• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Buah Merah (Pandanus conoideus Lam.)

Tanaman buah merah (Pandanus conoideus Lam.) berasal dari famili Pandanaceae, genus Pandanus dan spesies Conoideus. Pandanus adalah genus kompleks palaetropical yang terdiri atas sekitar 600-700 spesies dan umumnya tumbuh pada daerah tropis, terutama di pulau Pasifik, Malaysia dan Australia (Lechat et al. 1996; Jong & Chau 1998; Sadsoeitoeboen 1999).

Tanaman buah merah banyak tersebar di Papua terutama di daerah pegunungan. Pada habitat aslinya, tanaman buah merah tumbuh baik di dataran rendah (40 m dpl) sampai dataran tinggi (2000 m dpl). Tanaman ini tumbuh bergerombol dan tumbuh dengan baik pada suhu di bawah 17 oC, curah hujan rata 186 mm per bulan, penyinaran matahari 75% serta tekanan udara rata-rata 896 milibar (mb). Tanaman buah merah tumbuh secara kompetitif di lingkungan dengan kondisi tanah lembab dengan pH netral, suhu 23-33 o

Tanaman buah merah termasuk tanaman berbentuk semak, perdu, atau pohon. Daunnya tunggal berbentuk lanset sungsang, berwarna hijau tua dan letaknya berseling. Batangnya bercabang banyak, tegak, bergetah, dan berwarna coklat bercak putih. Tinggi tanaman ini mencapai 16 m. Akar tanamannya berfungsi sebagai penyokong tegaknya tanaman dan tergolong akar serabut dengan tipe perakaran dangkal. Buahnya panjang dan memiliki bentuk silindris, ujung tumpul, dan pangkal menggantung (Gambar 1). Panjang buahnya antara 96-102 cm dengan diameter 15-20 cm. Bobot buah mencapai 7-8 kg. Buah berwarna merah bata saat muda dan merah terang saat matang. Perkembangbiakkan buah merah melalui pertunasan dan biji. Tanaman buah merah yang tumbuh dan berbuah akan mengeluarkan tunas-tunas di sekitar tanaman induk (Budi & Paimin 2004). Tanaman buah merah mulai menghasilkan buah pada umur 3-5 tahun tergantung jenisnya. Kultivar-kultivar buah pandan yang telah diketahui dan dibudidayakan oleh masyarakat memiliki waktu berbunga yang berbeda-beda dalam satu tahun. Mulai dari berbunga hingga panen membutuhkan waktu sekitar enam bulan (Orocomna 2003).

C, dan kelembaban udara antara 73-98% (Sadsoeitoeboen 1999).

Gambar 1 Tanaman buah merah (Lisangan 2005)

Ciri morfologi buah merah dalam populasi P. conoideus dapat dibedakan menjadi empat kultivar, yaitu kultivar merah pendek, merah coklat, merah panjang dan kuning (Sadsoeitoeboen 1999). Komposisi kimia buah merah bervariasi pada berbagai kultivar dan dipengaruhi oleh tempat tumbuh (Sarungallo et al. 2008). Hasil eksplorasi dari 16 kultivar buah merah yang berasal dari dataran rendah, dataran sedang dan dataran tinggi di Papua menunjukkan bahwa kadar total karoten tertinggi adalah pada daerah dataran rendah dengan total karoten sebesar 594.15-3309.42 ppm. Total karoten buah merah dari dataran sedang berkisar 603,16-857,9 ppm dan dataran tinggi berkisar 332,65-749,06 ppm. Dijelaskan pula bahwa kandungan total tokoferol tertinggi adalah pada buah merah yang berasal dari dataran rendah berkisar 2.294,12-11.917,81 ppm. Sedangkan pada dataran sedang berkisar 964,52-2.853,23 ppm dan pada dataran tinggi berkisar 1848.96-6780.49 ppm.

Buah merah di daerah Papua umumnya dikonsumsi dalam bentuk minyak buah merah. Masyarakat mengolah buah merah dengan cara bakar batu (cara esasi atau esasouk) dimana buah akan masak setelah lebih dari satu jam pembakaran. Cara memasak ini dilakukan bersama-sama dengan ubi jalar dan sayuran lainnya. Setelah itu buah merah diperas dan hasil perasan ditampung untuk memasak sayur tumis. Buah ini juga dimanfaatkan sebagai saus untuk penggurih nasi, ubi dan sagu serta digunakan sebagai bahan pewarna makanan (Wiriadinata 1995; Sadsoitoeboen 1999).

