• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kriteria penilaian potensi objek dan daya tarik ekowisata kawasan

(1) studi persiapan yang merupakan penilaian kelayakan kegiatan dilakukan, untuk melihat ada atau tidaknya potensi pengembangan;

(2) penentuan tujuan yang merupakan penentuan hasil yang diinginkan dari pengembangan;

(3) survei yang merupakan pengumpulan data, kuantitatif dan kualitatif untuk semua aspek yang relevan;

(4) analisis dan sintesis berupa analisis yang dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif, merupakan aktivitas utama yang tergantung pada ketersediaan data survei, mengidentifikasi peluang dan masalah atau batasan untuk pengembangan;

(5) rumusan kebijakan dan rencana yang merupakan kegiatan mempersiapkan dan mengevaluasi alternatif kebijakan dan garis besar rencana (atau skenario);

(6) rekomendasi yang berupa penyampaian rencana detil yang dibuat berdasarkan analisis dan sintesis, serta rumusan kebijakan dan rencana yang telah dipilih;

(7) pelaksanaan dan pemantauan, pelaksanaan dilakukan bila telah dipertimbangkan dari persiapan rencana, terutama dalam perumusan kebijakan dan rencana, serta pada rekomendasi sehingga rencana akhir menjadi realistik untuk dicapai dan dapat dilaksanakan; pemantauan dilakukan untuk memastikan bahwa tujuan dikerjakan, sesuai dengan jadwal pengembangan, dan tidak menimbulkan masalah ekonomi, lingkungan, atau sosial budaya.

Menurut Simonds dan Starke (2006), perencanaaan tapak umumnya mengikuti langkah-langkah berikut yang beberapa di antaranya dapat dilakukan secara bersamaan, yaitu pendefinisian maksud dan tujuan; pengumpulan informasi topografi; pengembangan program; pengumpulan data dan analisis; pengenalan tapak; pengorganisasian perlengkapan dan dokumen rencana acuan, persiapan studi lanjut; perbandingan analisis dengan studi perbaikan untuk mendapatkan konsep yang sesuai dan disetujui; pengembangan dari rencana pengembangan pendahuluan dan menghitung biaya; persiapan rencana pembangunan, spesifikasi, dan penawaran dokumen.

Kegiatan pembangunan sering dikaitkan dengan proses perencanaan sehingga perencanaan dapat menentukan arah suatu pembangunan. Menurut Inskeep (1991), untuk mengoptimalkan kegiatan wisata dan meminimalkan

dampak yang ditimbulkan karena kegiatan ini, diperlukan perencanaan dan manajemen yang baik, dan terintegrasi dengan perencanaan pembangunan secara keseluruhan. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa terdapat beberapa alasan khusus perlunya suatu perencanaan wisata, yaitu sebagai berikut.

1) Pariwisata modern merupakan hal yang relatif baru di banyak daerah, dimana pemerintah dan swasta belum memiliki pengalaman yang cukup dalam penanganannya sehingga diperlukan perencanaan.

2) Pariwisata adalah kegiatan yang memiliki kompleksitas, multisektoral, serta terkait dengan sektor lain, untuk itu perlu koordinasi dan perencanaan yang lebih terpadu.

3) Pada umumnya kegiatan wisata adalah menjual produk dengan memberikan pengalaman pada pengunjung melalui berbagai fasilitas sehingga ada dampak sosial dan lingkungan yang harus diperhitungkan dalam perencanaan.

4) Kegiatan pariwisata membawa dampak ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu perlu optimalisasi kegiatan dan perencanaan yang terintegrasi.

5) Manfaat dan masalah sosial budaya yang muncul karena kegiatan pariwisata memerlukan penanganan berupa kebijakan untuk mengkonservasi objek- objek budaya yang berharga.

6) Pembangunan fasilitas dan atraksi untuk pariwisata menimbulkan dampak pada kondisi fisik lingkungan, dengan perencanaan diharapkan dapat meminimalkan degradasi lingkungan dan mengupayakan konservasi lingkungan.

