• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.7. Kredibilitas Penelitian

Suatu penelitian harus memiliki kualitas yang baik, dalam penelitian kualitatif, validitas penelitian disebut dengan kredibilitas. Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilan dalam mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan suatu fenomena yang kompleks (Poerwandari, 2009).

Adapun uapaya peneliti dalam menjaga kredibilitas penelitian ini yaitu dengan :

1. Membangun rapport dengan responden agar ketika proses wawancara berlangsung responden dapat lebih terbuka menjawab setiap pertanyaan dan suasana tidak kaku pada saat wawancara.

2. Membuat pedoman wawancara berdasarkan teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya.

3. Menggunakan pertanyaan terbuka dan wawancara mendalam untuk mendapatkan data yang akurat.

4. menanyakan kembali beberapa pertanyaan yang dirasa butuh penjelasan yang lebih dalam lagi pada wawancara berikutnya untuk memastikan keakuratan data responden.

5. Melibatkan teman, dosen pembimbing, dan dosen yang ahli dalam bidang kualitatif untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritik mulai awal kegiatan proses penelitian sampai tersusunnya hasil penelitian. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan kemampuan peneliti pada kompleksitas fenomena yang diteliti.

34 BAB IV

DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHAAAN

Bab ini berisi uraian hasil analisa data wawancara yang telah dilakukan selama penelitian. hasil yang didapat dari penelitian ini akan dianalisa agar dapat memperjelas bagaimana proses yang dialami partisipan multietnis non dominan dalam membentuk identitasnya, serta kejadian yang dialami selama hidupnya yang mempengaruhi pembentukan identitas etnisnya.

4.1. DESKRIPSI DATA

4.1.1. Deskripsi data hasil wawancara partisipan

Partisipan merupakan seseorang lelaki berinisial AA, pensiunan PNS di Direktorat Jendral Pajak Departemen Keuangan Republik Indonesia yang saat ini berusia 73 tahun. Memiliki anak 5 dari istri pertama yang telah meninggal pada tahun 1990 dan 1 anak dari istri kedua yang menikah pada tahun 1997 dan saat penelitian ini dilakukan partisipan telah memiliki 10 orang cucu. Partisipan merupakan seorang anak dari pernikahan campuran etnis, Ayah bersuku minang dan Ibu bersuku Mandailing.

Pernikahan campuran etnis yang dilakukan oleh orangtua partisipan berawal dari sebuah pertemuan di tahun 1940 antara seorang janda (inisial S) beranak 4 dan seorang duda (inisial D) tanpa anak yang merantau dari kampung halamannya di Sumatera Barat ke sebuah kampung di Tapanuli Selatan, yaitu Padang Sidempuan. Seorang duda tanpa anak ini terbuang dari kampung halamannya tanpa harta yang dibawa, karena dalam budaya minang harta dan pusaka hanya

Universitas Sumatera Utara

dimiliki oleh anak perempuan, bahkan pewarisan suku dan budaya hanya dapat diwariskan oleh anak perempuan.

Hubungan mereka didasari oleh kesamaan cerita kehidupan, sikap dan pendirian. Namun, hubungan ini tidak berlangsung begitu mulus. Ketika perkenalan yang dilalui ini sudah berlangsung cukup lama, sekitar 2 tahun sejak tahun 1940-1942, Sepuh dikeluarga S meminta agar D segera menlanjutkan hubungan mereka ke tahap pernikahan. Namun D yang saat itu hanya seorang duda perantauan yang berbekal keahlian menjahit dan juga seorang aktifis perjuangan pergerakan bawah tanah, belum memiliki harta untuk modal pernikahan. Sementara, S merupakan anak dari keluarga yang cukup berada, memilki sawah yang luas di kampung halamannya. Dikarenakan perbedaan status sosial ini, S rela melepaskan harta yang ada dikampung untuk adik-adiknya saja, dan ia ikut merantau bersama D dan anaknya ke deli.

Setelah beniaga diperantauan, dan memiliki cukup uang akhirnya mereka menikah. Guna memperoleh restu dari keluarga mereka pun kembali ke kampung halaman S di Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan untuk berkunjung dan meminta restu. Saat kembali merantau di Deli, Belawan, S melahirkan seorang putra yang hidup hanya 15 hari, namu tak berapa lama, S kembali hamil dan melahirkan seorang putra yang diberi nama AA (partisipan). AA memiliki seorang adik laki-laki dan juga adik kembar perempuan yang meninggal beberapa hari setelah dilahirkan, sejak saat itu ibu S sering mengalami sakit-sakitan.

