• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

KR FR DR INP No Jenis

(%) (%) (%) (%) 1 Avicennia marina 14.29 13.33 9.51 37.13 2 Nypa fructicans 7.14 6.67 2.80 16.61 3 Rhizophora mucronata 53.57 40.00 81.03 174.61 4 Rhizophora apiculata 17.86 26.67 4.37 48.89 5 Sonneratia alba 7.14 13.33 2.29 22.77 Jumlah 100 100 100 300 Indeks keragaman (H) = 1.23

Berdasarkan data yang diperoleh, vegetasi yang lebih mendominasi pada kawasan Pantai Barat adalah Rhizophora mucronata. Permudaan tingkat semai dan pancang tidak ditemukan saat pengambilan sampel. Jenis yang memperoleh nilai penting tinggi adalah Rhizophora mucronata (174.61%) berarti jenis tersebut lebih menguasai wilayah pesisir pantai barat setelah tsunami. Indeks keragaman mangrove setelah tsunami di kawasan pantai tergolong ke dalam kelompok yang mempunyai indeks keragaman rendah (H= 1.23). Kerapatan mangrove yang

tersisa setelah tsunami 47 individu/ha. Jumlah ini menggambarkan bahwa keberadaan vegetasi mangrove saat ini di kawasan pesisir Pantai Barat sudah sangat jarang, sehingga perlu dilakukan upaya rehabilitasi. Vegetasi mangrove yang tertinggal ini hanya di beberapa tempat saja, yaitu di daerah Bubon Aceh Barat, Patek Kec. Sapoinit, Kec. Syiah Kuala Banda Aceh, dan Kec Darussalam Aceh Besar. Keseluruhan indeks nilai penting mangrove di Kawasan Pesisir Pantai Barat dapat dilihat pada Gambar 18. Terlihat adanya pemisahan indeks nilai penting menjadi dua kelompok yaitu indeks nilai penting tinggi (di atas 50%) yaitu Rhizophora mucronata dan indeks nilai penting jenis rendah (di bawah 50%) yaitu Avicennia marina, Rhizophora apiculata, Nypa fructicans dan

Sonneratia alba. Persentase indeks nilai penting jenis yang sangat jauh setelah tsunami mengindikasikan bahwa kawasan ini sebelum tsunami juga didominasi oleh Rhizophora mucronata yang mempunyai indeks nilai penting tertinggi (174.61). 37.13 16.61 174.61 48.89 22.77 0 30 60 90 120 150 180 A. m arina N. fr uctic ans R. m ucro nata R. ap iculat a Sonn erati a sp. Indeks Ni la i pent ing Jeni s (% )

Gambar 18 Indeks nilai penting jenis-jenis mangrove di Kawasan Pesisir Pantai Barat.

Secara umum vegetasi mangrove di Kawasan Pesisir Pantai Barat Nanggroe Aceh Darussalam dalam kondisi rusak berat akibat hantaman gelombang tsunami dan hanya sedikit yang tertinggal. Permudaan tingkat semai dan pancang tidak ditemukan saat pengamatan dilakukan. Kawasan mangrove yang berada di sekitar Kawasan Pesisir Pantai Barat setelah tsunami pada umumnya telah mengalami perubahan bentuk kawasan yaitu sebagian besar sudah berada di dalam laut karena terjadi pergeseran badan pantai. Pergeseran badan pantai disebabkan karena ketika hantaman gelombang tsunami.

