• Tidak ada hasil yang ditemukan

Esai/Kritik

Dalam dokumen KARYA SASTRA INDO DLM MAJALAH GADJAH MAD (Halaman 80-92)

Bab 3 KARYA SASTRA INDONESIA

3.3 Esai/Kritik

IV

…….

dan seterusnya.

3.3 Esai/Kritik

Sebagaimana diketahui bahwa selain rajin memuat puisi dan cerpen, majalah Gadjah Mada dan Gama juga rajin memuat karya esai atau kritik. Bahkan, karya kritik dan atau esai itu tidak hanya kritik karya sastra (puisi, cerpen, drama, dll.), tetapi juga kritik seni dan budaya pada umumnya. Lagi pula, di dalam kedua majalah itu juga muncul tulisan-tulisan kritik tentang sastra dan budaya dunia. Tokoh yang paling rajin menulis dan mengupas seniman dan sastrawan dunia adalah Wiratmo Sukito. Dalam Gadjah Mada edisi Mei 1954, misalnya, Wiratmo Sukito menulis esai berjudul

“Eksistensialisme dan Perdamaian: Sartre Tambah Musuh Lagi” dan

dalam Gadjah Mada edisi Mei 1956 ia juga menulis esai berjudul

“Jean Paul Sarttre di Jakarta” serta “Les Jeux Sont Faits”, dan masih

banyak lagi.

Berdasarkan pengamatan terhadap seluruh data dapat dikatakan bahwa karya-karya kritik atau esai sastra di dalam majalah

Gadjah Mada dan Gama menunjukkan orientasi yang cukup beragam; dalam arti bahwa karya-karya kritik tersebut tidak hanya membicarakan sistem mikro (karya sastra), tetapi juga sistem makro atau sistem yang menjadi lingkungan pendukung karya sastra yang antara lain mencakupi pengarang, penerbit (pengayom), dan masyarakat pembaca.

Bahkan, seperti biasa terjadi di dalam media massa cetak (majalah, koran, dll.), kritik atas kritik pun muncul dalam dua majalah ini, yaitu yang berupa tulisan polemik. Tulisan berjudul

Suharno” yang dimuat Gadjah Mada edisi November 1951 karya

Mayang n’Dresjwari, misalnya, merupakan tanggapan atas tulisan

karya Urip Citrosuwarno berjudul “Buah Kesusastraan SMA bagian A” yang dimuat dalam Gadjah Mada edisi April 1951. Di dalam tulisan yang berjenis polemik ini, biasanya terjadi perdebatan yang cukup beragam; dalam arti tidak hanya terfokus pada persoalan sistem mikro, tetapi juga persoalan sistem makro sastra.

Beberapa di antara seniman, sastrawan, dan atau kritikus yang menulis karya-karya kritik terhadap karya sastra (sistem mikro) adalah Setiawan H.S., Djalinus Sjah, Budi Darma, Muhardi

Atmosentono, Amir Prawira, Anas Ma’ruf, Wiratmo Sukito, dan masih banyak lagi. Dalam Gadjah Mada edisi Januari 1956,

misalnya, muncul tulisan berjudul “Keluarga Kemuning dalam SAYANG ADA ORANG LAIN buah pena Utuy Tatang Sontani”

karangan Setiawan H.S.

Tulisan esai atau kritik tersebut membahas sebuah

pemen-tasan drama oleh kelompok teater “Kemuning” di gedung CHTH

Yogyakarta dalam rangka Malam Kesenian yang dise-lenggarakan oleh Kelompok Mahasiswa Yogyakarta pada 2--3 Agustus 1955.

Bukan suatu kebetulan pementasan itu mengambil lakon “Sayang

Ada Orang Lain” karya Utuy Tatang Sontani. Dalam tulisan kritik

tersebut Setiawan tidak hanya menyoroti bagaimana pementasannya, tetapi juga sampai pada persoalan tokoh-tokoh dan teknik pengga-rapannya.

Sementara itu, karya kritik terhadap karya sastra banyak muncul di dalam majalah Gama. Walaupun pada umumnya tulisan kritik itu pendek-pendek, tampak bahwa substansi kritiknya tidak menyimpang dari tujuan untuk mengkritik karya sastra. Hanya saja, kritik semacam itu tidak betul-betul objektif, tetapi dalam batas-batas tertentu penulis tetap mengaitkan pembicaraannya dengan unsur pengarang atau masyarakat pembaca.

