkan pada Gambar 31.

1.67 1.78 2.13 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

Pohon Pancang Semai

In d eks K er ag aman

Gambar 31 Indeks keragaman tiga kelompok pertumbuhan mangrove, pohon, pancang dan semai di Kawasan Pantai Timur (Pidie).

Gangguan yang parah terhadap ekosistem mangrove seperti tsunami yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam menyebabkan terjadinya penurunan yang nyata dalam kerapatan dan keragaman jenis. Indeks keragaman jenis merupakan parameter yang banyak digunakan untuk membandingkan data komunitas tumbuhan. Terutama untuk mempelajari pengaruh dari gangguan faktor biotik atau untuk mengetahui tingkat tahapan suksesi dan kestabilan dari komunitas tumbuhan (Odum 1998). Terdapat perbedaan yang nyata kehadiran kelompok vegetasi mangrove di dua wilayah antara kawasan Pantai Timur dan Pantai Barat. Kawasan Pantai Timur masih menyisakan banyak vegetasi pada setiap kelompok pertumbuhan sedangkan kawasan Pantai Barat hanya menyisakan kelompok pertumbuhan tingkat pohon.

Data pasang surut kawasan pesisir pantai Timur dapat dilihat pada Gambar 32. Pasang tertinggi (MHHWL) mencapai 258.5 cm, pasang terendah (MLHWL) mencapai 231.2 cm. Pasang-surut atau titik atara pasang dan surut (MSL) mencapai 172 cm. Surut tertinggi (MHLWL) mencapai 110.4 cm, dan surut yang paling rendah (MLLWL) mencapai 86.1 cm (Oseanografi 2005).

MHHWL, 258.5 MLHWL, 231.2 MSL, 172 MHlLWL, 110.4 MLLWL, 86.1 Ti nggi P a s a ng Su ru t (c m)

Gambar 32 Grafik pasang surut kawasan pesisir pantai Timur.

Keterangan

MHHWL : Mean high high water level MLHWL : Mean low high water level MSL : Mean sea level

MHLWL : Mean high low water level MLLWL : Mean low low water level

Kawasan Pantai Bireuen, Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara

Sebelum pemekaran kabupaten-kota Bireuen dan Kota Lhokseumawe, kedua daerah ini masuk ke dalam wilayah administratif Kabupaten Aceh Utara. Gelombang tsunami juga melanda kawasan Kabupaten Bireuen dan Aceh Utara, dan merusak beberapa kawasan seperti kawasan tambak, vegetasi mangrove, vegetasi pantai dan perkebunana. Pada Gambar 33 menampilkan Peta Kerusakan Kawasan Pesisir Bireuen, Lhok Seumawe dan Aceh Utara.

Pantai Ujong Blang

Kondisi Pantai Ujong Blang mengalami abrasi yang hampir mendekati badan jalan dan perumahan penduduk. Abrasi lebih dari 1 meter setiap tahun dan kawasan ini tidak terjadi tsunami. Secara umum kondisi pantai sudah sangat terbuka dengan hamparan pasir. Dari hasil pengamatan jenis-jenis yang ditemukan adalah Cocos nucifera, Casuarina equisetifolia, Hibiscus tiliaceus dan Ipomoea

pescaprae yaitu di dekat perumahan penduduk.

Upaya penanaman atau rehabilitasi vegetasi pelindung pantai belum dilakukan di kawasan ini. Perumahan penduduk berada di badan pantai hal ini disebabkan karena terjadi pergeseran garis pantai secara terus-menerus atau mengalami abrasi sehingga lama-kelamaan perumahan penduduk berda di badan pantai. Upaya perlindungan yang dilakukan agar tidak terjadinya abrasi yang

lebih parah lagi kawasan pantai telah dibangun tanggul penahan penahan ombak. Abrasi yang terjadi di kawasan ini karena tanggul penahan gelombang yang dibangun tidak maksimal, kurang dari dua tahun tanggul ini sudah rusak kembali. Tanggul yang baik adalah dibangun dari balok beton pemecah gelombang.

