• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARYA SASTRA INDO DLM MAJALAH GADJAH MAD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KARYA SASTRA INDO DLM MAJALAH GADJAH MAD"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KARYA SASTRA INDONESIA

DALAM MAJALAH

GADJAH MADA

DAN

GAMA

T I R T O S U W O N D O

(3)

Ka rya Sa stra Indon esia

dala m Majalah Gad jah Mad a dan Ga ma

P enul i s: T i rt o Suwondo

P enyunt i ng: Herry Mardi ant o

P enerbi t :

Bal ai Bahasa Yo gya ka rt a

J al an I Dew a N yo man O ka 34 , Y o gya kart a 5 5224 T el epon (0274) 56207 0, Fa ksi mi l e (0274) 5 8 0667

P encet ak:

J ent era Int er medi a Y o gya kart a

Cet akan P ert am a: Dese mber 2006

ISB N 979 - 847 7- 14- 6

Sanksi Pelanggaran Pasal 72:

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt atas berkat, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penelitian yang

berjudul “Karya Sastra Indonesia dalam Majalah Gadjah Mada

dan Gama” ini sudah dapat diselesaikan dengan baik dalam bentuk cetakan.

Namun, keberhasilan penelitian ini bukan semata-mata kerja keras penulis. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, penelitian ini tidaklah dapat diselesaikan. Untuk itu, sudah sepantasnya penulis mengu-capkan terima kasih kepada berbagai pihak, terutama kepada (1) Kepala Pusat Bahasa Jakarta, (2) Kepala Balai Bahasa, Koor-dinator Subbidang Sastra Balai Bahasa, KoorKoor-dinator dan staf perpustakaan Balai Bahasa, dan rekan-rekan peneliti dan admi-nistrasi Balai Bahasa Yogyakarta, dan (3) pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu di sini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Jentera Intermedia yang bersedia menerbitkan hasil penelitian ini.

Akhirnya, penulis berharap mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

(5)

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH v

DAFTAR ISI vii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Kerangka Pendekatan 3

1.5 Metode dan Teknik 5

1.6 Sumber Data 5

1.7 Sistematika Penyajian 5

1.8 Ejaan yang Digunakan 6

BAB II MAJALAHGADJAH MADA DAN GAMA:

TINJAUAN SELINTAS 7

2.1 Gambaran Umum MajalahGadjah MadadanGama 8 2.2 Sumbangan MajalahGadjah Madabagi Perkembangan

Sastra di Yogyakarta 17

BAB III KARYA SASTRA INDONESIA DALAM

MAJALAHGADJAH MADADANGAMA 27

3.1 Puisi 27

3.2 Cerpen 61

3.3 Esai/Kritik 74

BAB IV PENUTUP 83

(6)

Bab 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagaimana diketahui bahwa sejak tahun 2002 tim peneliti sastra Balai Bahasa Yogyakarta telah melakukan serangkaian pene-litian dalam rangka penyusunan buku berjudul Karya Sastra Indonesia di Yogyakarta. Menurut rencana, penyusunan buku terse-but akan diselesaikan dan kemudian diterbitkan (disebarluaskan) pada tahun 2007. Akan tetapi, karena buku tersebut dirancang akan berisi uraian menyeluruh mengenai karya sastra Indonesia di Yogyakarta dalam sepanjang sejarahnya (sejak awal kemerdekaan hingga sekarang atau awal tahun 2000), bahkan mencakupi sistem mikro (sastra) dan makro (lingkungan), serangkaian penelitian yang telah dilakukan itu belum dapat menjangkau keseluruhannya. Oleh karena itu, pada tahun ini dan tahun-tahun yang akan datang masih perlu dilakukan penelitian-penelitian sejenis.

(7)

sastra Indonesia yang dimuat di dalam majalah Gadjah Mada

(termasuk di dalamnya majalah Gama) perlu dan harus dilakukan. Sebab, majalah Gadjah Mada dan Gama merupakan majalah (berbahasa Indonesia) yang terbit di Yogyakarta; dan di dalam dua majalah tersebut memang banyak dimuat karya-karya (puisi, cerpen, dan esai/kritik) sastra Indonesia.

Pemilihan terhadap majalahGadjah Mada danGamasebagai bahan utama yang memuat karya sastra Indonesia dalam penelitian ini bukan berarti bahwa majalah-majalah lain (Basis, Medan Sastera, Pesat, Darma Bakti, Seriosa, Minggu Pagi, Suara Muhammadiyah, Arena, Budaya, Pusara, Pelopor,dll.) tidak penting, dan bukan pula berarti majalah-majalah lain tersebut tidak memuat karya-karya sastra Indonesia (puisi, cerpen, dan esai atau kritik), melainkan semata karena penelitian ini --dengan alasan agar menghasilkan sesuatu yang mendalam-- harus difokuskan pada objek yang spesifik. Oleh sebab itu, penelitian ini secara khusus membahas karya-karya sastra Indonesia yang dimuat di dalam Gadjah Mada dan Gama, suatu majalah yang diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Terlebih lagi, majalah Gadjah Madadan

Gama termasuk salah satu media massa cetak yang cukup berarti bagi perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta.

(8)

1.2 Masalah

Masalah pokok yang dibahas di dalam penelitian ini mencakupi karya-karya (puisi, cerpen, dan esai atau kritik) sastra Indonesia yang dimuat di dalam majalah Gadjah Mada dan Gama. Selain masalah pokok tersebut, masalah lain yang juga dibahas adalah keberadaan (gambaran umum) majalah Gadjah Mada dan

Gama itu sendiri dalam konstelasi perkembangan majalah dan sekaligus perkembangan sastra Indonesia di (Daerah Istimewa) Yogyakarta. Sementara itu, karya-karya sastra di dalam dua majalah tersebut akan diidentifikasi atau dianalisis baik dari segi tematik maupun stilistik.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian berjudul “Karya Sastra Indonesia dalam Majalah

Gadjah Mada” ini dimaksudkan untuk mencapai beberapa tujuan berikut. Pertama, mengumpulkan dan mendeskripsikan data tentang keberadaan majalah Gadjah Mada dan Gama dalam konstelasi perkembangan majalah dan juga perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta. Kedua, mendeskripsikan ciri-ciri tematik dan stilistik karya-karya sastra Indonesia yang dimuat dalam majalah Gadjah Mada dan Gama. Ketiga, menyediakan bahan dalam rangka penyusunan buku berjudul Karya Sastra Indonesia di Yogyakarta

yang akan diterbitkan oleh Balai Bahasa Yogyakarta pada tahun 2008. Di samping itu, penelitian yang dilakukan ini juga dimaksudkan sebagai upaya untuk menyediakan bacaan yang lengkap kepada masyarakat umum yang ingin memperoleh informasi mengenai karya sastra Indonesia khususnya di dalam majalah

Gadjah MadadanGama.

1.4 Kerangka Pendekatan

(9)

sastrawan). Sebagai hasil karya cipta manusia, sastra diciptakan oleh sastrawan tidak tanpa maksud, tetapi selalu dimaksudkan agar dinikmati oleh pembaca. Karena masyarakat yang diharapkan membaca karya cipta sastrawan itu begitu luas dan beragam, diperlukanlah peran penerbit sebagai sebuah lembaga penghubung antara karya sastra dan pembaca. Namun, dalam hal ini kedudukan pembaca tidak pasif karena peran dan sambutan pembaca (penikmat) turut menentukan keberadaan sastra. Demikian realitas hubungan karya sastra dengan lingkungannya, yaitu pengarang, penerbit, dan pembaca.

Berkat kenyataan seperti di atas, dalam studi sastra kemudian dikenal ada dua macam pendekatan, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik (Wellek dan Warren, 1989). Pendekatan intrinsik menekankan perhatian pada karya sastra, dan pendekatan ini berkeyakinan bahwa karya sastra dapat dipahami secara otonom, dalam dirinya sendiri, lepas dari faktor di luarnya. Oleh beberapa ahli, pendekatan ini sering pula disebut sebagai pendekatan struktural dan teori yang dipergunakan biasanya adalah teori mikro sastra (Tanaka, 1976). Tugas utama pendekatan intrinsik adalah meng-ungkapkan berbagai aspek formal sastra seperti yang biasa dilakukan oleh kaum Formalis Rusia. Sementara itu, pendekatan ekstrinsik menekankan perhatian pada hubungan sastra dengan lingkungannya (pengarang, penerbit, pengayom, dan pembaca), dan pendekatan ini berkeyakinan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara lebih lengkap jika dilepaskan dari lingkungannya. Oleh beberapa ahli, pendekatan ini sering disebut pendekatan sosiologis atau sosio-kultural, dan teori yang dipergunakan biasanya adalah teori sosiologi sastra (Damono, 1993) atau teori makro sastra (Tanaka, 1976). Tugas utama pendekatan ini adalah mengungkapkan hubungan karya sastra dengan faktor di luarnya seperti yang biasa dilakukan oleh kaum Marxis atau Strukturalis-Genetis.

(10)

yakni subsistem karya sastra Indonesia yang dimuat di dalam majalah Gadjah Mada dan Gama, jelas bahwa penelitian ini terma-suk ke dalam jenis penelitian yang menekankan pada hal-hal di dalam karya sastra (intrinsik) sehingga teori yang digunakan adalah teori mikro sastra. Namun, penelitian sastra yang hanya memfo-kuskan pada subsistem mikro terbukti telah menjerat peneliti pada kecenderungan pembahasan yang kering, terbatas, dan tidak mampu mengungkap data dan informasi yang lengkap dan memadai. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini, selain digunakan pendekatan intrinsik (teks, mikro sastra), digunakan pula pendekatan ekstrinsik (lingkungan atau aspek pendukung, makro sastra). Pendekatan kedua ini akan tampak pada pembahasan mengenai keberadaan majalah

Gadjah Mada dan Gama dalam perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta.