Kematian mangrove terjadi hampir menyeluruh atau dalam jumlah besar jenis mangrove dan mempengaruhi semua ukuran dan terjadi dalam waktu singkat yang disebabkan oleh tsunami. Fenomena ini merupakan aksi secara langsung terjadi patah pohon, pencabutan pohon, dan patah dahan atau terjadi pengguguran daun. Di samping itu juga terjadi kematian akibat faktor geomorfik, kematian ini terjadi di dalam habitat mangrove baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti terjadi erosi yang menyebabkan terjadi kematian mangrove. Gelombang yang kuat seperti tsunami akan mengakibatkan perpindahan sedimen dari laut dan pantai yang terkikis terbawa ke dalam ekosistem mangrove termasuk tambak dan teluk. Sedimen yang terbawa oleh gelombang akan menutupi sedimen di permukaan mangrove. Vegetasi mangrove akan roboh akibat gelombang besar. Dalam beberapa hal, ketika pantai tererosi, akan terbentuk garis pantai baru pada bagian mangrove yang mati atau teluk bagian dalam (Cahoon dan Hensel 2002).

Profil vegetasi mangrove kawasan pesisir pantai Barat tidak lagi membentuk pola pertumbuhan dalam sistem zonasi. Hal ini disebabkan karena formasi vegetasi mangrove kawasan ini banyak yang mati akibat tsunami. Vegetasi mangrove di kawasan pesisir pantai Barat tertinggal kerapatannya sudah sangat jarang, dan tidak ditemukan bentuk pertumbuhan pancang dan semai seperti yang ditampilkan pada Gambar 19.

LAUT Rm

Nf

Nf : Nypa fructicans Rm : Rhizophora mucronata

Gambar 19 Profil vegetasi mangrove di kawasan pesisir pantai Barat setelah

tsunami.

Vegetasi mangrove tidak ditemukan di kawasan yang dekat dengan garis pantai di kawasan Pantai Barat, akan tetapi ditemukan jauh dari garis pantai dan tidak lagi membentuk zonasi mangrove. Rehabilitasi untuk penanggulangan kerusakan dan pemulihan merupakan campur-tangan yang bersifat reaktif. Rehabilitasi dan pemulihan dilakukan karena parameter-parameter dasar lingkungan masih memungkinkan dan mampu untuk diperbaiki dan dipulihkan.

Data pasang surut kawasan pesisir Pantai Barat dapat dilihat pada Gambar 20. Pasang tertinggi (MHHWL) mencapai 242.3 cm, pasang terendah (MLHWL) mencapai 210.5 cm. Pasang-surut atau titik atara pasang dan surut (MSL) mencapai 159 cm. Surut tertinggi (MHLWL) mencapai 104.7 cm, dan surut yang paling rendah (MLLWL) mencapai 78.4 cm (Oceanografi 2005).

MHHWL, 242.3 MLHWL, 231.2 MSL, 172 MHlLWL, 110.4 MLLWL, 86.1 Ti nggi P a sa ng S u ru t (c m)

Gambar 20 Garfik pasang surut kawasan pesisir pantai Barat

Keterangan

MHHWL : Mean high high water level MLHWL : Mean low high water level MSL : Mean sea level

MHLWL : Mean high low water level MLLWL : Mean low low water level

Pasang surut sangat berpengaruh terhadap distribusi dan keragaman vegetasi mangrove, program rehabilitasi kawasan mangrove harus mengetahui terlebih dahulu data pasang surut di suatu kawasan. Kehadiran atau pertumbuhan vegetasi mangrove sangat dipengaruhi oleh salinitas. Salinitas cenderung berbeda berdasarkan tinggi rendah pasang surut karena dipengaruhi oleh pasokan air tawar dari daratan atau sungai.

Upaya Rehabilitasi Kawasan Pesisir Kota Banda Aceh

Sebelum tsunami vegetasi di kawasan pesisir di Banda Aceh sudah mengalami penurunan luas lahan mangrove, karena sudah banyak dikonversi menjadi perumahan dan tambak, sehingga kawasan mangrove menjadi berkurang, di samping itu juga banyak yang dipotong untuk kayu bakar. Perubahan fungsi lahan akan menurunkan kualitas lingkungan kawasan pesisir Kota Banda Aceh. Kehilangan jenis dan konversi lahan menjadi faktor utama pemicu abrasi di daerah pesisir Kota Banda Aceh.