Gambar 33 Peta kerusakan kawasan pesisir akibat tsunami di Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara.

Kawasan Pesisir yang rusak di kawasan pesisir Pantai Timur Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara ini ditampilkan pada Tabel 12 berikut ini.

Tabel 12 Kawasan pesisir yang rusak dan harus direhabilitasi di Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara

Kabupaten Kawasan (ha)

Vegetasi Pantai Vegetasi mangrove Tambak Tanaman Perkebunan Total Bireuen 83.3 157,6 1813.4 380.5 2434.8 Lhokseumawe - - - - - Aceh Utara 148.3 - 861.3 199.3 1208.9

Di Pantai Ujong Blang Kota Lhokseumawe vegetasi mangrove hanya ditemuka Avicennia spp. seperti yang terlihat pada Gambar 34. Kawasan tersebut memiliki luas kurang dari 1 ha. Hal ini disebabkan karena terjadi konversi lahan baik untuk tambak dan perumahan serta terjadi penimbunan oleh pasir yang berada di badan pantai. Diperkirakan sekitar 20-70% habitat alami Indonesia sudah rusak (BAPPENAS 1993). Hal ini terjadi terutama karena konversi habitat alami untuk berbagai kepentingan pembangunan. Misalnya, degradasi vegetasi mangrove untuk dikonversi menjadi tambak, lahan pertanian, pemukiman, pelabuhan dan industri, seperti yang umum terjadi di pesisir timur Sumatera, pantai Utara Jawa, dan Sulawesi Selatan.

Gambar 34 Vegetasi mangrove di pantai Ujong Blang yang sudah mulai tergusur oleh pemukiman penduduk.

Konversi ini sangat disayangkan karena mangrove merupakan sumberdaya alam wilayah tropis yang memiliki peranan besar dalam pengendalian terhadap abrasi pantai, stabilisasi sedimen, pencegahan terhadap intrusi garam, pemurnian alami perairan pantai terhadap pencemaran. Kawasan ini juga berperan sebagai tempat pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) sebagian besar jenis biota laut. Luasan vegetasi mangrove yang kecil akan mengurangi fungsi ekologi sehingga memberikan peluang besar untuk peningkatan laju abrasi pantai. Menurut Clark dan Raelee (1995), ekosistem mangrove dipengaruhi oleh laju sedimentasi, kekuatan pasang

surut, pasang surut air tawar, dan perubahan pada kedalaman laut juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan keberadaan vegetasi mangrove.

Permasalahan abrasi menjadi permasalahan bersama antara masyarakat sekitar Pantai Ujong Blang. Pemerintah Daerah Kota Lhokseumawe dan PT Arun. Permasalahan ini membutuhkan penanggulangan yang intensif dengan mempertimbangkan dinamika pantai dan prinsip-prinsip ekologi. Ratusan kepala keluarga menggantungkan kehidupannya pada wilayah pesisir ini. PT Arun telah membuktikan kepeduliannya terhadap permasalahan ini dengan membangun tanggul pemecah gelombang sepanjang 500 m. Kondisi pantai masih sangat terbuka, sangat jarang dijumpai vegetasi di sekitar pantai, vegetasi yang dijumpai adalah Cocos nucifera dan Hibiscus tiliceus dengan kerapatan yang sangat jarang. Tanggul pemecah gelombang yang dibangun oleh PT. Arun sangat mudah terkikis oleh air hujan apabila tidak ditanami vegetasi. Tumpukan batu dan tanah sangat mudah terkikis karena tidak diikat oleh sistem perakaran vegetasi pantai seperti yang terlihat pada Gambar 35 berikut ini.

Gambar 35 Tanggul pemecah gelombang yang dibangun oleh PT. Arun.

