• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KRITERIA AKTA NOTARIS YANG DAPAT DIBERIKAN IZIN OLEH MPD UNTUK DAPAT DIPERIKSA POLISI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KRITERIA AKTA NOTARIS YANG DAPAT DIBERIKAN IZIN OLEH MPD UNTUK DAPAT DIPERIKSA POLISI"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

A. Tinjauan Umum Jabatan Notaris 1. Pengertian Notaris

Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menjelaskan tentang pengertian Notaris : “Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.” Untuk memberikan penegasan bahwa Notaris adalah satu-satunya yang mempunyai wewenang tertentu, bukan pejabat lain, dapat dilihat dari definisi di atas bahwa:

a. Notaris adalah pejabat umum.

b. Notaris merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik yang diberikan oleh Undang-undang.

Sehubungan dengan wewenang yang diberikan bagi Notaris oleh Undang-undang maka selain Notaris, pejabat lainnya hanya mempunyai wewenang tertentu, artinya wewenang mereka tidak sampai pada pembuatan akta otentik sebagaimana telah ditugaskan oleh Undang-undang kepada Notaris. Adapun pejabat lain yang diberikan kewenangan membuat akta otentik selain Notaris, antara lain:

1) Consul (berdasarkan Conculair Wet)

2) Bupati Kepala Daerah atau Sekretaris Daerah yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman (Pasal 2 PJN S1860-3)

(2)

3) Notaris Pengganti

4) Juru Sita pada Pengadilan Negeri. 5) Pegawai Kantor Catatan Sipil.23

Meskipun pejabat ini hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum akan tetapi mereka itu bukan Pejabat Umum. Mengenai otentisitas suatu akta Notaris, lebih lanjut Soegondo Notodisoerjo, menyatakan:

Bahwa untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai “penjabat umum”. Di Indonesia, seorang advokat, meskipun ia seorang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai “penjabat umum”. Sebaliknya seorang “Pegawai Catatan Sipil” (Ambtenaar van de Burgerlijke Stand) meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran, akta perkawinan, akta kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan sebagai “pejabat umum” dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.24

2. Tugas Notaris

Sebagaimana diketahui Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah menegaskan bahwa tugas pokok dari Notaris adalah membuat akta otentik dan akta otentik itu akan memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian yang mutlak. Hal ini dapat dilihat

23 H. Budi Untung, Visi Global Notaris, Andi, Yogyakarta, 2002, halaman 43-44.

24 Kartini Soedjendro, Perjanjian Peraihan Hak atas Tanah yang Berpotensi Konflik,

(3)

sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1870 KUHPerdata, bahwa: “Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.”

Menjalankan tugas jabatannya, Notaris tidak hanya berwenang untuk membuat akta otentik dalam arti menyusun, membacakan dan menandatangani dan dalam bentuk yang telah ditentukan oleh Undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1868 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya,” tetapi kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik dapat jugat berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Jabatan Notaris yang berbunyi:

Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetap oleh undang-undang.

(4)

Dilihat dari uraian pasal tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa kewajiban terhadap Notaris untuk membuat suatu akta, kecuali apabila terdapat alasan-alasan yang mempunyai dasar untuk menolak pembuatan akta tersebut. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya juga dituntut harus memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai ketentuan Undang-undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

Adanya hubungan erat antara ketentuan mengenai bentuk akta dan keharusan adanya pejabat yang mempunyai tugas untuk melaksanakannya, menyebabkan adanya kewajiban bagi pemerintah untuk menunjuk dan mengangkat Notaris.

Terhadap otentisitas suatu akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris, dapat dilihat dari unsur-unsur yang tercantum di dalam Pasal 1868 KUHPerdata tersebut di atas, yakni sebagai berikut:

a. Bahwa akta itu dibuat dalam bentuk menurut hukum; b. Bahwa akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum;

c. Bahwa akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya di tempat dimana akta itu dibuat.

Berkaitan dengan tugas dan wewenang Notaris yang diberikan oleh pemerintah kepadanya, untuk itu Notaris dalam menjalan tugas jabatannya harus berpegangan pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan-peraturan yang ada, baik itu Undang-undang maupun Kode Etik Profesi Notaris. Notaris adalah merupakan suatu profesi, karena itu, terhadapnya perlu diberikan aturan etika profesi dalam bentuk kode etik, di samping diberikan kepadanya tempat

(5)

bernaung dalam suatu organisasi profesi Notaris yang disebut dengan Ikatan Notaris Indonesia, atau yang disingkat dengan INI.25

Notaris dalam profesinya sesungguhnya adalah merupakan pejabat umum, yang dengan akta-aktanya akan menimbulkan alat-alat pembuktian tertulis dan mempunyai sifat otentik, sehingga dengan adanya peran Notaris akan mendorong masyarakat untuk mempergunakan alat-alat pembuktian tertulis (otentik). Oleh karena itu Notaris harus aktif dalam pekerjaannya dan bersedia melayani masyarakat manapun juga yang membutuhkan jasa-jasanya.

Negara merasa perlu menata kelembagaan notariat melalui sejumlah pembatasan-pembatasan, mengingat kewenangan lembaga Notariat diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan yang lebih tinggi, yakni kepentingan masyarakat. Garis kewenangan formal yang diderivasi dari kekuasaan umum inilah yang membedakan jabatan Notaris dengan profesi-pofesi lainnya.26

Berdasarkan hal di atas, pembatasan-pembatasan yang dimaksud dapat berupa peraturan yang mengikat di kalangan notaris (self regulation) yang diwujudkan dalam kode etik Notaris. Di dalam menjalankan tugas jabatannya, Notaris selain terikat dengan segala ketentuan yang tertuang dalam undang-undang, juga harus ikut serta menegakkan ketertiban ditengah-tengah masyarakat.

25H. M. N. Purwosujtipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Pengetahuan Dasar

Hukum Dagang, Djambatan, Jakarta, 2007, halaman 16.