Ekstraksi Minyak Buah Merah

Ekstraksi minyak adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Setiap jenis sumber minyak memerlukan cara ekstraksi yang berbeda antara satu sumber dengan sumber lainnya, dimana dapat dilakukan dengan cara rendering, pengepresan mekanik dan ekstraksi pelarut ( Ketaren 1986).

Cara ekstraksi dengan rendering merupakan suatu cara ekstraksi minyak atau lemak dari bahan yang mengandung minyak atau lemak dengan kadar air tinggi. Cara ekstraksi ini membutuhkan panas untuk menggumpalkan protein sehingga air akan menguap dan lemak dapat dipisahkan. Rendering dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara wet rendering dan dry rendering. Wet rendering dilakukan dengan menambahkan sejumlah air selama proses pemanasan dalam ketel terbuka atau tertutup pada temperatur sekitar 50 oC selama 4-6 jam. Pada proses dry rendering selama pemanasan berlangsung tidak ditambahkan air dalam ketel terbuka yang dilengkapi steam jacket serta alat pengaduk. Pemanasan dilakukan pada suhu 105-110 o

Kandungan minyak pada beberapa kultivar buah merah asal Manokwari bervariasi dimana kandungan minyak buah merah kultivar merah panjang 22.47% (bk), kultivar merah pendek 23.80% (bk), kultivar merah coklat 10.31% (bk) dan kultivar kuning 8.18% (bk) (Sherly 1999). Buah merah mengandung 35.93% minyak (bk) dengan komposisi asam palmitoleat 19.58%, asam stearat 0.38% dan asam oleat 79.92% (Murningsih 1992).

C, dimana sisa bahan yang diambil minyaknya akan mengendap pada dasar ketel dan minyak pada bagian atasnya (Ketaren 1986).

Susanti (2006) melaporkan bahwa metode ekstraksi akan berpengaruh terhadap sifat fisikokimia ekstrak buah merah. Data selengkapnya pada Tabel 1.

Tabel 1 Sifat fisikokimia ekstrak buah merah

Parameter Satuan Buah segar Metode tradisional Metode modifikasi suhu Metode pengepresan Viskositas Cst 2.85 3.50 3.22 2.97 Indeks bias oC 1.48 1.34 1.42 1.47 Berat jenis ml/g 0.65 0.60 0.62 0.66 Kadar air % 0.03 0.03 0.04 0.03 Titik asap oC 192.75 181.30 188.50 190.50 Asam lemak bebas % 0.09 21.96 0.57 0.09 Bilangan peroksida g/ek 0.15 4.46 2.31 0.16 Bilangan penyabunan mg KOH/ g 265.44 255.66 257.48 262.62

Bilangan iod g/ek 68.19 42.61 55.40 67.77

Titik cair oC 12.35 16.00 15.00 12.50

Sumber: Susanti (2006).

Metode ekstraksi juga sangat berpengaruh terhadap komponen kandungan bioaktif dari ekstrak buah merah yang dihasilkan. Perbandingan data dari beberapa penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan senyawa bioaktif buah merah pada beberapa metode ekstraksi Metode ekstraksi Total karoten (ppm) -karoten (ppm) Total tokoferol (ppm) α-tokoferol (ppm) Rendemen (%) Metode tradisional 10000 a 300 10000 - - Metode wet rendering - b 123 - - 15.92 Metode modifikasi suhu 12427 c 2000 9200 800 20 Metode pengepresan 21430 c 4583 10832 1368 18

Khasiat Buah Merah

Buah merah secara empiris diketahui bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Hal ini telah dibuktikan oleh beberapa penelitian. Susanti (2006) melaporkan bahwa ekstrak buah merah yang diperoleh dengan metode pengepresan mampu meningkatkan proliferasi sel limfosit limpa (splenosit) mencit secara in vivo dan in vitro. Pada pengujian secara in vivo jumlah sel limfosit awal adalah 7.9 x 105 (sel/ml kultur sel). Setelah pemberian ekstrak buah merah selama 8 minggu dosis 1.0 ml/ekor/hari, jumlah sel limfosit meningkat menjadi 2.9 x 107 (sel/ml kultur sel). Pada pengujian in vitro jumlah sel limfosit awal pada kultur adalah 2.9 x 106