Kesadaran masyarakat dalam pengelolaan dan perlindungan wilayah pesisir harus ditingkatkan. Relokasi perumahan dari bibir pantai harus difasilitasi oleh instansi terkait sehingga pada daerah ini dapat dilakukan peremajaan vegetasi pelindung. Penyuluhan, pelatihan (diklat) dan program pendidikan lingkungan pesisir sangat dibutuhkan untuk membentuk pola pikir yang peka terhadap permasalahan-permasalahan lingkungan pesisir yang muncul. Pembentukan pola

pikir ini harus dimulai sejak dini dengan tujuan investasi jangka panjang. Menurut Medrizam et al. (2004), sebagian lapisan masyarakat kurang memiliki kesadaran dan pemahaman tentang makna penting keanekaragaman hayati bagi kehidupan sehari-hari maupun sebagai aset pembangunan. Ketidaktahuan ini menimbulkan sikap tidak peduli yang mengarah pada perusakan keanekaragaman hayati.

Selain Pantai Ujong Blang, Pantai Ulee Jalan dan Pantai Hagu Barat Laut telah mengalami abrasi yang cukup parah dan terjadi kehilangan vegetasi pantai. Kedua pantai ini merupakan persambungan dari Pantai Ujong Blang.

Pantai Ulee Jalan

Kondisi Pantai Ulee Jalan juga mengalami abrasi yang cukup parah. Secara umum kondisinya tidak banyak ditumbuhi atau ditanami vegetasi pantai. Keadaan pantai sudah sangat terbuka dan tidak dijumpai tumbuhan perintis penutup tanah seperti Ipomoea pescaprae. Tingkat abrasi juga telah sedemikian parah sehingga telah menghancurkan bangunan sekolah dan perumahan penduduk sekitar

Gambar 36 Sekolah yang sudah rusak akibat dampak dari intensitas abrasi yang terus meningkat di kawasan pantai Ulee Jalan.

Kawasan pantai sepanjang Pantai Ulee Jalan di Kota Lhokseumawe mengalami abrasi yang sudah berlangsung lama. Pada tempat-tempat tertentu

tidak dilakukan penanganan oleh pihak atau instansi terkait seperti yang terlihat pada Gambar 36. Penanganan awal untuk daerah ini adalah dengan membentengi badan pantai dengan balok beton yang kokoh. Selanjutnya menanam kembali vegetasi sehingga membentuk beberapa formasi. Vegetasi utama formasi terdepan ditanami Ipomoea pescaprae, Pandanus tectorius, Thespesia populnea, Pongamia

pinnata dan Casuarina equisetifolia. Formasi di belakangnya ditanam kembali

jenis seperti Cocos nicifera, Terminalia catappa dan Hibiscus tiliaceus, Morinda

citrifolia dan Casuarina equisetifolia.

Sekarang ini di sekitar perumahan penduduk hanya dijumpai beberapa jenis seperti Cocos nucifera, Tamarindus indica dan Hibiscus tiliaceus. Hal ini menggambarkan bahwa daerah ini telah kehilangan vegetasi akibat konversi lahan. Pantai Ulee Jalan sebagian sudah dibangun tanggul baru yaitu lanjutan dari Pantai Ujong Blang, namun kondisi pantai masih tandus dan terbuka.

Pada beberapa tempat perlindungan pantai (coastal protection) dilakukan dengan membangun bangunan fisik pemecah gelombang (break water) dari cincin sumur. Pemecah gelombang atau penahan gelombang ini sangat tidak efektif dalam menahan gelombang karena terjadi pengikisan sedimen pada bagian bawah sehingga cincin-cincin benteng penahan gelombang mudah roboh. Pada Gambar 37 menampilkan pemecah gelombang dari cincin sumur yang sudah roboh. Penanganan perlindungan penahan gelombang harus dilakukan secara maksimal, jangan hanya dilakukan asal-asalan, sehingga penanganan ini tidak pernah selesai dan menghabiskan banyak biaya.