Kawasan pesisir yang rusak meliputi lima kecamatan yaitu Kecamatan Syiah Kuala, Kecamatan Kuta Alam, Kecamatan Kuta Raja, Kecamatan Meuraxa dan Kecamatan Jaya Baru seperti yang terlihat pada Gambar 21 Peta rehabilitasi dan konservasi kawasan pesisir Banda Aceh

ambar 21 Peta kerusakan kawasan pesisir akibat tsunami di Banda Aceh

bany

meredam energi gelombang dengan PETA KERUSAKAN KAWASAN PESISIR AKIBAT TSUNAMI DI BANDA ACEH G

Setelah tsunami keberadaan vegetasi mangrove dan vegetasi pantai lainnya ak yang mati sehingga kawasan pesisir menjadi terbuka dan berada pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan sehingga akan berdampak langsung terhadap kelimpahan biota laut seperti tiram, kepiting dan udang, seperti halnya yang terjadi di kawasan mangrove Kecamatan Meuraxa, bahkan tidak meninggalkan satu batangpun vegetasi mangrove akibat hantaman tsunami. Melihat kondisi yang demikian di kawasan pesisir harus segera dilakukan upaya penanaman kembali vegetasi pantai dan mangrove.

Salah satu fungsi vegetasi pantai adalah

sistem perakaran yang dimilikinya. Sistem perakaran tersebut akan menstabilkan sedimen atau pasir pantai. Menurut Ling dan Way (1983), mangrove dapat mencegah atau mereduksi erosi garis pantai, proses ini terjadi melalui pengikatan tanah oleh sistem perakaran vegetasi pantai. Erosi disebabkan oleh

energi gelombang dan angin, apabila mangrove dipotong maka akan terjadi erosi dan banjir.

Keseluruhan kawasan yang rusak meliputi vegetasi pantai (coastal forest) 99 ha, mangrove 114 ha, badan air (water body) 70.7 ha, dan tambak yang rusak (fish/shrimp poud) 705 ha seperti yang terlihat pada Tabel 7.

Upaya penanaman kembali vegetasi mangrove sudah mulai dilakukan, namun masih dalam skala kecil. Kawasan yang sudah mulai ditanami vegetasi meliputi Kecamatan Syiah Kuala dan Kecamatan Meuraxa. Beberapa kawasan yang telah ditanam mengalami kegagalan, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah bibit yang tidak masak, penanganan bibit yang tidak baik, lokasi tanam (tanah) tidak disesuaikan dengan jenis mangrove, penanaman yang telah dilakukan dengan menancapkan propagul ke dalam tanah, propagul yang ditanam tanpa diseleksi dengan baik tingkat kemasakannya, sehingga banyak yang mati dan dibawa arus. Menurut Clarke dan Raelee (2000), ekosistem vegetasi mangrove dipengaruhi oleh laju sedimentasi, kekuatan pasang surut, pasang surut air tawar. Menurut Pratiwi et al. (1986), tindakan pelestarian dapat berupa mempertahankan dan menjaga ekosistem vegetasi mangrove supaya tidak terganggu oleh perusakan dan pencemaran, serta pada tempat-tempat yang telah rusak harus diadakan peremajaan jenis-jenis tumbuhan mangrove yang baru.

Permudaan alam merupakan salah satu bentuk regenerasi secara alami yang dilakukan oleh suatu jenis. Permudaan alam dapat tejadi jika pohon dari jenis-jenis penting itu tertinggal untuk beregenerasi. Kehadiran jenis-jenis lain

akan meningkatkan diversitas jenis, sehingga akan memantapkan ekosistem daerah tersebut. Permudaan buatan merupakan suatu bentuk permudaan yang

dihasilkan dari penanaman jenis-jenis tumbuhan mangrove yang baru, untuk permudaan perlu diperhatikan kondisi lingkungan yang sesuai sehingga mangrove

Kondisi lingkungan fisik

Secara umum kondisi fisik kawasan pesisir mengalami terbuka karena kehilangan vegetasi pelindung dan pantai mengalami abrasi seperti yang ditampilkan pada Gambar 22.