Ekstrak buah merah juga berpotensi sebagai antikanker. Pengujian aktivitas antikanker ini dilaporkan oleh Mun‘im et al. (2006). Histologi paru-paru hewan uji menunjukkan bahwa pemberian sari buah merah secara statistik tidak menyebabkan perbedaan yang bermakna, tetapi pada dosis 0.21 ml/200 g berat badan mampu menghambat pertumbuhan kanker pada paru-paru tikus hasil induksi 7,12-Dimetilbenz(a)antrasen (DMBA). Dilaporkan pula bahwa fraksi minyak maupun fraksi air yang diperoleh dengan metode pengepresan mempunyai aktivitas antiproliferasi terhadap sel kanker HeLa dan K-562. Aktivitas antiproliferasi kedua fraksi dapat mendekati bahkan melebihi aktivitas yang dimiliki oleh kontrol positif (doxorubicin) pada konsentrasi yang semakin tinggi. Pada pengujian terhadap sel HeLa, aktivitas antiproliferasi fraksi ekstrak buah merah memiliki hasil yang sedikit lebih rendah dari pada kontrol positif (53%) yaitu sebesar 52% pada dosis 20 µ l/ml kultur sel (dosis standar). Namun pada fraksi air menunjukkan hasil yang lebih tinggi 62% pada konsentrasi 40 µ l/ml kultur sel. Selanjutnya untuk pengujian aktivitas antiproliferasi pada sel K-562 diperoleh hasil bahwa fraksi ekstrak buah merah mempunyai aktivitas antiproliferasi yang lebih rendah dari kontrol positif (66%) yaitu 61% untuk konsentrasi 40 µ l/ml kultur sel. Sebaliknya fraksi air menunjukkan aktivitas antiproliferasi yang lebih baik yaitu 77% untuk konsentrasi 40 µ l/ml kultur sel (Selly 2008).

sel/ml kultur sel. Setelah pemberian dosis in vitro 3 mg/ml kultur sel diperoleh nilai IS (Indeks Stimulasi) sebesar 3.4 (peningkatan 239.9%).

Ekstrak buah merah juga dilaporkan berpengaruh terhadap pertumbuhan tikus dan fungsi hati (Sari 2008). Pada pengujian secara in vivo dilaporkan bahwa pemberian fraksi ekstrak buah merah dan fraksi air buah merah (metode pengepresan) dengan konsentrasi masing-masing 300 mg/kg BB, 600 mg/kg BB dan 1200 mg/kg BB memiliki nilai tertinggi NPR (Net Protein Ratio), NPU (Net Protein Utilization) dan BV (Biological Value) pada kelompok tikus yang diberikan fraksi ekstrak sebesar 1200 mg/kg BB. Pengujian fungsi hati menggunakan fraksi air dan ekstrak buah merah dengan konsentrasi 500 mg/kg BB, 1000 mg/kg BB dan 1500 mg/kg BB menunjukkan hasil terbaik profil darah, kadar MDA dan SGPT/SGOT pada kelompok tikus yang diberikan fraksi ekstrak buah merah dengan konsentrasi 1000 mg/kg BB.

Hasil berbeda mengenai khasiat ekstrak buah merah dilaporkan oleh Djuartina (2006) yang melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian minyak buah merah (MBM) pada hati tikus yang cedera akibat D-galaktosamin. Setelah perlakuan selama 4 minggu, hasil pengukuran malondialdehid (MDA) plasma menunjukan D-galaktosamin ini dapat meningkatkan MDA plasma setiap minggunya. Efek protektif MBM terhadap D-galaktosamin masih ada pada minggu pertama. Hal ini diduga disebabkan oleh antioksidan yang terdapat dalam MBM pada minggu pertama masih dapat menetralisir stres oksidatif yang ditimbulkan oleh D-galaktosamin. Disamping itu, diduga D-galaktosamin belum bekerja maksimal merusak pada minggu pertama. Namun pada akhir penelitian, MDA plasma kelompok MBM + D-galaktosamin lebih tinggi (0.67 µ/ml) dibandingkan kelompok D-galaktosamin (0.62 µ/ml). Diduga karena stres oksidatif yang ditimbulkan MBM+galaktosamin lebih tinggi dibandingkan D-galaktosamin itu sendiri. Hasil analisis MDA jaringan hati, menunjukkan kandungan MDA hati kelompok kontrol posisitif sebesar 2.71 nmol/g. Pada kelompok MBM terjadi stres oksidatif dengan kandungan MDA 7.14 nmol/g, sehingga bila diberikan bersamaan dengan D-galaktosamin kerusakan yang diakibatkannya menjadi lebih tinggi (7.61 nmol/g), dibandingkan dengan hanya diberi D-galaktosamin (6.89 nmol/g). Hasil pengukuran MDA jaringan hati pada penelitian ini menunjukkan bahwa minyak buah merah bersifat toksik terhadap hati tikus, sehingga menyebabkan peroksidasi lipid.