1.5 Metode dan Teknik

Penelitian ini sepenuhnya menggunakan metode deskriptif analitis dengan menggunakan teknik studi pustaka. Artinya, seluruh data tentang karya sastra Indonesia (puisi, cerpen, dan esai/kritik) dalam majalah Gadjah Mada dan Gama diperoleh dari penelusuran terhadap buku-buku, majalah, surat kabar, dan sebagainya yang memuat informasi yang berkaitan dengan karya sastra Indonesia yang dimuat dalam dua majalah tersebut.

1.6 Sumber Data

Penelitian ini sepenuhnya memanfaatkan sumber-sumber tertulis yang berupa buku-buku, majalah, surat kabar harian, ming-guan, dan sejenisnya yang memuat data dan atau informasi tentang karya sastra Indonesia dan majalah yang terbit di Yogyakarta. Sementara itu, seluruh data karya sastra Indonesia (puisi, cerpen, dan esai/kritik) diperoleh (diangkat) khusus dari majalah Gadjah Mada

(11)

1.7 Sistematika Penyajian

Hasil penelitian terhadap karya sastra Indonesia dalam majalahGadjah Mada danGamaini disajikan dalam sebuah laporan penelitian dengan sistematika sebagai berikut. Bab pertama, penda-huluan, yang memuat latar belakang, masalah, tujuan, kerangka pendekatan, metode dan teknik, sumber data, sistematika penyajian, dan ejaan yang digunakan. Bab kedua, tinjauan selintas mengenai majalahGadjah Mada dan Gama, yang mencakupi gambaran umum dan sumbangannya bagi perkembangan sastra Indonesia di Yogya-karta. Bab ketiga, merupakan bab inti, yang berisi uraian hasil pembahasan atas karya-karya sastra (puisi, cerpen, dan esai/kritik) Indonesia yang dimuat dalam majalahGadjah MadadanGama. Bab keempat, merupakan bab penutup, yang berisi simpulan dari seluruh pembahasan.

1.8 Ejaan yang Digunakan

(12)

Bab 2

MAJALAH

GADJAH MADA

DAN

GAMA

: TINJAUAN SELINTAS

Sebagaimana diketahui bahwa di Yogyakarta, sebuah kota yang sering disebut sebagai kota pelajar, kota pendidikan, kota budaya, bahkan juga disebut kota sepeda, terdapat banyak majalah (mingguan, dua mingguan, dan bulanan) yang terbit. Di antara majalah-majalah tersebut bahkan ada yang terbit pada masa sebelum kemerdekaan, yaitu majalahPusara(1933) dan majalahPesat(Maret 1945). Sementara itu, majalah yang terbit pada masa kemerdekaan ialah Api Merdika (November 1945), Arena (April 1946), Minggu Pagi(April 1948), Budaya(1949), Gadjah Mada(April 1950), Basis

(Agustus 1950), Pelopor (1950), Medan Sastera (April 1953, berubah menjadi Seriosa pada Maret 1954), Media (Agustus 1954), Darma Bakti (1961), dan Suara Muhammadiyah. Akan tetapi, di antara sekian banyak majalah tersebut, yang masih bertahan hidup hingga sekarang hanya majalah Basis, Suara Muhammadiyah, dan mingguanMinggu Pagi.

Satu hal yang perlu dijelaskan (dijawab) sehubungan dengan penelitian ini ialah seperti apakah gambaran (ciri umum) majalah

Gadjah Mada dan Gama? Apakah ia sama atau berbeda jika dibandingkan dengan majalah-majalah lainnya? Selain itu, khususnya jika dilihat dari sisi sastra, apa dan bagaimana majalah

(13)

2.1 Gambaran Umum MajalahGadjah MadadanGama

Majalah Gadjah Mada adalah majalah yang diusahakan oleh Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada dan dikeluarkan oleh Badan Penerbit Gadjah Mada Yogyakarta. Latar belakang penerbitan

majalah yang “berhaluan pengetahuan umum” dan berukuran 18,5 x

26 cm tersebut adalah sebagai berikut.

Pada tanggal 11 Januari 1950 Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta mengadakan sebuah pertemuan atau sidang. Di dalam sidang yang dihadiri oleh para pengurus senat mahasiswa dari berbagai fakultas tersebut antara lain diputuskan suatu sikap atau pendirian tertentu. Sikap atau pendirian itu berbunyi sebagai berikut (Gadjah Mada, Thn. I, No. 1, April 1950).

SIKAP MAHASISWA UNIVERSITAS GADJAH MADA

• Sebagai kelanjutan dari kehendak rakyat untuk mempertahankan dan menyempurnakan Negara Republik Indonesia sebagai pendorong perjuangan kemerdekaan seluruh bangsa Indonesia.

• Sebagai pusat kebudayaan yang turut menentukan kejayaan bangsa.

• Sebagai pusat pendidikan tenaga-tenaga ahli yang sangat diperlukan bagi pembangunan negara.

• Maka telah menjadi keyakinan yang teguh dari kami, mahasiswa-mahasiswa pada Universitas Gadjah Mada.

• Untuk turut serta menyumbangkan segala tenaga dan pikiran dan turut bertanggung jawab penuh atas penyempurnaan bentuk dan isi Universitas Gadjah Mada.

Bertolak dari sikap (pendirian) para senat mahasiswa itulah majalah

(14)

diputuskan dalam sidang pada bulan Januari 1950, majalah tersebut ternyata tidak langsung dapat terbit pada bulan berikutnya (Februari 1950), tetapi baru terbit tiga bulan kemudian (April 1950).

Dengan dan atau melalui majalah Gadjah Mada para maha-siswa Universitas Gadjah Mada memiliki tujuan sebagai berikut. Tujuan yang kemudian dituangkan di dalam kata pengantar redaksi pada terbitan pertama majalah Gadjah Mada tersebut berbunyi demikian.

• Kami hendak mendekatkan, menyatukan hidup dan dunia Universitas Gadjah Mada ini dengan bangsa dan masyarakat Indonesia.

• Kami hendak meluaskan hubungan kami dalam arti kebudayaan yang luas dengan dunia maha-siswa di seluruh dunia, khususnya di dunia Timur.

Dengan dilandasi oleh tujuan itu pula pada akhirnya majalahGadjah Mada dapat hadir secara eksis hingga tahun 1968 (selama kurang

lebih 18 tahun). Sesuai dengan slogannya yang berbunyi “berhaluan

pengetahuan umum”, majalah Gadjah Mada hadir sebagai majalah umum --meskipun diterbitkan oleh dan di lingkungan (terbatas) kampus UGM-- yang berisi berbagai hal yang berkaitan dengan masalah politik, ekonomi, sosial, budaya (termasuk di dalamnya sastra), pendidikan, bahkan olah raga, dan sebagainya.

(15)

susunan nama-nama yang bertindak sebagai redaksi pun berganti-ganti pula.

Pada tahun-tahun awal penerbitannya, nama-nama yang menduduki posisi itu ialah: Moh. Kamal (pemimpin umum), Suwandi, Abd. Azis, Sulistio (staf redaksi), Zakaria, Soefaat, Soeradio, Nazir Alwi, Justam S. (sidang pengarang), Amir Alamsjah (sekretaris redaksi), dan Koentjoro (penasihat teknis). Sementara itu, ketika majalah ini berkantor redaksi di Jalan Serayu 9, susunan redaksinya ialah Moh. Kamal (pemimpin umum), Abd. Azis, Sulistio, Sutijono (penyelenggara), Amir Alamsjah, Nizar (sekretaris redaksi), Subantardjo, Suwandi, Sadli, Herusubeno, Zakaria, Nazir

Alwi, Mutijar, Subagijo Hadinoto, Anas Ma’ruf, Kuntjoro, dll.

(sidang pengarang). Pada waktu majalah itu berkantor di Lempu-yangwangi 34, Yogyakarta, selain nama-nama tersebut, muncul nama-nama baru, yaitu Moh. Suroto, Rd. Ps. Soewondo (pembantu di Nederland), Karno Barkah, Surjo, Sudiono (pembantu di Amerika), dan S.R. Hendrawan (perwakilan di Jakarta).

Ketika majalah tersebut (Gadjah Mada, No. 7, Oktober 1957) beralamat redaksi di Jalan Merapi 16, Yogyakarta, susunan redaksinya adalah Mr. Soelistijo, Uhum Siah Lubis, Abd. Aziz, Moedojo, Sutijono Darsosentono, A.T. Birowo, Koesnadi, Ir. Suwarno (dewan penyelenggara), Moh. Kamal, Suwandi, Sudikno, Soebantardjo, Pamudji Rahardjo, Slamet Moeljono, Soekardjo, Soetji Hartini, H. Santoso, Sumali, Darmawan Adi, Bintarto, Zakaria, Abdullah Hadi, Umar Kayam, dan Djalinus Sjah (sidang pengarang). Pada tahun 1960-an redaktur majalah ini antara lain adalah Koesnadi Hardjasoemantri, Soewarno, A.T. Birawa, Bintarto, Monang M. Sitindjak, Soebagio Sastrowardojo, W.S. Rendra, Soejono Hadi, Budi Darma, dan Subadhi.

Perubahan atau pergantian redaktur tersebut membawa dampak pada perubahan kebijakan sehingga penampilan majalah

(16)

memper-lihatkan bahwa majalah Gadjah Madamengalami perubahan ukuran dari yang semula besar (18,5 x 26 cm) menjadi lebih kecil (15 x 21 cm). Meski ukuran mengalami perubahan, yang tampak konsisten ditampilkan di cover majalah tersebut adalah gambar patung kepala Patih Gadjah Mada yang di sebelah kirinya berdiri tegak sebuah gapura. Selain itu, sebagai upaya untuk menarik perhatian pembaca, pihak pengelola juga melakukan pengubahan jenis huruf (font) dan desain sampul. Semua itu dilakukan tentu berhubungan erat dengan kebijakan pengelola atau redaksi dalam upaya meningkatkan “pasar”.