Gambar 22. Kondisi kawasan pesisir kota Banda Aceh sudah sangat terbuka dan tidak ada vegetasi pelindung kawasan pesisir.

Pantai berhubungan langsung dengan Samudera Hindia, sehingga dinamika pantai ini secara langsung dipengaruhi oleh samudera ini. Penanaman kembali vegetasi harus segera dilakukan pada kawasan ini sehingga akan melindungi pantai dari hempasan gelombang. Hal ini merupakan bagian terpenting untuk memperbaiki kondisi fisik pantai yang sudah sangat terbuka dan vegetasi pantai pantai yang sudah rusak. Setiap spesies sepanjang gradient lingkungan memiliki keunggulan kompetitif yang menjadikan faktor pengendali pola zonasi. Menurut Cruz (1981), faktor yang mempengaruhi zona vegetasi pantai antara lain: tanah, salinitas air tanah, drainase, aliran arus gelombang, kelembaban tanah dan frekuensi penggenangan.

Pengikisan daratan pantai ini akan semakin mencapai daratan pada tempat-tempat yang tidak ada vegetasi, hal ini harus segera di atasi dengan memperbanyak vegetasi pelindung pantai. Energi gelombang bekerja secara kontinyu sepanjang pantai, pada bagian yang relatif tidak memiliki daya tahan tinggi lebih cepat terkikis dan sedimen akan terangkut bersama arus balik ke laut.

Menurut Nontji (2005), energi ini mampu memindahkan sedimen di bawahnya. Apabila tidak ada penghalang yang berfungsi sebagai peredam hempasan maka hal ini akan merusak kestabilan garis pantai.

Kondisi vegetasi yang ada sekarang ini tidak dapat lagi berfungsi sebagai pendukung lingkungan fisik sebagai pemecah gelombang, menjaga abrasi pantai dan penahan angin yang menerpa langsung ke perkampungan penduduk. Formasi vegetasi pantai baik formasi pohon, semak dan rumput-rumputan merupakan mekanisme perangkap partikel pasir yang menjaga kestabilan garis pantai secara alami. Pembangunan pemecah gelombang harus dapat mengatasi permasalahan abrasi yang timbul, karena pada beberapa tempat tidak lagi mempunyai substrat untuk ditanami vegetasi pelindung maka daerah seperti ini harus dibangun pemecag gelombang yang kokoh, selanjutnya harus ditanami vegetasi pelindung di belakannya. Bangunan fisik yang dibangun harus disesuaikan dengan kondisi fisik laut itu sendiri (gelombang). Bangunan fisik akan diterjang oleh ombak laut dan pasang surut secara periodik oleh sebab itu penentuan penahan gelombang harus disesuaikan dengan kekuatan arus atau gelombang sehingga akan menghindari resiko kerusakan. Penanaman vegetasi pantai mutlak diperlukan di samping untuk mengikat badan pantai dan untuk memperkokoh bangunan pemecah gelombang.

Kawasan pesisir yang ditanami vegetasi pantai, tingkat abrasinya dapat ditekan, dan pantai sangat berpotensi untuk dijadikan tempat wisata. Hal ini akan sangat menguntungkan bagi masyarakat setempat. Masyarakat dapat memperoleh penghasilan tambahan dengan mengelola tempat wisata di sekitar pantai tersebut dengan memanfaatkan zonasi bagian belakang dengan tidak menghilangkan vegetasi pelindung. Tempat-tempat rekreasi harus ditata sedemikian rupa dengan memperhatikan prinsip-prinsip ekologi agar lingkungan pantai tidak rusak.