26 Irsyadul Anam Malaba, Pluralitas Organisasi Notaris Di antara Hak, Kebutuhan, Inefiensi

(6)

Sehubungan dengan pelaksanaan tugas jabatannya, maka Notaris harus dikontrol dengan Kode Etik Profesi, lebih lanjut Frans Hendra Winarta menyatakan bahwa organisasi profesi memiliki kepentingan untuk memperoleh jaminan agar anggotanya menjalankan tugasnya dengan memenuhi standar etika profesi. Hal ini sangat penting, mengingat profesi hukum merupakan profesi mulia atau luhur, yang sangat berkaitan dengan kepentingan umum.27

Selain diikat oleh kode etik Notaris, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya ada 3 (tiga) aspek yang harus diperhatikan Notaris pada saat pembuatan akta. Aspek-aspek ini berkaitan dengan nilai pembuktian, yaitu:28

1. Lahiriah (uitwendige bewijskracht)

Kemampuan lahiriah akta Notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant sese ipsa). Jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta Notaris. Parameter untuk menentukan akta Notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda tangan

27 Frans Hendra Winarta, Persepsi Sebagian Masyarakat Terhadap Profesi Hukum Di

Indonesia, Media Notariat, Edisi Oktober – Desember 2003, Nomor 3, CV. Pandeka Lima, Jakarta, halaman 59.

28Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, halaman

(7)

dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada Minuta dan Salinan dan adanya awal akta (mulai dari judul) sampai akhir akta.

Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik.

Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris sebagai akta otentik, bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan kepada syarat-syarat akta Notaris sebagai akta otentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi objek gugatan bukan akta Notaris.

2. Formal (formele bewijskracht)

Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta Notaris. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris (pada akta pejabat/berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak).

(8)

Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan Notaris dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi, dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan.

Dengan kata lain pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapa pun.

Tidak dilarang siapa pun untuk melakukan pengingkaran atau penyangkalan atas aspek formal akta Notaris, jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat di hadapan Notaris atau yang dibuat oleh si Notaris.29

Pengingkaran atau penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu gugatan ke pengadilan umum, dan penggugat harus dapat membuktikan bahwa ada aspek formal yang dilanggar atau tidak sesuai dalam akta yang bersangkutan, misalnya bahwa yang bersangkutan tidak pernah merasa menghadap Notaris pada hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul yang tersebut dalam awal akta, atau merasa tanda tangan yang tersebut dalam akta bukan tanda tangan dirinya. Jika hal ini terjadi

(9)

bersangkutan atau penghadap tersebut untuk menggugat Notaris, dan penguggat harus dapat membuktikan ketidakbenaran aspek formal tersebut.30

3. Materil (materielebewijskracht)

Merupakan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara), atau keterangan atau para pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan Notaris (akta pihak) dan para pihak harus dinilai benar berkata yang kemudian dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang kemudian/keterangannya dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata.

Jika ternyata pernyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar berkata, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. Notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk/di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.

Jika akan membuktikan aspek materil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan, bahwa Notaris tidak rnenerangkan atau menyatakan yang

(10)

sebenarnya dalam akta (akta pejabat), atau para pihak yang lelah benar berkata (di hadapan Notaris) menjadi tidak benar berkata, dan harus diiakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris.31

Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai akta otentik dan siapa pun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

Setiap pekerjaan dan jabatan tentu dibarengi dengan hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam menjalankan praktiknya seorang notaries memiliki kewajiban, kewenangan dan larangan atau pantangan. Kewajiban, kewenangan atau larangan merupakan inti dari praktik kenotaritan. Tanpa adanya ketiga elemen ini maka profesi dan jabatan notaries menjadi tidak berguna. Penting bagi masyarakat mengetahui kewajiban, kewenangan dan larangan bagi notaries agar mereka mengerti praktik kenotariatan sehingga tidak mudah tertipu oleh notaris, serta membantu negara dalam melakukan pengawasan terhadap para notaris.

3. Kewajiban Notaris

Notaris sebagai seorang pejabat umum yang diangkat oleh negara memiliki kewajiban yang diatur secara khusus dalam undang-undang tentang jabatan notaris. Seorang notaris wajib bertindak jujur, seksama dan tidak memihak. Kejujuraran

(11)

merupakan hal yang pentinga karena jika seorang notaris bertindak dengan ketidak jujuran maka akan banyak kejadian yang merugikan masyarakat. Bukan hanya itu, ketidakjujuran akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat. Keseksamaan bertindak merupakan salah satu hal yang harus selalu dilakukan seorang notaris. Coba bayangkan jika seorang notaries bertindak ceroboh, tentu akan banyak yang dirugikan. Misalnya kesalahan penulisan nama, seharusnya “Monika” tetapi tertulik “Monik” maka efeknya akan besar bagi si pemilik akta. Jika sang pemilik akta mempunyai saudara yang bernama “Monik” maka dimata hukum orang yang terlibat dalam perjanjian adalah “Monik” bukan “Monika”.

Menjaga kerahasiaan terkait pembuatan akta juga harus dilakukan oleh seorang notaris. Seorang notaris diharamkan untuk mengumbar kisah para klien tanpa ada persetujuan dari sang klien. Kerahasiaan ini juga merupakan amanat dari sumpah notaris. Mereka disumpah untuk dapat menjaga rahasia karena dengan menjaga rahasia para klien maka notaris juga sudah bertindak netral. Bayangkan, jika notaris tidak dapat menjaga rahasia berarti secara tidak langsung hal tersebut akan mempengaruhi para klien. Parea klien akan merasa disudutkan atau diuntungkan dengan informasi notaris. Namun demikian, seorang notaris dapat “bernyanyi” tentang rahasia para klien jika diwajibkan oleh undang-undang.

Notaris berkewajiban untuk membuat dokumen atau akta yang diminta masyarakat. Seorang notaris tidak dapat menolak permohonan tersebut karena memang itulah salah satu tugas pokok seorang notaris. Seorang notaris dapat dituntut jika menolak untuk membuat akta tanpa alasan yang jelas karena kewajiban membuat

(12)

dokumen diamanatkan oleh undang-undang. Jika terjadi penolakan berarti si notaris melanggar undang-undang.32

Jika seorang notaris memiliki alasan kuat untuk melakukan penolak maka hal tersebut dapat dilakukan. Misalnya, seorang berkeinginan untuk melakukan sewa-menyewa mobil, sedangkan pihak yang sewa-menyewakan mobil bukanlah pemilik yang sebenarnya dan tidak memiliki bukti pemberian kuasa dari pemilik sebenarnya. Menghadapi kasus seperti ini, si notaris dapat menolak pembuatan akta sewa menyewa. Penolakan didasari pada tidak jelasnya legalitas dari pihak yang mengajukan keinginan sewa menyewa.