(17)

Itulah sebabnya, untuk menjaga kontinyuitas penerbitan majalah Gadjah Mada, selain menjualnya kepada masyarakat, pihak pengelola majalah yang dicetak dengan kertas koran itu juga berusaha menjual saham seharga Rp100,00, Rp200,00, dan Rp500,00 per lembar. Bahkan, majalah yang pada awal tahun 1950-an bertiras 3000 hingga 5000 eksemplar dan sasaran pembacanya kelas menengah dan atas tersebut juga membuka ruang untuk menjaring

iklan. Lagipula, untuk memperluas “pasar”, majalah tersebut juga

membuka agen-agen di berbagai kota di Indonesia (Bojonegoro, Banyuwangi, Madiun, Solo, Tegal, Semarang, Temanggung, Medan, Banjarmasin, Balikpapan, Manado), di samping terus meningkatkan jumlah pelanggan dan mengadakan sayembara.

(18)

1968). Tidak diketahui dengan jelas mengapa pada tahun tersebut

Gadjah Mada menghentikan penerbitannya. Akan tetapi, ditilik dari aspek sosial-politik saat itu, dapat diduga bahwa kematian majalah tersebut akibat terjadinya peristiwa G-30-S PKI yang berlanjut pada pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.

Perlu dicatat bahwa di samping terbit majalah Gadjah Mada, di lingkungan Universitas Gadjah Mada terbit juga majalah

(19)
(20)

Seperti diketahui bahwa majalah Gama, majalah yang berukuran besar (sekitar 17 x 25 cm) tersebut, merupakan media komunikasi intrakampus (gema intrauniversiter). Dengan label

“gema intrauniversiter” itu majalah tersebut dimaksudkan sebagai

alat komunikasi bagi kalangan intelektual kampus, baik tenaga pengajar, karyawan, maupun mahasiswa. Oleh karena itu, berita, esai, dan atau tulisan-tulisan yang disajikan di dalamnya cenderung menggambarkan aktivitas kampus, walaupun tidak jarang tulisan mengenai persoalan sosial, politik, ekonomi, seni-budaya, dan sejenisnya muncul.

Sebagaimana diketahui pula, majalah Gama dikelola oleh orang-orang yang pada akhirnya tumbuh dan eksis menjadi intelektual terkenal atau bahkan menjadi sastrawan yang memiliki nama besar. Seperti halnya para pengelola majalah Gadjah Mada

yang belakangan dikenal sebagai orang-orang “ternama” di bidang

sosial budaya atau ilmu humaniora (Kusnadi Harjasumantri, Wiratmo Sukito, Sadli, Slamet Mulyono, Umar Kayam, Anas

Ma’ruf, Iwan Simatupang, Teuku Jacob, dan sebagainya), para

pengelola majalah Gama pun belakangan dikenal sebagai “orang

-orang besar dan ternama”. Dapat disebutkan, misalnya Nazaruddin Lubis, Muhardi Atmosentono, P. Guritno, dan Budi Darma.

Seperti halnya majalah Gadjah Mada, majalah Gama juga dijual secara bebas kepada masyarakat umum (harga eceran per eksemplar Rp1,50). Hal demikian menandai bahwa hidup matinya majalah yang berketebalan kurang lebih 50 halaman dan dicetak dengan kertas koran itu ditentukan oleh dirinya sendiri. Oleh sebab itu, untuk mempertahankan kelangsungan hidup dirinya sendiri, majalah Gamajuga membuka ruang untuk menjaring iklan. Bahkan, untuk menghimpun pembaca sebanyak-banyaknya, majalah itu juga mencoba meningkatkan jumlah pelanggan di samping mengiklankan diri di berbagai media massa lain. Berikut contoh iklan majalah

(21)

Demikian selintas gambaran umum mengenai majalah

Gadjah Mada dan Gama. Yang menarik untuk dicatat ialah bahwa kedua majalah yang sama-sama diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada tersebut memberikan ruang yang cukup luas bagi hadirnya karya sastra (puisi, cerpen, dan esai/kritik sastra). Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa keberadaan karya sastra dalam kedua majalah tersebut telah memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan seni-sastra Indonesia di Yogyakarta. Untuk lebih jelasnya, berikut dipaparkan mengenai hal tersebut.

2.2 Sumbangan Majalah Gadjah Mada bagi Perkembangan Sastra Indonesia di Yogyakarta

(22)

Yogya-karta ada pula majalah Basis, Budaya, Medan Sastera, Seriosa, Pusara, Suara Muhammadiyah, dan sebagainya yang juga mempublikasikan karya-karya sastra--, tetapi karena sejak awal penerbitannya kedua majalah tersebut hampir secara rutin mempublikasikan karya sastra (puisi, cerpen, dan esai/kritik), jelas bahwa keberadaan (eksistensi) majalah sekaligus keberadaan karya sastra dalam majalah tersebut dapat dikatakan menjadi penyumbang yang cukup berarti bagi perkembangan seni dan sastra Indonesia di Yogyakarta.

Pada awalnya, di dalam majalah Gadjah Mada, karya sastra, terutama puisi, ditampilkan secara tidak teratur, artinya, puisi-puisi itu hanya dimuat pada sela-sela ruang kosong tulisan lain. Akan tetapi, pada perkembangan berikutnya, puisi-puisi itu, termasuk karya-karya sastra lainnya, disajikan secara khusus di dalam rubrik

budaya. Rubrik budaya itu diberi nama “Pelangi: Lembaran Kebudayaan Majalah Gadjah Mada”. Di dalam lembaran kebudayaan

itu karya puisi, cerpen, dan esai atau kritik seni (sastra) ditampilkan dengan cukup menarik; bahkan tidak jarang ditampilkan pula karya-karya terjemahan. Di dalam dan lewat lembaran kebudayaan itu pula nama-nama penyair dan cerpenis masih ada yang aktif hingga saat

(23)

Sementara itu, di dalam majalah Gama, pada awalnya karya sastra (puisi, cerpen, dan esai atau kritik) juga disajikan secara tidak teratur, tetapi pada masa perkembangannya kemudian, karya-karya sastra itu

khusus disajikan di dalam rubrik “Bunga dan Bintang: Lembaran Seni dan Sastera”. Seperti halnya dalam majalah Gadjah Mada, dalam majalahGamasering ditampilkan karya-karya terjemahan.

Sejak awal penerbitannya, di dalam majalah Gadjah Mada,

nama redaktur yang khusus mengasuh subrik “Pelangi” tidak

disebutkan secara eksplisit. Hal ini berbeda dengan majalah Gama. Di dalam majalah Gama, nama-nama yang bertindak sebagai

redaktur khusus rubrik “Bunga dan Bintang” disebutkan secara

(24)

redaktur seni dan sastra adalah Muhardi Atmosentono, Budi Darma,

dan Amir Prawiro. Berikut contoh rubric “Bunga dan Bintang:

(25)

Seperti telah disebutkan bahwa di dalam lembaran

kebu-dayaan “Pelangi” majalah Gadjah Madadisajikan karya-karya sastra berupa puisi, cerpen, esai dan atau kritik, di samping karya-karya terjemahan. Akan tetapi, apabila dibuat perbandingan, jenis karya yang paling banyak dimuat dalam majalah itu adalah karya puisi, baru kemudian diikuti oleh esai atau kritik dan kemudian cerpen.

Beberapa karya puisi dalam Gadjah Mada yang dapat

disebutkan, antara lain, “Sampai Surya Terbit Kembali” karya Usje, “Pusaka dan Kami” dan “Kessah Baru” karya Army, “Tertuju ke Gadjah Mada” karya Rasip, “Untuk—Kepada ... Mu” karya Harjono S.H. (edisi April 1951), “Kenangan bagi Diana Sarsidi” karya Sudiro (Mei 1951), “Antara Temali” dan “Pemain” karya Soediro, “Ukuranku” karya Usje (Juni 1951), “Serinade Vox Passio” karya Toha Mochtar, “Untuk Mystici Muda” karya Yuddha (Juli 1951), “Memburu Deru” karya Mayang n’Dresjwari, “Dari Revolusi” karya

J. Cobs (November 1951), “Lagu Kerakyatan” karya Yuddha, “Sampai Surya Terbit Kembali” karya Usje (Oktober 1952), “Pelangi” karya Soejanto Wongsojoedo (Februari 1953), “Rangsang” karya Soegi Notosoewarso, “Senja” karya Yap Yan Keng (Januari

1954), Cintaku Redup Di Pagi Cerah” karya Yap Yan Keng, “Sampai Surya Terbit Kembali” karya Usje, “Pesan” karya Utji Tjitraasmara (Februari 1954), “Variasi Hidup dalam Lintasan Bertemu” karya Riva’i Yusuf, “Pengakuan” karya Muhardi Atmosentono (Maret 1954), “Kepada Adikku” karya Yap Yan Keng” (April 1954), “Janggar-Janggar” dan “Dari Bawah Kemboja” karya Us, “Sebuah Nada bagi Mien” karya Yap Yan Keng (Mei 1954), “Terjaga” karya Didi Jahadi, “Bagi Seorang yang Menerima” dan “Penggalan” karya Nh. Dini (Juni 1954), “Pengalaman Hidup” karya

(26)