7) Adanya slogan keberlanjutan sebagai isu global akan menentukan tipe keberlanjutan yang tepat dan tidak merusak dan menghambat pembangunan.

8) Perubahan tren pasar dan keadaan lainnya memerlukan fleksibilitas perencanaan.

9) Kegiatan wisata perlu keahlian tertentu dan tenaga kerja yang potensial, oleh karena itu, dalam perencanaan wisata perlu dibuat rencana pelatihan.

10) Perlu ada struktur organisasi, promosi, dan regulasi yang mengatur kegiatan wisata.

11) Perlu program dan dasar yang rasional bagi publik dan swasta dalam kaitannya dengan rencana investasi yang mereka lakukan.

Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem informasi geografis (SIG)atau geographic information system (GIS)

adalah sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data, dan penampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. SIG dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisis, dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (ESRI 2002).

Pendekatan-pendekatan kelokasian atau lebih dikenal dengan istilah pendekatan keruangan/spasial sangat penting di dalam melakukan analisis- analisis fenomena yang terjadi di bumi ini, baik yang sifatnya fisik maupun yang bersifat sosial kemasyarakatan seperti ekonomi, politik, lingkungan, dan budaya. Jika fenomena itu dapat ditangkap informasinya secara utuh berikut lokasi dan polanya, hal tersebut dapat membantu dalam menyelesaikan atau mencari solusi dari permasalahan yang terkait dengan muka bumi.

SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain suatu SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra 1997). SIG adalah suatu sistem Informasi yang dapat memadukan antara data grafis (spasial) dengan data teks (atribut) objek yang dihubungkan secara geografis di bumi (georeference). Di samping itu, SIG juga dapat menggabungkan data, mengatur

data dan melakukan analisis data yang akhirnya akan menghasilkan keluaran yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan pada masalah yang berhubungan dengan geografi.

SIG dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sistem manual (analog) dan sistem otomatis (yang berbasis digital komputer). Perbedaan yang paling mendasar terletak pada cara pengelolaannya. Sistem informasi manual biasanya menggabungkan beberapa data seperti peta, lembar transparansi untuk tumpang susun (overlay), foto udara, laporan statistik, dan laporan survei lapangan.

Kesemua data tersebut dikompilasi dan dianalisis secara manual dengan alat tanpa komputer. SIG otomatis telah menggunakan komputer sebagai sistem pengolah data melalui proses digitasi. Sumber data digital dapat berupa citra satelit atau foto udara digital serta foto udara yang terdigitasi. Data lain dapat berupa peta dasar terdigitasi.

SIG dapat dibagi ke dalam empat komponen utama, yaitu perangkat keras (digitizer, scanner, central procesing unit (CPU), hard-disk, dan lain-lain),

perangkat lunak organisasi (manajemen), dan pemakai (user). Kombinasi yang benar antara

keempat komponen utama ini akan menentukan kesuksesan suatu proyek pengembangan sistem informasi geografis.

Data yang diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data atribut dalam bentuk digital, sehingga analisis yang dapat digunakan adalah analisis spasial dan analisis atribut. Data spasial merupakan data yang berkaitan dengan lokasi keruangan yang umumnya berbentuk peta, sedangkan data atribut merupakan data tabel yang berfungsi menjelaskan keberadaan berbagai objek sebagai data spasial.

Butler (1993) diacu dalam Bahaire dan Elliot (1999) menyatakan bahwa sistem informasi geografis mempunyai potensi-potensi dalam pemecahan masalah pariwisata, yaitu

1) dapat menginventarisasi secara sistem atas sumber daya pariwisata dan menganalisis tren pariwisata, dan

2) dapat digunakan untuk memonitor perkembangan aktivitas wisata, dengan pengintegrasian pariwisata, sosial budaya, lingkungan, dan data ekonomi.