Vegetasi pelindung kawasan pesisir

Upaya yang harus dilakukan untuk mempercepat pemulihan kondisi lingkungan kawasan pesisir kota Banda Aceh adalah upaya penanaman kembali jenis-jenis vegetasi pelindung kawasan pesisir seperti vegetasi mangrove. Sebelum tsunami kawasan pesisir Banda Aceh didominasi oleh beberapa jenis

mangrove seperti Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Rhizophora

apiculata, Avicennia sp., Sonneratia sp., Ceriops sp., Nypa fructescen. Vegetasi

mangrove pada umumnya mendominasi zona-zona pantai dengan kondisi berlumpur dan delta estuaria pasang surut. Menurut Field (1995), sepanjang tepi garis pantai, vegetasi mangrove dijumpai dari bagian tepi yang sempit sampai ke daerah yang ternaungi di daratan pantai. Pada kawasan yang luas mangrove terbentuk di daratan pantai, misalnya kawasan luas dan lokasi terkait dengan penggenangan pasang surut, pendangkalan (sedimentasi), dan karakteristik sedimen.

Cemara laut (Casuarina equisetifolia) kadang-kadang terdapat dalam formasi pescaprae, cemara laut dapat tumbuh menggantikan vegetasi pantai sebenarnya dalam proses suksesi sehingga dapat membentuk vegetasi murni. Sistem perakaran akan menjadi perangkap sedimen pasir yang pada akhirnya akan mempertahankan garis dan badan pantai. Cemara laut dalam formasi

pescaprae juga berfungsi sebagai penahan angin. Sebelum tsunami Kawasan

Pesisir Pantai Barat juga didominasi oleh cemara laut seperti kawasan pantai Aceh Barat.

Waru (Hibiscus tiliaceus) merupakan tumbuhan khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis dan seringkali berasosiasi dengan mangrove. Waru juga umum di sepanjang pinggir sungai di kawasan dataran rendah. Waru laut mampu mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar (Noor et al. 1999).

Pandan (Pandanus tectorius) dapat tumbuh pada habitat dengan substrat berpasir di depan garis pantai, terkena pasang surut hingga agak ke belakang garis pantai. Pandan merupakan semak yang mempunyai kecepatan penyebaran yang cepat hal ini terbukti pada penelitian yang dilakukan di pantai barat, memiliki nilai penting paling tinggi yaitu 75% dari keseluruhan kelompok semak.

Tumbuhan Nypa (Nypa fruticans) tumbuh pada substrat yang halus, pada bagian tepi atas dari jalan air. Tumbuhan ini memerlukan masukan air tawar tahunan yang tinggi, jarang terdapat di luar zona pantai, sehingga sering dijumpai di muara sungai. Nypa biasanya tumbuh secara berkelompok, memiliki sistem perakaran yang rapat dan kuat yang tersesuaikan lebih baik terhadap perubahan

masukan air, dibandingkan dengan sebagian besar jenis tumbuhan mangrove lainnya.

Kelapa (Cocos nucifera) merupakan tumbuhan yang tumbuh baik di kawasan pesisir, kelapa sangat bermanfaat yaitu buahnya dapat konsumsi, batangnya bisa digunakan untuk perumahan. Kelapa mampu mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar.

Mengkudu (Morinda citrifolia) merupakan tumbuhan liar, tumbuhan ini dapat tumbuh hingga 500 m dari permukaan laut, terdapat pada tempat-tempat yang memperoleh sinar matahari cukup hingga sedikit ternaungi, mulai dari pantai berpasir hingga berlumpur, lapangan terbuka, lahan terlantar, pinggir jalan hingga jauh ke darat. Morinda citrifolia merupakan jenis tumbuhan yang mempunyai multi fungsi, disamping sebagai penahan erosi, yaitu penutup dan mengikat tanah dengan sistem perakarannya, tumbuhan ini juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sayuran dan obat-obatan.

Ketapang (Terminalia catappa) merupakan tumbuhan khas di sepanjang pantai, yang berada pada formasi terdepan hingga ke tengah. Tumbuhan ini juga ditemukan di pinggir sungai di kawasan dataran rendah. Ketapang mampu mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar.