(November 1954), “Perampasan” karya Sunar Hs, “Kesesalan” karya R. Wasita S. (Desember 1954), “Sirna” karya Hidjaz Jamani (April 1955), “Kebekuan Di Negeri Seberang” karya Sangkuriang, “Hampa” karya Sjamsul Suhud (Juli 1955), “Kemalangan” karya Hidjar Jamani, “Lari” karya Wahju T. (Agustus 1955), “Anak Perjuangan” dan “Berpisah” karya Yusmanam (Oktober 1955), “Mula” dan “Sedih” karya Hidjaz Jamani, “Amor Fati” dan “Sajak Buat Nur” karya Henry Guntur Tarigan (November 1955), “Satu Kehidupan” karya Hidjaz Jamani (Desember 1955), “Hidup Ini” dan “Renungan Tak Berkesudah” karya H.G. Tarigan (Januari 1956), “Penggali Batu Kapur”, “Lonceng”, “Taptu”, dan “Hukuman Mati” karya Kirjomulyo (Februari 1956), “Tangisan” dan Pelarian” karya Hidjaz Jamni, “Kisah dari Gunung” karya Amrin Thaib, “Mula Kenal” dan “Jalanmu” karya Victor Hege Riganta (Maret 1956), “Bumi Hijau: 30 buah Sajak” karya Rendra (Desember 1958), “Setangkai Mawar Putih” karya Ninik S, “Mandulang” karya Kusni

Sulang (Juli 1961), “Nawang Wulan” karya Subagio Sastrowardoyo, “Tak Bisa Kubayangkan” karya Kusni Sulang (Agustus 1961), “Geliat Rahasia” karya Budiman S. Hartojo (Oktober 1961), “Derita Atas Tanahku” karya M. Rochansie (Desember 1961), “Majulah Pahlawan” karya Budiman S. Hartojo, “Dunia Amat Manja” karya Syamsul Arifin (Februari 1962), “Dalam Perjalanan Itu” karya Budiman S. Hartojo, “Gaun Merah Tua” karya M. Rochansie, “Lagu Malam Di Gubuk” karya Umbu Landu Paranggi (April 1963), “Nelayan Pulang” karya Umbu Landu Paranggi, dan “Lagu Musim dalam Tahun” karya Kusni Sulang (Juni 1963), dan masih banyak

lagi yang lain.

(27)

(Februari 1952), “Dua Buah Cerita” karya Rip (September 1952), “Desideratum yang Tragis” karya Zally’s (Maret 1953), “Senja Terakhir” karya Supomo S.H. (Juli 1954), “Kenang-Kenangan 17

Agustus 1954” karya M.S. (Agustus 1954), “Percakapan dengan Pelukis Jalanan” karya Frits Kandou (Juni 1955), “Bocah” (Januari 1959), “Setelah Ia Pulang” karya Syamsul Arifin S.H. (April 1959), “Ibunda” karya Syamsul Arifin (Mei 1959), dan “Tiga Pusara” karya

Rachmat Djoko Pradopo (April—Juni 1962).

Sementara itu, beberapa esai atau kritik yang dimuat dalam majalah Gadjah Mada, antara lain, “Novel dan Cerita dari Blora” karya Anas Ma’ruf (Februari 1951), “Kesusasteraan dan Masyarakat” karya Anas Ma’ruf (Juli 1951), “Pengaruh Revolusi 17 Agustus terhadap Kesusastraan Indonesia” karya Anas Ma’ruf (Agustus— September 1951), “Buah Kesusastraan SMA bag A dan Surat Terbuka kepada Sdr. Suharno” karya Majang n’Dresjwari (November 1951), “Pengarang sebagai Pemberontak” karya S. Mundingsari (Februari 1953), “Wanita dalam Musik dan Kesusastraan” karya Wiratmo Sukito (Februari 1953), “Masalah Penulis” karya Rip (Januari 1954), “Sartre Tambah Musuh Lagi” karya Wiratmo Sukito (Mei 1954), “Pelukis Kontra Polisi” karya Wiratmo Sukito (November 1954), “Seniman, Radio, dan Politik”

karya Wiratmo Sukito (November—Desember 1955), “Symposium Sastera 1955” karya Wiratmo Sukito (Januari 1956), “Keluarga Kemuning dalam ‘Sayang Ada Orang Lain’ buah Pena Utuy Tatang Sontani” karya Setiawan H.S. (Januari 1956), “Revolusi dalam Bahasa” karya Wiratmo Sukito (Maret 1956), “Kehidupan Seni

Drama dan Kebudayaan” karya Wiratmo Sukito (Agustus 1958), “Fakultas Sastra dan Drama” karya Pong Waluyo (Maret 1959), “Fakultas Sastra dan Drama: Tanggapan Tulisan Pong” karya Budi

Darma (Juni 1959), dan masih banyak lagi.

Seperti halnya di dalam lembaran kebudayaan “Pelangi”

(28)

kritik sastra. Beberapa karya puisi yang dipublikasikan di dalam

lembaran itu, antara lain, “Lagu Malam Hari” karya Hardjana HP, “Dari Perjalanan Jauh”, “Diri”, “Yang Mabuk” karya Herman Soekardjo, “Kembali” karya Attie D., “Cemerlang di Ambang 58”, “Madah” dan “Generatie” karya Suparto R. Sastrowardojo, “Kampung” dan Di Lereng Bukit” karya Rusdi W., “Perjalanan” karya G.H. Hendrarto, “Kedatangan” karya Budi Darma, “Ada Bulan di Laut” karya S. Tarno J.C. (Desember 1957—Januari 1958), “Hati Lalu” karya S. Tarno J.C., “Kabar dari Daerah Kering” karya Hardjana H.P., “Tahun Baru” karya Moehardi, “Cinta” karya Jussi

Soehardi, “Lintasan” dan “Hati” karya Herman Soekardjo, “Catatan” karya Amir Pr., “Pintu” karya An Aly, “Kemana?” karya S.I. Pringgaputera, “Penemuan Dirinya” karya Budi Darma (Februari 1958), “Pengakuan”, “Berdua”, “Janji”, dan “Pertukaran” karya Budi Darma (Maret 1958), “Di Luar” karya Subagijo Joseph, “Machluk Kehilangan” dan “Pengakuan” karya Suminar, “Pelancong Malam” dan “Gersang” karya Suparto R. Sastrowardojo (April 1958), “Pesta” karya Roedjito S.K. (Mei 1958), “Tentang Bidang dan Buah” dan “Bunga Malam” karya Suradal, “Kisah Perjalanan” (?), “Perjalanan” dan “Senja” karya Roedjito S.K., “Rumah yang Kutinggalkan” karya

R. Rosa (Juni—Juli 1958), “Pulang” karya Subagijo Joseph, “Teori dan Nanti”, “Harga Diri dan Lagu”, “Titik dan Adik” karya Suradal,

“Lagu 31 Maret 1958” karya Hardjana H.P., “Hati yang Jauh” karya S. Tarno J.C. (Agustus 1958), “Kehidupan” karya A.S. Abdullah, “Timpang” karya F.P. Janta, “Hakekat” karya Jussar A.S. (September 1958), “Catatan” dan “Sendiri” karya Mir, “Peristiwa

Sehari” dan “Rumah” karya Dis, “Perjalanan ke S. Sono” karya Iko Kastino Sk. (Oktober 1958), “Terimalah dari Penyerahan” karya Iko Kastino, “Jutinah” karya Yoesmanam R.M. (November 1958), dan

masih banyak lagi.

Beberapa cerpen yang telah dimuat dalam majalah Gama,

antara lain, “Willis” karya Budi Darma (Desember 1957—Januari

(29)

1958), “Perpisahan” karya Mircham (Maret 1958), “Ada Bintang di Langit” karya Amir Prawiro (April 1958), “Kalau Bulan Belum Turun di Pangkuan” karya Mircham (Mei 1958), “Penunggang Gunung” karya Soebagijo Joseph (Juni—Juli 1958), “Senja, Bulan, dan Kenangan” karya Amir Prawiro (Oktober 1958), dan “Sebuah Pagar” karya Mircham (Oktober 1958).

Sementara itu, beberapa karya esai atau kritik yang muncul dalam majalah Gama, antara lain, “Aku Ini Binatang Jalang” karya Djalinus Sjah dan “Masalah Plagiat dalam Kesusastraan Indonesia” karya L.S. Rrento (Februari 1958), “Seni, Seniman, dan Estetika” karya Moehardi (April 1958), “Prasaran Simposion: Situasi Sastera

Puisi Sesudah Tahun 45” karya Subagijo Sastrowardojo dan “Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek Lain” karya (?) (Juni—Juli

1958, dan “Hujan Kepagian” karya (?). Di dalam lembaran seni dan

sastra ini Budi Darma selaku redaktur banyak menulis riwayat para pengarang dunia.

Perlu dicatat ialah bahwa baik di dalam majalah Gadjah Mada maupun Gama, karya sastra yang berupa (naskah) drama dan novel (cerita bersambung) boleh dikatakan tidak pernah muncul. Ketidakmunculan dua jenis sastra itu dapat dianggap wajar karena jika dilihat dari segi efisiensi, karya semacam itu jelas tidak efisien karena umumnya banyak menyita halaman (ruangan). Sementara itu, sebagai sebuah majalah umum, majalah-majalah itu harus memberi porsi yang cukup banyak dan beragam bagi berbagai bidang. Itulah sebabnya, yang setiap terbit pasti muncul adalah puisi. Bahkan, di dalam majalah Gama, cerpen, yang di sini disebut sebagai “fiksi pendek”, diartikan sebagai suatu cerita yang benar-benar pendek. Sebab, panjang cerpen pada umumnya hanya satu halaman dan di dalam ruang pemuatan cerpen itu pun dicantumkan pula keterangan

alokasi waktu untuk baca, misalnya “waktu baca 9 menit” atau “waktu baca 7 menit” dan sejenisnya.