Scenic Beauty Estimation (SBE)

Scenic beauty diartikan sebagai keindahan alami (natural beauty), estetik

lanskap (landscape aesthetics), atau sumber pemandangan (scenic resource)

untuk memecahkan kemonotonan (Daniel dan Boster 1976). Estetika digunakan sebagai dasar dalam kualitas visual. Dijelaskan lebih lanjut oleh Daniel dan Boster (1976) bahwa keindahan pemandangan lanskap merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting walaupun secara obyektif keindahan pemandangan sulit untuk diukur.

Scenic Beauty Estimation (SBE) yang dikembangkan oleh Daniel dan

Boster (1976) adalah model penilaian yang paling umum digunakan untuk mengevaluasi psikofisik preferensi indah. Hal ini digunakan untuk mempelajari hubungan antara atribut biofisik lingkungan dan preferensi keindahan tanpa mempertimbangkan proses perantara yang mungkin mempengaruhi preferensi penilaian.

Ditemukan bahwa nilai-nilai preferensi berkorelasi dengan bentuk fisik, 19

prinsip-prinsip formal desain, dan atribut psikologis lanskap untuk menyatakan persoalan teoritis dan empiris dalam estetika lanskap (Gobster dan Chenoweth 1989 diacu dalam Chiang et al. 2010). Perubahan penampilan lanskap dapat

dilihat dari proses biofisik dan pendapat manusia sangat penting sebagai indikator dari kualitas keindahan visual. Persepsi seseorang terhadap kualitas lanskap ditentukan oleh interaksi yang kuat antara variabel lanskap dan pengetahuan seseorang mengenai lanskap tersebut (Nasar 1988).

Keindahan pemandangan adalah suatu konsep yang interaktif karena sebagian besar ditentukan oleh penilaian manusia, karena kualitas estetika dari suatu ruang merupakan hasil dari kombinasi penampilan lanskap itu sendiri dengan proses psikologis (tanggapan, pemahaman, dan emosi) dari pengamat lanskap tersebut (Daniel dan Boster 1976). Pendugaan keindahan merupakan salah satu cara untuk menentukan kualitas suatu lanskap. Pendugaan keindahan lanskap menggunakan metode SBE meliputi 3 langkah, yaitu mempresentasikan lanskap dengan menggunakan slide foto, mempresentasikan silde terhadap responden, dan mengevaluasi penilaian slide dari responden.

Lanskap dipresentasikan dalam bentuk foto dengan melakukan pemotretan. Slide foto kemudian dipresentasikan kepada responden untuk memperoleh penilaian responden terhadap lanskap. Slide foto yang dipresentasikan disusun secara acak. Responden yang dipilih adalah mahasiswa karena mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat yang dianggap kritis dan peduli terhadap lingkungan, serta jumlah responden antara 20-30 sudah dianggap mewakili. Kuisioner dibagikan kepada responden dan selanjutnya diberikan penjelasan mengenai penilaian terhadap kondisi kawasan. Selama presentasi, slide diputar satu-persatu dengan durasi waktu penyajian 7-10 detik untuk masing-masing slide. Responden menilai setiap slide dengan skala 1-10 yang menggambarkan kualitas pemandangan dari paling rendah sampai paling tinggi (Daniel dan Boster 1976).

Setelah semua hasil kuisioner terkumpul dilakukan analisis data untuk mendapatkan nilai kualitas pemandangan (SBE). Nilai SBE menggambarkan kualitas pemandangan lanskap mulai dari paling tinggi hingga paling rendah yang relatif terhadap lanskap standar. Lanskap yang digunakan sebagai standar adalah lanskap yang memiliki nilai z mendekati nol dan nilai SBE-nya nol. Data untuk setiap lanskap dikelompokkan berdasarkan rangking penilaian 1-10, untuk setiap rangking dihitung jumlah frekuensi, frekuensi kumulatif, dan nilai z

berdasarkan tabel. Dengan data ini selanjutnya dihitung nilai z rata-rata untuk setiap lanskap. Dari keseluruhan z untuk tiap titik ditentukan satu nilai z dari titik sebagai standar untuk penghitungan nilai SBE (Daniel dan Boster 1976). Dari nilai SBE untuk setiap lanskap yang diperoleh lalu ditentukan kualitas keindahannya, selanjutnya lanskap dapat dikelompokkan menjadi lanskap yang memiliki kualitas pemandangan tinggi, sedang, dan rendah.