36

Seiring berjalannya waktu usaha yang dimiliki oleh bapak D semakin besar dan berkembang, ekonomi keluarga mereka pun semakin baik dan sukses. Ia memiliki perusahaan Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL), pengangkutan barang masuk dan keluar pelabuhan Belawan. Kabar kesuksesan tersebut terdengar sampai kekampung halaman bapak D, dan sejak itu banyak saudara yang datang berkunjung melihat keadaan bapak D dan keluarga. Ada yang datang dengan tulus dan penuh suka cita, namun ada pula yang datang hanya sekedar berkunjung mengukur kesuksesan keluarga bapak D. Bahkan, ada yang hanya bertanya-tanya AA dan adiknya itu keturunan siapa, suku apa, dan apa marganya.

Dengan kesuksesan yang telah diraih bapak S membuat keluarga, baik dari pihak keluarganya sendiri, maupun keluarga ibu S, banyak yang meminta bantuannya. Ada yang meminta dicarikan pekerjaan diperantauan deli, ada pula yang meminta jabatan d perusahaannya. Meskipun dahulu ia sempat tidak dipedulikan, dan tidak dipandang dikeluarganya, bahkan anaknya tidak diakui dalam silsilah keluarganya, namun ia tetap mengulurkan tangannya kepada sanak saudaranya tersebut.

Dibalik kesuksesan yang dimiliki bapak D pada saat itu, penyakit Ibu S juga tak kunjung sembuh, ternyata ibu S menderita penyakit kanker sehingga dibawa berobat sampai ke RS Militer di Medan. Mengingat perlunya fokus untuk kesembuhan Ibu S dan AA yang telah tamat SR (sekolah Rakyat) akan melanjutkan ke SMEP ( Sekolah Menengah ekonomi Pertama) mereka pun akhirnya pindah ke Medan menyewa rumah, yang ikut pindah saat itu bapak D,

Universitas Sumatera Utara

Ibu S, AA dan adiknya. Kondisi ibu S ini berlangsung cukup lama sampai akhirnya Ibu S meninggal pada tahun 1960.

Musibah yang dialami AA dan adiknya pada saat itu sangat berat, ketika ia baru saja kehilangan Ibunya, musibah kembali terjadi, pada bulan berikutnya Ayahnya ditangkap karena perusahaannya dituduh menggelapkan barang yang masuk pelabuhan, dan diancam kurungan penjara selama 3 tahun. Keadaan itu sangat sulit diasakan oleh AA dan saudara-saudaranya, namun tak ada satu keluarga pun yang menolong dan peduli dengan keadaan mereka.

Sejak saat itu, kehidupan mereka pun tak tentu arah, dan mereka kembali menetap di rumah belawan. Saat itu, yang tinggal bersama AA dan adiknya adalah abang tirinya, dan keponakan Ayahnya merupakan seorang janda beranak dua, dikarenakan dalam budaya minang keponakan perempuan merupakan masih tanggung jawab pamannya, dan memiliki hak atas harta pamannya, maka ia dan anak-anaknya tinggal bersama AA.

Keadaan ekonomi yang semakin meburuk, abang dari AA menyewakan sebagian dari rumah mereka kepada orang lain, oleh karena itu rumah yang mereka tempati pun semakin sempit, lalu kemudian abang tiri AA memperistri keponakan dari Ayah tirinya tersebut. Kondisi mereka yang seperti ini juga tidak berlangsung lama, karena tuntutan ekonomi, maka rumah mereka dijual oleh abangnya dan mereka pun harus berpencar. Sang adik ditipkan oleh abangnya pada seseorang tetangga penjual kue, AA harus pindah ke sebuah kos di Medan,

38

dan abangnya pergi merantau ke kampung Bagan Siapi-api bersama istri dan anaknya.

Pada tahun 1961 saat AA duduk di bangku SMEA, AA dimintai data siswa mengenai sukunya, marganya, dan data orang tua. AA yang kalau itu berada ditahapan usia remaja yang sedang memasuki tahap pencarian identitas, mengalami kebingungan/krisis. Ia tidak tahu harus mencantumkan apa dalam data siswa tersebut, yang ia tahu selama hidupnya ketika orang bertanya ia akan menjawab bahwa ia orang melayu, anak deli, karena ia dibesarkan dengan budaya tempat tinggalnya.