Membuat daftar dari akta-akta yang sudah dikeluarkan dan menyimpan minuta akta dengan baik merupakan kewajiban lain dari seorang notaris. Minuta akta adalah asli akta notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Setelah minuta akta ditandatangani para pihak diatas materai dan telah sesuai dengan ketentuan, selanjutnya ditandatangani oleh saksi-saksi dan terakhir oleh notaris. Setelah itu, notaris akan mengeluarkan salinan akta resmi untuk pegangan para pihak. Hal ini perlu dilakukan agar jika terjadi sesuatu terhadap akta yang dipegang kedua belah pihak maka notaris masih memiliki bukti perjanjian/penetapan. Hal ini juga perlu disadari oleh pihak pembuat akta karena banyak kejadian dimana akta yang dilakukan dengan menghilangkan atau merobek akta.

32Adjie Habib, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004

(13)

Seorang notaris wajib membacakan akta dihadapan pihak yang meminta pembuatan akta (klien) dan saksi-saksi. Setelah semua memahami dan menyetujui isi akta lalu diikuti dengan penandatanganan akta oleh semua yang hadir (notaris, para pihak, saksi-saksi). Pembacaan akta ini merupakan salah satu poin penting karena jika tidak dilakukan pembacaan maka akta yang Anda buat dapat dianggap sebagai akta dibawah tangan.

Seorang notaris magang wajib diterima disebuah kantor notaris. Notaris yang sudah berpraktik tidak boleh menolak permohonan magang yang diajukan oleh seorang notaris magang. Melalui program magang tersebut akan terjadi regenerasi di dunia kenotariatan karena salah satu syarat menjadi notaris adalah sudah melalui tahap magang selama dua tahun. Jika seorang notaris menolak kehadiran notaris magang dikantornya berarti secara tidak langsung dia “membunuh” eksistensi praktik kenotariatan.

Notaris juga bertanggung jawab dalam pembuatan akta-akta yang memiliki kaitan dengan masalah pertanahan, tetapi keterlibatan notaris terbatas. Keterlibatan notaris diluar perbuatan peralihan hak atas tanah (jual beli tanah) dan perbuatan-perbuatan hukum atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.37 Tahun 1998 tentang Jabatan PPAT. Meskipun demikian jika si notaris sudah diangkat menjadi PPAT maka ia berhak untuk mengurus pembuatan akta-akta seputar pertanahan secara lebih luas.

(14)

4. Kewenangan Notaris

Suatu ketika seorang rekan mendapatkan undangan dan mengeluh kepada saya, “Wah payah nih, nama sayakan Cindy bukan Cindi”. Sambil bercanda saya mengatakan, “Apa bedanya? Toh kamu dapat undangannya, lagi pula cuma kamu yang namanya Cindy”.

Dapat dibayangkan seandainya dokumen-dokumen yang tercatat di negara memilik banyak kesalahan seperti itu, maka akan banyak yang dirugikan. Disitulah salah satu peran notaris. Dia memiliki kewenangan untuk melakukan pengesahan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tanda tangan. Tindakan ini dilakukan sebagai proses untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam pemberian tanggal dan keaslian tanda tangan dari pihak yang membuat akta.

Seorang notaris juga memiliki kewenangan mengesahkan keaslian hasil dari fotokopi surat atau dokumen dengan memeriksa surat atau dokumen asli. Sebagai pejabat yang menerima pendelegasian dari pemerintah dalam masalah pembuatan dan pengurusan akta, seorang notaris juga dibekali dengan kemampuan untuk menentukan keaslian sebuah dokumen. Berbekal keahlian tersebut, seorang notaris dapat melakukan pengesah sebuah akta yang difotokopi, tentunya setelah melakukan pemeriksaan yang cermat terhadap akta yang asli.33

Tingkat pendidikan masyarakat ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat pengetahuan hukum. Masyarakat kebanyakan masih awam tentang hukum, 33Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Ke Notaris, Mengenal Profesi Notaris, Memahai

Ptaktik Kenotariatan, Ragam Dokumen Penting Yang Diurus Notaris dan Tips Tidak Tertipu Notaris. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2009. Halaman 40.

(15)

paling sederhana hal ini dapat terlihat dari tingkat kepatuhan masyarakat terhaadap aturan lalu lintas. Banyak dari masyarakat, baik yang berpendidikan maupun tidak, melakukan pelanggaran lalu lintas. Terlebih lagi jika kita berbicara mengenai peraturan seputar pembuatan akta. Oleh karena itu, notaris berwenang untuk melakukan penyuluhan atau penerangan tentang seputar pembuatan dan pentingnya memiliki akta otentik.

Sehubungan dengan hal itu, tidak heran jika pemerintah membatasi praktik notaris di kota-kota besar. Pemerintah berusaha melakukan pemerataan sebaran notaris di Indonesia. Salah satu tujuan pemerintah adalah agar masyarakat di daerah terpencil juga memiliki pengetahuan dan kesadaran yang cukup terkait dengan pembuatan akta. Diharapkan dengan memiliki akta, masyarakat di daerah terpencil akan terhindar dari kasus-kasus hukum yang bisa menjerat dan merugikan mereka.

Membuat salinan dan pembukuan dari surat-surat di bawah tangan juga merupakan wewenang notaris. Tindakan ini sebagai langkah tertib administrasi sehingga jika ada yang menyangkal surat-surat dibawah tangan tersebut maka sang notaris memiliki bukti. Sebuah pembukuan dan administrasi yang baik dibutuhkan karena seorang notaris akan melaporkan dan menyerahkan minuta akta yang sudah dibuat kepada negara. Jadi, semua dokumen yang dibuat di hadapan notaris sudah menjadi milik negara. Seorang notaris juga berwenang untuk membuat risalah lelang.

