• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas air sungai

Dalam dokumen 23 cm. 15,5 cm. 15,5 cm 1,2 cm (Halaman 115-119)

III. Kegiatan yang Mempengaruhi Kualitas Air serta

3. Kualitas air sungai

Parameter yang dipergunakan untuk evaluasi tingkat pencemaran air dipilih hanya beberapa yang merupakan indikator pencemaran. Pa-rameter tersebut, antara lain: KOB atau BOD, KOK atau COD, OT atau oksigen terlarut, kadar amonium, bakteri, dan kadar logam-logam berat.

a. Pencemaran bahan organik

Di dalam lingkungan bahan organik banyak terdapat dalam bentuk karbohidrat, protein, lemak yang membentuk organisme hidup dan se-nyawa-senyawa lainnya yang merupakan SDA yang sangat penting dan dibutuhkan oleh manusia. Untuk menyatakan kandungan bahan or-ganik dalam perairan dilakukan dengan mengukur jumlah O2 yang

102

dibutuhkan untuk menguraikan bahan tersebut, sehingga menjadi se-nyawa yang stabil.

1) BOD atau kebutuhan O2 yang dibutuhkan oleh mikroorganisme se-lama penghancuran bahan organik dalam waktu tertentu pada suhu 20oC. Oksidasi biokimiawi ini merupakan proses yang lambat dan secara teoretis memerlukan reaksi sempurna. Dalam waktu 20 hari, oksidasi mencapai 95–99% sempurna dan dalam waktu 5 hari seper-ti yang umum digunakan untuk mengukur BOD yang kesempurnaan oksidasinya mencapai 60–70%. Suhu 20oC yang digunakan merupa-kan nilai rata-rata untuk daerah perairan arus lambat di daerah iklim sedang dan mudah ditiru dalam inkubator. Hasil yang berbeda akan diperoleh pada suhu yang berbeda karena kecepatan reaksi biokimia tergantung dari suhu.

2) COD atau kebutuhan O2, yaitu oksidasi secara kimiawi dengan menggunakan kalium bikarbonat yang dipanaskan dengan asam sul-fat pekat. COD umumnya lebih besar dari BOD, karena jumlah se-nyawa kimia yang bisa dioksidasi secara kimiawi lebih besar di-bandingkan oksidasi secara biologis (Achmad, 2004: 36).

Pada tahun 1989, Puslitbang Pengairan sebagai National Water

Qua-lity Center untuk proyek GEMS dan pembinaan program Prokasih telah

memantau kualitas air di 35 lokasi pemantauan. Lokasi tersebut terdiri atas sembilan lokasi GEMS dan 26 lokasi Prokasih di delapan pro-vinsi.

Pencemaran organik pada sungai yang dipantau selama tahun 1989 berkisar 0,22–53 mg/l BOD atau 2,4–120 mg/l COD.

Tingkat pencemaran yang paling tinggi terjadi pada Sungai Wei Pangubuan (Terbengi Besar), sedangkan sungai lainnya yang telah ber-ada pber-ada tingkat pencemaran yang kritis ber-adalah Kali Surabaya, Kali Brantas, Bengawan Solo, Sungai Semayang, Langkat, Kali Bekasi, Sal. Mookervart, dan Sungai Deli-Medan.

Sebagai akibat tingginya pencemaran organik tersebut di atas, ka-dar oksigen terlarut pada beberapa sungai < 3 mg/l terutama pada lo-kasi yang telah melalui daerah pemukiman yang padat, antara lain Su-ngai Citarum di Nanjung, Banjir-Kanal di Pejompongan, SuSu-ngai

Cili-103

wung di Manggarai, Bengawan Solo di Kemiri, Sungai Deli di Medan, dan Sungai Semayang di Langkat.

b. Pencemaran amonium

Dari data monitoring terhadap amonium, pada umumnya perairan di Indonesia masih mengandung amonium dalam jumlah yang tidak begitu besar. Berdasarkan klasifikasi tingkat pencemaran, umumnya perairan di Indonesia masih berkisar antara pencemaran ringan sampai pencemaran berat kadar amonium yang cukup besar (lebih 0,5 mg/l) hanya terjadi di beberapa lokasi saja, sebagian besar terjadi di Jawa.

