• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kriteria Akta Notaris Yang Dapat Diberikan Izin Oleh MPD Untuk Dapat Diperiksa Polisi

Bagian dari norma hukum pidana menetapkan bahwa pada prinsipnya setiap perbuatan pidana disyaratkan selain bersifat melawan hukum diperlukan juga pertanggungjawaban yang terdapat pada orang yang berbuat. Kemampuan bertanggungjawab dalam hukum pidana merupakan suatu keadaan dari hubungan batin atau jiwa sedemikian rupa terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Rumusan pasal-pasal dalam Undang-Undang dipergunakan berbagai

istilah niat, maksud, kehendak, sengaja, alpa, dan lain-lainnya dengan makna diperlukan pada masing-masing jenis kejahatan atau pelanggaran.

Hukum pidana mengenal dasar pemikiran bahwa “Setiap orang yang melakukan kejahatan atau pelanggaran “dianggap” mampu bertanggungjawab kecuali dibuktikan sebaliknya.”34 Bila dalam suatu perkara pidana, seorang tersangka atau terdakwa diragukan kondisi kesehatan jiwanya saat ia melakukan perbuatan pidana, maka yang berwenang dalam sidang peradilan dapat memanggil seorang ahli kedokteran jiwa (psikiater), untuk memberikan keterangan ahli dalam sidang peradilan. Tujuannya untuk menetapkan apakah terdakwa itu menderita gangguan jiwa atau tidak. Konsekuensi dari keterangan ahli ini ada tidaknya gangguan atau penyakit jiwa pada terdakwa akan dikaitkan dengan dapat atau tidaknya dipertanggungjawabkan tindak pidana tersebut kepadanya.

Enrico Ferri dalam D. Schaffmeister, N. Keijer dan E. P. H. Sutorius berpendapat bahwa: “kejahatan dapat dicegah dengan tindakan tertentu, atau yang disebut dengan preventive measure, yaitu bahwa negara adalah alat yang terpenting untuk mencapai kondisi-kondisi kehidupan yang lebih baik.”35

Salah satu upaya yang dilakukan untuk menemukan pelaku tindak kejahatan adalah dengan cara pendekatan secara psikologis. Adanya pendekatan ini bisa menjadikan seseorang terbebas dari tuduhan kejahatan dan sebaliknya bisa pula

34 H. Hasan Basri Saanin Dt. Tan Pariaman, Psikiater Dan Peradilan (Revisi), Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, halaman 3

35 D. Schaffmeister, N. Keijer dan E. P. H. Sutorius, Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen P dan K, Yogyakarta, 2004, halaman 67.

menjadi salah satu indikator bagi seseorang, bahwa memang benar ia melakukan tindak pidana.

Dalam Nota Rekan (Renvoi, Nomor 12.36 III tanggal 3 Mei 2006) yang memuat surat dari Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kediri yang merasa keberatan atas pemberitaan yang dimuat dalam Memorandum Kediri, yang sumber beritanya berasal dari Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah (MPD) Kediri yang telah berkesimpulan bahwa notaris yang di periksa MPD Kediri telah bersalah dalam membuat akta. Dengan adanya kesimpulan dari MPD itu, menunjukkan bahwa MPD telah manjadi sebuah lembaga tanpa kewenangan yang terbatas. Hal ini senada dengan yang ditulis dalam Renvoi, Nomor 5.29.III tanggal 3 Oktober 2005, ditulis “MP Jangan Jadi Superboy”, yang kemudian dalam halaman 17 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Superboy yaitu MP (Majelis Pengawas) mempunyai kewenangan yang luar biasa. Atau dapat ditafsirkan mempunyai kewenangan yang tanpa batas sehingga MP bukan dapat bertindak sesuai dengan kewenangan tetapi dapat bertindak sewenang-wenang.