Selama hidupnya pada saat itu, kedua orang tuanya juga tidak pernah mewariskan tentang kesukuan kepada dirinya, bahkan keduanya juga menolak untuk memberikan marganya, karena kedua orang tuanya masih sama-sama menghargai adat istiadat leluhurnya bahwa orang minang yang dapat mewariskan kesukuannya adalah Ibu, dan orang Mandailing yang dapat mewariskan kesukuannya adalah Ayah.

Ditengah-tengah kebingungan ini, ia berkunjung ke penjara ayahnya untuk berdiskusi. Namun, tak kunjung mendapat jawaban yang pasti. Pengalaman menyakitkan seperti tidak diakui didalam kesukuan keluarga Ayah maupun Ibu, dikucilkan, diabaikan dan tidak dipedulikan bahkan saat masa-masa sulit, membuat partisipan merasa tidak ingin terikat dengan kedua etnis orang tuanya, dan ingin mencari identitas sendiri. Hingga pada akhirnya ia merenung dan memikirkan sebuah ide untuk menggabungkan nama kedua orang tuanya sebagai

Universitas Sumatera Utara

identitasnya, yang akan ia dan adiknya sandang sebagai tanda pengenal silsilah keluarga pengganti marga yang selama ini tidak dapat ia warisi dari kedua suku orang tuanya.Hal ini dikemukakannya kepada ayahnya dan adiknya, dan mereka dengan senang hati menerima ide tersebut.

Setelah saat itu keluarga yang sebelumnya sering mempertanyakan tentang AA keturunan siapa? Suku apa? Dan Marga apa? Tidak pernah lagi bertanya-tanya mengenai hal tersebut. Dengan melalui proses yang panjang, nama keluarga yang disandang oleh AA telah didaftarkannya sebagai nama lengkap dan secara resmi telah disahkan oleh Badan Aparatur Negara Republik Indonesia. Kemudian untuk keturunannya, nama tersebut tetap dipakai sebagai nama keluarga pengganti marga, dan dapat diwariskan oleh anak laki-laki. Anak perempuan boleh mewariskannya apabila disetujui oleh suaminya kelak. Hingga saat ini nama keluarga tersebut sudah dimiliki oleh tiga generasi, yang mana AA adalah generasi pertama yang menyandangnya sekaligus yang membuatnya.

Selama hidupnya partisipan mengaku tidak pernah diwariskan nilai-nilai ketnisan dari kedua orang tuanya, bahkan ia dibesarkan dengan budaya kampung halamannya sendiri yaitu tanah deli/melayu. Semasa remaja ia hanya mengekplorasi budaya setempat, tidak suku minang ataupun suku mandailing. Ia mempelajari budaya setempat dari proses melihat-lihat, belajar melalui buku-buku dan belajar dari teman-teman sepergaulan. Selama remaja ketika ditanya orang lain sukunya apa, maka ia akan menjawab suku deli/melayu, karena ia tinggal dan dibesarkan di tanah deli.

40

Partisipan merupakan seseorang yang sangat menyukai sastra, dan seni.

Sejak duduk dibangku SMEA partisipan sering membuat catatan-catatan berupa sajak, atau puisi2, serta jurnal. Puisi yang ia buat pun sering dikirimnya ke media cetak surat kabar harian dan beberapa diantaranya diterbitkan oleh surat kabar tersebut.

Setelah tamat sekolah partisipan aktif mengikuti berbagai organisasi kepemudaan diantaranya pemuda Nadhlatul Ulama mengikuti jejak ayahnya, dan ia juga aktif di organisasi kesenian SUMUT khususnya di seksi kesenian teater SUMUT. Didalam organisasi tersebut ia banyak memilki teman yang berasal dari Suku Melayu. Prestasi yang pernah ia raih diantaranya ialah menjadi aktor pementasan teater Sri Mersing, dan Putri Hijau, bahkan ia pernah menjadi penulis naskah beberapa pementasan dan pernah menjadi sutradara dalam sebuah pementasan drama teater yang berjudul Butet. Drama teater Sri Mersing dan Putri Hijau merupakan Sastra melayu atau sejarah kebudayaan melayu di tanah deli.

