• Tidak ada hasil yang ditemukan

KRITISASI PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NO.5 TAHUN 2010

Dalam dokumen makalah pranata (Halaman 44-52)

15. Kaveling/persil adalah suatu perpetakan tanah, yang menurut pertimbangan Pemerintah Daerah dapat dipergunakan untuk tempat mendirikan bangunan

3.2 KRITISASI PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NO.5 TAHUN 2010

 Bab I : Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 9

“(9) Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada diatas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatanya, baik untuk hunian tempat tinggal, kegiataan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan social, budaya maupun kegiatan khusus”

Pasal ini memiliki kemiripan dengan UU no.28 tahun 2002 yang memang menjadi sumber hukumnya, sehingga kekurangan pada UU tersebut kembali terulang pada pasal ini,

seharunya sebagai peraturan yang memperjelas peraturan yang lain, pasal ini memiliki tolak ukur yang lebih nyata.

 Bab I : Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 13

“(13) Bangun-bangunan adalah suatu perwujudan fisik arsitektur, yang merupakan penciptaan lingkungan yang berdiri di atas tanah atau bertumpu pada landasan dengan susunan konstruksi tertentu sehingga terbentuk ruang yang terbatas seluruhnya atau sebagian diantaranya berfungsi sebagai dan/atau tidak merupakan pelengkap Bangunan gedung.”

Pasal 1 ayat 13 ini memiliki kekurangan dimana ayat ini tidak memilik parameter terukur yang dapat di aplikasikan dengan jelas, sehingga dikhawatirkan terdapat banyak celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab.

 Bab I : Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 14-15

“(14) Perpetakan adalah bidang tanah yang ditetapkan batas-batasnya sebagai satuan-satuan yang sesuai rencana kota”

“(15) Kaveling/persil adalah suatu perpetakan tanah, yang menurut pertimbangan Pemerintah Daerah dapat dipergunakan untuk tempat mendirikan bangunan”

Pasal 1 No.14-15 ini hanya menjelaskan tentang pengertian non-teknis tentang perpetakan serta kavling tanah, pada bab selanjutnya sendiri tidak dijelaskan tata cara penentuan perpetakan tersebut secara khusus.

Tidak adanya kejelasan mengenai tatacara perpetakan tanah secara khusus yang secara fisik dapat menunjukan kepemilikan dari perpetakan tanah tersebut selanjutnya dapat

menyebabkan pengalih fungsian tanah secara illegal.

 Bab IV Persyaratan Bangunan Gedung, Bagian Kedua, Persyaratan Administratif Bangunan Gedung, Pasal 14 ayat 1-4

“(1) Kegiatan pendataan dan pendaftaran untuk bangunan gedung baru dilakukan bersamaan dengan proses IMB.”

“(2) Kegiatan pendataan dan pendaftaran untuk bangunan gedung yang telah berdiri dilakukan bersamaan dengan proses pengesahan surat keterangan laik fungsi bangunan

gedung atau proses IMB apabila terjadi perubahan dan/atau penambahan bangunan gedung.” “(3) Pemilik bangunan gedung wajib memberikan data yang diperlukan oleh Pemerintah

Daerah dalam melakukan pendataan dan pendaftaran bangunan gedung.”

“(4) Tata cara pendataan dan pendaftaran bangunan gedung diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota.”

Pada Pasal 14 ayat 1-4, Bab IV Persyaratan Bangunan Gedung, Bagian Kedua, Persyaratan Administratif Bangunan Gedung ini terutama pada ayat 2 dimana akan terjadi keambiguan saat dihadapkan pada kondisi bangunan yang sudah terbangun dan ternyata tidak mendapat surat keterangan laik fungsi yang akhirnya menghambat proses IMB.

