• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENELAAHAN PUSTAKA

C. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi didefinisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial oleh sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara kontinyu dalam arah tertentu dan zat-zat di dalamnya menunjukkan perbedaan mobilitas karena adanya perbedan adsorpsi, partisi,kelarutan,tekananuap,ukuranmolekulataukerapatanmuatanion.Dengan pemisahan tersebut maka masing-masing zat dapat diidentifikasi atau ditetapkan kadarnya dengan metode analitik (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan MakananRI,1995).Kromatografilapistipis(KLT)merupakanmetodepemisahan komponen-komponen berdasar perbedaan adsorpsi dan partisi oleh fase diam

dibawah gerakan pelarut pengembang atau pelarut pengembang campur (Mulya dan Suharman, 1995).

Kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk menguji kemurnian dari campuran suatu senyawa. Hal ini berkaitan untuk pembuktian ada atau tidaknya komponen yang dicari dan apakah komponen tersebut murni atau tidak. Penggunaan secara khusus KLT adalah untuk mengetahui kemurnian senyawa selama proses pemurnian. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan senyawa hasil pemurnian dengan senyawa standarnya. Senyawa yang murni akan memberikan bercak tunggal pada berbagai fase gerak dengan berbagai tingkat kepolaran dan mempunyai harga Rf yang sama dengan senyawa standarnya (Gasparic and Churacek, 1978).

Pada KLT, hasil yang diperoleh ditunjukkan dengan nilai Rf yang menggambarkan migrasi relatif komponen senyawa terhadap pelarut dan berhubungan dengan koefisien distribusi komponen. Beberapa variabel dapat mempengaruhi nilai Rf, seperti komposisi pelarut, suhu, ukuran chamber, dan lapisan sorbent (Braithwaite and Smith, 1999). Dalam analisis kuantitaif dengan metode KLT, nilai Rf diharapkan berada antara 0,2 dan 0,8 (Kowalska, 2003).

R (1)

Dalam pelaksanaannya, KLT lebih murah, lebih mudah, dan peralatannya lebih sederhana dibandingkan dengan kromatografi kolom. Keuntungan lainnya menurut Gandjar dan Rohman (2007) adalah sebagai berikut

a. Pemisahan analit dapat diidentifikasi dengan menggunakan pereaksi warna,

b. Elusi dapat dilakukan dengan cara menaik, menurun atau elusi 2 dimensi

1. Fase Diam

Dalam KLT, fase diam terdiri atas lapisan tipis adsorben yang dipadatkan diatas lempengan solid sebagai lapiasan tipis dengan ketebalan kurang lebih 0.25 mm kemudian sampel akan diaplikasikan di dekat salah satu ujung fase diam dalam rupa spot/totolan kecil (Drenthe College The Netherlands, 2011).

Lempeng fase diam ini sebaiknya disimpan dalam lingkungan yang tidak lembab atau bebas dari uap laboratorium (Stahl, 1985). Sebelum digunakan, lempeng adsorben perlu diaktifkan terlebih dahulu di dalam oven dengan suhu 120o-150oC untuk menghilangkan air yang ada pada permukaan adsorben. Jika temperatur yang digunakan terlalu tinggi dapat menonaktifkan adsorben secara permanen (Braithwaite and Smith, 1999).

Tabel I. Adsorben yang Sering Digunakan pada KLT Berdasarkan Urutan Kepolarannya (Gandjar dan Rohman, 2007)

Adsorben Tingkatan Kepolaran

Alumina Paling polar

Paling non polar Silika gel

Magnesium silikat Selulosa

Resin-resin polimerik

Makin meningkat

Fase diam yang umum ialah silika gel, aluminium oksida, kieselgur, selulosa dan turunannya, dan lain-lain (Stahl, 1985). Silika gel adalah fase diam yang paling banyak digunakan (Stahl, 1985). Silika gel GF254 artinya silika tersebut mengandung gypsum (CaSO4½H2O) yang merupakan pengikat, dengan cara meningkatkan gaya adhesi antara partikel senyawa dengan silika

dan juga meningkatkan gaya adhesi antar partikel silika. F254 adalah indikator fosforesensi pada panjang gelombang 254 nm yang berarti silika tersebut dapat berfosforesensi pada panjang gelombang 254 nm (Jork, 1990).