Kritik jenis tersebut misalnya tampak dalam tulisan berjudul

Sjah, “Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek Lain” (Gama,

Juni-Juli 1958), dan “Hujan Kepagian” (Gama, November 1958). Dalam dua tulisan terakhir ini tidak dicantumkan siapa penulisnya, tetapi diyakini bahwa yang menulis adalah salah seorang dari tiga nama yang duduk sebagai redaktur “Lembaran Seni dan Sastra”, yaitu

Muhardi Atmosentono, Budi Darma, dan Amir Prawira.

Dalam tulisan “Aku Ini Binatang Jalang” jelas bahwa

penulisnya (Jalinus Sjah) melontarkan kritik atas puisi Chairil Anwar

berjudul “Aku”. Dalam tulisan itu Jalinus mencoba menjelaskan relevansi antara apa yang dikristalisasikan Chairil Anwar dalam puisinya dengan keadaan masyarakat Indonesia pada umumnya dan para pemimpin bangsa ini pada khususnya. Jadi, kritik aspek mikro dalam tulisan ini dikaitkan dengan aspek sosial-politik dan kemasyarakatan yang terjadi pada waktu itu.

Hal serupa tampak dalam tulisan kritik berjudul “Hujan Kepagian”. Dalam tulisan ini penulis mencoba mengupas beberapa

cerpen karya Nugroho Notosusanto yang diantologikan dalam buku berjudul Hujan Kepagian terbitan Balai Pustaka tahun 1958. Selain membicarakan masing-masing cerpen secara selintas, baik dari sisi tema dan masalah maupun strukturnya, penulis juga mengaitkan kritiknya itu dengan keadaan masyarakat yang terjadi pada saat itu. Jadi, kritik tersebut bersifat objektif sekaligus mimetik.

Sementara itu, dalam tulisan “Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek Lain” penulis mencoba mengkritik beberapa cerpen karangan

Rijono Pratikto yang diantologikan dalam buku Si Rangka terbitan Yayasan Pembangunan, Jakarta, tahun 1958. Meskipun fokus pembicaraan dalam tulisan itu tertuju pada karya sastra, sehingga berorientasi objektif, tampak bahwa penulis masih mengaitkan karya sastra dengan pengarangnya. Jadi, karya kritik itu bersifat gabungan antara kritik objektif dan kritik ekspresif.

Itulah beberapa contoh karya kritik yang dimuat dalam

Gadjah Mada dan Gama. Sebenarnya, contoh lain masih cukup banyak, tetapi sebagai suatu bukti bahwa keberadaan kritik terhadap

aspek mikro dalam majalah ini cukup eksis agaknya contoh itu telah dapat dikatakan mewakili. Demikian pula halnya dengan karya-karya kritik terhadap beberapa aspek makro sastra. Beberapa kritik terhadap aspek makro khususnya mengenai pengarang, misalnya, terlihat pada tulisan berjudul “Pengarang sebagai Pemberontak”

(Gadjah Mada, Februari 1953) karya S. Mundingsari dan tulisan

berjudul “Masalah Penulis” (Gadjah Mada, Januari 1954) karangan Rip.

Dalam tulisan “Pengarang sebagai Pemberontak”, penulis

(Mundingsari) menguraikan hasil pengamatan terhadap beberapa pengarang Indonesia, di antaranya Abdul Muis, Armijn Pane, Sutomo Jauhar Arifin, dan Sutan Takdir Alisjahbana, yang menulis

karya sastra dengan semangat “memberontak”, terutama mem -berontak tradisi masyarakat. Jadi, meskipun fokus (dan judul) tulisan kritik itu berkaitan erat dengan pengarang, tampak bahwa penulis mencoba pula mencari dan mengupas karya sastra. Karena itu, kritik tersebut selain bersifat ekspresif juga bersifat objektif.

Hal tersebut sedikit berbeda dengan tulisan berjudul

“Masalah Penulis” karya Rip. Dalam tulisan ini Rip secara panjang

lebar khusus membahas masalah proses kreatif pengarang; dan hal yang disoroti adalah bagaimana sebaiknya menjadi seorang pengarang. Jadi, kritik ini berupaya menjelaskan apa saja dan bagaimana pengarang mesti bertindak sebagai pengarang. Katanya, sebagai pengarang ia (mereka) haruslah menajamkan mata dan pikirannya sehingga kelak dapat menghasilkan karya yang bermutu dan bermanfaat bagi masyarakat pembaca.