 Bagian Ketiga, Persyaratan Teknis Bangunan, Paragraf 2 Persyaratan Tata Bangunan, Pasal 17 ayat 5

“(5) Dalam hal RTRW, RDTR, RTRK dan/atau peraturan bangunan setempat dan RTBL belum ditetapkan, maka Walikota dapat memberikan persetujuan membangun bangunan gedung dengan pertimbangan:

a. Persetujuan membangun tersebut bersifat sementara sepanjang tidak 
 bertentangan dengan ketentuan-ketentuan tata ruang yang lebih makro, 
 kaidah perencanaan kota dan penataan bangunan;

b. Walikota segera menyusun dan menetapkan RDTR, peraturan 
 bangunan setempat dan RTBL berdasarkan RTRW;

c. Apabila persetujuan yang telah diberikan terdapat ketidaksesuaian 
 dengan rencana tata ruang dan tata bangunan yang ditetapkan kemudian, maka perlu diadakan penyesuaian dengan resiko ditanggung oleh pemohon/pemilik bangunan;”

Pada Pasal 17 ayat 5 ini mengandung ketimpangan antara kekuasaan walikota dengan pemilik/pemohon bangunan gedung. Pasal ini menyiratkan ketidakadilan dimana pemilik/pemohon bangunan gedung dirugikan atas ketidak jelasan yang dilakukan pemerintah.

Jika memang izin untuk mendirikan bangunan diberikan sebelum Tata wilayah bangunan diberikan, ketika tata wilayah telah terbentuk dan bangunan yang berdiri tidak sesuai,

bukankah seharusnya pemberi izinlah yang menanggung resiko penyesuaian atas kompensasi dari ketidakjelasan yang terjadi. Sehingga hal tersebut dapat dianggap adil untuk kesemua pihak.

 Bagian Ketiga, Persyaratan Teknis Bangunan, Pasal 31 ayat 10-11

“(10) Penempatan fasilitas kamar mandi dan kakus untuk pria dan wanita harus terpisah.”

“(11) Ruang rongga atap hanya dapat diizinkan apabila penggunaannya tidak menyimpang dari fungsi utama bangunan serta memperhatikan segi kesehatan, keamanan dan keselamatan bangunan dan lingkungan.”

Pada Pasal 31 ayat 10 tidak ada kejelasan mengenai jenis bangunan gedung apa yang harus menerapkan aturan, dimana aturan ini sendiri tidak relevan dengan kondisi saat ini. Peraturan ini tidak relevan jika diterapkan pada bangunan non-publik.

Pada Pasal 31 ayat 11 tidak ada kejelasan yang terukur dari rongga atap seperti yang dapat digunakan serta tidak ada pedoman teknis mengenai hal yang terkait.

 Bagian Ketiga, Persyaratan Teknis Bangunan, Pasal 32 ayat 2

“(2) Bangunan atau bagian bangunan yang mengalami perubahan perbaikan, perluasan, penambahan, tidak boleh menyebabkan berubahnya fungsi/penggunaan utama, karakter arsitektur bangunan dan bagian-bagian bangunan serta tidak boleh mengurangi atau mengganggu fungsi sarana jalan keluar/masuk.”

Pada pasal 32 ayat 2 ini menerangkan mengenai renovasi yang tidak boleh menyebabkan perubahan fungsi namun hal ini tidak relevan dengan fenomena yang terjadi, karena pada aplikasinya justru pengembang yang memang menyediakan sarana hingga pengalih fungsian utama terjadi.

 Bagian Ketiga, Persyaratan Teknis Bangunan, Pasal 34 ayat 2-4

“(2) KDH minimal 10 % (sepuluh prosen) pada daerah sangat padat/ padat dan KDH ditetapkan meningkat setara dengan naiknya ketinggian bangunan dan berkurangnya kepadatan wilayah.”

“(4) Ruang terbuka hijau pekarangan sebanyak mungkin diperuntukkan bagi penghijauan/penanaman di atas tanah. Dengan demikian area parkir dengan lantai perkerasan masih tergolong RTHP sejauh ditanami pohon peneduh yang ditanam di atas tanah, tidak di dalam wadah/ kontainer yang kedap air.”