Majelis pengawas pusat (MPP, wilayah (MPW) dan daerah (MPD) mempunyai kewenangan tertentu, yaitu untuk MPP sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UUJN, MPW dalam Pasal 73 UUJN, dan MPD dalam Pasal 70 UUJN. Hanya untuk MPD disamping mempunyai kewenangan lain yang tidak dipunyai oleh MPP dan MPW yaitu kewenangan sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 66 UUJN, yaitu MPD berwenang untuk memeriksa notaris sehubungan dengan permintaan penyelidik, penuntut atau hakim untuk mengambil fotokopi minuta atau surat-surat

lainnya yang dilekatkan pada minuta atau dalam protokol notaris dalam penyimpanan notaris, juga pemanggilan notaris yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau dalam protocol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris. Hasil akhir pemeriksaan MPD yang dituangkan dalam bentuk surat keputusan berisi dapat memberikan persetujuan atau menolak permintaan penyelidik, penuntut umum atau hakim.

Saat UUJN diundangkan, berharap para notaris mendapat perlindungan yang proporsional saat dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai notaris, setidaknya atau salah satunya melalui atau berdasarkan ketentuan atau mekanisme implementasi pasal 66 UUJN yang dilakukan MPD. Dan juga setidaknya ada pemeriksaan yang adil, transparan, beretika dan ilmiah ketika MPD memeriksa notaris atas permohonan pihak lain (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan). Akan tetapi hal tersebut sangat sulit untuk dilakukan karena para anggota MPD terdiri dari unsur-unsur yang berbeda: yaitu 3 orang notaris, 3 orang akademis dan 3 orang birokrat (Pasal 67 ayat 3 UUJN) yang berangkat dari latar belakang yang berbeda sehingga tidak ada persepsi yang sama ketika memeriksa notaris. Contohnya, mengenai focus pemeriksaan yang dilakukan oleh MPD.

Jika ternyata MPD memutuskan (berdasarkan surat keputusan yang dibuat oleh MPD) meloloskan notaris untuk diperiksa oleh pihak penyelidik (kepolisian), kejaksaan, atau pengadilan sebagai implementasi Pasal 66 UUJN, tidak ada kemungkinan untuk mengajukan keberatan untuk dilakukan pemeriksaan ke instansi majelis yang lebih tinggi, seperti ke majelis pemeriksa wilayah (MPW) atau ke

majelis pemeriksa pusat (MPP) karena mekanisme seperti itu, khusus untuk pelaksanaan Pasal 66 UUJN tidak ditentukan. Meskipun demikian, jika notaris diloloskan oleh MPD, notaris yang bersangkutan dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan objek gugatan, yaitu surat MPD yang meloloskan notaris tersebut. Dan hal ini akan menjadi sengketa tata usaha negara.

Dalam periksaan MPD tidak bisa dibedakan antara notaris sebagai objek dan akta sebagai objek. Jika MPD menempatkan notaris sebagai objek, MPD berarti akan memeriksa tindakan atau perbuatan notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, yang pada akhirnya akan menggiring notaris pada kualifikasi turut serta atau membantu terjadinya suatu tindak pidana. Sudah tentu tindakan seperti ini tidak dapat dibenarkan karena suatu hal yang sangat menyimpang bagi notaris dalam menjalankan tugas jabatannya untuk turut serta atau membantu melakukan atau menyarankan dalam akta untuk terjadinya suatu tindak pidana dengan para pihak/ penghadap. Dalam kaitan ini tidak ada aturan hukum yang membenarkan MPD mengambil tindakan dan kesimpulan yang mengualifikasikan notaris turut serta atau membantu melakukan suatu tindak pidana bersama-sama pihak/penghadap. Bahwa MPD bukan institusi pemutus untuk menentukan notaris dalam kualiifikasi seperti itu. Dalam tataran aturan hukum yang benar bahwa MPD harus menempatkan akta notaris sebagai objek karena notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berkaitan untuk membuat dokumen hukum berupa akta sebagai alat bukti tertulis yang berada dalam ruang lingkup hukum perdata. Dengan demikian, menempatkan akta sebagai objek harus dinilai berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan

pembuatan akta dan jika terbukti ada pelanggaran akan dikenai sanksi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 84 dan 85 UUJN.

Dengan demikian, bukan wewenang MPD jika dalam melakukan tugasnya mencari unsur-unsur pidana untuk menggiring notaris dengan kualifikasi turut serta atau membantu melakukan tindakan atau perbuatan pidana.