Penanggulangan kerusakan lebih bersifat reaktif dan kuratif (mengobati). Konstruksi pemecah ombak (breakwater) di wilayah pesisir yang mengalami abrasi, serta perembesan air laut ke sumber-sumber air permukaan di daratan. Sebagian besar upaya reaktif dan kuratif seperti ini dilakukan di wilayah yang sudah tidak memungkinkan dilakukannya rehabilitasi lingkungan, misalnya penanaman ulang mangrove, akibat merosotnya tingkat kesuburan substratnya (landasan medium tumbuh).

Gambar 37 Tanggul pemecah gelombang yang telah rusak dan tidak mampu lagi melindungi pantai.

Badan pantai tidak lagi terdapat vegetasi pelindung lagi di bagian terdepan dari garis pantai sehingga pengangkutan material terjadi terus menerus karena tidak ada yang dapat mengikat sedimen di badan pantai. Formasi vegetasi yang diawali oleh jenis semak dan rumput-rumputan merupakan pengikat badan pantai yang cukup baik sehingga tidak terjadi pengangkutan material pada saat arus balik dan badan pantai terjadi peninggian. Kehilangan formasi vegetasi pantai menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap pengikisan badan pantai oleh gelombang dan pasang surut sehingga memicu terjadinya abrasi badan pantai. Puluhan rumah, lapangan bola dan gedung sekolah telah musnah akibat abrasi. Masalah ini harus menjadi perhatian yang serius terutama sekali instansi terkait dan masyarakat, khususnya dalam hal penanaman dan pemeliharaan vegetasi pantai agar tingkat kerusakan pantai yang terus berlangsung dapat diatasi.

Pantai Hagu Barat Laut

Kondisi pantai Hagu Barat Laut juga mengalami abrasi pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan yaitu sadah hampir mencapai badan jalan seperti yang terlihat pada Gambar 38. Kawasan ini tidak banyak ditumbuhi atau ditanami vegetasi pantai, hanya tinggal beberapa pohon saja seperti batang Cocos nucifera,

tempat-tempat tertentu tidak dijumpai lagi vegetasi karena kawasan pantai telah diubah fungsinya oleh masyarakat yaitu membangun warung, perumahan, dan daerah wisata di sepanjang pantai. Dengan adanya bangunan-bangunan seperti disebut di atas maka akan mempercepat terjadinya abrasi karena tidak ada lagi yang dapat mengikat partikel-partikel tanah. Beberapa tempat dijumpai abrasi sudah mulai menerjang bangunan di sekitar pantai seperti warung yang sudah hampir roboh diterjang ombak. Pada daerah ini garis pantai tinggal 2-4 m dari badan jalan. Jika tidak dilakukan penanganan diperkirakan dua tahun kemudian badan jalan akan terkena dampak abrasi.

Gambar 38 Vegetasi yang tertinggal di pinggir jalan yaitu Hibiscus tiliaceus dan

Cocos nucifera akibat pengubahan lahan.

Hibiscus tiliaceus adalah vegetasi pantai tropis dan sub tropis yang

mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut. Waru laut dapat dikelompokkan sebagai salah satu jenis mangrove. Meskipun bukan merupakan mangrove sejati, tetapi waru laut banyak dijumpai berkelompok dengan pohon mangrove. Hibiscus tiliaceus mampu mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar. Struktur akar ini berfungsi untuk memperkokoh pohon, mengambil unsur hara dan memperangkap sedimen pasir (Noor et al. 1999).