(30)

perkembangan karya sastra Indonesia di Yogyakarta. Dari rinjauan selintas itu terlihat bahwa ternyata nama-nama besar seperti Budi Darma, Wiratmo Sukito, Subagijo Sastrowardojo, Rendra, Kirjo-mulyo, Umbu Landu Paranggi, Nh. Dini, dan masih banyak lagi yang lain pada mulanya adalah para aktivis seni dan sastra di majalah

(31)

Bab 3

KARYA SASTRA INDONESIA

DALAM MAJALAH

GADJAH

MADA

DAN

GAMA

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa karya-karya sastra Indonesia yang terdapat di dalam majalahGadjah Mada dan Gama, antara lain, mencakupi puisi, cerpen (fiksi pendek), dan esai atau kritik. Sementara itu, karya sastra yang berjenis drama dan cerita bersambung (novel) –sejauh pengamatan penulis-- tidak ditemukan. Oleh karena itu, di dalam bab ini pembahasan difokuskan pada karya-karya yang berjenis puisi, cerpen, dan esai atau kritik. Untuk mempermudah pemahaman, pembahasan karya-karya tersebut dilakukan secara terpisah.

3.1 Puisi

Seperti telah dikatakan di bagian depan (periksa bab 2) bahwa baik di dalam majalah Gadjah Mada maupun Gama karya yang berjenis (genre) puisi menduduki posisi yang amat penting, bahkan boleh dikatakan istimewa. Dikatakan penting dan istimewa karena hampir setiap kali terbit majalah tersebut menampilkan puisi, dan jumlahnya pun seringkali mencapai sekitar 5 atau 6 buah. Bahkan, nama-nama penyair yang di kemudian hari dikenal sebagai seniman,

(32)

dan Gama, memiliki peran yang amat penting, yakni menjadi

semacam “kawah candradimuka” atau sebagai “arena untuk

membesarkan” para penyair/sastrawan Indonesia.

Diamati secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa para penyair yang pada waktu itu menulis dan menyiarkan karya-karya puisinya di majalah Gadjah Mada dan Gama memiliki perhatian yang besar terhadap berbagai persoalan; dalam arti bahwa mereka tidak hanya menyuarakan masalah-masalah yang terjadi di dalam dan di sekitar kampus, tetapi juga terlibat aktif dengan masalah-masalah di luar kampus, yaitu problem-problem kehidupan (sosial, politik, ekonomi, budaya, agama, cinta, kemanusiaan, penderitaan rakyat, perjuangan, dan sebagainya) yang terjadi di negeri ini, bahkan juga problem kehidupan yang terjadi di berbagai negara lain.

Atau dengan kata lain, apabila dilihat dari segi tematik, para penyair yang mempublikasikan karya-karyanya di majalah Gadjah Mada dan Gama banyak berbicara tentang berbagai tingkatan kehidupan, mulai dari kehidupan pada level personal, kehidupan pada level sosial, hingga kehidupan pada level metafisikal. Kehidupan pada level personal yang mereka ungkapkan biasanya berkaitan erat dengan konflik individu, yakni hubungan manusia dengan dirinya sendiri; dan masalah cinta, misalnya, termasuk ke dalam level kehidupan ini. Kehidupan pada level sosial biasanya berkaitan erat dengan konflik sosial, yakni hubungan diri (manusia) dengan orang/manusia lain (masyarakat); dan berbagai benturan pandangan diri sendiri dengan (mengenai atau tentang) orang lain atau masyarakat termasuk ke dalam level kehidupan ini. Sementara itu, kehidupan pada level metafisikal yang diungkapkan biasanya berkaitan dengan konflik metafisik, yakni hubungan diri sendiri dengan hal-hal atau kekuatan di luar diri (manusia), di antaranya dengan Tuhan.

(33)

ditulis oleh Moehardi Atmosentono berjudul “Pengakuan: Sebuah

Bingkisan untuk Dik Ati” (Gadjah Mada, Maret 1954). Puisi tersebut secara lengkap dikutip seperti berikut.

PENGAKUAN

(Sebuah bingkisan untuk Dik Ati)

Dalam keheningan malam tanpa bintang di langit begini Maka nganga mulut ini berbisik didorong nafsu:

“dik Ati”

pabila hatiku ini kumisalkan padang tandus yang gersang kering

engkau adalah sebatang “rumput” yang mulai tumbuh menghijau

ketandusan itu

jika dadaku ini laksana taman bunga yang telah hancur tertimpa deras hujan dan prahara

engkau adalah sekuntum“melati” pengisi keindahan yang

pertama bagi kehampaan dan kekosongan

dan kepada seluruh ummat aku akan berkata lantang

-- dengarkan wahai orang-orang sejagad sebatang rumput adalah rumputku sekuntum melati adalah melatiku–

Tetapi di kala pagi jernih bermandi cahya mentari Ini INSAN KAMIL tegas mewejang:

“Di,

sebatang rumput sekuntum melati

adalah suatu keindahan dengan tiada pemilik

(34)

sedang engkau adalah manusia yang mengagumi keindahan dengan ketajaman rasa cintamu akan keindahan terlepas dari rasa

ingin memilikinya”

Dan

Jika mentari telah naik ke barat Sedang langit cerah biru menila

Bibir yang mengatup ini menyampaikan sekalimat bisikan kalbu dalam bahasa membisu

-- dik Ati, aku hanyalah seorang manusia Moehardi–

20 Februari 1954

Jika dilihat secara sepintas, puisi di atas menunjukkan konflik kehidupan pada level sosial. Sebab, di dalam puisi tersebut si aku lirik, yang menyebut diri dengan nama Moehardi, berhubungan dengan orang lain, yang dilihat dari segi nama, yakni si Ati, orang lain itu adalah seorang wanita. Melalui ungkapan dalam baris-baris berikut tampak jelas bahwa orang lain (si Ati) itu adalah gadis pujaan si aku.

....

pabila hatiku ini kumisalkan padang tandus yang gersang kering

engkau adalah sebatang rumput yang mulai tumbuh menghijaui ketandusan itu

jika dadaku ini laksana taman bunga yang telah hancur tertimpa deras hujan dan prahara

engkau adalah sekuntum melati pengisi keindahan yang pertama bagi kehampaan dan kekosongan

(35)

Kendati demikian, jika dicermati secara lebih dalam lagi, sebenarnya, hubungan si aku dengan si Ati di dalam puisi di atas tidak lebih hanya sebagai latar belakang atau sebagai sebab saja; dan yang terjadi dan yang terpenting adalah konflik di dalam diri si aku.

Artinya, puisi tersebut merupakan “pemujaan” kepada orang lain,

dan karena orang lain itu tidak hadir bersama si aku, atau lebih tepatnya si aku hanya berkhayal tentang keindahan si Ati, jelas bahwa konflik kehidupan dalam puisi itu berkait erat dengan masalah pribadi atau personal. Dan tampaknya, konflik individu (personal) itu terasa lebih mendalam lagi dengan munculnya ungkapan yang

menyatakan bahwa si aku “tidak mungkin bisa memilikinya” dan si

aku hanya mampu /menyampaikan sekalimat bisikan kalbu dalam bahasa membisu/.

Walaupun persoalan yang dikemukakan berbeda, hal serupa

tampak juga dalam beberapa puisi berjudul “Kepada Adikku”

(Gadjah Mada, April 1954) karya Yap Yan Keng, “Penggalan”

(Gadjah Mada, Juni 1954) karya Nh. Dini, “Kesesalan” (Gadjah Mada, Desember 1954) karya R. Wasita S., “Sirna” (Gadjah Mada,

April 1955) karya Hidjaz Jamani, “Berpisah” (Gadjah Mada,

Oktober 1955) karya Yusmanam, “Sedih” (Gadjah Mada,November

1955) karya Hidjaz Jamani, “Sajak Buat Nur” (Gadjah Mada,

November 1955) karya Henry Guntur Tarigan, “Sampai Surya Terbit Kembali” (Gadjah Mada, April 1951) karya Usje, “Kenangan bagi Diana Sarsidi” (Gadjah Mada, Mei 1951) karya Sudiro, “Cintaku Redup di Pagi Cerah” (Gadjah Mada, Februari 1954) karya Yap Yan

Keng, “Gersang” (Gama, April 1958) karya Suparto R.

Sastro-wardojo, “Lagu 31 Maret 1958” (Gama, Agustus 1958), karya

Hardjana H.P., “Kedatangan” (Gama, Desember 1957—Januari

(36)

Untuk lebih memperjelas terjadinya konflik kehidupan pada level pribadi, individual, atau personal seperti halnya tampak pada pembicaraan di atas, berikut dikutip lengkap sajak karya Henry

Guntur Tarigan berjudul “Sajak Buat Nur” yang dimuat di dalam

majalahGadjah Mada(November 1955).

SAJAK BUAT NUR (yang lari)

malam aditya kunanti lagi kau seperti dulu di bawah kamboja tanpa lain ingatan bosan telah aku

baju tiada kata kaku semata sepi, ngeri, ngeri kini aku hidup

merana ....

tanpa kau malam aditya tanda segala

kutangiskan tiada air mata kulupakan teringat saja dan .... akulah hidup tanpa di dunia fana: rangka mati

Oktober 1955

(37)

tidak kunjung datang, jelas bahwa hidup si aku kemudian terasa sepi,

ngeri, bahkan dapat diibaratkan bagai “rangka mati”.

Sementara itu, kekosongan, kesedihan, dan kesepian yang

membuat sengsara si aku karena gagal “menyerahkan bunga” sebagai

tanda cinta kepada kekasih, yakni E. Maria Madge, tampak pada

sajak “Madah: Sumbangsihku di Hari Ulang Tahun” (Gadjah Mada, Desember 1957—Januari 1958) karya Suparto R. Sastrowardojo berikut.