Kadar amonium berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Pa-lembang sebesar 0,05–0,1 mg/l di mana kadar maksimum menurut Kepmenkes 907/2002, yaitu sebesar 1,5 mg/l, sehingga disimpulkan memenuhi persyaratan kualitas air minum. Kadar amonium yang ting-gi dalam air disebabkan pencemaran sumber air minum oleh bahan-bahan organik. Amonium dalam air tersebut kemudian akan diuraikan oleh bakteri Nitrisomonas menjadi nitrit. Dalam penyediaan air minum, amonium dikenal sebagai penyebab iritasi dan korosi, meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme, dan mengganggu proses desinfeksi de-ngan klor (Desiandi, 2009).

c. Pencemaran bakteri coli

Sejumlah sungai di Pulau Jawa telah dicemari oleh bakteri total co-li pada tingkat sedang sampai berat. Di Sumatra, jumlah bakteri total coli bervariasi, tetapi yang tingkatnya sedang sampai berat hanya terja-di terja-di empat lokasi. Lokasi tersebut adalah Sungai Deli-Medan (1,4 x 106 MPN/100 ml), Sungai Asahan, Tanjung Balai (2,9 x 105 MPN/100 ml), Sungai Belawan-Kp. Lalang (1,3 x 105 MPN/100 ml), dan Sungai Musi-Jembatan Ampera (1,8 x 105 MPN/100 ml). Di Bali, pencemaran bakteri yang melebihi 106 MPN/100 ml terjadi di lokasi Teluk Mati dan Teluk Badung, masing-masing sebesar 9,9 x 108 MPN/100 ml dan 13 x 108 MPN/100 ml, sehingga sudah tergolong pencemaran berat.

Di Sulawesi, jumlah bakteri yang cukup tinggi di Sungai Tondano-Tondano (1,2 x 107 MPN/100 ml). Di NTB, lokasi-lokasi yang me-ngandung bakteri tinggi (105 MPN/100 ml) terjadi di empat lokasi, yakni Sungai Maninting, Sungai Dodokan, Sungai Setangga, dan

Su-104

ngai Rea masing-masing sebesar 3,2 x 105 MPN/100 ml, 2,0 x 105 MPN/100 ml, 9,4 x 105 MPN/100 ml, dan 2,8 x 106 MPN/100 ml.

d. Pencemaran logam berat

Studi logam berat dalam air sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta yang dilakukan tahun 1981, menunjukkan bahwa kadar maksimum tembaga 0,03 bpj terdapat di Sungai Sunter; kadar maksimum Cr 0,04 bpj di Sungai Ciliwung, Sungai Sunter, dan Cakung; kadar maksimum Pb 0,13 bpj di Sungai Sunter dan Sungai Ciliwung; kadar maksimum zink di Sungai Ciliwung (5,6 bpj) dan Sungai Sunter (4,3 bpj) sedang-kan kadar maksimum Hg di Sungai Angke (0,015 bpj). Penelitian lain pada tahun 1983 di sepanjang sungai di zona industri Tangerang me-nunjukkan tingginya kadar logam berat, khususnya Cr, Cd, dan Hg.

Data terakhir yang dikumpulkan dari sungai di daerah Jakarta me-nunjukkan terjadinya peningkatan kadar logam berat tertentu. Kadar maksimum Cd yang tercatat adalah 0,05 bpj; kadar kromium 0,05 bpj dan kadar Pb 2 bpj.

Bahan berbahaya beracun seperti logam berat terutama sangat ber-bahaya karena bahan pencemar ini tidak dapat disaring oleh fasilitas PDAM yang standar.

e. Pencemaran pestisida

Residu pestisida dalam perairan umumnya rendah. Suatu evaluasi rinci dari pestisida dilakukan pada studi Proyek Irigasi Bali 1983. Ha-silnya menunjukkan, bahwa residu pestisida memang telah menyebab-kan kerusamenyebab-kan ekologis di Pulau Jawa, ketika digunamenyebab-kan pestisida yang tidak teruraikan. Tetapi sejak digunakan pestisida ‘lunak’ dan terurai-kan pada awal tahun 70-an, kerusaterurai-kan lingkungan tidak terlampau pa-rah. Studi AMDAL di Bali, Jatigede (1986) dan studi Segara Anakan Tahap 1 menunjukkan bahwa pestisida maupun pupuk kimia tidak ba-nyak mempengaruhi kualitas air.

Penelitian lain menunjukkan, bahwa walaupun residu organofofat berada di bawah baku mutu (0,10 mg/l), namun masih dijumpai residu HCB dan PCP dalam air kolam.

105

Dalam dokumen 23 cm. 15,5 cm. 15,5 cm 1,2 cm (Halaman 115-119)

Dokumen terkait