Partisipan mengaku sangat suka dengan budaya melayu, ia menyukai sastra dan seni kebudayaan melayu. Partisipan juga mengaku bahwa ia merasa senang berada dilingkungan orang melayu, ia merasa nyaman dan diterima, karena dalam lingkungan budaya melayu ia tidak pernah dipermasalahkan mengenai asal sukunya, dan apa marganya.

Pada saat menikah keluarga istri partisipan yang merupakan keluarga bersuku mandailing, bermarga Nasution, tidak terlalu mempermasalahkan mengenai suku dan marga partisipan. Sehingga partisipan tidak perlu membeli

Universitas Sumatera Utara

marga seperti pada adat mandailing yang kental, apabila calon suami tidak bermarga maka harus membeli marga dan diadakan prosesi adat sebelum menikah. Selain menggunakan prosesi adat mandailing saat pernikahan adat istri, partisipan juga menggunakan prosesi adat melayu pada saat acara di keluarga pihak suami. Partisipan tidak menggunakan prosesi adat kesukuan dari Ayahnya yaitu Minang maupun prosesi adat kesukuan Ibunya yaitu Mandailing.

Namun, ketertarikan partisipan terhadap budaya Melayu ini tidak mencapai titik komitmen, karena partisipan menganggap bahwa dirinya tidak memiliki darah orang melayu, yang berarti secara lahiriah ia tidak bisa menjadi orang melayu dan ia juga tidak mempelajari melayu secara mendalam mengenai nilai-nilai adat kesukuan melayu.

Ketika ditanya identitas keluarga yang ia ciptakan atau keluarga Dalil Sari itu bersuku apa, maka ia akan menjawab campuran, dari suku minang dan suku mandailing yang tidak mendapat warisan marga. Adat istiadat atau nilai-nilai dalam keluarga tersebut tidak terpaku secara mutlak dengan satu etnis tertentu, bahkan partisipan mengaku lebih baik bersandar pada nilai-nilai agama. Nilai-nilai kesukuan boleh diajarkan asal tidak memberatkan bagi keturunannya, dan tidak bertentangan dengan nilai agama.

4.1.2 Hasil Observasi selama wawancara

Wawancara pertama dilakukan dirumah partisipan pada pukul 14.18 sampai dengan selesai. Partisipan mengenakan baju kemeja dengan sarung dan peci yang menutupi kepalanya. Peneliti duduk diatas ambal/karpet diruang

42

keluarga dengan posisi hampir berhadapan dengan partisipan yang berjarak sekitar empat puluh lima sentimeter. sebelum wawancara dimulai peneliti menjelaskan kembali maksud dari kedatangannya untuk melakukan wawancara penelitian, kemudian partisipan masuk kekamar, dan mengambil beberapa lembaran kertas dan sebuah buku yang lembarannya berwarna coklat muda dan terlihat sudah using, selama berkomunuikasi partisipan memiliki suara yang rendah dan berat, serta sering tersendat karena menahan tangis. Selama proses wawancara berlangsung pertisipan sering menangis dan meringis, ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan yang melibatkan kondisi emosionalnya memuncak.

Partisipan juga berkali-kali menarik nafas dari hidungnya yang basah karena menangis. Dalam menjawab pertanyaan mengenai asal usul identitas keluarga, partisipan menjawab dengan jawaban terbuka, ia menceritakan secara luas dan detail sambil memegang sebuah kertas yang berisi cerita tentang asal-usul nama keluarga yang telah ia tuliskan dalam bentuk naskah. Partisipan sering menekankan bahwa ada cerita kehidupan yang terlupa atau sengaja dilupakan guna menjaga keutuhan keluarga.

Wawancara kedua dilakukan kembali diumah partisipan pada pukul 20.11 sampai dengan selesai. Partisipan mengenakan kaos dalam berwarna hitam, sarung dan peci, serta kacamata. Pada wawancara kali ini partisipan sudah siap duduk di ruang keluarga yang beralaskan kasur dan sudah siap dengan kertas-kertas dan buku yang mendampinginya pada wawancara sebelumnya. Sebelum wawancara peneliti kembali menjelaskan maksud dan tujuan wawancara kembali ini adalah untuk melengkapi data pada wawancara sebelumnya yang kurang jelas.