Karotenoid Sifat Fisik dan Kimia Karotenoid

Karotenoid merupakan pigmen alami yang tersebar luas di alam. Karotenoid berkontribusi memberikan warna kuning, oranye, dan ungu pada pangan nabati maupun hewan. Lebih dari 650 karotenoid telah ditemukan dan diisolasi dari berbagai sumber namun hanya 60 jenis yang tersedia dalam pangan dan hanya 20 karotenoid yang dapat dideteksi dalam plasma dan jaringan pada manusia (During & Harrison 2004).

Karotenoid adalah kelompok senyawa yang tersusun dari unit isopren atau turunannya. Berdasarkan unsur-unsur penyusunnya, karotenoid dibagi menjadi dua golongan utama yaitu: (a) golongan hidrokarbon karotenoid yang tersusun oleh unsur-unsur atom C dan H seperti α, , dan -karoten dan (b) golongan oksi karotenoid atau xantofil yang tersusun oleh unsur-unsur atom C, H, OH seperti lutein, violaxantin, neoxantin, zeaxantin dan kriptoxantin. Dari total karotenoid, kadar karoten hidrokarbon umumnya lebih tinggi (60-70%) dibandingkan dengan kadar oksi karotenoid (Bauernfeind et al. 1981).

Karotenoid bersifat larut dalam lemak sehingga larut dalam pelarut lemak seperti heksan, aseton, kloroform, benzene dan petroleum eter. Jenis karotenoid yang paling banyak ditemukan adalah -karoten, lutein, likopen, αkaroten, -kriptoxantin dan zeaxantin (Khacik F et al. 1992). Struktur kimia dari beberapa jenis karotenoid disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

-karoten

α-karoten

-karoten

Gambar 3 Struktur kimia beberapa jenis hidrokarbon karotenoid (Rodriguez & Kimura 2004)

Lutein

-kriptoxantin

Zeaxantin

Rubixantin

Gambar 4 Struktur kimia beberapa jenis oksi karotenoid (Rodriguez & Kimura 2004)

Jenis karotenoid yang paling banyak dijumpai pada bahan pangan adalah -karoten. -karoten merupakan molekul asimetris dimana separuh bagian kiri merupakan bayangan cermin dari bagian kanannya. -karoten mempunyai 40 atom karbon yang terdiri dari 8 unit isoprene, 11 ikatan rangkap dan mempunyai 2 cincin -ionone yang terletak masing-masing satu cincin pada ujung molekulnya (Furr & Clark 1997). α-karoten mempunyai satu cincin -ionone dan satu cincin α-ionone sedangkan -karoten hanya mengandung satu cincin -ionone dan lainnya merupakan cincin terbuka. α-karoten dan -karoten mempunyai aktivitas biologis kira-kira setengah dari nilai -karoten. Karotenoid bersifat stabil di alam. Namun isolatnya mudah mengalami perubahan molekul, isomerisasi dan degradasi oleh panas, cahaya, oksigen, trace element, dan asam (Bauernfeind et al. 1981). Karotenoid memiliki banyak ikatan rangkap sehingga mudah mengalami degradasi oksidasi. Oksidasi ini terbagi atas oksidasi kimia, autooksidasi, oksidasi cahaya (photooxidation) dan oksidasi enzimatik. Proses oksidasi secara kimia terjadi karena berbagai oksidan seperti oksigen, ozone, alkalin permanganat, asam kromat dan lain-lain. Hasil degradasi tergantung pada lokasi terjadinya kerusakan. Pada ozonolisis terjadi pemotongan ikatan-ikatan

