• Tidak ada hasil yang ditemukan

V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil

5.1.3 Kualitas Air

Hasil penjagaan parameter kualitas air pemeliharaan ikan nila selama 2 minggu adalah sebagai berikut suhu air berkisar 27°-30°C, pH air berkisar 6,5-8,5 dan salinitas air 30 ppt. Hasil penjagaan kualitas air menunjukkan bahwa kualitas air yang ada di dalam wadah pemeliharaan dalam keadaan sangat baik. Data

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

penjagaan parameter kualitas air selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3.

5.2 Pembahasan

Enterobacter sp. merupakan bakteri gram negatif, bersifat fakultatif anaerobik, berbentuk batang dan bisa bergerak (motil), alat gerak tersebut berupa flagella peritrik yaitu flagela yang secara merata tersebar diseluruh permukaan sel (Pelczar and Chan, 1986). Mohapatra et al. (2003) mengungkapkan bahwa bakteri Enterobacter sp. juga merupakan penghasil enzim protease, amilase dan selulase. Selain itu, Muchlis (2013) berpendapat bahwa bakteri Enterobacter sp. juga memiliki aktivitas antibakteri. Namun, bakteri Enterobacter sp. juga memiliki faktor-faktor patogenitas antara lain endotoksin dan enterotoksin seperti yang diungkapkan oleh Karsinah (1994) dalam Dewi (2008). Bakteri patogen dapat menyebabkan penyakit apabila memiliki kemampuan untuk merusak jaringan (invasiveness) dan menghasilkan toksin (toxigenesis) (Todar, 2002).

Pada penelitian pengaruh injeksi bakteri Enterobacter sp. ini dilakukan dengan melihat survival rate (derajat kelangsungan hidup/SR) ikan nila (Oreochromis niloticus) serta tingkah laku (pengamatan gejala klinis) ikan selama pemeliharaan. Derajat kelangsungan hidup merupakan peluang hidup suatu individu dalam waktu tertentu (Effendie, 1997). Perlakuan penyuntikan bakteri Enterobacter sp. dengan konsentrasi 108 sel/ml (P1) pada ikan nila menunjukkan hasil yang sangat rendah terhadap kelangsungan hidup ikan nila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan konsentrasi

ikan nila dibandingkan dengan P3 maupun konsentrasi yang berbeda lainnya bahkan bersifat patogen dalam konsentrasi tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Dewi (2008) yang menyatakan tingkat kematian akibat bakteri Enterobacter sp yang diinfeksikan melalui rute intraperitoneal sangat tinggi pada dosis 107 sel/ml dan 108 sel/ml. Hal ini juga didukung oleh pendapat Herfiani dkk. (2011) bahwa terjadinya kematian pada ikan sangat berkaitan dengan faktor-faktor patogenisitas bakteri, kecepatan perkembangbiakan patogen, maupun faktor pertahanan inang dalam melawan patogen.

Hasil pengamatan pada ikan kontrol dan P4 (penyuntikan NaCl 0,9%) terjadi kematian yang tidak wajar, tiba-tiba ikan mati. Hal ini dimungkinkan karena ada perubahan terhadap kualitas air diluar kendali dan tidak terdeteksi pada ikan kontrol dan P4. Ada beberapa parameter yang tidak diukur seperti ammonia, karbon dioksida. Kemungkinan perubahan ini yang menyebabkan kematian pada ikan kontrol dan P4. Hal ini sesuai dengan pendapat Boyd (1979) bahwa perubahan ammonia dan karbondioksida secara fluktuatif dan dalam jumlah yang tinggi menyebabkan racun bagi ikan.