Universitas Sumatera Utara

Pada wawancara kali ini, partisipan lebih banyak menangis dari pada sebelumnya, pertanyaan yang peneliti ajukan pada wawancara kali ini, ternyata merupakan cerita yang terlupa atau sengaja terlupakan, yang sebelumnya berkali-kali ditekankan oleh partisipan, namun dengan keadaan yang sulit, sambil menangis terisak, suara melemah, tarikan nafas tarasa berat, pertanyaan itu dijawab oleh partisipan. Pada saat menjawab pertanyaan yang membuka kisah kehidupannya yang pahit ia selalu menangis, dan suaranya melemah, pada saat menceritakan kesuksesannya, ia tersenyum dan suaranya membulat. wawancara kali ini diakhiri dengan sesi foto sebagai dokumentasi.

4.2 ANALISA DATA

Pada bagian ini, analisa data partisipan akan diuraikan berdasarkan tema-tema yang muncul dari hasil wawancara.

4.2.1 Pencarian Identitas etnis

Partisipan yang merupakan individu hasil pernikahan campuran etnis ini memiliki orangtua yang sama-sama masih menjaga adat budayanya yang kental tentang pewarisan kesukuan. Jika kembali kepada prinsip agama islam, maka kesukuan mengikuti nasab ayah, namun ayah partisipan yang memang masih sangat menjunjung tinggi adat budaya leluhurnya dengan kukuh tidak mau mewariskan kesukuan kepada anaknya baik dalam bentuk marga maupun dalam bentuk keetnisan lainnya. Begitu pula dengan ibu selain dalam prinsip agama Islam nasab mengikuti Ayah, Ibu partisipan juga tidak punya hak dalam kesukuannya untuk diwariskan kepada anaknya.

44

“ya mau dibilang marga Tanjung gabisa tanjung diwariskan ke atok, mau dibilang marga Nasution , uyut bilang ooh tidak, gak bisa dia mewariskan Marga nasution”

(W.P.73.IE.19JUN19.14b)

“kalau zaman dulu memang sperti itulah kentalnya dan ketatnya adat minang itu, makanya atok bilang kurang sesuai dengan syariat agama yang bagaimana pun nasab itu pada Ayah”

(W.P.73.IE.5JUL19.1)

4.2.1.1 Aspek Eksplorasi

Partisipan mengaku bahwa selama ia kecil tidak ada diajarkan mengenai keetnisan dari kedua orang tuanya sehingga ia merasa tidak adanya keterikatan dengan kedua etnis orang tuanya. Partisipan juga mengaku tidak ingin mendalami dan mempelajari keetnisan kedua orang tuanya

“kosong aja, gada mengikuti tradisi keluarga Bapak atau Ibu”

(W.P.73.IE.19JUN19.17) diperlukan, atok juga bukan Marga Tanjung. malah didalam istilah yang atok pernah tau , dibudaya Minang, Atok Ibarat Pohon yang terbuang, keberadaannya tidak diperlukan, Di budaya Nasution juga tidak diperlukan, anak dari keturunan perempuan juga tidak diperlukan dikeluarga itu baik mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut budaya.”

(W.P.73.IE.19JUN19.13)

“kesukuan tidak, sesudah atok mencapai usia dua puluhan baru atok aktif di organisasi kepemudaan itu pun bukan di bidang persukuan, kalau pemuda minang, pemuda tapanuli, itu tidak. Malah atok jadi gak sukak, malah atok jadi dikucilkan lah.”

Universitas Sumatera Utara

(W.P.73.IE.19JUN19.21b) Pada saat remaja, ketika partisipan ditanya mengenai apa sukunya, maka ia akan menjawab suku Melayu atau Deli, karena ia lahir, dan dibesarkan dilingkungan melayu deli dan banyak bergaul dengan orang-orang deli, sehingga ia merasa dirinya orang deli

“orang deli lah, aku kelahiran deli, lebih lekat melayunya jadinya”

(W.P.73.IE.19JUN19.16)

“Ya karena memang atok dibesarkan dilingkungan melayu pada saat kecil, atok lahir ditanah deli, kampung halaman atok ya deli, beda ya kalau kampung halaman orang tua, dan atok memang suka. Dan atok juga banyak bergaulnya sama orang deli”

(W.P.73.IE.5JUL19.4) Ketertarikan partisipan terhadap budaya melayu ini dikarenakan ia sangat suka dengan sastra, seni dan budayanya, ia juga mengaku bahwa ia mersa diterima dengan baik dilingkungan pergaulan orang-orang melayu, dan tidak ada dipermasalahkan mengenai sukunya.