karbon sehingga membentuk asam karboksilat yang akhirnya menentukan sifat akhir karotenoid. Autooksidasi merupakan reaksi oksidasi spontan antara suatu senyawa dengan oksigen dan atau sinar UV pada suhu kamar, dimana akan terbentuk peroksida dan hidroperoksida. Photooksidasi merupakan reaksi oksidasi yang diinduksi oleh cahaya. Reaksi yang dapat terjadi adalah: 1) kehilangan satu atau lebih elektron dari suatu senyawa kimia sebagai hasil dari photoeksitasi senyawa tersebut dan 2) reaksi antara suatu senyawa dengan oksigen yang dipengaruhi oleh adanya cahaya. Oksidasi enzimatik yang terjadi secara in vivo dikatalis oleh berbagai enzim. Lipoksigenase merupakan salah satu enzim oksidatif utama pada tanaman. Enzim ini dikatalis oleh molekul oksigen asam lemak tidak jenuh yang mengandung cis,cis-1,4-pentadiene menjadi cis,trans-conjugated hydroperoxida. Enzim ini mengubah pigmen pada jaringan sayuran seperti klorofil dan karotenoid (Gross 1991).

Rantai poliene konjugasi yang terdapat pada senyawa karotenoid mempengaruhi karakteristik warna senyawa tersebut yang sangat bervariasi mulai dari kurang berwarna (phytoene), kuning (4.4’diaponeurosporene), orange ( -karoten), merah (capsanthin), merah muda (bacterioruberin), dan akan berwarna biru dengan semakin meningkatnya jumlah ikatan rangkap konjugasi (Krinsky et al. 2004).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kandungan Karotenoid

Peningkatan suhu dan paparan sinar matahari akan meningkatkan karotegenesis pada buah. Iklim tropis sangat mendukung biosintesis karotenoid, yang terlihat dari konsentrasi karotenoid yang tinggi pada buah-buahan tropis (Rodriguez 2001). Gross (1991) menjelaskan pula bahwa tingkat kematangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi komposisi karotenoid. Kematangan sayuran dan pemasakan buah-buahan umumnya akan meningkatkan karotenogenesis. Daun muda dan daun tua umumnya memiliki jenis karotenoid yang sama namun berbeda dalam konsentrasi.

Umumnya bahan pangan yang mengandung karotenoid dipanen pada saat puncak panen yang bertujuan untuk meminimalkan kerusakan, mempertahankan produk agar tersedia sepanjang tahun dan mempermudah transportasi ke tempat

produksi. Proses pengolahan dan penyimpanan pangan harus dilakukan secara optimum untuk mencegah atau mengurangi degradasi komponen yang dapat berpengaruh terhadap bioavailabilitas. Perubahan karotenoid selama pengolahan dan penyimpanan terjadi melalui perubahan fisik (misalnya pengupasan), isomerisasi geometris, reaksi enzimatik atau oksidasi non enzimatik (Rodriguez & Kimura 2004). Parada dan Aguilera (2007) menjelaskan pula bahwa pengolahan pangan seperti penghancuran (grinding), fermentasi dan pemanasan suhu rendah dapat meningkatkan availabilitas dengan cara merusak dinding sel jaringan, memisahkan kompleks matriks pangan atau nutrisi serta mengubah struktur molekul yang lebih reaktif.

Degradasi -karoten sangat dipengaruhi oleh suhu dan lamanya pemanasan. Semakin tinggi suhu dan semakin lama pemanasan mengakibatkan degradasi -karoten semakin tinggi. Struktur senyawa -karoten yang mempunyai 11 ikatan rangkap yang terkonjugasi mengakibatkan -karoten mudah terdegradasi oleh panas. -karoten yang terdegradasi tersebut menghasilkan senyawasenyawa yang mudah menguap dan tidak mudah menguap. Degradasi -karoten oleh panas menghasilkan 6 jenis senyawa mudah menguap yaitu 2-metil heksana, 3-metil heksana, heptana, siklo oktanona, toluene dan (orto, meta atau para) xilena (Sahidin et al. 2000).

Pencernaan, Penyerapan dan Metabolisme Karotenoid

Karotenoid merupakan molekul yang larut dalam lemak sehingga proses penyerapannya mengikuti jalur penyerapan lemak pangan. Pada proses awal pencernaan, karotenoid akan dilepaskan dari matriks pangan dengan adanya aksi asam lambung dan enzim pencernaan. Pelepasan karotenoid dari matriks pangan tergantung pada senyawa lain yang membentuk kompleks dengan karotenoid seperti protein dan juga tergantung pada bentuk keberadaannya seperti bentuk kristal pada wortel atau bentuk terlarut seperti pada minyak jagung (Deming & Erdman 1999).