MADAH

Sumbangsihku di hari ulang tahun Kepada: E. Maria Madge

Kekosongan ini hati atas dunia sendiri adalah kesepian yang menyengsarakan aku sebab engkau jua kekasihku:

dada terbakar api cinta dan rindu pilu

O, di jelajah ini maya harum anggrek gelisahan seberkaspun tiada milik dan kemanusiaan tiada pula kenangan yang lenyap

Ya adik–ya kekasih- mengertikah engkau? wajahmu juga terpencar dari padanganku: segala kepada bulan

segala kepada bintang mengapa, ya mengapa dara?

Sekali pernah terasa dalam kelembutan lenganmu dan bicaralah hatimu lembut-lembut

(38)

Adalah kesepian yang menyengsarakan aku, Maria pabila bintang itu jatuh di tengah laut

kelepak burung laut ini jua, Maria adalah kelepak yang membunuh -- mematikan api rinduku sendiri

Maria,

(dan aku mencarimu dalam khayal)

penat sudah kupandangi kembang berduri ini

Yogya, Januari 1958

Senada dengan sajak di atas, sajak berjudul “Kenangan bagi

Diana Sarsidi” (Gadjah Mada, Mei 1951) karya Sudiro berikut juga mengungkap konflik di dalam diri si aku lirik akibat ditinggal pergi sang kekasih. Sang kekasih yang dimaksudkan oleh si aku secara eksplisit tampak pada judul, yakni seorang wanita bernama Diana Sarsidi.

KENANGAN BAGI DIANA SARSIDI

I

Dalam hidupku ini aku derita tiada dengan keluh, tiada dengan kesah --kepedihan jiwa yang gelap mendalam sedang impian bunga-harapnku, jadi kelu dalam kesepian hari-hari deritaku

(39)

airnya tak sanggup aku menduganya.

Dan aku rasakan derita yang mengendap-endap sipilu ini menyayat hati seperti

malam2 musim-semiku yang mengecewakan, di mana bercaya satu bintang Cuma–sebentar2—

ah ....

lalu tanganku meraba mencari-cari

kelembutan cinta yang mesar. Dan pada diri sendiri aku gali suara jiwa, karena mulut hangatku

tak kuasa membuka, dan menyampaikan permohonan hidupku.

II

Kelasi terlanjur pergi tak berpedoman laut yang ia tempuh hitam dan langit hitam hanya berkala ada jeritan bintang sendiri.

Kurasa juga oleh laut akan ketenggelaman biduknya terlalu bahayakah daerah yang dijelajahnya?

atau perginya yang sonder pedoman maka perahu seuling begini?

Pelaut yang pergi tak berteman dan pedoman dalam ombak hitam dan langit hitam ini rindu mencapai pesisir lagi.

apa di sana ada teman menanti?–

III

(40)

sesudah lewat dulu itu pada garis pacu.

lalu aku pun–dalam masih menampak bayanganmu–

menyimpang dari/dalam di mana kita mungkin ketemu dan kekaburan bayanganmu makin terasa olehku.

Kini tiba2 dalam sebatang gugusan karang -- aku tengah juga melaju perahuku–

kilatan bayang perahumu kulihat sampai pada pelabuhanmu pertama

Bayang-bayang

mungkin di satu cetusan ketika perahuku berbareng dengan punyamu menghampiri menara cita.

26 November 1950

Selain mengedepankan konflik personal (pribadi, individual) dengan berbagai variasinya sebagaimana tampak dalam pembahasan di atas, para penyair yang menyiarkan puisinya di majalah Gadjah Mada dan Gama juga mengangkat persoalan-persoalan kehidupan pada level sosial. Bahkan, masalah sosial yang diangkat oleh mereka lebih beragam, lebih variatif, mulai dari masalah yang paling dekat dengan dirinya, misalnya lingkungan sekitar, sampai kepada problem-problem sosial, ekonomi, politik, budaya, kemasyarakatan, dan kemanusiaan baik di tingkat lokal, nasional, maupun inter-nasional.

(41)

berbagai persoalan sosial dan kemasyarakatan di mana pun. Cobalah

cermati salah satu puisi berjudul “Tertuju ke Gadjah Mada” karya

Rasip (Gadjah Mada, April 1951) berikut.

TERTUJU KE GADJAH MADA

(Di hari pembukaan fakultas sastra)

Kalau ‘lah indah keris Mataram,

Perlengkap dan jiwa seukir pamor;

Kalau ‘lah harum kota Mataram

Perlengkap kita hendaknya Menyongsong ke hari datang, Sebutir hias dan tenaga.

Tenaga untuk mengembang, Tenaga untuk menyumbang, Tenaga untuk menyambung.

Kisah indah yang sudah-sudah. Tali-bertalilah erat-erat

Gadjah Mada dan riwayat Harum kisah kota Mataram!

Lamun agung kisah yang sudah,

Lamun’lah harum yang lampau-lampau ... -- Sejarah belumlah sudah,

-- Usaha baru di pangkal,

(42)

Teruslah tabah,

Sekalipun banyak tampak-tampaknya ... Banyak sudah orang berebut,

Berebut merebut hasil;

Lupa dan khilaf ... Berebut menjemput maut, Bagi negara yang baru lahir.

Di dalam dan melalui puisi tersebut terlihat penyair (Rasip) mencoba menanggapi peristiwa yang terjadi di sekitar kampus UGM, tepatnya pada saat pembukaan fakultas sastra. Tersirat bahwa ketika fakultas sastra (baru) dibuka, konon sudah banyak orang berebut. Entah apa dan siapa yang berebut tentu saja tidak dinyatakan secara eksplisit. Namun, hal itu dapat ditafsirkan bahwa yang berebut itu tentulah mereka yang mempersoalkan siapa yang lebih memiliki

“hak” untuk mengelola. Kenapa hal tersebut diperebutkan? Tidak lain karena “pembukaan fakultas baru” merupakan salah satu “lahan subur” yang dapat digunakan sebagai area atau sumber peningkatan,

baik yang berkaitan dengan persoalan finansial (ekonomi, pendapatan) maupun sosial (prestise).

Bertolak dari “apa yang dilihat” itulah, penyair kemudian mencoba untuk “mencatat” dengan maksud agar hal tersebut menjadi

bahan renungan bagi pembaca (masyarakat umum). Mengapa hal itu harus dicatat dan disiarkan kepada masyarakat umum? Sebab,

menurut penyair, peristiwa “berebut lahan” itu tidak layak terjadi,

(43)

(yang berebut) bahwa peristiwa seperti itu tidak boleh terjadi, lebih-lebih di saat negara ini (Indonesia) baru saja lahir (merdeka).

Itulah salah satu puisi yang penyairnya mencoba mengangkat persoalan sosial yang terjadi di lingkungan sekitar (di kampus UGM) mereka. Sementara itu, puisi berjudul “Gamelan” (Gadjah Mada,

Agustus 1953) karya Arthum Mulya Artha berikut mengungkap persoalan sosial yang berkaitan dengan rasa cinta tanah air.

GAMELAN

Ini gamelan:

hidup rukun dalam seni bunyi semuanya tinggal rangka di gua mati.

Kayu besi ruang dasar angin tangan mulut

kaki dan merasuk-rasuk

pada perhentian bunyi di pacuan waktu membulat pada keindahan segala bentuk Ini gamelan:

tumbuh pribadi, seni, lukisan sinar hidup bangsa kumpulan benda-benda mati

hidup dua kali di bumi sastra dan seni!

Dan!

(44)

denting juga segala gamelan di antara hidup yang panas

dan gerak badan halus di dekat kecupan manusia yang datang merayap

Gamelan berbunyi terus

Ia bukan nafas yang mati ditawan orang!

Secara tersirat tampak bahwa puisi tersebut mencoba menggam-barkan perubahan tradisi dalam masyarakat kita. Kecintaan kita kepada tanah air yang digambarkan secara simbolik dalam puisi itu disimbolkan dengan semakin lenyap dan hilangnya tradisi

(disimbolkan dengan “gamelan”). Peran “gamelan” yang melam

-bangkan hidup rukun itu dewasa ini mulai digantikan oleh “gamelan lain” yang meskipun berbunyi, bunyi dentingnya lain. Denting itu tidak lagi menggambarkan kerukunan seperti bersatunya seni bunyi

itu. “Gamelan lain” itu berada dalam pacuan irama baru, di antara

hidup yang serba panas.

Kalau di dalam puisi di atas tema cinta tanah air digambarkan melalui simbol-simbol perubahan tradisi, tema cinta tanah air di

dalam puisi berjudul “Memburu Deru” (Gadjah Mada, November

1951) karya Mayang n’Dresjwari berikut diungkapkan melalui

ajakan agar selalu bersemangat untuk maju. Ajakan untuk maju itu terlihat melalui simbol kecepatan mobil yang melaju kencang.

MEMBURU DEBU

Ini! Ini!

(45)

Diburu debu

Bau asap dan bensin Sesak aku menahan napas Debu menyentak-nyentak Di antara bulu mataku Di balik tabir abu

Mobil cepat mengecil jauh Dan kilau sinar balik Tajam mengejek aku Lari! Aku lari

Keluar dari gulungan debu ini Mana pesawat jet dan radar Akan kupakai itu

Mengejar ketinggalanku Sinar balik di mobil jauh itu Akan kukejar, dan kutembus Deru campur debunya Cepat-cepat

Menuju:

Deru udara baru!

25 Mei 1950

Sedikit berbeda dengan puisi di atas, puisi karya J. Cobs

berjudul “Dari Revolusi” (Gadjah Mada, November 1951) berikut menggambarkan tema kemerdekaan dan cinta tanah air melalui simbol busa sabun yang ditiup, lalu membesar, menggelembung, dan

akhirnya pecah. Kata “pecah” dalam hal ini adalah suatu ungkapan

(46)

DARI REVOLUSI

air sabun dikacau membusa

buih sabun ditiup mengembang gembung terbang membubung ke udara

makin lama makin besar sudah besar bertambah jua bundar berputar-putar

akhirnya tiba batasnya: pecah lenyap di dalam hawa

busa sabun

terjadinya seperti cendawan kesarnya secepat kilat begitu pula pecahnya busa sabun

mainan si buyung!