5. Larangan Bagi Notaris

Seorang notaris dalam menjalankan tugasnya dibatasi oleh koridor-koridor aturan. Pembatasan ini dilakukan agar seorang notaris tidak kebablasan dalam

(16)

menjalankan praktiknya dan bertanggung jawab terhadap segala hal yang dilakukannya. Tetapi adanya pembatasan, seseorang cenderung akan bertindak sewenang-wenang. Demi sebuah pemerataan, pemerintah membatasi wilayah kerja seorang notaris. Undang-udang tentang jabatan notaris juga sudah mengatur bahwa seorang notaris dilarang menjalankan jabatan diluar wilayah jabatannya. Sebagai contoh, seorang notaris yang memiliki wilayah kerja di Yogyakarta tidak dapat membuka praktik atau membuat akta otentik di wilayah Jakarta (batas yuridiksi notaris adalah provinsi)

Bukan hanya anak sekolah saja yang dihukum karena membolos. Notaris pun akan di kenai sanksi jika meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari tujuh hari kerja tanpa alasan yang sah. Seorang notaris tidak dapat seenaknya mengambil waktu rehat karena tugas yang didelegasikan negara pada dirinya menuntut untuk senantiasa siap melayani mereka yang butuh pembuatan atau penetapan otentik tentang berbagai hal.

Dapat dibayangkan jika seorang notaris tiba-tiba tidak ada di tempat maka banyak yang akan dirugikan. Jika memang seorang notaris ingin rehat sejenak dari kegiatan kenotariatan di wilayah itu maka ia wajib mengajukan izin cuti kepada negara. Lebih dari itu, jika di tempat tersebut tidak ada notaris lagi yang bertugas maka dirinya wajib menunjuk seorang notaris pengganti. Notaris pengganti ini haruslah yang memiliki pengetahuan hukum yang mumpuni dan pengalaman di dunia kenotariatan.

Rangkat jabatan merupakan hal yang diharamkan bagi seorang notaris. Rangkap jabatan tertentu dilarang untuk dilakukan. Entah sebagai PNS, sebagai

(17)

petinggi perusahaan negara atau swasta, sebagai pejabat negara, sebagai PPAT di luar wilayah yuridiksinya, apalagi juga berperan sebagai advokat. Seorang notaris harus bertindak professional. Profesionalitas tersebut tidak akan dapat tercapai jika terjadi rangkap jabatan. Rangkap jabatan dapat membuat si notaris dalam menjalankan tugasnya tidak bertindak netral. Ia akan kehilangan focus dalam melayani masyarakat dan akan lebih mendahulukan kepentingan pribadi atau kepentingan yang menguntungkan si notaris terlebih dahulu. Negara sudah mengangkat notaris sebagai pejabat umum negara dan mendelegasikan kepercayaan serta tugas yang cukup penting. Sudah sepantasnyalah seorang notaris menjalankan tanggung jawab itu dengan kesungguhan hati dan tidak melakukan rangkap jabatan.

Notaris sebagai salah satu “pendekar” hukum tentu sangat fasih tentang peraturan hukum yang berlaku dinegara ini. Oleh karena itu seorang “pendekar” hukum juga pasti mengerti risiko jika melakukaan pelanggaran hukum. Sewaktu menjalankan tugas ataupun dalam kehidupan sehari-hari, seorang notaris harus menjalaninya sesuai dengan koridor hukum di Indonesia. Pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku akan mencemari kehormatan dan martabat jabatan notaris yang akhirnya dapat menimbulkan ketidakpercayaan dari masyarakat terhadap para notaris. Pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku di negeri ini, terutama pelanggaran norma hukum dapat terkena hukuman.

(18)

B. Peranan Majelis Pengawas dalam Pengawasan terhadap Notaris

Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris. Oleh karena yang diawasi adalah Notaris maka disebut juga sebagai Majelis Pengawas Notaris.

Badan ini dibentuk oleh Menteri guna mendelegasikan kewajibannya untuk mengawasi (sekaligus membina) Notaris yang meliputi perilaku dan pelaksanaan jabatan Notaris menurut pasal 67 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris juncto Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004. Dalam melaksanakan tugas kewajibannya Badan tersebut secara fungsional dibagi menjadi 3 bagian secara hirarki sesuai dengan pembagian suatu wilayah administratif (Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat) yaitu : Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat. (Pasal 68 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris).

Pengawasan dan Pembinaan terhadap Perilaku Notaris yang diatur dalam Kode Etik Profesi dan Pelaksanaan Jabatan Notaris yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris secara berjenjang dari mulai Majelis Pengawas Daerah Notaris Majelis Pengawas Wilayah Notaris, Majelis Pengawas Pusat Notaris.

Majelis Pengawas Daerah dibentuk di Kabupaten/Kota. Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyebutkan:

(19)

a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;

b. Melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu; c. Memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;

d. Menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan;

e. menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;

f. menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4);

g. menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini; dan

h. membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g kepada Majelis Pengawas Wilayah.

Majelis Pengawas wilayah dibentuk di Ibukota Propinsi. Pasal 73 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyebutkan:

a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;

b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a;

c. Memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun; d. Memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang

menolak cuti yang diajukan oleh Notaris pelapor; e. Memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis;

f. Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa;

1) pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; 2) pemberhentian dengan tidak hormat.

g. Membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f;

h. Keputusan Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e bersifat final.

(20)

Selanjutnya di tingkat Pusat Pasal 77 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 meyebutkan bahwa Majelis Pengawas Pusat berwenang:

a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti; b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana

dimaksud pada huruf a;

c. Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; dan

d. Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris mengatur bahwa Menteri melakukan pengawasan terhadap Notaris dan kewenangan Menteri untuk melakukan pengawasan oleh Undang-undang Jabatan Notaris diberikan dalam bentuk pendelegasian legislative (Undang-undang) kepada Menteri untuk membentuk Majelis Pengawas Notaris bukan untuk menjalankan fungsi-fungsi Majelis Pengawas, dengan demikian Menteri tidak berwenang mencampuri urusan tugas dan kewenangan Majelis Pengawas Notaris.

Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yaitu Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang berbunyi “Pengawasan atas notaris dilakukan oleh Menteri” dan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang berbunyi “Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Membentuk Majelis Pengawas”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Menteri membentuk Majelis Pengawas atau dapat mendelegasikan kewenangan tersebut melalui Keputusan Menteri kepada pejabat

(21)

bawahnya yaitu Direktur Jenderal atau Kepala Kantor Wilayah untuk menandatangai atas nama Menteri membentuk Majelis Pengawas, tapi bukan untuk menjalankan fungsi-fungsi Majelis Pengawas. Kepala Kantor Wilayah mengangkat dan melantik anggota MPD, Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) mengangkat dan melantik anggota MPW dan Menteri mengangkat dan melantik anggota MPP.