Diet yang mengandung karotenoid provitamin A sebagian dilepaskan dari protein matriks makanan oleh kerja enzim pepsin lambung dan berbagai enzim proteolitik dalam saluran usus bagian atas. Selama proses dalam saluran pencernaan, karotenoid terdispersi dalam usus bagian atas oleh asam-asam empedu. Sebagian karotenoid telah mengalami esterifikasi dan sisanya masih dalam bentuk karotenoid bebas. Ester-ester karotenoid, karotenoid bebas dan vitamin A yang terdispersi dalam emulsi lipida membentuk kilomikron dengan bantuan asam empedu, berdifusi ke dalam lapisan glikoprotein membran mikrofili sel-sel epitel usus (Linder 1989). Proses penyerapan terjadi dengan cara difusi pasif. Proses ini membutuhkan kelarutan misel dalam lapisan air di sekitar membran sel mikrofili enterosit. Misel akan berdifusi ke dalam membran dan melepaskan karotenoid dan komponen lipid lainnya pada sitosol sel. Mekanisme menyerapan karotenoid dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Mekanisme penyerapan karotenoid ( Deming & Erdman 1999)

Setelah penyerapan selesai, -karoten dan karotenoid provitamin A lainnya diubah menjadi vitamin A (retinal) oleh enzim -karoten-15,15’-dioxygenase ( C-15,15’-DIOX). Retinal kemudian direduksi menjadi retinol, yang reaksinya disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Pemecahan -karoten menjadi retinaldehida, reduksi retinaldehida menjadi retinol serta oksidasi retinaldehida menjadi asam retinoat (Bender 2003).

Efisiensi penyerapan karotenoid dipengaruhi oleh ada tidaknya komponen lain dalam pangan seperti lemak dan protein (Shiau et al. 1990). Makanan yang mengandung asam lemak tidak jenuh dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas

C-15,15’-DIOX dan cellular retinol-binding protein tipe II (CRBP II) pada mukosa instestinal tikus. Kecepatan pemecahan tergantung pada status vitamin A dalam tubuh dan berbeda untuk setiap jenis organisme. Penyerapan karotenoid ke dalam enterosit tidak menjamin seluruh karotenoid tersebut akan dimetabolisme dan diserap oleh tubuh. Karotenoid tersebut dapat hilang pada lumen saluran pencernaan akibat perubahan fisiologi sel mukosa (Deming & Erdman 1999). Menurut Rodriguez dan Kimura (2004), beberapa faktor yang mempengaruhi penyerapan dan pemanfaatan karotenoid antara lain jumlah, tipe karotenoid dalam makanan (bentuk kristal atau terlarut), lemak, vitamin E, serat, status protein dan zink, keberadaan penyakit tertentu dan adanya parasit.

Karotenoid yang telah bergabung dengan sel mukosa intestinal menjadi kilomikron akan dilepas ke dalam limfa. Kilomikron kemudian dicerna secara cepat oleh lipase lipoprotein dan sisa kilomikron dengan cepat dipindahkan ke hati dan jaringan lainnya. Very Low Density Lipoprotein (VLDL) selanjutnya merupakan pembawa utama karotenoid sehingga low density lipoprotein (LDL) menunjukkan konsentrasi tertinggi karotenoid di dalam plasma. Karotenoid juga ditemukan pada berbagai jaringan. Walaupun konsentrasi tinggi ditemukan pada kelenjar adrenal dan corpus luteum namun tempat penyimpanan utama karotenoid adalah pada hati dan jaringan adiposa. Karotenoid pangan yang tidak terserap akan dieksresikan melalui feces. Beberapa metabolit karotenoid juga terdeteksi pada feces. Walaupun metabolit polar karotenoid kemungkinan terdapat dalam bentuk konjugasi dan dapat dikeluarkan melalui urin, namun informasi mengenai hal tersebut sangat terbatas (Olson 1994).

Estimasi waktu paruh dilaporkan 11-12 hari untuk likopen, -karoten, α -karoten, lutein dan zeaxantin (Miccozzi et al. 1992). Karena itu perlu dipahami bahwa kemampuan penyerapan karotenoid dan perubahannya menjadi vitamin A tidak sama untuk setiap jenis karotenoid. Karotenoid provitamin A hanya dapat diubah jika dibutuhkan oleh tubuh sehingga mencegah potensi toksisitas akibat kelebihan dosis vitamin A (Dutta et al. 2005).