Persoalan-persoalan sosial (cinta tanah air atau negara)

seperti tampak pada puisi di atas tampak pula, antara lain, “Lagu Kerakyatan” (Gadjah Mada, Oktober 1952) karya Yuddha,

“Rangsang” (Gadjah Mada, Januari 1954) karya Soegi

Notosoewarso, “Membangun Kembali” (Gadjah Mada, November

1954) karya Bier, “Bunuh Diri” (Gadjah Mada, September 1954)

karya Wiratmo Sukito, “Hampa” (Gadjah Mada, Juli 1955) karya

Sjamsul Suhud, “Anak Perjuangan” (Gadjah Mada, Oktober 1955)

karya Yusmanam, “Amor Fati” (Gadjah Mada, November 1955)

(47)

BUNUH DIRI

Bila ingin hati membunuh diri pada esok hari, kekasih bukankah dia mengabdi

pada kebebasan dan kemanusiaan?

Bila dia tidak oleh putus asa tapi pengabdian pada keberanian bukankah dia seorang pahlawan pejuang kebebasan dan kemanusiaan?

(Dan andaikan hati pantang patuh besok atau lusa aku sudah pahlawan)

Di samping itu, beberapa penyair lain di dalam majalah

Gadjah Mada dan Gama juga masih menggambarkan tema dan masalah yang mengenang peristiwa perjuangan. Melalui puisi

berjudul “Mimbar” (Gadjah Mada, November 1954) berikut terlihat jelas bahwa penyair (Soewito Ms.) mengagumi tokoh pejuang nomor satu di negeri ini, yakni Bung Karno.

MIMBAR

(sambil lalu kepada Bung Karno)

banyak keturunan Adam dan Eva mandi sinar mandi sinar

si lapang bermimbar pada menanti

(48)

penunjuk langit tinggi sendiri

dia yang tinggi sendiri tunjuk-tunjuk semua sudut sorak dan tepuk menyambut (pidato stop)

lega, rasa lapang dada tambah tinggi

tinggi hati tinggi sendiri

Singaraja, 1 November 1954

Tampak jelas bahwa di dalam puisi tersebut penyair menggambarkan betapa Bung Karno apabila berpidato membuat pendengarnya lega dan lapang dada. Betapa pidato dengan gaya khasnya (tangan menunjuk-nunjuk ke atas) sangat ditunggu dan dinanti-nantikan oleh masyarakat. Mengapa demikian? Karena Bung Karno adalah tokoh yang mampu memberi semangat kepada rakyat untuk siap berkorban demi negeri yang baru merdeka. Demikianlah, hal serupa tampak

pula dalam puisi berjudul “Generatie” (Gama, Desember 1957— Januari 1958) karya Suparto R. Sastrowardojo dan “Untuk Kepada Mu” (Gadjah Mada, April 1951) karya Harjono, “Untuk Mystici Muda” (Gadjah Mada, Juli 1951).

Tidak jauh berbeda dengan beberapa puisi di atas, problem

(49)

PENGGALI BATU KAPUR

Kapur yang ditikam adalah sebagian umumnya kapur yang digenggam adalah sebagian cintanya Diserahkan tubuhnya pada tikaman matahari Diserahkan cintanya pada tikaman waktu Nyanyian yang dilontarkan adalah pelepas letih Nyanyian yang diceritakan adalah penguat nadi Bukan kegirangan menyelimuti bukit kapur Tapi pergulatan melawan raut dan waktu Bukan kegirangan nyanyi dan kapur Tapi penolakan akan dera dan kematian Kapur yang ditikam adalah sebagian umurnya Kampur yang digenggam adalah sebagian cintanya Karena sadar, penolakan kematian

Adalah yang pertama harus diselesaikan Karena sadar, penolakan kegelisahan Adalah yang kedua harus dicapai

Persoalan yang samaterungkap pula dalam puisi “Lonceng” (Gadjah Mada, Februari 1956) karya Kirjomulyo, “Kisah dari Gunung”

(Gadjah Mada, Maret 1956) karya Amrin Thaib, “Lagu Malam Hari”

(Gama, Desember 1957—Januari 1958) karya Hardjono H.P., dan

“Kabar dari Daerah Kering” (Gama, Februari 1958) karya Hardjono

H.P. Berikut dikutip lengkap sajak “Lagu Malam Hari” karya

Hardjono H.P.

LAGU MALAM HARI

Ya, ya dengarkan musik kami!

dentang kaleng, kotak sampah, gendang yang dipukul jemari kurus

(50)

hati kami berduka, karena siang tadi pahlawan kami mati tergilas

dan turutlah berduka!

Ya, ya dengarkan musik kami!

biar kau tahu bagaimana kami kerja, dan kau ketawa tapi ini juga lagu nestapa, dan kau boleh cucur air mata atau bisu saja

Ya, ya tataplah kami!

biar kau tahu, inilah hati yang tertumpah pada jeladren sampah

tidur atas pembaringan tanah asing

Ya, ya tataplah kami! dan inilah hidup.

Yogya, Januari, 1958

Selain mengungkap berbagai tema kehidupan pada level personal dan sosial, para penyair yang aktif menulis di majalah

Gadjah MadadanGama juga mengungkap sisi kehidupan pada level matafisikal. Pada umumnya, sisi kehidupan metafisikal yang dikedepankan bergayut erat dengan persoalan kesadaran manusia bahwa sekuat-kuat manusia masih ada kekuatan lain di luar dirinya, dan sebesar-besar manusia masih ada sesuatu yang lebih besar darinya. Kesadaran inilah yang membuat manusia merasa tidak sempurna karena yang paling sempurna hanya Sang Pencipta (Tuhan). Oleh sebab itu, menusia lewat ritual-ritual tertentu, atau penyair lewat karya-karya puisinya, menyatakan kerinduan “ingin bertemu” dengan-Nya. Oleh sebab itu pula, yang tersirat dan tersurat kemudian adalah suasana religi(us).

Puisi berjudul “Pengakuan”, “Berdua”, dan “Janji” (Gama,

(51)

karya Jussar As., “Cinta” (Gama, Februari 1958) karya Jussi

Soehardi, “Pusaka dan Kami” (Gadjah Mada, April 1951), “Dari Bawah Kemboja” (Gadjah Mada, Mei 1954) karya Us, “Hidup Ini”

(Gadjah Mada, Januari 1956) karya Henry Guntur Tarigan, dan

“Sirna” (Gadjah Mada,April 1955) karya Hidjaz Jamani terasa jelas menyuarakan semangat religius sebagaimana dimaksud di atas. Coba cermati bagaimana beberapa penyair berikut (Budi Darma, Wahyu T., dan Hidjaz Jamani) mencoba menggambarkan suasana metafisis atau religius di dalam puisinya berikut.

PENGAKUAN

Budi Darma

Ketika kita sama menghadap Lingkaran-lingkaran dalam hatinya

Berkelenengan lonceng-lonceng gerejanya Mengelukan manusia ke pelukannya

Berdatangan ke sini semua yang mengikuti Kita bersama lonceng gereja

Hendaknya tertawanya memecahkan malam Karena waktu ini malam pengakuan

SIRNA

(catatan penuh buat Idawati)

Hidjaz Jamani

I

Pernah hidup ini berlagu kecil-kecilan

tetapi bukan karena datang di malam2 penuh bintang ia hidup mengusik lama sebelumnya

(52)

Yang datang dari atas batu2 nyawa diterang pagi lagu berlagu padu seindah yang dipuja dan dicinta (Terbukalah kisah demi kisah

seperti kelahiran datang mau menguji diri Adakah pendekatan antaranya memaut cinta Meski dirasa pemanasan dan kedinginan bersatu di tepi subuh dan di terik siang hari datanglah kejernihan dan ketenangan)

II

Kasih manusia–datang dan pergi

Sekali ke lautan lepas–tenggelamlah sedikit mimpi biar sudah dibisik sekali–bawalah bersama cinta Daralah–kelanadara

Berbisik sendiri teruna dari hari ke hari

dan malam demi malam mendatar dalam kesuraman Belumlah akhir kisah kepanjangan hari

tetapi hilang air mawar yang didirus sendiri

III

Terbetik di hati sekali berdiri di pantai landai bertanya semau hati dalam diri

Oooo! Adakah kisah manusia hilang? Satu-satu layar mengembang di depan jauh Nelayan-nelayan adakah cinta kisah manusia? Oh, dia bergita–dia bersiul tak punya lagu duka Oh, camar2 juga

(Malam datang tenteram–siang seirama lepas) Jika kelahiran sepanjang hati dalam lagu pantai Inilah lagu2 di pantai landai

Sepi diri–tapi jauh diri–tenteramlah!

(53)

IV

Bila hati dan hari2 di penjara alam Juga deru dan desau angin menggiurkan

bulan sabit bermain bersama bintang di balik awan

Tetapi–kalah dikau dara bagi si penjaga alam biar musik dan kecapi pada menjauh diri

keheningan–kesepian–datanglah kesucian diri Aku tahu ini pengasingan buat penyair sunyi tetapi pengasingan akan dekat pada TUHAN datanglah ilham dari langit tingkat ketujuh

Kecuali kerlap-kerlip sinar yang bermain dalam rindu

Banjarmasin, 27 Maret 1955

LARI

Wahyu T.