Masing-masing MPD, MPW dan MPP terdiri dari 6 unsur yaitu 2 orang yang mewakili unsur Pemerintah, 2 orang yang mewakili unsur akademisi dan 2 orang mewakili unsur Organisasi Profesi Notaris. Kewenangan MPD untuk memberikan persetujuan atau menolak memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris bersifat administratif yang memerlukan persetujuan rapat MPD dan dilaksanakan oleh ketua atau wakil ketua atau salah seorang anggota yang diberi wewenang berdasarkan keputusan rapat MPD. Apa yang menjadi ukuran atau patokan bahwa Keputusan MPD yang dimaksud dalam Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dikategorikan sebagai Keputusan yang dapat disengketakan di Peradilan Tata Usaha Negara yaitu:

Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang mengatakan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(22)

Berdasarkan Rumusan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, yang dapat dikategorikan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara adalah siapa saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan melaksanakan suatu dibidang urusan pemerintahan. Dengan demikian yang menjadi patokan bukanlah kedudukan struktural pejabat atau organ yang bersangkutan dalam jajaran Pemerintahan dan bukan pula nama resminya melainkan yang terpenting menjalankan fungsi urusan pemerintahan.

Keputusan MPD merupakan keputusan tertulis yang bersifat konkrit, individual dan final. Bersifat konkrit yaitu obyek yang diputuskan berwujud atau dapat ditentukan sebagai rekomendasi persetujuan kepada Notaris untuk diperiksa oleh Penyidik, bersifat individual artinya keputusan ini tidak ditujukan kepada umum tapi ditujukan kepada seseorang, misalnya Notaris, dan final artinya putusannya sudah definitif dan menimbulkan akibat hukum. Keputusan MPD tidak dapat dibanding dan Menteri tidak berwenang menjalankan fungsi Majelis Pengawas atau tidak dapat membatalkan keputusan MPD, kecuali melalui gugatan Peradilan Tata Usaha Negara, oleh karena keputusan MPD merupakan obyek Peradilan Tata Usaha Negara. Keputusan MPD merupakan tindakan pejabat TUN dan dapat dibatalkan sendiri oleh pejabat yang mengeluarkan atau atasannya secara hirarki.

MPD menolak memberikan persetujuan kepada Penyidik dalam substansi ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka Keputusan tersebut bersifat final dan hanya dapat dibatalkan melalui gugatan

(23)

Peradilan Tata Usaha Negara, oleh karena obyek keputusan MPD merupakan obyek Peradilan Tata Usaha Negara.

Hubungan KUHAP (Pasal 112) dan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, haruslah dipahami dengan mempergunakan parameter asas lex spesialis derogat lex generalis maksudnya undang-undang yang khusus menyisihkan undang-undang yang umum. Syarat utama yang harus dipenuhi adanya kesamaan tingkat perundang-undangan yang berlaku seperti undang-undang. Asas lex posteriori derogat lex priori artinya undang-undang yang kemudian menyisihkan undang-undang yang terdahulu. Syarat yang harus dipenuhi yaitu tingkat perundang-undangannya harus sama dan substansinya juga harus sama. Berdasarkan parameter ini, maka ketentuan Pasal 112 KUHAP baru dapat diterapkan jika telah dipenuhi persetujuan MPD sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

C. Kriteria Akta Notaris Yang Dapat Diberikan Izin Oleh MPD Untuk Dapat Diperiksa Polisi

Bagian dari norma hukum pidana menetapkan bahwa pada prinsipnya setiap perbuatan pidana disyaratkan selain bersifat melawan hukum diperlukan juga pertanggungjawaban yang terdapat pada orang yang berbuat. Kemampuan bertanggungjawab dalam hukum pidana merupakan suatu keadaan dari hubungan batin atau jiwa sedemikian rupa terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Rumusan pasal-pasal dalam Undang-Undang dipergunakan berbagai

(24)

istilah niat, maksud, kehendak, sengaja, alpa, dan lain-lainnya dengan makna diperlukan pada masing-masing jenis kejahatan atau pelanggaran.

Hukum pidana mengenal dasar pemikiran bahwa “Setiap orang yang melakukan kejahatan atau pelanggaran “dianggap” mampu bertanggungjawab kecuali dibuktikan sebaliknya.”34 Bila dalam suatu perkara pidana, seorang tersangka atau terdakwa diragukan kondisi kesehatan jiwanya saat ia melakukan perbuatan pidana, maka yang berwenang dalam sidang peradilan dapat memanggil seorang ahli kedokteran jiwa (psikiater), untuk memberikan keterangan ahli dalam sidang peradilan. Tujuannya untuk menetapkan apakah terdakwa itu menderita gangguan jiwa atau tidak. Konsekuensi dari keterangan ahli ini ada tidaknya gangguan atau penyakit jiwa pada terdakwa akan dikaitkan dengan dapat atau tidaknya dipertanggungjawabkan tindak pidana tersebut kepadanya.

Enrico Ferri dalam D. Schaffmeister, N. Keijer dan E. P. H. Sutorius berpendapat bahwa: “kejahatan dapat dicegah dengan tindakan tertentu, atau yang disebut dengan preventive measure, yaitu bahwa negara adalah alat yang terpenting untuk mencapai kondisi-kondisi kehidupan yang lebih baik.”35

Salah satu upaya yang dilakukan untuk menemukan pelaku tindak kejahatan adalah dengan cara pendekatan secara psikologis. Adanya pendekatan ini bisa menjadikan seseorang terbebas dari tuduhan kejahatan dan sebaliknya bisa pula

34 H. Hasan Basri Saanin Dt. Tan Pariaman, Psikiater Dan Peradilan (Revisi), Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1983, halaman 3

35 D. Schaffmeister, N. Keijer dan E. P. H. Sutorius, Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu

(25)

menjadi salah satu indikator bagi seseorang, bahwa memang benar ia melakukan tindak pidana.