Analytical Hierarchy Process (AHP)

Analytical hierarchy process (AHP) dikembangkan oleh Thomas L. Saaty

tahun 1970, seorang ahli matematika. Metode ini adalah sebuah kerangka untuk mengambil keputusan dengan efektif atas persoalan yang kompleks dengan menyederhanakan dan mempercepat proses pengambilan keputusan dengan memecahkan persoalan tersebut ke dalam bagian-bagiannya, menata bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki, memberi nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang pentingnya tiap variabel, dan mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel yang mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut.

Metode ini dimaksudkan untuk mengorganisasikan informasi dan berbagai keputusan secara rasional (judgement) agar dapat memilih alternatif yang paling

disukai. Metode ini dimaksudkan untuk membantu masalah kualitatif yang kompleks dengan memakai perhitungan kuantitatif, melalui proses pengekspresian masalah dimaksud dalam kerangka berpikir yang terorganisasi, sehingga dimungkinkan dilakukannya proses pengambilan keputusan secara efektif. Metode ini memiliki keunggulan tertentu karena mampu menyederhanakan persoalan yang kompleks menjadi persoalan yang terstruktur sehingga mendorong dipercepatnya proses pengambilan keputusan terkait. Untuk mengolah data dengan metode AHP ini dapat dilakukan dengan aplikasi perangkat lunak CDP V3.04 dan Expert Choice (Eriyatno dan Sofyar 2007).

AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, yang dengannya pengambil keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam mengambil keputusan.

Metode AHP ini membantu memecahkan persoalan yang kompleks dengan menstruktur suatu hierarki kriteria, pihak yang berkepentingan, dan hasil dengan 21

menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot atau prioritas. Metode ini juga menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam menjadi hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang telah dibuat (Saaty 1991). AHP membuat para pembuat keputusan untuk mendapatkan skala prioritas atau pertimbangan dari pengalaman, pandangan, intuisi, dan data asli. Dalam menjalankannya, AHP tidak hanya mendukung pembuat keputusan untuk menyusun kerumitan dan melatih penilaian, tetapi membuat pertimbangan subjektif dan objektif dalam menganalisis keputusan.

Beberapa ide dasar kerja dari AHP adalah sebagai berikut. 1) Penyusunan hierarki

Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu kriteria dan alternatif, kemudian disusun menjadi struktur hierarki.

2) Penilaian kriteria dan alternatif

Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1993), untuk berbagai persoalan, skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat.

3) Penentuan prioritas

Untuk setiap kriteria dan alternatif, perlu dilakukan perbandingan, nilai-nilai perbandingan kemudian diolah untuk menentukan peringkat alternatif dari seluruh alternatif.

4) Konsistensi logis

Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis, konsistensi memiliki dua makna, pertama adalah objek-objek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi, arti kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu.

Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty mulai dari nilai bobot 1 sampai dengan 9. Nilai bobot 1 menggambarkan “sama penting”, ini berarti bahwa nilai atribut yang sama skalanya, nilai bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang “penting absolut” jika dibandingkan dengan yang lainnya. Skala Saaty dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Skala banding secara berpasangan (Saaty 1993) Tingkat

Kepentingan Definisi Penjelasan

1 Kedua elemen sama

penting Dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lain

Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung satu elemen jika dibandingkan dengan elemen yang lainnya

5 Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain

Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukung satu elemen dibandingkan dengan elemen yang lainnya

7 Satu elemen jelas lebih penting dari elemen lainnya

Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktik

9 Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen yang lainnya

Bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangakan yang berdekatan

Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di antara dua pilihan

Keterangan: Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i

KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Kondisi Biofisik Kota Sintang

Geografis dan Administrasi

Secara geografis letak Kota Sintang berada pada 0o09’ LU–0o02’ LS dan

111o21’ BT–111o36’ BT. Peta administrasi Kota Sintang ditunjukkan pada

Gambar 2. Batas-batas administrasi Kota Sintang adalah 1) Utara: Kecamatan Binjai Hulu dan Kelam Permai, 2) Timur: Kecamatan Dedai,

3) Selatan: Kecamatan Sungai Tebelian, 4) Barat: Kecamatan Tempunak.

Sumber: RDTRK Sintang 2007

Gambar 2 Batas administrasi Kota Sintang tingkat kelurahan dan desa Secara geografis letak Kota Sintang cukup strategis, yaitu di pertemuan Sungai Kapuas dengan Sungai Melawi. Seperti halnya kota-kota lain di Kalimantan, yang pada jaman dahulu sungai merupakan urat nadi perekonomian terpenting, pertemuan dua sungai ini juga merupakan tempat yang paling

strategis untuk membentuk/membangun permukiman di sekitar pertemuan sungai-sungai tersebut.

Kota Sintang dengan luas 4.128,99 ha sebagai ibukota Kabupaten Sintang merupakan salah satu kota kecamatan yang berada di jalur pelayaran Sungai Kapuas. Kota ini dapat ditempuh melalui jalur sungai tersebut di samping juga dapat ditempuh melalui jalan darat sepanjang ± 395 km dari ibukota provinsi (Pontianak). Kota Sintang mencakup sebagian dari 6 wilayah kelurahan dan 1 wilayah desa dari 4 desa, 6 kelurahan, 2 desa IDT dan 143 dusun yang terdapat di wilayah Kecamatan Sintang.

Secara administratif Kota Sintang mencakup tujuh wilayah kelurahan/desa yaitu kelurahan Tanjungpuri, Kapuas Kanan Hulu, Kapuas Kanan Hilir, Kapuas Kiri Hulu, Kapuas Kiri Hilir, Ladang, dan desa Baning. Kota Sintang terdiri dari tiga Bagian Wilayah Kota (BWK) sesuai dengan pembagian karena adanya aliran sungai Kapuas dan sungai Melawi. BWK A seluas 1.700,11 ha merupakan bagian barat-selatan kota yang terdiri dari Kelurahan Kapuas Kanan Hulu dan Kapuas Kanan Hilir. BWK B seluas 1.874,70 ha merupakan bagian selatan-timur kota yang terdiri dari Kelurahan Tanjungpuri, Ladang, dan Desa Baning. BWK C yang luasnya 554,18 ha merupakan bagian utara kota terdiri dari Kelurahan Kapuas Kiri Hilir dan Kapuas Kiri Hulu. Tabel 2 menunjukkan luas masing-masing BWK yang dirinci per desa/kelurahan.

Tabel 2 Luas tiap bagian wilayah kota (BWK) dalam Kota Sintang

No Kelurahan/Desa (Ha) Luas Wilayah (%) Keterangan BWK A

Luas wilayah terdiri dari luas

darat dan perairan 1 Kapuas Kanan Hulu 1042,06 61,29

2 Kapuas Kanan Hilir 658,05 38,71

Sub Jumlah 1700,11 100,00 BWK B 1 Tanjung Puri 918,01 48,97 2 Ladang 152,47 8,13 3 Baning 804,22 42,90 Sub Jumlah 1874,70 100,00 BWK C