Pada Pasal 34 ayat 2 peningkatan setara dengan kenaikan ketinggian bangunannya tidak mememiliki kejelasan yang pasti dan nyata sehingga berpotensi menimbulkan keambiguan.

Pada Pasal 34 ayat 4 bersifat sedikit kontradiktif dengan ayat 2 karena seakan-akan memperbolehkan “ketiadaan” KDH asalkan ada sepetak tanah saja yang ditanami pohon peneduh. Ketidak jelasan juga tersurat melalui pernyataan lantai perkerasan karena tidak ada gambaran khusus tentang material yang digunakan.

 Bab V : Penyelenggaraan Bangunan Gedung, Bagian Pertama Pembangunan, Pasal 84 ayat 3

“(3) Pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti kaidah pembangunan yang berlaku, terukur, fungsional, prosedural, dengan mempertimbangkan adanya keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat terhadap perkembangan arsitektur, ilmu pengetahuan dan teknologi.”

Pasal 84 ayat 3, Bagian Pertama Pembangunan, Penyelenggaraan Bangunan Gedung, Bab V, mengandung kekurangan dalam pernyataan “nilai-nilai social budaya setempat terhadap perkembangan arsitektur” karena cenderung tidak setara dengan aspek lain pada pasal tersebut. Hal demikian terjadi karena tidak jelas dan terukur secara pasti bagaimana nilai tersebut di aplikasikan.

 Paragraf 1 Perencanaan Teknis Pasal 88 ayat 1-3

“(1) Penggunaan bahan bangunan semaksimal mungkin menggunakan bahan bangunan produksi dalam negeri/setempat dengan kandungan lokal minimal 60 % (enam puluh prosen).”

“(2) Penggunaan bahan bangunan harus mempertimbangkan keawetan dan kesehatan dalam pemanfaatan bangunannya.”

“(3) Bahan bangunan yang dipergunakan harus memenuhi syarat-syarat teknik sesuai dengan fungsinya, seperti yang dipersyaratkan dalam SNI.”

Pada Pasal 88 ayat 1-3, pada dasarnya pasal ini berguna untuk melindungi produsen material dalam negeri namun jika produsen tidak dapat mengikuti perkembangan teknologi dalam arsitektur, maka pasal ini perlu dikaji ulang.

 Pasal 111 ayat 2

“(2) Apabila pemasangan bahan finishing hasilnya dinilai kurang memenuhi persyaratan, maka harus dilakukan perbaikan/penggantian.”

Pasal 111 Ayat 2 ini kurang relevan dengan pasal lain karena seharusnya hal tersebut menjadi permasalah pemilik/pengguna bangunan saja. Keberadaannya sendiri dalam pasal tidak jelas karena tidak dilengkapi dengan keterangan bangunan gedung seperti apa yang harus mengikuti perda ini.

 Bab VIII : Sanksi, Bagian Kedua, Ketentuan Pidana, Pasal 162 ayat 1-3

“(1) Setiap pemilik bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Daerah ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak 10% (sepuluh per seratus) dari nilai bangunan, jika karenanya mengakibatkan kerugian harta benda orang lain.”

“(2) Setiap pemilik bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Daerah ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak 15% (lima belas per seratus) dari nilai bangunan gedung, jika karenanya mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain yang mengakibatkan cacat seumur hidup.”

“(3) Setiap pemilik bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam Peraturan Daerah ini, diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak 20% (dua puluh per seratus) dari nilai bangunan gedung, jika karenanya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.”

Sanksi pada pasal 162 ayat 1-3, bagian kedua Bab VIII ini menerangkan dengan lebih spesifik dibandingkan dengan bab yang sama pada UU no.28 tahun 2002 tentang

Bangunan Gedung, sayangnya pasal ini tidak menjelaskan pada proses apakah pasal ini berlaku. Sehingga jika terjadi kasus yang disebabkan oleh kelalaian pengembang di tahap pembangunan akhirnya pemilik bangunanlah yang cukup dirugikan.