Batasan MPD dalam melakukan pemeriksaan yaitu dengan objeknya akta notaris. Menempatkan akta sebagai objrk, maka batasan MPD dalam melakukan pemeriksaan akan berkisar pada:

a. Kekuatan pembuktian lahiriah akta notaris

Yaitu kemampuan dari akta notaris itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta autentik (acta publica probant sese ipsa). Dengan demikian, jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan, akta tersebut berlku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta autentik. Dalam hal ini beban pembuktian ada pihak yang menyangkalnya. Parameter untuk menentukan akta notaris sebagai akta autentik, yaitu tanda tangan dari notaris yang bersangkutan, baik yang ada minuta dan salinan maupun adanya awal akta (mulai dari judul) sampai dengan tanda tangan notaris.

Pertanyaannya apakah MPD akan membuktikan aspek lahiriah dari akta. Jika ingin membuktikan seperti ini, MPD harus dapat membuktikan otentitas akta notaris tersebut. MPD harus melakukan pembuktian terbalik untuk

menyangkal aspek lahiriah dari akta notaris. Jika MPD tidak mampu untuk membuktikannya akta tersebut harus dilihat “apa adanya” bukan dilihat “ada apa”.

b. Kekuatan pembuktian formal akta notaris

Yaitu membuktiakn kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, paraf/tanda tangan para pihak/ penghadap, saksi dan notaris. Selain itu juga membuktikan apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh notaris (pada akta pejabat/berita acara), serta mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak / penghadap (pada akta pihak).

Pertanyaannya apakah MPD akan membuktikan aspek lahiriah formal dari akta? Jika ingin membuktikan seperti ini MPD harus dapat membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, di saksikan dan didengar ole notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/ disampaikan di hadapan notaris. Dengan kata lain, MPD tetap harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta notaris jika MPD tidak mampu membuktikannya, akta tersebut harus diterima oleh siapapun termasuk oleh MPD sendiri.

c. Kekuatan pembuktian materil akta notaris

Yaitu keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat (akta berita acara) atau keterangan para pihak yang diberikan/ disampaikan dihadapan notaris (akta pihak) dan para pihak harus dinilai “benar berkata” yang kemudian dituangkan dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap

orang yang datang menghadap notaris yang kemudian keterangannya dituangkan / dimuat dalam akta harus dinilai telah “benar berkata”. Jika ternyata pernyataan/ keterangan para penhadap tersebut menjadi “tidak berkata benar” hal tersebut merupakan tanggung jawab para pihak sendiri. Notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk/ di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.

Pertanyaannya, apakah PMD akan membuktikan aspek materil dari akta? Jika ingin membuktikan seperti ini, MPD harus dapat membuktikan bahwa notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta (akta pejabat) atau para pihak yang telah benar bekerja (dihadapan notaris) menjadi tidak berkata benar. MPD harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta notaris. Jika MPD tidak mampu untuk membuktikannya, isi akta tersebut benar adanya,

Dengan demikikan aspek mana yang akan dibuktikan secara terbalik oleh MPD ketika memeriksa notaris, maka MPD dibebani pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 138 HIR (Pasal 164 Rbg., 148 Rv).

Ketiga aspek tersebut diatas merupakan kesempurnaan akta notaris sebagai alat bukti. Dengan demikian, siapa pun (hakim, jaksa, kepolisian, bahkan notaris dan MPD sendiri) terikat untuk menerima akta notaris apa “adanya” dan siapapun tidak

dapat menafsirkan lain atau menambahkan/meminta alat bukti lain untuk menunjang akta notaris. Sebab jika akta notaris tidak dinilai sebagai alat bukti yang sempurna, akan menjadi tidak ada gunanya undang-undang menunjuk notaris sebagai pejabat umum untuk membuat akta autentik sebagai alat bukti, jika ternyata siapapun dengan semaunya dan seenaknya mengesampingkan akta notaris sebagai alat bukti yang sempurna. Oleh karena itu, jika ada sesama notaris saling menyalahkan atau menjelekkan akta yang dibuat oleh notaris lainnya, hal ini menyatakan bahwa notaris yang bersangkutan tidak mengerti makna akta notaris sebagai alat bukti yang sempurna.

Pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana terdiri dari tiga unsur: 1. Toerekeningsvatbaarheid (dapat dipertanggungjawabkan).

2. Suatu sikap psikis pelaku berhubung dengan kelakuannya. a. Kelakuan yang disengaja (unsur sengaja);

b. Kelakuan dengan sikap yang kurang berhati-hati atau lalai (unsur kealpaan culpa, schuld in engere zin);

3. Tidak ada alasan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana pelaku (unsur toerekenbaarheid)36

Dalam praktik Notaris ditemukan kenyataan, jika ada akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak lainnya, maka sering pula Notaris ditarik sebagai pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana yaitu membuat atau memberikan keterangan palsu ke dalam akta Notaris. Hal

ini pun menimbulkan kerancuan, apakah mungkin Notaris secara sengaja (culpa) atau khilaf (alpa) bersama-sama para penghadap/pihak untuk membuat akta yang diniatkan sejak awal untuk melakukan suatu tindak pidana.

Dalam kaitan ini tidak berarti Notaris steril (bersih) dari hukum atau tidak dapat dihukum atau kebal terhadap hukum. Notaris bisa saja dihukum pidana, jika dapat dibuktikan di pengadilan, bahwa secara sengaja atau tidak disengaja Notaris bersama-sama dengan para pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja atau merugikan penghadap yang lain, jika hal ini terbukti, maka Notaris tersebut wajib dihukum.37

Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 mnejelaskan tentang Notaris yang diduga melakukan tindak pidana dapat diajukan proses pidana melalui:

1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:

a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.

Kaitan untuk meminta keterangan Notaris atas laporan pihak tertentu, menurut Pasal 66 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka jika Notaris dipanggil oleh Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim, maka instansi yang ingin memanggil tersebut wajib minta persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD).

Ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tersebut bersifat imperatif atau perintah. Dalam praktik sekarang ini, ada juga Notaris yang dipanggil oleh Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim langsung datang menghadap kepada intansi yang memanggilnya, tanpa diperiksa dulu oleh MPD artinya menganggap sepele terhadap MPD, jika Notaris melakukan seperti ini, maka menjadi tanggungjawab Notaris sendiri, misalnya jika terjadi perubahan status dari Saksi menjadi Tersangka atau Terdakwa.38

Ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tersebut bagi Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim bersifat imperatif, artinya jika Kepolisian. Kejaksaan atau Hakim mengabaikan ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka terhadap Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap undang-undang, maka jika hal ini terjadi, dapat dilaporkan ke polisi, Kejaksaan dan Hakim kepada atasannya masing masing, dan di sisi yang lain, perkara yang disidik atau diperiksa tersebut, dapat dikategorikan cacat hukum (dari segi Hukum Acara Pidana) yang tidak dapat dilanjutkan (ditunda untuk sementara) sampai ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dipenuhi.

Dalam praktik ditemukan juga, ketika seorang Notaris tidak diizinkan oleh MPD untuk memenuhi panggilan Kepolisian atau Kejaksaan, maka pihak Kepolisian atau Kejaksaan akan memanggil saksi akta Notaris yang disebutkan pada bagian akta. Pernanggilan saksi akta tersebut merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan Hukum Kenotariatan, karena pada akhir akta yang menyebutkan dalam setiap akta wajib ada 2 (dua) orang saksi, dan akhir akta ini merupakan bagian dan aspek formal

Notaris yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akta Notaris itu sendiri, dengan kata lain dengan tidak diizinkannya Notaris untuk diperiksa oleh MPD, maka para saksi akta pun tidak perlu untuk diperiksa. Aspek formal dalam pembuatan akta merupakan salah satu pembuktian, karena bentuknya sesuai dengan ketentuan undang-undang dan dibuat oleh pejabat yang berwenang.

Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris diatur bahwa ketika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan Notaris, dan sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa, baik sebelumnya dalam Peraturan Jabatan Notaris, dan sekarang dalam Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Jabatan Notaris, dan tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap Notaris. Dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan Notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi atau perdata atau kode etik jabatan Notaris, tapi kemudian ditarik atau diklasifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris.

Pengkualifikasian tersebut berkaitan dengan aspek-aspek seperti: 1. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap. 2. Pihak (siapa-orang) yang menghadap Notaris.

3. Tanda tangan yang menghadap.

4. Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta. 5. Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan

dikeluarkan.39.

Aspek-aspek tersebut jika terbukti dilanggar oleh Notaris, maka kepada Notaris yang bersangkutan dapat dijatuhi sanksi perdata atau administratif atau aspek-aspek tersebut merupakan batasan-batasan yang jika dapat dibuktikan dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan sanksi administratif dan sanksi perdata terhadap Notaris, tapi ternyata di sisi yang lain batasan-batasan seperti itu ditempuh atau diselesaikan secara pidana atau dijadikan dasar untuk mempidanakan Notaris, dengan dasar Notaris telah membuat surat palsu atau memalsukan akta dengan kualifikasi sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris.

Batasan-batasan yang dijadikan dasar untuk mempidanakan Notaris tersebut merupakan pelanggaran terhadap aspek formal dari akta Notaris, dan seharusnya berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Jika Notaris terbukti melakukan pelanggaran dari aspek formal, maka dapat dijatuhi sanksi perdata dan adrninistrasi, tergantung pada jenis pelanggarannya atau sanksi kode etik jabatan Notaris.

Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat diantara para sarjana. R. Soesilo dalam Syafruddin Husein membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis.

Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku

39Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, tafsir tematik terhadap UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2008, halaman 25.

yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.40

J. E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro menyatakan bahwa, “kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif),”41 yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.

Sifat melawan hukum secara materil berarti melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu.42 Secara formil sifat melawan hukum berarti semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi.43

Secara melawan hukum dalam ketentuan hukum pidana mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.44

Perbuatan melawan hukum disebut juga dengan istilah onrechtmatige daad dalam sistem Eropa Kontinental dan disebut dengan istilah tort dalam sistem hukum

40Ibid.

41 J. E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Paradoks Dalam Kriminologi, Rajawali, Jakarta, 1982, halaman 3.

42D. Schaffmeister dkk., Op.Cit, halaman 39.

43Ibid.

44 Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1991, halaman 54.

Anglo Saxon.45 Wirjono Prodjodikoro menyebutkan bahwa perbuatan melawan hukum adalah: Perbuatan yang mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat.46

Semula pengertian melawan hukum hanya diartikan secara sempit yaitu perbuatan yang melanggar undang-undang saja. Akan tetapi, kemudian Hoge Raad dalam kasus yang terkenal Lindenbaum melawan Cohen memperluas pengertian melawan hukum bukan hanya sebagai perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam hubungan antara sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain.47

Perbuatan melawan hukum di sini dimaksudkan adalah sebagai perbuatan melawan hukum pidana (delik) atau yang disebut dengan istilah perbuatan pidana mempunyai arti, konotasi dan pengaturan hukum yang berbeda sama sekali.48 Demikian juga dengan perbuatan melawan hukum oleh penguasa negara atau yang disebut dengan onrechmatige overheidsdaad juga memiliki arti dan pengaturan hukum yang juga berbeda.49

Perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan yang sudah lazim di masyarakat. Untuk selanjutnya, kecuali disebutkan lain secara khusus maka penggunaan istilah perbuatan melawan hukum hanya dimaksudkan

45Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, halaman 2.

46Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi, Bandung, Mandar Maju, 1994, halaman 7.

47Munir Fuady, Op.Cit., halaman 8.

48P. A. F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1987, halaman 65.

sebagai perbuatan melawan dalam bidang hukum perdata saja. Untuk istilah perbuatan melawan hukum ini, dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah onrechmatige daad atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah tort.50

Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya berarti salah (wrong)51. Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum, kata tort itu berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi kontrak. Jadi serupa

Dokumen terkait