1 Kapuas Kiri Hulu 281,78 50,85 2 Kapuas Kiri Hilir 272,40 49,15

Sub Jumlah 554,18 100,00

Total Jumlah 4128,99

Topografi dan Kemiringan Lahan

Dilihat dari aspek topografi, Kota Sintang berada pada ketinggian antara 15 sampai 50 meter di atas permukaan laut dengan kemiringan antara 0 – 15% (Tabel 3). Daerah-daerah terbangun yang mempunyai ketinggian diatas 30 meter umumnya terdapat di bagian tenggara kota sebelah timur dan tenggara kawasan gambut Baning. Sedangkan pada kawasan lainnya seperti sebagian besar kawasan utara kota di wilayah Kelurahan Kapuas Kanan Hulu dan bagian barat kota di Kelurahan Kapuas Kanan Hilir serta wilayah Kelurahan Kapuas Kiri Hilir dan Kapuas Kiri Hulu merupakan kawasan-kawasan yang relatif datar. Bagian kota di sebelah timur aliran Sungai Melawi umumnya memiliki topografi yang bergelombang sampai berbukit.

Tabel 3 Kemiringan lereng dan luas lahan pada masing-masing kelurahan dan Desa (Ha)

No. Kelurahan/Desa 0 – 3 % 3 – 8 % 8 – 15 % Total (Ha) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Kapuas Kanan Hulu Kapuas Kanan Hilir Tanjung Puri Ladang Baning Kota Kapuas Kiri Hulu Kapuas Kiri Hilir

1303 499 1015 329 426 341 164 216 - 43 - 50 44 148 - - - - 8 - - 1519 499 1058 329 484 386 312 Total (Ha) 4053 501 8 4587

Sumber: Bappeda Kabupaten Sintang 2009

Hidroklimatologi

Sebagaimana umumnya Kabupaten Sintang, kondisi klimatologi Kota Sintang tergolong dalam tipe A menurut klasifikasi iklim Schmidt and Ferguson,

karena hampir tidak memiliki bulan kering dalam setahun.

Suhu di Kota Sintang umumnya berkisar antara 21°C sampai 33°C, dengan tingkat kelembaban rata-rata 60 - 90 %, dan penyinaran matahari rata-rata 57 %. Curah hujan rata-rata tahun 2009 yang terukur dari stasiun iklim Bandara Susilo Sintang adalah 251,9 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 17,66 hh/bulan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari sebesar 447,40 mm dengan jumlah hari hujan 25 hari. Sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juni dengan sebesar 20,50 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 6 hari. Kecepatan angin rata- rata bulanan berkisar antara 3 sampai 6 knots. Tabel 4 menunjukkan data iklim di Kabupaten Sintang tahun 1995 sampai 2009.

Tabel 4 Data iklim Kabupaten Sintang tahun 1995 - 2009 Tahun Unsur Iklim Curah Hujan (mm) Hari Hujan Suhu Udara (oC) Kelembaban Udara (%) Penyinaran Matahari (%) Tekanan Udara (mb) Kecepatan Angin (knot/jam) 1995 361,6 19,8 26,6 85,9 56,2 1010,4 1,0 1996 265,1 20,7 26,6 85,4 53,3 1010,1 1,6 1997 287,2 17,8 27,3 85,4 77,3 1017,2 1,4 1998 301,5 21,3 27,1 86,8 49,6 1010,6 1,7 1999 250,8 18,9 26,7 85,7 60,8 1009,9 1,8 2000 280,4 30,0 26,7 86,7 57,7 1009,9 1,8 2001 216,4 18,0 26,7 86,1 58,6 1010,3 1,7 2002 243,1 16,5 26,9 86,2 51,3 1011,6 1,8 2003 253,3 18,0 26,9 87,6 52,0 1010,9 1,7 2004 262,3 18,0 26,8 86,9 57,5 1011,8 2,0 2005 274,8 19,0 26,9 86,8 53,9 1009,6 2,1 2006 214,4 16,0 27,0 86,0 54,3 1011,9 1,9 2007 312,4 19,0 26,8 87,2 57,2 1010,8 1,8 2008 262,4 20,0 26,6 83,8 57,9 1010,9 2,0 2009 251,9 17,0 27,0 83,7 55,2 1010,6 2,1 Rerata 269,2 19,3 26,8 86,0 56,9 1011,1 1,8