Efek Biologis Karotenoid

Karotenoid memiliki aktivitas sebagai provitamin A. Sifat ini terutama dimiliki oleh -karoten, α-karoten dan -kriptoxantin (Olson 1989). Di dalam tubuh karotenoid provitamin A akan diubah menjadi vitamin A aktif. Terdapat tiga bentuk aktif vitamin A yaitu retinol (vitamin A alkohol), retinal (vitamin A aldehid) dan asam retinoat (vitamin A asam). Secara spesifik retinal berperan pada penglihatan, retinol berperan pada aktivitas reproduksi dan asam retinoat digunakan untuk fungsi lain dari vitamin A. Kekurangan retinol menyebabkan kerusakan pada struktur epitel secara umum. Umumnya sel epitel mengeluarkan mucus namun pada defisiensi vitamin A terdapat pengurangan sekresi mucus. Sel tersebut digantikan oleh keratin yang dihasilkan sel pada jaringan tubuh secara khusus pada conjuntiva dan kornea mata, trakea, kulit dan jaringan ectodermal

lainnya. Vitamin A juga dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang yang normal. Bila kekurangan vitamin A, pemanjangan tulang akan terhambat. Oleh sebab itu anak-anak yang kekurangan vitamin A akan mengalami pertumbuhan yang terganggu. Bila diberikan suplemen, anak-anak akan memperoleh berat tubuh yang lebih baik dan memiliki tubuh yang lebih tinggi. Vitamin A juga penting untuk pembentukan enamel pada pertumbuhan gigi (Olson 2001).

Molekul -karoten dapat membentuk dua molekul retinol sedangkan α -karoten dan -kriptoxantin hanya sebagian yang aktif sebagai vitamin A. Nilai Internasional Unit (IU) aktivitas vitamin A didasarkan pada hasil evaluasi biologis kemampuan suatu senyawa untuk mendukung pertumbuhan hewan coba dalam kondisi defisiensi vitamin A (1 IU= 10.47 nmol retinol = 0.3 µg retinol bebas atau 0.344 µg retinil asetat). Karena absorpsi karoten yang relatif rendah dan metabolisme yang tidak sempurna untuk menghasilkan retinol maka 6 µg -karoten dinyatakan sama dengan 1 µg retinol ekuivalen (RE) dimana ratio molar dari 3.2 mol -karoten ekuivalen dengan 1 mol retinol. Saat ini dikenal pula istilah retinol activity equivalent (RAE) yang ditetapkan oleh Institut Medicine (2001). 1 RAE = 1 µg all-trans retinol, 12 µg -karoten dan β4 µg α-karoten atau

-kriptoxantin. Pada basis ini 1 IU aktivitas vitamin A = 3.6 µg -karoten atau 7.2 µg karotenoid provitamin A lainnya (Bender 2003).

Tabel 3 Beberapa macam karotenoid yang mempunyai aktivitas provitamin A

Jenis Karoten Aktivitas vitamin A

-karoten 100

α-karoten 50-54

-karoten 42-50

3,4 dehidro- -karoten 75

-karoten 5,8-monofuranoksida 50

3-hidroksi- -karoten, kriptoxantin 50-60

α-karoten 5.6-monoepoksida 25

7’,8’-dihidro- -karoten 20-40

4-hydroxy- -karoten,isokriptoxantin 48

-apo-8’karotenal 36-72

Kebutuhan vitamin A berbeda-beda pada setiap individu tergantung pada umur dan jenis kelamin serta pada wanita dipengaruhi oleh kondisi khusus seperti masa kehamilan dan menyusui. Kecukupan gizi vitamin A bagi orang Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Angka kecukupan gizi vitamin A (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII)

Kelompok umur Vitamin A (RE)

Anak 0-6 bulan 375 7-12 bulan 400 1-3 tahun 400 4-6 tahun 450 7-9 tahun 500 Laki-laki 10-12 tahun 600 13-15 tahun 600 16-18 tahun 600 19-29 tahun 600 30-49 tahun 600 50-64 tahun 600 64+ tahun 600 Wanita 10-12 tahun 600 13-15 tahun 600 16-18 tahun 600 19-29 tahun 500 30-49 tahun 500 50-64 tahun 500

Dokumen terkait