Selain banyak muncul tulisan kritik terhadap karya sastra dan terhadap pengarang, di dalam majalah Gadjah Mada dan Gama

banyak juga tulisan kritik terhadap masalah-masalah kemasyarakatan di sekitar dunia kesusastraan. Hanya saja, perlu dikemukakan bahwa tulisan-tulisan jenis ini sebagian besar berupa esai lepas yang sifatnya lebih mengarah kepada suatu diskusi dan atau penjelasan

Tulisan Anas Ma’ruf berjudul “Kesusastraan dan Masya

-rakat” (Gadjah Mada, Juli 1951), misalnya, adalah tulisan yang berisi suatu eksposisi mengenai pentingnya dunia sastra dalam masyarakat. Mengapa sastra penting? Menurut penulis (Anas

Ma’ruf), dengan mengambil contoh penyair besar Chairil Anwar dan

karya-karyanya, karya sastra berfungsi memberi penerangan kepada manusia dalam masyarakat; dalam arti bahwa dengan membaca karya sastra seseorang akan lebih memiliki kesadaran tentang diri dan lingkungan yang terjadi di sekitarnya. Dengan demikian, keberadaan sastra dalam masyarakat hendaknya dihargai karena bagaimana pun karya sastra berperan merekam dan sekaligus memberi pencerahan kepada masyarakat.

Meskipun arahnya berbeda, tampak bahwa tulisan Anas

Ma’ruf yang lain, yang berjudul “Pengaruh Revolusi 17 Agustus

terhadap Kesusastraan Indonesia” (Gadjah Mada, Agustus— Sep-tember 1951), juga merupakan tulisan yang bersifat menjelaskan atau mendiskusikan sesuatu yang berhubungan erat dengan sastra. Kalau

di dalam tulisan sebelumnya Anas Ma’ruf menjelaskan efek dan

dampak karya sastra bagi masyarakat, dalam tulisan yang kemudian ia menjelaskan efek suatu peristiwa dalam masyarakat (yakni peristiwa 17 Agustus) terhadap pertumbuhan sastra.

Dijelaskan di dalam tulisan tersebut bahwa memang benar peristiwa 17 Agustus merupakan peristiwa besar karena tanggal itu

adalah tanggal yang “menumental” bagi negara Indonesia (Hari

Kemerdekaan RI). Namun, menurutnya, peristiwa besar itu ternyata tidak memiliki pengaruh yang signifikan bagi perkembangan sastra Indonesia. Buktinya, walaupun saat itu (17 Agustus 1945) telah terjadi suatu pergantian kekuasaan (dari pemerintah Jepang ke pemerintah RI), peristiwa itu tidaklah menorehkan garis batas antara kesusastraan sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sebab, katanya, kesusastraan baru Indonesia bermula pada beberapa tahun sebelum kemerdekaan dan kebaruan sastra Indonesia tersebut tidak putus

peristiwa 17 Agustus tidak memiliki pengaruh terhadap kondisi kesusastraan Indonesia.

Karangan berjudul “Wanita dalam Musik dan Kesusastraan”

(Gadjah Mada, Februari 1953) karya Wiratmo Sukito agak berbeda dengan beberapa tulisan yang telah dipaparkan di atas. Hanya saja, di dalam karangan ini Wiratmo Sukito menjelaskan hasil

penga-matannya terhadap unsur “wanita”, tidak hanya di dalam dunia sastra, tetapi juga di dalam dunia musik. Oleh sebab itu, ia tidak menyinggung karya-karya sastra Indonesia yang di dalamnya

tercermin aspek “wanita”, tetapi yang dijadikan contoh dalam

pembicaraannya justru karya sastra dunia. Jadi, tulisan kritik ini lebih bersifat impresif dan eksposisif.

Hal serupa tampak pula di dalam beberapa tulisan Wiratmo

Sukito yang lain, misalnya tulisan berjudul “Pelukis Kontra Polisi”

dalam majalah Gadjah Mada edisi November 1954 atau dalam tulisan seri kuliah tertulis populer berjudul “Seniman, Radio, dan Politik” dalam Gadjah Mada edisi November 1955 dan edisi-edisi

berikutnya atau dalam tulisan berjudul “Revolusi dalam Bahasa”

dalamGadjah Madaedisi Maret 1956. Dikatakan demikian karena di dalam beberapa tulisan itu Wiratmo Sukito tidak berbicara tentang karya sastra tertentu, tetapi tentang kesenian dan atau kesusastraan pada umumnya.

