• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.7 Kualitas Air Selama Pemeliharaan

Tabel 6. Kualitas air selama pemeliharaan

PERLAKUAN   

DO  Suhu  pH  Amonia 

(mg/l  NH3) 

Nitrit  (mg/l  NO2) 

  pagi  siang  malam  pagi  siang  malam  pagi  siang  malam 

0T:24G  AWAL   4.0  6.2  4.03  25.8  28.2  27.3  7.2  7.1  6.8  0.1280  0.0460  8T:16G  4.3  5.8  4.03  25.5  29.5  27.7  7.3  7.2  7.2  0.0530  0.0760  12T:12G  6.1  5.8  4.03  25.6  29.0  27.4  7.3  7.1  7.1  0.0750  0.0560  16T:8G  3.8  5.4  4.03  25.5  28.4  27.2  6.8  6.8  6.6  0.0640  0.0550  24T:0G  4.3  5.8  4.15  25.8  29.6  27.7  7.3  7.2  7.1  0.0500  0.0700  0T:24G  AKHIR   5.6  4.1  3.90  26.0  28.5  27.5  7.2  7.0  7.1  0.1420  0.2600  8T:16G  3.6  4.1  3.80  25.9  28.0  26.9  7.1  7.0  7.0  0.1100  0.0560  12T:12G  3.6  4.1  3.80  25.7  28.7  27.4  7.2  6.8  7.0  0.2350  0.2030  16T:8G  3.6  4.2  3.70  25.7  28.6  27.7  7.0  6.9  6.9  0.4630  0.0250  24T:0G  5.6  4.0  3.90  26.0  28.9  27.6  7.1  7.0  7.0  0.1530  0.1050 

Nilai kualitas air selama pemeliharaan 30 hari masih berada pada kisaran yang layak bagi kehidupan LAT baik di awal pemeliharaan maupun setelah pemeliharaan. Oksigen terlarut (DO) berkisar antara 3,8-6,2 ppm. Suhu berkisar

antara 25,5-29,6oC. pH berkisar antara 6,6-7,3. Amonia berkisar antara

0,0750-0,4630 mg/l NH3. Nitrit berkisar antara 0,0250-0,2600 mg/l NO2.

3.2 Pembahasan

Di dalam produksi benih LAT, khususnya benih yang telah ‘lepas gendongan’ pembudidaya memerlukan pemeliharaan yang lebih telaten. Pada tahap inilah kematian seringkali dialami dalam memproduksi benih LAT. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah awal dalam mengantisipasi yaitu dengan mencegah adanya faktor-faktor pemicu kematian. Faktor media pemeliharaan yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dapat menjadi pemicu dalam mendorong hasil produksi benih yang unggul. Beberapa faktor tersebut di antaranya adalah pemaparan cahaya yang berlebihan, pemberian pakan yang cukup, dan pergantian air dalam menjaga kualitas air tetap optimal dalam mendukung kehidupan dan pertumbuhan LAT.

Selama 30 hari masa pemeliharaan kelangsungan hidup lobster air tawar dengan perlakuan lama pencahayaan berbeda, pada kelompok tebar kuntet berkisar 73,4-100%, sedangkan pada kelompok tebar normal didapatkan nilai

18 kelangsungan hidup berkisar antara 84,4-97,78%. Berdasarkan analisis ragam didapatkan bahwa perlakuan lama pencahayaan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap sintasan, sedangkan kelompok tebar yang berbeda memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap sintasan. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi diperoleh pada perlakuan 8T:16G baik kelompok kecil maupun besar. Hal ini disebabkan faktor lama pencahayaan yang lebih pendek memperbesar aktifitas makan lobster dalam kesehariannya untuk bertahan hidup karena hewan ini menganggap bahwa kondisi sekitarnya adalah malam. Namun ternyata faktor kegelapan yang sangat lama (pada perlakuan 0T:24G) kenyataannya justru tidak baik bagi kehidupan lobster dilihat dari penurunan tingkat kelangsungan hidup antara perlakuan 8T:16G yang memiliki waktu paparan cahaya sedikit dengan perlakuan 0T:24G yang tidak memiliki waktu paparan cahaya. Pada kondisi ini lobster menjadi semakin sulit mencari makan karena faktor gelap yang sangat lama akan memberikan kecenderungan lobster

untuk berada di luar shelter mengingat LAT merupakan hewan nokturnal

sehingga kematian tidak terhindarkan.