Dalam Nota Rekan (Renvoi, Nomor 12.36 III tanggal 3 Mei 2006) yang memuat surat dari Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kediri yang merasa keberatan atas pemberitaan yang dimuat dalam Memorandum Kediri, yang sumber beritanya berasal dari Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah (MPD) Kediri yang telah berkesimpulan bahwa notaris yang di periksa MPD Kediri telah bersalah dalam membuat akta. Dengan adanya kesimpulan dari MPD itu, menunjukkan bahwa MPD telah manjadi sebuah lembaga tanpa kewenangan yang terbatas. Hal ini senada dengan yang ditulis dalam Renvoi, Nomor 5.29.III tanggal 3 Oktober 2005, ditulis “MP Jangan Jadi Superboy”, yang kemudian dalam halaman 17 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Superboy yaitu MP (Majelis Pengawas) mempunyai kewenangan yang luar biasa. Atau dapat ditafsirkan mempunyai kewenangan yang tanpa batas sehingga MP bukan dapat bertindak sesuai dengan kewenangan tetapi dapat bertindak sewenang-wenang.

Majelis pengawas pusat (MPP, wilayah (MPW) dan daerah (MPD) mempunyai kewenangan tertentu, yaitu untuk MPP sebagaimana diatur dalam Pasal 77 UUJN, MPW dalam Pasal 73 UUJN, dan MPD dalam Pasal 70 UUJN. Hanya untuk MPD disamping mempunyai kewenangan lain yang tidak dipunyai oleh MPP dan MPW yaitu kewenangan sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 66 UUJN, yaitu MPD berwenang untuk memeriksa notaris sehubungan dengan permintaan penyelidik, penuntut atau hakim untuk mengambil fotokopi minuta atau surat-surat

(26)

lainnya yang dilekatkan pada minuta atau dalam protokol notaris dalam penyimpanan notaris, juga pemanggilan notaris yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau dalam protocol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris. Hasil akhir pemeriksaan MPD yang dituangkan dalam bentuk surat keputusan berisi dapat memberikan persetujuan atau menolak permintaan penyelidik, penuntut umum atau hakim.

Saat UUJN diundangkan, berharap para notaris mendapat perlindungan yang proporsional saat dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai notaris, setidaknya atau salah satunya melalui atau berdasarkan ketentuan atau mekanisme implementasi pasal 66 UUJN yang dilakukan MPD. Dan juga setidaknya ada pemeriksaan yang adil, transparan, beretika dan ilmiah ketika MPD memeriksa notaris atas permohonan pihak lain (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan). Akan tetapi hal tersebut sangat sulit untuk dilakukan karena para anggota MPD terdiri dari unsur-unsur yang berbeda: yaitu 3 orang notaris, 3 orang akademis dan 3 orang birokrat (Pasal 67 ayat 3 UUJN) yang berangkat dari latar belakang yang berbeda sehingga tidak ada persepsi yang sama ketika memeriksa notaris. Contohnya, mengenai focus pemeriksaan yang dilakukan oleh MPD.

Jika ternyata MPD memutuskan (berdasarkan surat keputusan yang dibuat oleh MPD) meloloskan notaris untuk diperiksa oleh pihak penyelidik (kepolisian), kejaksaan, atau pengadilan sebagai implementasi Pasal 66 UUJN, tidak ada kemungkinan untuk mengajukan keberatan untuk dilakukan pemeriksaan ke instansi majelis yang lebih tinggi, seperti ke majelis pemeriksa wilayah (MPW) atau ke

(27)

majelis pemeriksa pusat (MPP) karena mekanisme seperti itu, khusus untuk pelaksanaan Pasal 66 UUJN tidak ditentukan. Meskipun demikian, jika notaris diloloskan oleh MPD, notaris yang bersangkutan dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan objek gugatan, yaitu surat MPD yang meloloskan notaris tersebut. Dan hal ini akan menjadi sengketa tata usaha negara.

Dalam periksaan MPD tidak bisa dibedakan antara notaris sebagai objek dan akta sebagai objek. Jika MPD menempatkan notaris sebagai objek, MPD berarti akan memeriksa tindakan atau perbuatan notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, yang pada akhirnya akan menggiring notaris pada kualifikasi turut serta atau membantu terjadinya suatu tindak pidana. Sudah tentu tindakan seperti ini tidak dapat dibenarkan karena suatu hal yang sangat menyimpang bagi notaris dalam menjalankan tugas jabatannya untuk turut serta atau membantu melakukan atau menyarankan dalam akta untuk terjadinya suatu tindak pidana dengan para pihak/ penghadap. Dalam kaitan ini tidak ada aturan hukum yang membenarkan MPD mengambil tindakan dan kesimpulan yang mengualifikasikan notaris turut serta atau membantu melakukan suatu tindak pidana bersama-sama pihak/penghadap. Bahwa MPD bukan institusi pemutus untuk menentukan notaris dalam kualiifikasi seperti itu. Dalam tataran aturan hukum yang benar bahwa MPD harus menempatkan akta notaris sebagai objek karena notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berkaitan untuk membuat dokumen hukum berupa akta sebagai alat bukti tertulis yang berada dalam ruang lingkup hukum perdata. Dengan demikian, menempatkan akta sebagai objek harus dinilai berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan

(28)

pembuatan akta dan jika terbukti ada pelanggaran akan dikenai sanksi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 84 dan 85 UUJN.

Dengan demikian, bukan wewenang MPD jika dalam melakukan tugasnya mencari unsur-unsur pidana untuk menggiring notaris dengan kualifikasi turut serta atau membantu melakukan tindakan atau perbuatan pidana.

Batasan MPD dalam melakukan pemeriksaan yaitu dengan objeknya akta notaris. Menempatkan akta sebagai objrk, maka batasan MPD dalam melakukan pemeriksaan akan berkisar pada:

a. Kekuatan pembuktian lahiriah akta notaris

Yaitu kemampuan dari akta notaris itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta autentik (acta publica probant sese ipsa). Dengan demikian, jika dilihat dari luar (lahirnya) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan, akta tersebut berlku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta autentik. Dalam hal ini beban pembuktian ada pihak yang menyangkalnya. Parameter untuk menentukan akta notaris sebagai akta autentik, yaitu tanda tangan dari notaris yang bersangkutan, baik yang ada minuta dan salinan maupun adanya awal akta (mulai dari judul) sampai dengan tanda tangan notaris.