Sumber : BMG Susilo Sintang 2010 Jenis Tanah

Tanah Kota Sintang umumnya berupa tanah aluvial, gambut, dan podsolik merah kuning. Sebaran pasti dan luas masing-masing jenis tanah ini belum diketahui secara jelas, tetapi secara umum tanah aluvial mendominasi semua wilayah yang dipengaruhi oleh pasang surut air Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Tanah gambut mendominasi kawasan-kawasan berawa, sedangkan wilayah lainnya didominasi oleh tanah podsolik merah kuning seperti sebagian besar bagian timur dan tenggara kota.

Tanah aluvial merupakan jenis tanah dengan fisiografi dataran rendah, bahan induk dari batuan-batuan aluvial/endapan banjir. Tanah ini sedikit atau belum mengalami perkembangan profil, dangkal sampai dalam, berwarna kelabu sampai kekuningan dan kecoklatan, sering ber-glei dan bertotol kuning, coklat dan merah.

Tanah podsolik merah kuning, memiliki perkembangan profil warna merah dan kuning, horison argilik, masam dan kejenuhan basa rendah. Umumnya tanah ini menempati daerah-daerah bergelombang sampai berbukit dengan ketinggian di atas 20 meter dari permukaan laut. Sebaliknya tanah ini diusahakan untuk

pertanian lahan kering atau perkebunan dengan usaha peningkatan kesuburan tanah dan usaha-usaha konservasi karena jenis tanah ini sangat peka terhadap erosi dan curah hujan yang tinggi.

Potensi Lanskap

Pola bentangan alam/lanskap Kota Sintang cukup menarik dan sangat potensial untuk dikembangkan menjadi elemen kuat estetika kota tanpa harus banyak merubah alamnya. Topografi dan kemiringan lahannya yang sangat variatif mampu menghindarkan kota ini dari kesan monoton yang membosankan. Yang menjadi permasalahan saat ini dari aspek lanskap ini adalah kurangnya perhatian masyarakat dalam hal pengembangan jenis-jenis vegetasi lokal, dan kurangnya kesadaran masyarakat dan pemerintah setempat bahwa Sungai Kapuas dan Sungai Melawi merupakan unsur alami yang sangat potensial sebagai kosmetika kota.

Pola Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan merupakan dimensi ruang kegiatan manusia terhadap lingkungannya dalam rangka usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, sedangkan konsentrasi manusia di suatu tempat adalah akibat adanya kesempatan untuk hidup di tempat itu yang sesuai dengan profesi yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan.

Laporan pengamatan yang dilakukan Bappeda Kabupaten Sintang pada tahun 2006 menunjukkan penggunaan lahan Kota Sintang secara umum masih didominasi oleh tanah kosong, kebun campuran, semak belukar dan hutan, baru penggunaan lahan lainnya mengikuti seperti penggunaan lahan untuk kegiatan fasilitas sosial ekonomi, perumahan dan perkantoran (Tabel 5).

Tabel 5 Luas penggunaan lahan kawasan Kota Sintang

No. Jenis Penggunaan Lahan Ha Luas %

1. Perumahan 276,64 6,70

2. Fasilitas sosial ekonomi 379,87 9,20

3. Tanah kosong, perkebunan dan kebun campuran 784,51 19,00 4. Hutan, semak belukar, sungai/perairan 2.254,43 54,60

5. Penggunaan lahan lainnya 433,54 10,50

Jumlah 4.128,99 100,00

Sumber: RDTRK Sintang 2007

Kependudukan

Penduduk Kota Sintang pada tahun 2009 telah mencapai angka 48.666

Dokumen terkait