Waktu kita jumpa depan kelas Hatiku merajuk minta lepas Pulanglah aku pulang jua Untuk kau aku tak usah serui Aku lari, aku mau lari

Padangku terlalu luas–aku bisa bebas Paduan hati Cuma sekilat pandang Sekejap dan lenyap

Tapi kini aku punya pinta

Tutuplah mukamu hapuslah hitaman Setelempap kita berpisah

(54)

Tak kau mau hapuskan sehelai coretan? Peduli apa aku kehilanganmu

Aku kehilangan permata Satu Bak kematian lilin dekat jurang Tapi masih juga aku punya mau

Aku punya mau punya waktu Aku milih jalan ini

Biarkan sangkutan lepas Goresan kan hilang sendirinya (Biar kau tak usah hilangkan)

Mati itu cuma pembuangan dosa Pelupaan segala noda

Tambah sedih hati mau senyum Di bawah nisan tempat pelarian

Juni 1955

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa puisi-puisi religius yang ditulis oleh para penyair di majalah Gadjah Mada dan Gama

memperlihatkan suatu kecenderungan tertentu, yaitu religius-agamis. Budi Darma, misalnya, hampir semua puisi religius yang ditulisnya menunjuk ke aspek agama tertentu, yakni Kristiani; hal itu terlihat dari pilihan kata-katanya seperti gereja, Maria, Theresia, atau Isa

seperti yang terdapat dalam puisi “Janji”. Sementara itu, sebagian

puisi lainnya menunjuk ke aspek religiusitas, dalam arti bahwa aspek formal agamanya tidak begitu tampak; yang tampak hanyalah nilai-nilai keagamaan atau religiusitasnya.

(55)

yakni level personal, sosial, dan metafisikal, sedangkan masalah yang digarap cukup bervariasi, yaitu masalah cinta, persahabatan, kepedulian pada keadaan sekitar, penderitaan rakyat, kejahatan, perjuangan, cinta tanah air, kesadaran terhadap Tuhan, dan sejenisnya.

Sementara itu, diamati dari segi stilistik, atau gaya ungkapnya, atau bentuk ekspresinya, terlihat bahwa puisi-puisi di dalam majalah Gadjah Mada dan Gama didominasi oleh model penggarapan yang sudah modern. Artinya, sebagian besar puisi-puisi tersebut ditulis dengan cara dan gaya bebas, tidak lagi terikat oleh susunan dan atau irama yang rapi seperti halnya puisi-puisi sebelum

Angkatan ’45. Kendati demikian, walaupun susunan bait dan

barisnya tidak lagi rapi, tetapi sebagian puisi masih ada yang mengikuti pola tradisional, misalnya dengan adanya tanda-tanda tertentu seperti tanda titik (.), koma (,), tanda seru (!), tanda tanya (?),

atau tanda elepsis (…). Perhatikan, misalnya, puisi berjudul “Karena Hati” (Gama, Februari 1952) karya S. Sjah berikut.

KARENA HATI

Kukayuh dayungku, kearah pantai harapan. Mulanya angin reda, cuaca cerah,

langit membiru.

Berangsur-angsur, ribut berembus, Awan mendung, angkasa murka. Sampanku,

kini ‘lah jauh ditengah samudra.

(56)

Berarus bergelombang, Sakti bertuah.

Kulengong kebelakang:

Sungguh panjang, jalan pulang. Jelas kudengar, langit bergulung.

Sayup-sayup di mataku

Nyiur melambai, di tepi pantai, Kuingat tekadku;

Citaku sungguh luhur.

Tidak …

Setapak pun ku tak mau undur Karena hati, biar mati;

Dari maut kembali surut; Biar bangkai sampai pantai.

Ciri tradisional pada puisi tersebut terlihat pada dua hal, yaitu bentuk simetris dan persajakan yang tetap memberi efek pada irama yang teratur, tenang, dan pilihan kata yang klise, seperti nyiur melambai, di tepi pantai, kukayuh dayung, angin berembus, awan mendung, angkasa murka,dan sebagainya sehingga terasa membosankan. Atau dengan kata lain, tradisi yang kuat dalam puisi tersebut berupa tanda-tanda verbal yang dihadirkan secara sengaja untuk memperoleh efek estetis tradisional. Gaya ekspresi yang serupa tampak pula pada puisi

“Amor Fati” (Gadjah Mada, November 1955) karya Henry Guntur

Tarigan dan puisi “Semua Tahu” (Gama, September 1953) karya Wiratmo Sukito seperti berikut.

AMOR FATI

bosan aku sudah ….

dengar keluh tak bersudah

(57)

kita sama buruh punya pintu serupa tiada seberapa

ini dunia ….

punya kita bersama

semenjak ada ….

hanya kau penuh kesah berani tiada tegak kukuh segala resah rasa musuh

kita terima saja

yang ada … rela

mau kuasa …. maha raja ….

bukan tak biasa

usaha! kerja! pakai daya tapi jangan lupa:

AMOR FATI SEMUA TAHU

Semua tahu aku mencari cinta

sejak dulu sebelum melati berkembang tapi penuh ulat kembang yang kupetik sebab itu kucampakkan kembali

(58)

yang mekar sebentar lalu layu lagi tapi mawar yang putih berkembang tak mungkin mekar di tanah air

Semua tahu aku mencari cinta

sejak dulu sebelum melati berkembang tapi banyak lautan harus diarungi barulah tujuan akan tiba

Bila lagi dengan gadis berselendang

bunga-bunga yang tumbuh di padang-padang akan satu pun bukan cintaku

sebab cintaku jauh di pulau

Semua tahu aku mencari cinta

sejak dulu sebelum melati berkembang tapi sampai kini belum bertemu

gadis manis berambut emas mata kemilau

Tampak dalam puisi tersebut bahwa keteraturan bait, baris, dan persajakan diramu dengan bentuk simetris pada awal baris sehingga irama puisi tersebut terasa tenang, tanpa dinamika, walau sebenarnya substansi puisi itu dinamis. Hal inilah yang mengesankan adanya gaya romantisme Pujangga Baru pada masa sebelum kemerdekaan.

Walau demikian, gaya ungkap tradisional semacam itu telah banyak ditinggalkan oleh sebagian besar penyair; dan gaya mereka

mengikuti pola baru atau modern (bebas). Perhatikan puisi “Aku dan Kelelawar” (Gadjah Mada, November 1952) karya Mbah Tirta berikut.

AKU DAN KELELAWAR

(59)

malam buta, dingin hanya ada terang lentera di tepi jalan, sepi

hingga kepak sayapmu mengejut hati

gemersik suara

bersintuhan dengan daun jambu

Manusia ini pergi tidur Sedang kamu pergi terbang

… mencari …

meninggalkan runtuhan butir air hujan

di daunan….

Selain gaya ungkap seperti di atas, terlihat pula bahwa sebagian penyair di majalah Gadjah Mada dan Gama mencoba mengekspresikan ide dan gagasannya ke dalam bentuk puisi naratif semacam balada. Bahkan, ada pula penyair yang menulis puisi berbentuk surat. Bentuk balada, misalnya, terlihat pada puisi berjudul

“Yutinah” (Gama, November 1958) karya Yoesmanam, sedangkan

puisi berbentuk surat, misalnya, tampak pada sajak berjudul “Sampai Surya Terbit Kembali” (Gadjah Mada, April 1951) karya Usje.

Berikut dikutip secara lengkap puisi “Yutinah” dan “Sampai Surya Terbit Kembali”.

YUTINAH

Si anak yang dilumari getah Masih enak bilang cerah Kalau senja lari bicara Hatinya mendaki cita

(60)

Betapa jilatan amis bundanya Kentara mendegup di muka basah Kentara mengalir di kali lintah Kentara mendesau di mimpi bencah

Tapi kan sungguh ia rupawan, sayang Justru di perut pengertian

Kadang cintanya bumi kemanisan Dan sayangnya pada hidup kenakalan Akhir melepas tali keibuan

Kerna ia amat rupawan, sayang Hidup di jalanan permainan

Itulah simanis sumber percakapan

Itulah si manis upacara segenap pelanangan

Begitu si manis yang dilumari getah Menyemikan syak tanah darah Menyegarkan dada yang gerah

Maka disebutlah satu kisah Si manis anak pedusunan Yang dilepas ke kota keilmuan Dengan hati bunda kebak harapan Anaknya pulang bawa kemanisan Buat dusun yang dilumari kegetahan Tapi bukan itu yang diperdapat Karena si manis salah pengertian Si manis lupa daratan

Referensi

Dokumen terkait

Nilai rata-rata parameter ke- eepatan arus pad a lokasi penelitian adalah 39,S em/so Nilai keeepatan arus ini menurut Sueiantoro (1997) termasuk dalam kisaran yang

Pada persamaan regresi diatas dapat kita lihat bahwa nilai Unstandardized Coefficients B sebesar – 0,150 yang berarti bahwa jika variabel independen dalm hal ini dewan

*All rules, policies, and procedures that are found in the SET High School Student Handbook will be enforced in this classroom.. Most disciplinary actions will be handled on an

Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah menemukan dan menggali alasan- alasan yang mendasar mengenai mengapa pembelajaran PAK SMA berorientasi pada pengembangan kompetensi siswa

Tabel 4.5 Hasil Skor Post Test Kelas Kontrol dengan Eksperimen

Library Research. Data penelitian ini berupa kata yang mengungkapkan makna hujan. Sedangkan sumber datanya berasal dari Al-Quran. Teknik pengumpulan data penelitian ini

Kondisi objektif ini menggambarkan bahwa kemampuan sosial guru tampak ketika bergaul dan melakukan interaksi sebagai profesi maupun sebagai masyarakat, dan kemampuan

Ada banyak faktor yang mempengaruhi insidensi FPD dan kualitas litter, seperti tingkat ke­ padatan (stocking density), bahan dari litter, program pencahayaan, desain tempat