Secara keseluruhan Peraturan Daerah Kota Bandung No.5 Tahun 2010 mengatur tata cara mengenai pelaksaanaan dan pembangunan gedung secara lebih spesifik. Walaupun masih ada beberapa hal yang kurang dapat diukur atau dinilai secara gamblang karena bersifat sangat subjektif. Hal tersebut seperti penerapan nilai-nilai social budaya dalam rancangan arsitektur yang sangat bergantug pada penafsiran perancang terhadap nilai itu sendiri, walaupun dijamin dalam perda dikhawatirkan pemerintah kurang dapat mengendalikan fenomena penyimpangan nilai yang mungkin saja terjadi.

Terdapat pula beberapa masalah lain yaitu pemerintah yang terlihat terlalu berkuasa hingga berkesan hak-hak warga kota cenderung dikorbankan seperti pada salah satu pasa dimana warga kota harus menanggung hal yang seharusnya ditanggung pemerintah. Kekurangan lainya adalah bahwa salah satu pasal dalam peraturan daerah ini kurang sesuai atau kurang fleksibel dengan perkembangan jaman dan teknologi, agar suatu peraturan dapat terus dipergunakan sebaiknya peraturan dapat disesuaikan dengan kondisi fenomena yang terjadi atau bersifat di

BAB IV

KESIMPULAN

Dari hasil kajian studi literature kritisasi Undang-undang Undang-Undang no.28 tahun 2002 dan Peraturan Daerah Kota Bandung no.5 tahun 2010 ditemukan beberapa perbedaan dimana ecara gamblang terlihat perbedaan yang signifikan antara Undang-Undang no.28 tahun 2002 dan Peraturan Daerah Kota Bandung no.5 tahun 2010 dimana UU no.28 tahun 2002 berperan sebagai sumber hukum yang bersifat umum dan Perda Kota Bandung no.5 tahun 2010 berperan sebagai penjelas dan bersifat khusus.

Perbedaan yang terjadi karena hubungan umum-khusus ini terlihat dari isi UU dan perda dimana Undang-undang menerangkan pengertian-pengertian mengenai fungsi, pemanfataan, dan pembangunan gedung secara general dan kadang menimbulkan ketidak jelasan dalam hal pelaksanaan teknisnya, hal tersebut teratasi melalu isi Perda yang berfokus pada tata cara mengenai hal-hal yang berkaitan dengan bangunan gedung.

Pada aplikasinya kelak, ketika warga negara/kota mengalami kebingungan mengenai peraturan perundangan manakah yang perlu digunakan sebagai pedoman hukum dapat mengacu pada 3 asas utama hukum yaitu :

Lex spesialis Derogat Legi Generati, Bila ada 2 peraturan yang bertentangan maka yang dibenarkan adalah peraturan yang bersifat khusus.

Lex Superior Derogat Legi Inferior, Peraturan yang lebih tinggi selalu menghapus peraturan yang lebih rendah.

Lex Posteriori Derogat Legi Priori, Yang baru menghapus yang lama. Dalam hal UU no.28 Tahun 2002 dan Perda Kota Bandung no.5, jika terjadi pertentangan diantara keduanya maka peraturan perundangan yang digunakan sebagai pedoman hukum adalah Perda Kota Bandung No.5 karena bersifat lebih Khusus daripada UU no.28 tahun 2002

Jika yang terjadi adalah ketidakjelasan pedoman mana yang harus digunakan maka UU no.28 tahun 2002 lah yang dipilih, karena secara hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia Undang-undang lebih tinggi daripada Peraturan daerah.

Sedangkan dalam situasi lain dimana peraturan perundangan dirasa sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman, maka secara otomatis Peraturan Daerah no.5 tahun 2010 lah yang dijadikan acuan, karena bersifat lebih baru jika dibandingkan dengan Undang-undang no.28 tahun 2002.

Dalam dokumen makalah pranata (Halaman 44-52)

Dokumen terkait