Kematian LAT disebabkan oleh kanibalisme dan faktor persaingan. Kanibalisme LAT umumnya terjadi karena faktor molting (ganti kulit). Berdasarkan pengamatan, kematian diakibatkan oleh faktor lama pencahayaan tidak jarang pula dijumpai kematian akibat gagal molting dan kematian akibat diserang setelah molting. Molting adalah peristiwa aktifitas pergantian kulit yang

dilakukan oleh organisme Crustacea pada umumnya dimana adanya pencahayaan

bisa memungkinkan adanya penyerangan oleh lobster lain terhadap lobster yang baru molting atau sering disebut kanibalisme. Sedangkan faktor persaingan dipengaruhi oleh tingkat kemampuan suatu organisme dalam memperoleh ruang gerak hidup dan makan (Lee dan Wickins 2002). Menurut Austin dan Verhoef

(1998) pada kondisi indoor yang terkontrol dimana fungsi shelter benar-benar

digunakan dalam kehidupan LAT maka agresifitas pemangsaan antar sesama tidak akan terjadi. Agresifitas diawali dengan adanya kontak fisik antara kaki-kaki lobster lainnya sehingga kemudian saling melakukan penyerangan. Menurut Barki

et al. (2006) walau tingkat agresifitas dan tingkat individual LAT tinggi namun aktifitas tiap individu tidak dapat lepas dari interaksi sosial. Dalam aplikasinya,

19 harus diambil individu stok ukuran yang sama.

Laju pertumbuhan harian dapat didefinisikan sebagai rata-rata pertumbuhan tubuh suatu organisme secara eksponensial harian selama pemeliharaan. Laju pertumbuhan pada kelompok tebar kuntet berkisar antara 4,53-5,80%, sedangkan pada kelompok tebar normal berkisar antara 3,47-4,30%. Laju pertumbuhan yang tinggi pada kelompok tebar kuntet diperoleh pada perlakuan 24T:0G, sedangkan pada kelompok tebar normal diperoleh pada perlakuan 16T:8G. Laju pertumbuhan terendah pada kelompok tebar kuntet diperoleh pada perlakuan 12T:12G, sedangkan pada kelompok tebar normal diperoleh pada perlakuan 8T:16G. Berdasarkan analisis ragam diperoleh bahwa lama pencahayaan tidak berpengaruh secara nyata terhadap laju pertumbuhan, akan tetapi berpengaruh sangat nyata dengan adanya faktor pengelompokan ukuran lobster. Hal tersebut dapat terjadi karena laju pertumbuhan merupakan parameter turunan, artinya laju pertumbuhan dipengaruhi dua faktor yaitu faktor genetik dan oleh aktifitas keseharian individu itu sendiri.

Pertumbuhan panjang standar adalah selisih panjang baku dari awal hingga akhir pemeliharaan. Pertumbuhan panjang standar dijadikan patokan ukuran panen oleh petani yaitu ukuran 2 inci untuk selanjutnya ditebar ke kolam pembesaran. Selama pemeliharaan 30 hari didapat pertumbuhan panjang mutlak berkisar antara 0,98-1,52 cm. Pertumbuhan panjang mutlak tertinggi diperoleh pada perlakuan 16T:08G baik pada lobster kecil maupun yang besar, sedangkan pertumbuhan panjang mutlak terendah diperoleh pada perlakuan 08T:16G baik pada lobster kecil maupun yang besar. Berdasarkan analisis ragam menunjukkan bahwa lama pencahayaan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan panjang mutlak, dan faktor ukuran lobster berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan panjang standar. Hal ini berbeda dengan laju pertumbuhan harian yang tidak berpengaruh nyata.