Pertanyaannya apakah MPD akan membuktikan aspek lahiriah dari akta. Jika ingin membuktikan seperti ini, MPD harus dapat membuktikan otentitas akta notaris tersebut. MPD harus melakukan pembuktian terbalik untuk

(29)

menyangkal aspek lahiriah dari akta notaris. Jika MPD tidak mampu untuk membuktikannya akta tersebut harus dilihat “apa adanya” bukan dilihat “ada apa”.

b. Kekuatan pembuktian formal akta notaris

Yaitu membuktiakn kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, paraf/tanda tangan para pihak/ penghadap, saksi dan notaris. Selain itu juga membuktikan apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh notaris (pada akta pejabat/berita acara), serta mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak / penghadap (pada akta pihak).

Pertanyaannya apakah MPD akan membuktikan aspek lahiriah formal dari akta? Jika ingin membuktikan seperti ini MPD harus dapat membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, di saksikan dan didengar ole notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/ disampaikan di hadapan notaris. Dengan kata lain, MPD tetap harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta notaris jika MPD tidak mampu membuktikannya, akta tersebut harus diterima oleh siapapun termasuk oleh MPD sendiri.

c. Kekuatan pembuktian materil akta notaris

Yaitu keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat (akta berita acara) atau keterangan para pihak yang diberikan/ disampaikan dihadapan notaris (akta pihak) dan para pihak harus dinilai “benar berkata” yang kemudian dituangkan dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap

(30)

orang yang datang menghadap notaris yang kemudian keterangannya dituangkan / dimuat dalam akta harus dinilai telah “benar berkata”. Jika ternyata pernyataan/ keterangan para penhadap tersebut menjadi “tidak berkata benar” hal tersebut merupakan tanggung jawab para pihak sendiri. Notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk/ di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.

Pertanyaannya, apakah PMD akan membuktikan aspek materil dari akta? Jika ingin membuktikan seperti ini, MPD harus dapat membuktikan bahwa notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta (akta pejabat) atau para pihak yang telah benar bekerja (dihadapan notaris) menjadi tidak berkata benar. MPD harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta notaris. Jika MPD tidak mampu untuk membuktikannya, isi akta tersebut benar adanya,

Dengan demikikan aspek mana yang akan dibuktikan secara terbalik oleh MPD ketika memeriksa notaris, maka MPD dibebani pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 138 HIR (Pasal 164 Rbg., 148 Rv).

Ketiga aspek tersebut diatas merupakan kesempurnaan akta notaris sebagai alat bukti. Dengan demikian, siapa pun (hakim, jaksa, kepolisian, bahkan notaris dan MPD sendiri) terikat untuk menerima akta notaris apa “adanya” dan siapapun tidak

(31)

dapat menafsirkan lain atau menambahkan/meminta alat bukti lain untuk menunjang akta notaris. Sebab jika akta notaris tidak dinilai sebagai alat bukti yang sempurna, akan menjadi tidak ada gunanya undang-undang menunjuk notaris sebagai pejabat umum untuk membuat akta autentik sebagai alat bukti, jika ternyata siapapun dengan semaunya dan seenaknya mengesampingkan akta notaris sebagai alat bukti yang sempurna. Oleh karena itu, jika ada sesama notaris saling menyalahkan atau menjelekkan akta yang dibuat oleh notaris lainnya, hal ini menyatakan bahwa notaris yang bersangkutan tidak mengerti makna akta notaris sebagai alat bukti yang sempurna.

Pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana terdiri dari tiga unsur: 1. Toerekeningsvatbaarheid (dapat dipertanggungjawabkan).

2. Suatu sikap psikis pelaku berhubung dengan kelakuannya. a. Kelakuan yang disengaja (unsur sengaja);

b. Kelakuan dengan sikap yang kurang berhati-hati atau lalai (unsur kealpaan culpa, schuld in engere zin);

3. Tidak ada alasan untuk menghapuskan pertanggungjawaban pidana pelaku (unsur toerekenbaarheid)36

Dalam praktik Notaris ditemukan kenyataan, jika ada akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak lainnya, maka sering pula Notaris ditarik sebagai pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana yaitu membuat atau memberikan keterangan palsu ke dalam akta Notaris. Hal

(32)

ini pun menimbulkan kerancuan, apakah mungkin Notaris secara sengaja (culpa) atau khilaf (alpa) bersama-sama para penghadap/pihak untuk membuat akta yang diniatkan sejak awal untuk melakukan suatu tindak pidana.

Dalam kaitan ini tidak berarti Notaris steril (bersih) dari hukum atau tidak dapat dihukum atau kebal terhadap hukum. Notaris bisa saja dihukum pidana, jika dapat dibuktikan di pengadilan, bahwa secara sengaja atau tidak disengaja Notaris bersama-sama dengan para pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja atau merugikan penghadap yang lain, jika hal ini terbukti, maka Notaris tersebut wajib dihukum.37

Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 mnejelaskan tentang Notaris yang diduga melakukan tindak pidana dapat diajukan proses pidana melalui:

1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:

a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.

Kaitan untuk meminta keterangan Notaris atas laporan pihak tertentu, menurut Pasal 66 Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka jika Notaris dipanggil oleh Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim, maka instansi yang ingin memanggil tersebut wajib minta persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD).

(33)

Ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tersebut bersifat imperatif atau perintah. Dalam praktik sekarang ini, ada juga Notaris yang dipanggil oleh Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim langsung datang menghadap kepada intansi yang memanggilnya, tanpa diperiksa dulu oleh MPD artinya menganggap sepele terhadap MPD, jika Notaris melakukan seperti ini, maka menjadi tanggungjawab Notaris sendiri, misalnya jika terjadi perubahan status dari Saksi menjadi Tersangka atau Terdakwa.38

Ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tersebut bagi Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim bersifat imperatif, artinya jika Kepolisian. Kejaksaan atau Hakim mengabaikan ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka terhadap Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap undang-undang, maka jika hal ini terjadi, dapat dilaporkan ke polisi, Kejaksaan dan Hakim kepada atasannya masing masing, dan di sisi yang lain, perkara yang disidik atau diperiksa tersebut, dapat dikategorikan cacat hukum (dari segi Hukum Acara Pidana) yang tidak dapat dilanjutkan (ditunda untuk sementara) sampai ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dipenuhi.