Ipomoea pescaprae tidak ditemukan lagi sepanjang garis pantai sampai pada badan jalan. Tumbuhan ini justru ditemukan setelah badan jalan yaitu di

pekarangan rumah penduduk dan tanah-tanah kosong, yang jumlah luasannya tidak mampu melindungi wilayah pesisir yang semakin lama semakin mengalami abrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa formasi pescaprae juga telah berada di sekitar perumahan penduduk. Ketidakhadiran tumbuhan perintis seperti jenis

Ipomoea pescaprae dan jenis rumput-rumputan lainnya dalam formasi terdepan

vegetasi pantai menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya abrasi yang telah berlangsung lama. Salah satu faktor yang menyebabkan hilangnya formasi ini adalah pengkonversian lahan hidup dari formasi terdepan menjadi tempat wisata, dan perumahan. Tumbuhan Ipomoea pescaprae biasanya mendominasi formasi terdepan daerah pantai. Tumbuhan ini merupakan salah satu jenis tumbuhan herba yang akarnya dapat mengikat pasir (Noor et al. 1999).

Kegiatan pemanfaatan dan pengembangan wilayah pesisir yang dilakukan di kawasan ini telah menurunkan mutu lingkungan dan berlanjut kepada hilangnya beberapa formasi vegetasi pantai, hal ini terjadi di sepanjang pantai Hagu Barat Laut. Aktifitas seperti ini di daerah wisata merupakan gangguan awal terhadap keberadaan formasi vegetasi pantai seperti yang terlihat pada Gambar 39.

Gambar 39 Vegetasi pantai yang mengalami penggusuran kibat pembangunan tempat wisata.

Pembangunan tempat wisata dan perumahan akan “menggusur” beberapa formasi vegetasi pelindung pantai. Masyarakat sekitar pantai ini menganggap vegetasi dapat menghambat pembangunan tempat wisata. Akibatnya formasi

vegetasi pelindung pantai ini mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Kawasan pantai Lhokseumawe vegetasinya telah mengalami penurunan kerapatan karena ditebang untuk pemanfaatan daerah wisata. Akibatnya daerah bibir pantai juga mengalami penggusuran sehingga pantai menjadi tandus dan tidak terlindungi. Peraturan pemerintah tentang pengelolaan kawasan pesisir harus memasukkan aturan mengenai tidak boleh membangun atau pemanfaatan pada radius tertentu dari bibir pantai. Menurut Medrizam et al. (2004) Indonesia merupakan negara terpadat keempat di dunia dengan populasi mencapai 203 juta orang pada tahun 2000; tingkat pertumbuhannya diperkirakan 1,2% pada 2000-2005. Jumlah penduduk yang tinggi ini memerlukan dukungan sandang, pangan, papan serta ruang untuk beraktivitas. Hampir semua daya dukung ini berasal dari alam yang berkaitan sangat erat dengan keanekaragaman hayati. Pola pemanfaatan yang tidak bijaksana akan ancaman bagi kelestarian keanekaragaman hayati.

Konversi lahan kawasan pesisir menjadi faktor pemicu abrasi yang memang sudah berlangsung lama. Peningkatan komposisi formasi vegetasi pantai di sepanjang pantai sangat diperlukan untuk memberikan kemampuan mendukung lingkungan fisik dan lingkungan biologi di sepanjang pantai. Penurunan kualitas lingkungan akibat beralihnya fungsi pantai yang seharusnya terdapat di sepanjang pantai akan mempercepat terjadinya abrasi, karena partikel-partikel pasir yang terdapat di pantai dan yang datang bersama gelombang dan arus tidak ada yang mengikat dan menahannya.

Pemanfaatan sumberdaya pesisir harus diarahkan kepada pemanfaatan secara terpadu dan berkesinambungan (sustainable). Orientasi pemanfaatan oleh masyarakat sekitar adalah kegiatan perikanan dan pariwisata. Namun sangat disayangkan pemanfaatan hanya berlandaskan pada prinsip ekonomi semata, sehingga tidak menjaga lingkungan pesisir menjadi rusak. Bangunan fisik pelindung pantai sudah mengalami kerusakan yang cukup parah. Bangunan fisik

Dokumen terkait