Bintan (Cerbera manghas) merupakan tumbuhan di vegetasi rawa pesisir atau di pantai. Tumbuhan ini hidup hingga jauh ke darat mencapai 400 m dari permukaan laut, biasanya hidup pada tanah berpasir yang memiliki sistem pengeringan yang baik, terbuka terhadap udara dari laut serta tempat yang tidak teratur tergenang oleh pasang surut. Biasanya tumbuh di daerah tepi daratan dari mangrove (Noor et al. 1999).

Kawasan Pesisir Aceh Besar

Pantai Aceh Besar juga mengalami abrasi tetapi tidak separah yang terjadi di kawasan pesisir daerah lain, secara umum kondisi vegetasi kawasan pesisir Aceh Besar masih banyak ditumbuhi vegetasi pantai. Pada beberapa tempat terdapat kawasan yang sudah mulai terbuka yaitu telah dibangun pertokoan dan pembangunan daerah wisata, sehingga vegetasi sekitar garis pantai sudah banyak

yang hilang dan tanahnya sudah mulai terbuka sehingga yang tampak hanya hamparan pasir.

Ekosistem pantai yang stabil mempunyai mekanisme penyerap energi gelombang dan arus serta perlindungan pantai yang alami, yaitu adanya vegetasi pantai yang seimbang. Formasi vegetasi pantai dalam bentuk tingkatan vegetasi dibentuk sebagai mekanisme penyerap kekuatan angin yang merupakan pembangkit utama gelombang dan arus di perairan dangkal. Formasi vegetasi pantai baik formasi pohon, semak dan rumput-rumputan merupakan mekanisme perangkap partikel pasir yang menjaga kestabilan garis pantai. Pada beberapa pantai Aceh Besar masih mempunyai beberapa formasi ini seperti Pantai Lampuuk sebelum tsunami. Akan tetapi mekanisme ini tidak berfungsi dengan baik di beberapa kawasan pantai di Aceh Besar seperti Pantai Lhoknga dan Ujong Batee hal ini disebabkan karena komposisi formasi vegetasi pantai yang sudah menurun, hal ini ditandai dengan adanya tanah yang sudah terbuka oleh akibat pembangunan tempat wisata dan toko-toko sepanjang garis pantai. Pengalihan fungsi habitat vegetasi pantai di samping terjadinya abrasi juga akan menurunkan kualitas lingkungan. Prinsip ekologi terpenting yang harus diperhatikan adalah adalah tidak menghilangkan formasi vegetasi pantai yang ada. Hal ini penting sekali untuk mempertahankan kestabilan garis pantai dan menjaga keseimbangan alam sehingga pantai tidak mengalami abrasi.

Program perlindungan (fisik) pantai dan pesisir tidak banyak dilakukan di kawasan pesisir karena secara umum perumahan penduduk agak jauh dari kawasan pantai, dan tingkat kerusakan vegetasi pantai juga cenderung menurun dibandingkan dengan daerah lain. Pantai yang mempunyai formasi vegetasi tingkat abrasi terjadi kecil dibandingkan dengan pantai yang tidak mempunyai vegetasi hal ini dapat dibedakan di beberapa kawasan pantai di Aceh Besar.

Casuarina equisetifolia terdapat dalam formasi pescaprae dan pohon ini

merupakan vegetasi dominan di Pantai Lampuuk sebelum tsunami, di antara beberapa kawasan pantai di Aceh Besar, Pantai Lampuuk merupakan kawasan pantai yang paling stabil karena kawasan ini merupakan kawasan yang masih mempunyai formasi vegetasi pelindung pantai. Casuarina equisetifolia dapat tumbuh dengan baik membentuk vegetasi murni sehingga dapat berfungsi

sebagai pelindung pantai dan penghambat laju abrasi. Cemara laut dalam formasi

pescaprae juga berfungsi sebagai penahan angin.