Semua silika gel adalah silikon dioksida dari sudut pandang kimia. Masing-masing atom silikon dikelilingi oleh empat atom oksigen dengan bentuk tetrahedron. Pada permukaan silika gel, elektron valensi dari oksigen terhubungkan dengan hidrogen (Si-OH, gugus silanol) atau dengan atom silikon lainnya (Si-O-Si, gugus siloksan). Gugus silanol mewakili pusat permukaan adosorpsi-aktif yang mampu berinteraksi dengan molekul sampel. Oleh karena itu, silika gel cocok sebagai fase diam di dalam kromatografi. Kemampuan gugus silanol untuk bereaksi secara kimia dengan reagen yang sesuai dapat digunakan untuk memodifikasi permukaan silika gel (Kowalska, 2003).

Gambar 3. Stuktur Silika Gel (Hauck and Mack, 1996)

Partikel silika gel mengandung gugus hidroksi pada permukaannya yang akan membentuk interaksi hidrogen dengan molekul yang polar. Adanya air yang teradsorbsi akan mencegah molekul polar untuk membentuk interaksi hidrogen, sehingga silika gel harus diaktifkan dengan pemanasan untuk

menghilangkan air yang teradsorbsi (Christian, 2004). Kandungan air yang ideal dalam silika adalah antara 11-12 % b/b (Rohman, 2009).

2. Fase Gerak

Proses KLT dapat diubah-ubah dengan memodifikasi fase diam atau dengan mengubah kepolaran fase gerak yang digunakan, dimana mengubah kepolaran fase gerak lebih mudah dilakukan. Polaritas fase gerak diubah dengan cara menambahkan fase gerak lain sehingga diperoleh kepolaran yang tepat untuk memisahkan campuran senyawa. Kepolaran fase gerak yang digunakan untuk mengelusi harus disesuaikan berdasarkan kemampuannya bersaing dengan permukaan fase diam untuk berinteraksi dengan molekul yang terlarut (Gritter, Bobbit, and Scharting, 1991). Semakin besar indeks polaritas yang dimiliki pelarut maka pelarut semakin polar dan semakin besar

eluotropic values dari pelarut menunjukkan semakin mudah untuk mengelusi

sampel(Snyder,Kirkland,andGlajch,1997).

Polaritas fase gerak dapat mempengaruhi separasi/pemisahan. Untuk ituperludicarisuatukomposisifasegerakyangmampumemberikanpemisahan yangbaik(Anonim, 2011a). Biasanya pemilihan pelarut yang digunakan untuk analisis dengan metodeKLT,harusdapatmelarutkananalitdengansempurna, mudah menguap, viskositas rendah, serta dapat membasahi lapisan penyerap (Sherma and Fried, 1996).

Dalam penentuan fase gerak melalui proses trial and error ini, perlu memperhatikan sifat polaritas solut. Semakin polar solut maka semakin tertahan kuat ke dalam adsorben polar. Solut-solut non polar tidak mempunyai

afinitas atau mempunyai sedikit afinitas yang kecil terhadap adsorben polar, sementara solut-solut yang terpolarisasi memiliki afinitas yang kecil terhadap adsorben polar disebabkan adanya interaksi dipol atau interaksi-interaksi yang diinduksi oleh dipol. Solut-solut polar, terutama yang mampu membentuk ikatan hidrogen, akan terikat kuat pada adsorben karenanya butuh fase gerak yang relatif polar untuk mengelusinya (Gandjar dan Rohman, 2007).

Tabel II. Nilai Indeks Polaritas Pelarut Menurut Snyder, et al. (1997)