Masih sama dengan beberapa tulisan/esai/kritik di atas,

tulisan Muhardi Atmosentono berjudul “Seni, Seniman, dan Este -tika” (Gama, April 1958) juga berbicara masalah seni dan kesenian pada umumnya. Oleh sebab itu, di dalam tulisan itu ia tidak menyinggung masalah karya dan atau sastra tertentu sehingga tulisan tersebut merupakan suatu penjelasan umum kepada pembaca (termasuk di dalamnya kepada seniman dan sastrawan).

Berbeda dengan beberapa tulisan di atas, tulisan karya

Wiratmo Sukito berjudul “Simposium Sastra 1955” dalam Gadjah Mada edisi Januari 1956 lebih berupa laporan. Sebab, tulisan itu hanyalah berupa laporan tertulis dari sebuah kegiatan simposium

nasional yang diselenggarakan Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tanggal 11 Desember 1955. Jadi, aspek kritik di dalam tulisan itu lebih tertuju kepada aspek kegiatan penyelenggaraannya dan bukan kritik atas karya dan atau dunia sastra.

Sementara itu, di dalam Gama edisi Juni-Juli 1958 muncul

tulisan berjudul “Prasaran Simposium: Situasi Sastra Puisi Sesudah Tahun 1945” karya Subagijo Sastrowardojo. Walaupun semula

merupakan makalah yang dibacakan dalam kegiatan simposium yang dilaksanakan dalam rangka Pekan Kesenian Mahasiswa I di Yogyakarta tanggal 25 Juli 1958, tulisan itu pada dasarnya berisi kritik atas perkembangan sejarah perpuisian Indonesia sesudah tahun 1945. Dikatakan olehnya bahwa dalam dunia perpuisian Indonesia sesudah tahun 1945 terjadi suatu tradisi epigonisme. Mengapa hal tersebut terjadi? Sebab, menurutnya, epigonisme itu terjadi karena beberapa hal, di antaranya (1) bahwa dewasa ini tidak ada pemikiran-pemikiran yang berani mendobrak kebiasaan yang sudah beku dan (2) bahwa dewasa ini kita sudah mencapai taraf di mana kita sudah bisa membayangkan diri dengan setepatnya sebagai suatu bangsa, suatu cita-cita yang sadar atau tidak kita dukung bersama telah menemukan ekspresinya yang uniform dalam puisi.

Demikian antara lain beberapa karya esai/kritik yang meng-arahkan perhatian pembicaraannya kepada masalah-masalah umum dalam dunia seni dan sastra. Sementara itu, kritik dari pembaca untuk para pembaca sastra muncul pula di dalam majalah Gadjah Mada

dan Gama, di antaranya ditulis oleh L. S. Rrento berjudul “Masalah Plagiat dalam Kesusastraan Indonesia” (Gama, Februari 1958).

Tulisan ini serupa dengan tulisan karya Mayang n’Dresjwari berjudul “Buah Kesusastraan SMA bagian A” seperti yang telah diuraikan di depan. Dikatakan serupa karena kedua tulisan tersebut sama-sama merupakan tulisan polemik, yaitu tanggapan atas tulisan orang lain. Hanya saja, permasalahan yang ditanggapi berbeda; yang ditanggapi oleh Rrento adalah masalah plagiat di seputar Chairil Anwar sebagaimana telah dibahas oleh E. Wardaya dalam tulisannya yang

dimuat dalam majalah Gama nomor 11—12 tahun 1957. Pada intinya, dalam tulisan pendek tersebut Rrento bersikeras mempertahankan nama baik Chairil Anwar meskipun diakui Chairil telah melakukan beberapa plagiat.

Demikianlah pembicaraan sepintas tentang karya-karya kritik atau esai dalam majalah Gadjah Mada danGama. Sesungguhnya, di dalam kedua majalah tersebut karya-karya jenis itu masih cukup banyak, tetapi karena data yang diperoleh terbatas, terbatas pula

pembicaraan ini. Dikatakan “masih cukup banyak” karena setiap

terbit majalah ini hampir dipastikan memuat satu atau dua buah karya kritik; dan jika dibandingkan dengan karya cerpen, misalnya, jumlah karya kritik jauh lebih banyak.