Dalam praktik ditemukan juga, ketika seorang Notaris tidak diizinkan oleh MPD untuk memenuhi panggilan Kepolisian atau Kejaksaan, maka pihak Kepolisian atau Kejaksaan akan memanggil saksi akta Notaris yang disebutkan pada bagian akta. Pernanggilan saksi akta tersebut merupakan suatu tindakan yang tidak sesuai dengan Hukum Kenotariatan, karena pada akhir akta yang menyebutkan dalam setiap akta wajib ada 2 (dua) orang saksi, dan akhir akta ini merupakan bagian dan aspek formal

(34)

Notaris yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akta Notaris itu sendiri, dengan kata lain dengan tidak diizinkannya Notaris untuk diperiksa oleh MPD, maka para saksi akta pun tidak perlu untuk diperiksa. Aspek formal dalam pembuatan akta merupakan salah satu pembuktian, karena bentuknya sesuai dengan ketentuan undang-undang dan dibuat oleh pejabat yang berwenang.

Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris diatur bahwa ketika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan Notaris, dan sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa, baik sebelumnya dalam Peraturan Jabatan Notaris, dan sekarang dalam Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik Jabatan Notaris, dan tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap Notaris. Dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan Notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi atau perdata atau kode etik jabatan Notaris, tapi kemudian ditarik atau diklasifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris.

Pengkualifikasian tersebut berkaitan dengan aspek-aspek seperti: 1. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap. 2. Pihak (siapa-orang) yang menghadap Notaris.

3. Tanda tangan yang menghadap.

4. Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta. 5. Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan

(35)

dikeluarkan.39.

Aspek-aspek tersebut jika terbukti dilanggar oleh Notaris, maka kepada Notaris yang bersangkutan dapat dijatuhi sanksi perdata atau administratif atau aspek-aspek tersebut merupakan batasan-batasan yang jika dapat dibuktikan dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan sanksi administratif dan sanksi perdata terhadap Notaris, tapi ternyata di sisi yang lain batasan-batasan seperti itu ditempuh atau diselesaikan secara pidana atau dijadikan dasar untuk mempidanakan Notaris, dengan dasar Notaris telah membuat surat palsu atau memalsukan akta dengan kualifikasi sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris.

Batasan-batasan yang dijadikan dasar untuk mempidanakan Notaris tersebut merupakan pelanggaran terhadap aspek formal dari akta Notaris, dan seharusnya berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Jika Notaris terbukti melakukan pelanggaran dari aspek formal, maka dapat dijatuhi sanksi perdata dan adrninistrasi, tergantung pada jenis pelanggarannya atau sanksi kode etik jabatan Notaris.

Tentang definisi dari kejahatan itu sendiri tidak terdapat kesatuan pendapat diantara para sarjana. R. Soesilo dalam Syafruddin Husein membedakan pengertian kejahatan secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis.

Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku

39Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, tafsir tematik terhadap UU No. 30 Tahun 2004

(36)

yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.40

J. E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro menyatakan bahwa, “kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif),”41 yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.

Sifat melawan hukum secara materil berarti melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik tertentu.42 Secara formil sifat melawan hukum berarti semua bagian yang tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi.43

Secara melawan hukum dalam ketentuan hukum pidana mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materil yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.44

Perbuatan melawan hukum disebut juga dengan istilah onrechtmatige daad dalam sistem Eropa Kontinental dan disebut dengan istilah tort dalam sistem hukum

40Ibid.

41 J. E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Paradoks Dalam Kriminologi, Rajawali,

Jakarta, 1982, halaman 3.

42D. Schaffmeister dkk., Op.Cit, halaman 39. 43Ibid.

44 Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta,

(37)

Anglo Saxon.45 Wirjono Prodjodikoro menyebutkan bahwa perbuatan melawan hukum adalah: Perbuatan yang mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat.46

Semula pengertian melawan hukum hanya diartikan secara sempit yaitu perbuatan yang melanggar undang-undang saja. Akan tetapi, kemudian Hoge Raad dalam kasus yang terkenal Lindenbaum melawan Cohen memperluas pengertian melawan hukum bukan hanya sebagai perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam hubungan antara sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain.47

Perbuatan melawan hukum di sini dimaksudkan adalah sebagai perbuatan melawan hukum pidana (delik) atau yang disebut dengan istilah perbuatan pidana mempunyai arti, konotasi dan pengaturan hukum yang berbeda sama sekali.48 Demikian juga dengan perbuatan melawan hukum oleh penguasa negara atau yang disebut dengan onrechmatige overheidsdaad juga memiliki arti dan pengaturan hukum yang juga berbeda.49

Perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan yang sudah lazim di masyarakat. Untuk selanjutnya, kecuali disebutkan lain secara khusus maka penggunaan istilah perbuatan melawan hukum hanya dimaksudkan

45Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2002, halaman 2.

46Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi, Bandung, Mandar Maju, 1994, halaman 7. 47Munir Fuady, Op.Cit., halaman 8.

48P. A. F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,

1987, halaman 65.

(38)

sebagai perbuatan melawan dalam bidang hukum perdata saja. Untuk istilah perbuatan melawan hukum ini, dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah onrechmatige daad atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah tort.50

Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya berarti salah (wrong)51. Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum, kata tort itu berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) dalam sistem hukum Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya.52

50Ibid. 51Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

FE istraživanje tlačnih elemenata izvedenih kutnicima s jednakim krakovima od austenitnog toplo valjanog nehrđajućeg čelika provedeno je na temelju eksperimentalnog nelinearnog

Hasil uji F, pengaruh transparansi dan akuntabilitas laporan keuangan terhadap kepercayaan donatur, diperoleh nilai F sebesar 17.512 dengan nilai sig sebesar 0.000,

dan orang-orang yang tidak memenuhi panggilan Tuhan, jika mereka memiliki semua (kekayaan) yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak isi bumi lagi dengannya, pasti

Meskipun beberapa kajian memberikan bukti bahwasanya variabel kerja seperti kepuasan kerja, komitmen, stres kerja dan persepsi politik

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian kausal dan komparatif, yaitu untuk mengetahui Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Inflasi dan Kurs Rupiah terhadap Deposito

Keragaman baru kandungan protein umbi dan hasil protein dapat diperoleh dari persilangan antara dua klon sumber gen pengendali kandungan protein tinggi yakni klon Beniazuma dan

Setiap kegiatan yang dilakukan bersama dengan komunitas, baik FGD reguler, pelatihan, informal meeting, diskusi publik dan yang lain adalah sebuah proses yang