Pelarut Indeks Polarits

Nilai Eluotopik UV cut off

(nm) Alumina C18 Silika Gel

Heksana 0,1 0,01 - 0,00 195 Sikloheksana 0,2 0,004 - - 200 Toluena 2,4 0,29 - 0,22 284 Tetrahidrofuran 4,0 0,45 3,7 0,53 212 Etil Asetat 4,4 0,58 - 0,48 256 Aseton 5,1 0,56 8,8 0,53 330 Metanol 5,1 0,95 1,0 0,7 205 Asetonitril 5,8 0,65 3,1 0,52 190 Dimetilformamida 6,4 - 7,6 - 268 Dimetilsulfoksida 7,2 0,62 - - 268 Air 10,2 - - - 190 . Fase gerak yang telah dibuat kemudian dimasukkan ke dalam

chamber. Dalam rangka menjaga reprodusibilitas dari hasil pengelusian, udara

yang ada di dalam chamber harus terjenuhkan oleh fase gerak. Hal ini dapat dilakukan dengan menyiramkan fase gerak di sekeliling chamber sebelum memasukkan plate kemudian dijaga kejenuhannya dengan kertas saring dan menjaga agar chamber tetap tertutup sepanjang waktu pengelusian sampai

plate akan diambil (Anonim, 2011b). Bila ada ruang tak jenuh di balik

besar daripada bagian tengah lempeng, yang berarti angka Rf di tepi akan lebih besar dan memberi pengaruh batas (batas elusi akan tampak melengkung ke bawah di bagian tengah lempeng). Hal ini menyebabkan penurunan harga Rf di bagian tengah lempeng, efeknya dapat ditekan dengan menjenuhkan

chamber dengan bantuan kertas saring (Munson,1984).

3. Aplikasi (penotolan)

Campuran yang akan dipisahkan, biasanya dibuat menjadi bentuk larutan, ditotolkan dalam bentuk bercak atau pita. Setelah itu, plat diletakkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi fase gerak yang cocok, pemisahan terjadi selama pengembangan (Stahl, 1985). Pelarut cuplikan harus sedapat mungkin merupakan pelarut yang mudah menguap dan juga sedapat mungkin memiliki poleritas yang rendah (Sastrohamidjojo, 2005).

Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil mungkin dan sesempit mungkin. Sebagaimana dalam prosedur kromatografi yang lain, jika sampel yang digunakan terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penotolan sampel secara otomatis lebih dipilih daripada penotolan secara manual terutama jika sampel yang akan ditotolkan lebih dari 15 μL. Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda (Gandjar dan Rohman, 2007).

Untuk memperoleh reprodusibilitas, volum sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 μL. Jika volum sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 μL maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan

pengeringan antar totolan (Rohman, 2009). Penempatan spot di atas plat kira-kira 1 cm dari salah satu ujung di mana ujung ini nanti dicelupkan dalam pelarut pengembang dan spot masing-masing diaplikasikan pada jarak kira-kira 1cm dari masing-masing pusat spot (Sastrohamidjojo, 2005).

4. Pengembangan

Ada beberapa teknik pengembangan dalam KLT, seperti pengembangan ascending, pengembangan descending, dan pengembangan dua dimensi. Teknik pengembangan yang sering dipakai adalah teknik pengembangan ascending dimana ujung bawah lempeng yang terdapat spot-spot analit dicelupkan dalam pelarut pengembang (Rohman, 2009).

Jarak pengembangan fase gerak biasanya kurang lebih 10-15 cm, akan tetapi beberapa ahli kromatografi memilih mengembangkan lempeng pada jarak 15-20 cm (Rohman, 2009). Untuk plat ukuran 20 x 20 cm, jarak pengembangan maksimal yang dapat dilakukan adalah 0,5 cm dari ujung atas plat (19,5 cm) (Sastrohamidjojo, 2005).

5. Deteksi

Biasanya untuk visualisasi cukup mudah, karena ada beberapa senyawa organik yang bewarna, jika beruntung senyawa yang dipisahkan adalah senyawa organik bewarna seperti dyes dan tinta, sehingga tidak membutuhkan bantuan visualisasi khusus. Namun, kebanyakan senyawa organik tidak berwarana sehingga metode visualisasi diatas tidak berlaku. Sehingga digunakan lampu UV untuk melihat bercak yang muncul pada plat dengan menggunakan indikator fluoresensi yang akan membuat plat KLT

menjadi berpenjar kehijauan dibawah lampu UV 254 nm (Anonim, 2011a). Pengukuran kromatogram KLT kebanyakan dilakukan pada kisaran panjang gelombang UV rendah (190 nm-300 nm). Pada alat yang lebih modern seperti densitometri dapat dilakukan scanning pada permukaan lempeng (Rohman, 2009).

Dokumen terkait