“Atok suka sama sastranya, atok suka dengan seni budayanya, dan yang paling penting atok diterima dilingkungan itu, tidak pernah orang melayu itu mempermasalahkan kau ini anak siapa, anak siapa, suku apa, marga apa, dilingkungan pergaulan atok itu.”

(W.P.73.IE.5JUL19.5a)

“tidak pernah orang melayu itu mempermasalahkan kau ini anak siapa, suku apa, marga apa, dilingkungan pergaulan atok itu.”

(W.P.73.IE.5JUL19.5b)

Partisipan mengeksplorasi kebudayaan melayu ini melalui proses melihat, dari acara-acara adat yang ada dikampungnya, dari pergaulannya, kemudian belajar melalui buku-buku sastra yang ia miliki, serta dari pergaulannya, ia juga

46

aktif dalam organisasi kepemudaan Seni Teater Sumatera Utara, yang teman-temannya banyak orang melayu, serta partisipan sering melakonin drama pementasan legenda melayu sehingga menurutnya kebudayaan melayu yang ia miliki semakin terasah.

“Yaa dari kecil atok melihat-lihat lah lingkungan sekitar, kalau ada acara-acara dikampung, dari teman-teman sepergaulan, dari buku-buku sastra yang atok milki.”

(W.P.73.IE.5JUL19.8)

“sejak remaja atok sudah suka sastra jadi selama dirumah , angku mengasah lah hobi atok dalam bersastra, membuat-buat puisi yang akhirnya atok terbitkan di media cetak, sampai angku meminjam buku-buku sastra dari temannya satu kampung penjual buku-buku bekas di lapangan merdeka, nah dari situ lah atok tadi juga belajar tentang melayu, dari buku-buku sastra, sampai akhirnya atok mengikuti organisasi kesenian teater sumut”

(W.P.73.IE.5JUL19.11d)

“Semasa pendidikan dikantor perpajakan atok tetap aktif di organisasi kepemudaan, baik di Nadhlatul Ulama maupun di kesenian teater sumut yang isinya anak-anak melayu deli nah dari situlah juga mungkin terasah kebudayaan melayu yang atok alami, atok sering menjadi aktor, penulis naskah hingga menyutradarai pementasan, diantaranya yang atok ingat ada pementasan Sri Mersing, pementasan Putri Hijau, dan pernah menyutradarai drama Butet drama butet ini sampai atok bawa kemana-mana, dilingkungan rumah pernah atok pentaskan , di kantor juga pernah atok pentaskan.”

W.P.73.IE.5JUL19.11g Saat ditanyakan kembali kepada partisipan mengapa ia tidak mau mengekplorasi budaya minang, yang secara agama seharusnya ia mengikuti nasab ayah, justru menurut partisipan adat istiadat budaya minang ada yang tidak sesuai dengan syariat agama Islam, oleh karena itu ada rasa pertentangan yang partisipan rasakan, sehingga ia tidak ingin masuk kedalam keetnisan tersebut.

“kalau adat minang dipakai secara mutlak, itu bertentangan dengan Syariat Islam, kalau secara mutlak dipakai.”

(W.P.73.IE.19JUN19.26c)

Universitas Sumatera Utara

“iyaa, ada hal-hal yang kurang sesuai dengan Syariat agama pada dasarnya. Dari segi perasaan mungkin ada yang baik dari minang itu, karena dia memenangkan perempuan, karena mungkin termasuk makhluk yang lemah yang sepantasnya dilindungi, nah laki-laki sudah ditakdirkan Tuhan punya fisik yang kuat, hiduplah dia dengan berjuang.”

(W.P.73.IE.19JUN19.27)

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi partisipan dalam memilih etnis melayu sebagai identitas etnis yang akan diekplorasinya, pernyataan partisipan akan diuraikan ke dalam poin poin berikut ini:

a) Lingkungan

Pernyataan partisipan mengenai tempat tinggalnya

“daerah belawan itu orang campur, ada jawa, ada banjar, yang paling dominan la, Padang, Banjar Jawa, Deli atau suku melayu dan

“daerah belawan itu orang campur, ada jawa, ada banjar, yang paling dominan la, Padang, Banjar Jawa, Deli atau suku melayu dan

Dokumen terkait