Kawasan pesisir Aceh Besar berhubungan langsung dengan Samudera Hindia dan Selat Malaka, kawasan tersebut dipisahkan oleh kawasan pesisir Kota Banda Aceh. Formasi vegetasi kawasan tersebut juga dipengaruhi oleh dua wilayah perairan yaitu Samudera Hindia dan Selat Malaka. Sebelum tsunami kawasan pesisir pantai Aceh Besar ditumbuhi berbagai vegetasi yaitu Casuarina

equisetifolia (cemara), mendominasi beberapa pantai seperti pantai Lampuuk,

pantai Lhoknga, dan pantai Ujong Batee.

Kawasan pesisir Kabupaten Aceh Besar yang rusak meliputi delapan kecamatan yaitu Kecamatan Lhoong, Kecamatan Leupung, Kecamatan Lhoknga Leupung, Kecamatan Peukan Bada, Kecamatan Jaya Baru, Kecamatan Baitussalam, Kecamatan Darussalam, dan Kecamatan Mesjid Raya seperti terlihat pada Gambar 23 Peta kerusakan kawasan pesisir akibat tsunami di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Gambar 23 Peta kerusakan kawasan pesisir yang terkena tsunami di Kabupaten Aceh Besar.

Sebagian besar kawasan pesisir setelah tsunami mengalami kerusakan yang cukup parah baik vegetasi maupun kondisi fisik pantai dan terjadi kehilangan badan pantai serta terjadi pembentukan badan pantai baru. Gelombang (tsunami) lebih tinggi dan lebih kuat menerjang kawasan pesisir Aceh Besar yang berada berada di Samudera Hindia. Gelombang menerjang kawasan tersebut tidak terhalang oleh paparan daratan, sedangkan kawasan pesisir Aceh Besar yang berada di kawasan Selat Malaka gelombang yang datang tidak setinggi gelombang yang menerjang daratan dekat Samudera Hindia. Sehingga mengakibatkan kondisi vegetasi dan kondisi fisik pantai tingkat kerusakan lebih tinggi terjadi di Kawasan Kesisir Pantai Barat dan Kota Banda Aceh dibandingkan dengan kawasan pesisir yang berada di sekitar Selat Malaka (Pantai Timur).

Luas kawasan vegetasi pantai 330.8 ha, tambak 1245.6 ha, vegetasi 2958.1 ha, mangrove 549.9 ha, vegetasi holtikultur 4680.2 ha, tanah kosong 812.2 ha, sawah 1525.4 ha, badan air 12.1 ha, seperti yang terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Kawasan pesisir yang rusak di Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar akibat tsunami

Kabupaten Kawasan (ha)

Vegetasi Pantai Vegetasi mangrove Tambak Tanaman Perkebunan Badan Air Total Banda Aceh 99.4 214 705.1 121 70.8 1210.2 Aceh Besar 330.8 549.9 1245.6 4680.2 12.1 6818.6

Pada kawasan ini upaya penanaman kembali vegetasi kawasan pesisir sudah mulai dilakukan tetapi baru dalam skala kecil, persawahan dan kawasan tambak sudah mulai direhabilitasi yang dibantu oleh beberapa Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) dan NGO baik dalam negeri maupun asing. Kawasan pantai pada daerah ini sudah mulai direhabilitasi khususnya mangrove, namun upaya rehabilitasi ini terdapat beberapa kendala seperti bibit yang dibawa dari tempat lain tidak tumbuh dengan baik karena bibit cepat layu, untuk rehabilitasi kawasan pesisir. Pembuatan nursery pada kawasan penanaman sangat baik sehingga bibit yang akan ditanam tidak layu dan sudah menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat, seperti yang telah dilakukan di pesisir Simpang Tiga Pidie.

Rehabilitasi kawasan ini harus melibatkan penduduk setempat baik mulai pembuatan bibit di nursery hingga penanaman dan perawatan, sehingga tingkat kelulusan hidup lebih tinggi karena masyarakat di sekitar mempunyai tanggung jawab untuk menjaganya. Pemerintah hanya sebagai fasilitator dalam hal rehabilitasi ini. Penyadaran masyarakat harus lebih ditingkatkan karena terdapat

Dokumen terkait