Akhirnya, dapat dikatakan bahwa khazanah kritik di dalam majalah tersebut justru tampak lebih variatif karena fokus bahasan tidak hanya tertuju pada sastra, tetapi juga pada seni dan budaya pada umumnya. Hal itu terasa lebih kaya karena yang dipaparkan lewat tulisan-tulisan esai itu tidak hanya sastra, seni, dan budaya Indonesia, tetapi juga sastra, seni, dan budaya dunia. Lagipula, para penulisnya pun bukan penulis sembarangan karena nama-nama besar seperti Wiratmo Sukito, Mundingsari, Subagijo Sastrowardojo, Budi Darma,

Anas Ma’ruf, Rendra, Umar Kayam, dan masih banyak lagi sering

Bab 4

PENUTUP

Dari seluruh paparan sebagaimana disajikan di depan (lihat bab 2 dan 3), akhirnya di dalam bab penutup ini disimpulkan beberapa hal berikut. Dari pengamatan terhadap majalah Gadjah Mada dan Gama dapat dikatakan bahwa walaupun diterbitkan oleh dan di lingkungan tertentu (terbatas), yakni oleh Dewan Mahasiswa di lingkungan kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dua majalah tersebut bukanlah majalah eksklusif. Sebab, majalah tersebut dijual bebas kepada masyarakat umum seperti halnya majalah-majalah lain yang diusahakan oleh kalangan umum (swasta) yang

berorientasi pada segi finansial atau “pasar”. Lagipula, majalah

tersebut terlepas dari sifat eksklusif karena para pengelola, penulis, dan tulisan-tulisannya tidak hanya menyangkut lingkungan kampus dan sekitarnya, tetapi juga mengangkat berbagai persoalan yang terjadi baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Bahkan, majalah tersebut juga memiliki beberapa agen di berbagai kota di Indonesia dan juga memiliki wakil di luar negeri.

Di samping itu, meskipun tidak berumur panjang (sekitar 18 tahun), para pengelola dan bentuknya pun berganti-ganti, dapat dikatakan bahwa majalah tersebut memiliki sumbangan yang berarti bagi perkembangan sastra (dan seni-budaya) Indonesia di Yogyakarta. Sebab, walaupun bukan merupakan majalah khusus mengenai sastra dan budaya, (sejak tahun kedua) majalah tersebut membuka lembaran khusus mengenai sastra (seni) dan budaya. Di

dalam lembaran itulah, yakni “Pelangi” dalam majalahGadjah Mada

dan “Bunga dan Bintang” dalam majalahGama, karya puisi, cerpen, dan esai/kritik seni-sastra hadir dalam setiap kali terbit. Peran majalah ini pun semakin tampak besar karena para penulis dan pengarang yang tampil pada waktu itu dewasa ini menjadi penulis dan atau pengarang-pengarang besar. Nama-nama yang kini menjadi besar itu, antara lain, Wiratmo Sukito, Subagijo Sastrowardojo, Umar Kayam, Rendra, Teuku Jakob, Budi Darma, Rachmat Djoko Pradopo, Nh. Dini, Toha Mochtar, Kusnadi Hardjasumantri,

Kirjo-mulyo, Anas Ma’ruf, dan masih banyak lagi.

Sementara itu, berdasarkan pengamatan terhadap karya-karya sastra (puisi, cerpen, esai/kritik) yang dimuat di dalamnya dapat dikatakan bahwa karya sastra yang berjenis puisi diberi ruang paling luas oleh majalah Gadjah MadadanGama. Hampir setiap kali terbit majalah tersebut memuat paling sedikit dua puisi, dan tidak jarang sampai lima atau enam buah puisi. Sementara itu, posisi kedua ditempati oleh esai/kritik, baru kemudian cerpen. Rata-rata dalam sekali terbit majalah itu hanya memuat sebuah cerpen, sedangkan esai atau kritik tidak jarang lebih dari satu buah. Hanya saja, esai/kritik ini tidak semuanya berupa kritik sastra, tetapi juga kritik seni dan budaya pada umumnya.