Pertumbuhan hewan lobster sebagai hewan Crustacea sangat erat kaitannya

dengan aktifitas molting. Aktifitas molting merupakan aktifitas lobster berganti kulit karena kulit luarnya tidak dapat menopang pertumbuhan tubuh lobster itu sendiri. Selama pemeliharaan diperoleh frekuensi tertinggi pada perlakuan 16T:08G, sedangkan frekuensi molting terendah diperoleh pada perlakuan

20 0T:24G. Berdasarkan analisis ragam didapatkan bahwa aktifitas molting tidak dipengaruhi secara nyata oleh lama pencahayaan tetapi lebih dipengaruhi secara nyata oleh faktor ukuran kelompok. Ketika saatnya molting, LAT ini akan tetap molting tanpa menunda dengan tidak memperhatikan kondisi terangnya cahaya di akuarium.

Photoperiod atau lama pencahayaan merupakan salah satu faktor langsung yang mempengaruhi pertumbuhan pada saat stadia tertentu dan efisiensi atau ketersediaan makanan dalam suatu organisme. Pengaruh lama pencahayaan pada tiap perlakuan menghasilkan perbedaan kesempatan dalam memangsa pakan. Pencahayaan yang sesuai akan cenderung meningkatkan kemampuan adaptasi LAT, pada kondisi ini pertumbuhan akan mengalami peningkatan seiring dengan

pencahayaan yang lebih lama (Sagi et al. 2002). Menurut Parra dan Yufera (2000)

dalam Wicaksono (2010), berbeda dengan spesies ikan dimana pencahayaan yang lebih lama akan memberikan kesempatan organisme untuk mencari dan menangkap mangsa, yang berbanding terbalik dengan karakteristik LAT sebagai hewan nokturnal (aktif di malam hari) dimana pencahayaan yang lebih pendek berpengaruh meningkatkan kelangsungan hidup organisme perairan.

Faktor lain yang mempengaruhi pertumbuhan adalah faktor ukuran. Ukuran baik panjang maupun bobot merupakan faktor turunan dari interaksi internal (genetik) dan eksternal (lingkungan) yang mengakibatkan adanya ukuran panen yang berbeda-beda setelah pemeliharaan. Berdasarkan hasil dapat dilihat bahwa pertumbuhan pada tebar kuntet dan normal memiliki nilai yang cenderung mirip. Hal ini berarti bahwa ukuran yang berbeda baik kuntet maupun normal bukan disebabkan bawaan faktor genetik melainkan oleh faktor lingkungan yang dalam hal ini berupa kompetisi. Menurut Sagi dan Parnes (2002) faktor ukuran yang berbeda terjadi diakibatkan dominasi suatu individu. Apabila suatu individu ada yang lebih mendominasi maka ruang gerak untuk hidup dan makan bagi yang lain akan terbatasi. Dengan adanya pengelompokan ukuran ini ternyata laju pertumbuhan kelompok tebar kuntet lebih besar dibandingkan dengan laju pertumbuhan pada kelompok tebar normal. Selain itu, LAT bersifat bentik artinya LAT mampu memanfaatkan luasan wadah dimana aktifitasnya lebih banyak berada di dasar permukaan, sehingga dominasi beberapa hewan besar terhadap

21 kelompok banyak yang berukuran kecil cenderung tinggi (Sagi dan Parnes 2002).

Seperti halnya makhluk hidup lainnya, sebagian lobster pun ada yang punya kemampuan beradaptasi terhadap lingkungannya. Bentuk adaptasi yang diperoleh dalam pengamatan adalah perubahan warna karapas dan perubahan aktifitas pemangsaan LAT. Berdasarkan pengamatan LAT ini berubah baik secara perilaku maupun ketampakan fisik warna karapasnya. Perubahan warna karapas pada LAT lebih banyak dijumpai pada perlakuan pencahayaan 24T:0G (Tabel 4). Perubahan

aktifitas pemangsaan LAT banyak dijumpai keluar shelter pada siklus sore-malam, berbeda dengan perlakuan lama pencahayaan bahwa waktu paparan

cahaya yang semakin lama maupun semakin pendek tidak menunjukkan peningkatan aktifitas pemangsaan (Tabel 5).