Ditinjau dari segi tematik dapat disimpulkan bahwa puisi-puisi dan cerpen-cerpen yang dimuat di dalam kedua majalah tersebut menampilkan tema dan masalah yang beragam, baik yang menyangkut kehidupan manusia pada tingkat atau level personal (pribadi, individual), sosial (kemasyarakatan), maupun metafisikal (religius). Atau dengan kata lain, karya-karya puisi dan cerpen yang umumnya ditulis oleh para pengarang yang masih muda usia itu tidak hanya mempersoalkan sisi dan gejolak hidup kaum muda, tetapi juga mempersoalkan berbagai sisi dan gejolak sosial, ekonomi, budaya, politik, agama, penderitaan rakyat, nilai-nilai kemanusiaan, hakikat hidup, dan sejenisnya. Jadi, karya-karya puisi dan cerpen itu tidak

berbeda dengan karya-karya puisi dan cerpen yang dipublikasikan di dalam majalah khusus sastra dan budaya.

Di samping itu, ditinjau dari sigi stilistik, karya-karya puisi dan cerpen yang dimuat dalam dua majalah tersebut pada umumnya telah bercorak modern. Gaya dan corak penulisan puisi tradisional telah ditinggalkan, dan puisi-puisi tersebut telah ditulis dengan gaya bebas, tidak terikat oleh aturan-aturan pembaitan, bunyi, dan atau persajakan. Sedangkan dalam hal penulisan cerpen, sebagian besar cerpen didominasi oleh gaya penulisan realistik dengan pola alur lurus dan penokohannya pun bukan tokoh-tokoh yang berasal dari

dunia “antah berantah”. Meskipun seringkali tidak jelas identitasnya,

tokoh-tokoh yang ditampilkan dapat mewakili atau menjadi simbol manusia yang hidup di dunia pada umumnya.

Selain beberapa hal di atas, dari penelusuran terhadap karya-karya esai atau kritik dapat disimpulkan bahwa walaupun dalam setiap terbit majalah tersebut selalu memuat karya esai atau kritik, esai/kritik itu tidak selalu berisi kritik sastra, tetapi juga kritik seni dan budaya pada umumnya. Bahkan, aspek seni, sastra, dan budaya yang menjadi objek kritik bukan hanya seni, sastra, dan budaya Indonesia, tetapi juga seni, sastra, dan budaya dunia. Para penulis esai dan atau kritik itu pun tidak hanya berasal dari Indonesia, lebih-lebih dari kalangan kampus UGM, tetapi para penulis asing juga banyak memuat karyanya di majalah tersebut. Selain itu, tulisan-tulisan kritik hasil terjemahan juga sering muncul.

Dilihat dari orientasi kritiknya, kritik yang berisi penjelasan

dan atau paparan (eksposisi) atas “dunia atau masyarakat di seputar sastra”-lah yang paling dominan muncul. Dan karena pada umumnya tulisan kritik di media massa itu bersifat impresif, tidak meng-herankan jika karya-karya kritik itu tidak dapat memfokuskan perhatian secara khusus ke salah satu aspek (pengarang, karya, penerbit, atau pembaca) saja, tetapi selalu berkaitan dengan aspek-aspek lain. Itulah sebabnya, yang terlihat di dalam karya-karya itu adalah gabungan dari beberapa orientasi.

Terakhir, perlu dikemukakan bahwa penelitian ini masih sangat sederhana dan hasilnya pun tidak cukup memuaskan. Beberapa kendala yang menyebabkan kesederhanaan penelitian ini, antara lain, karena segalanya serba terbatas, baik tenaga, kemam-puan, waktu, dan dana. Beberapa hal ini yang mengakibatkan peneliti tidak mampu mengumpulkan data dan informasi secara lengkap, lebih-lebih karena memang pihak perpustakaan di beberapa tempat (lembaga, instansi, perguruan tinggi) di Yogyakarta tidak memiliki dokumen (majalah Gadjah Mada dan Gama) yang lengkap pula. Di Perpustakaan Nasional, Jakarta, yang konon sebagai pusat seluruh data dan informasi pustaka di Indonesia, ternyata juga hanya menyimpan beberapa edisi. Itulah sebabnya, jika dikehendaki agar penelitian ini sempurna, tentu saja masih harus dilakukan penelitian lanjutan dengan didukung oleh tenaga, waktu, dan dana yang memadai.

Dalam dokumen KARYA SASTRA INDO DLM MAJALAH GADJAH MAD (Halaman 80-92)

Dokumen terkait