Selama pemeliharaan tingkat adaptasi LAT cenderung mampu

mempengaruhi aktifitas fisiologi di dalam tubuh. Menurut Hoang et al. (2001),

frekuensi molting pada Krustase dirangsang oleh intensitas cahaya yang kuat, tetapi dengan sedikit perbaikan pertumbuhan dimana banyak sedikitnya peningkatan pertumbuhan bisa menjadi hasil dari alokasi energi mengarah pada

laju penyerapan warna. Diperkuat oleh Christie et al. (2004), bahwa adanya agen

bioaktif yang disebabkan perubahan kondisi cahaya lebih banyak mempengaruhi jaringan target pada umumnya, yang telah terbukti langsung mengontrol atau mempengaruhi suatu varietas proses fisiologis seperti adaptasi perubahan warna

dan pengaturan kadar glukosa hemolymph sebagai faktor penentu waktu lapar.

Kelompok tebar yang berbeda ukuran selama penelitian nampaknya menjadi salah satu faktor penentu pertumbuhan LAT. Selama pengamatan, LAT memiliki agresifitas yang tinggi dan tiap individu memiliki kecenderungan mendominasi

yang lain. Menurut Qin et al. (2000) keputusan memisahkan ukuran merupakan

tindakan yang tepat karena pada kenyataannya LAT interaksi sosialnya cukup tinggi dan memiliki potensi dampak negatif yang perilakunya berbeda dengan

LAT berjenis lain seperti marron (Cherax tenuimanus).

Shelter pada tiap perlakuan diseragamkan. Peran shelter dalam penelitian ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Shelter sengaja dipasang menggunakan tiga jenis yang berbeda. Meski pada kepadatan optimal, LAT tetap memiliki ketergantungan terhadap shelter ini, dimana dengan penggunaan jenis shelter yang berbeda sangat

22 menentukan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi. Menurut Austin dan Verhoef (1998) dengan adanya jenis shelter yang berbeda mempengaruhi interaksi antar lobster dan perilaku pola makan.

Perlakuan lama pencahayaan yang digunakan dalam penelitian ini tidak mempengaruhi parameter kualitas air yang diukur (Tabel 6). Semua akuarium yang diaerasi terus menerus sehingga oksigen terlarut tingkat rata-rata 4,5 mg/L untuk pagi hari, 5 mg/L untuk siang hari, dan 3,9 mg/L untuk malam hari. Suhu air di pagi hari rata-rata 25,8°C selama masa studi sedangkan rata-rata suhu air

siang 28,7°C dan malam hari 27,4oC. Jumlah amoniak, nitrit, dan pH antara

perlakuan rata-rata masing 0,1473 mg/L, 0,0952 mg/L,dan 7,05 masing-masing selama penelitian. Kualitas air tetap tinggi secara konsisten di semua akuarium (Tabel 6) dan cocok untuk budidaya LAT (Masser dan Rouse 1997 dalam Webster 2004).

Kualitas air pemeliharaan memiliki kaitan dengan cahaya. Cahaya terdiri

dari cahaya langsung (direct) dan cahaya yang disebarkan (diffuse). Penetrasi

cahaya yang masuk ke perairan dipengaruhi oleh intensitas dan sudut datang cahaya, kondisi permukaan air, bahan-bahan terlarut dan tersuspensi di dalam air.

Jenis molekul H2O, O2, dan CO2 dapat menyerap radiasi cahaya sehingga dapat

mengubahnya menjadi energi yang berguna bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup LAT. Menurut Wetzel (1975) dalam Wicaksono (2010) bahwa pada perairan alami, penetrasi cahaya sekitar 53% masuk ke perairan dan mengalami perubahan menjadi panas dan pada kedalaman satu meter dari permukaan sudah

mulai berubah serta menghilang (extinction). Keberadaan cahaya yang terlalu

intensif dapat juga membuat beberapa spesies suatu organisme menjadi stress dan mati (Boeuf dan Bailm 1999 dalam Anggoro 2009).

23

Dokumen terkait