Gejala klinis yang diamati pada ikan uji adalah kemampuan berenang, nafsu makan dan adanya luka pada daerah permukaan tubuh. Gejala klinis pada tiap perlakuan adalah sama hanya saja waktu timbulnya gejala klinis dan jumlah mortalitas tiap perlakuan yang berbeda. Gejala klinis yang paling cepat terlihat adalah pada perlakuan ikan uji yang diinjeksi bakteri Enterobacter sp. dengan konsentrasi 108 sel/ml (P1) yaitu pada hari keempat pemeliharaan sehingga pada hari ke-14 pemeliharaan, ikan uji P1 tersisa 40% dari total keseluruhan ikan yang

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

diujikan. Hal ini mengindikasikan jika bakteri Enterobacter sp. dengan konsentrasi 108 sel/ml dapat menyebabkan mortalitas yang cepat dan tinggi pada ikan uji. Pagotto et al (2003) dalam Dewi (2008) juga menyampaikan bahwa bakteri Enterobacter sp. dengan konsentrasi 108 sel/ml dapat menyebabkan mortalitas pada hari ketiga setelah infeksi.

Mekanisme yang dapat mematikan ikan dari bakteri Enterobacter sp. yaitu dengan menonaktifkan enzim, merubah target obat dan merubah kemampuan obat untuk masuk dan menumpuk di sel-sel (Sanders and Sanders, 1997). Hal ini diperjelas oleh Todar (2002) yang menyatakan bahwa mekanisme mematikan dari bakteri Enterobacter sp. ada dua yaitu pertama, memiliki kemampuan menyerang jaringan yang meliputi pembentukan kolonisasi, merubah mekanisme pertahanan inang dan menghasilkan zat ekstraselluler yang dapat membantu penyerangan jaringan inang dan kedua, memiliki kemampuan menghasilkan racun yang meliputi eksotoksin dan endotoksin. Eksotoksin dilepaskan dari sel bakteri dan dapat bertindak di luar jaringan yang bukan merupakan habitat bakteri untuk tumbuh dan berkembang sedangkan endotoksin dapat dilepaskan dari sel bakteri yang tumbuh atau dari sel yang segaris sebagai akibat dari pertahanan inang yang efektif (misalnya lisozim) atau kegiatan antibiotik tertentu (misalnya penisilin dan sefalosporin).

Rute yang dilalui bakteri Enterobacter sp. setelah dilakukan injeksi intraperitoneal dijelaskan oleh Gayton and Hall (1996) dalam Dewi (2008) bahwa infeksi bakteri Enterobacter sp. melalui rute intraperitoneal akan melalui pembuluh limfa diseluruh tubuh. Dinding pembuluh limfa tipis mudah ditembus

oleh makromolekul dan sel-sel dari jaringan pengikat, tidak dijumpai adanya barrier yang mencegah bahan-bahan antigenik. Sel bakteri dapat dengan mudah melintasi epidermis dan epitel membrana mukosa yang membatasi ruangan dalam tubuh, yang apabila luput dari pengrusakan oleh fagosit dalam darah maka akan berproliferasi dan menghasilkan toksin yang mudah masuk dalam limfa kemudian dapat mematikan sel di dalam limfa dan mempengaruhi organ lainnya sehingga menyebabkan kematian.

Parameter kualitas air pada awal dan akhir pengamatan menunjukkan kisaran yang layak untuk media budidaya ikan nila. Kisaran suhu selama penelitian masih berada dalam kisaran normal untuk pemeliharaan ikan nila yaitu 27°-30°C. Ikan nila dapat hidup pada suhu 25°-30°C (SNI, 1999). Suhu air secara langsung dapat mempengaruhi respon fisiologi, reproduksi dan pertumbuhan ikan. Effendie (1997) menyatakan bahwa perubahan suhu akan mempengaruhi kecepatan perkembangan mekanisme pertahanan dan pembentukan antibodi, selain itu perubahan suhu dapat menjadi penyebab stres yang akan mempengaruhi kesehatan ikan.

Selama penelitian nilai pH masih berada dalam kisaran normal yang sesuai untuk pemeliharaan ikan nila yaitu berkisar antara 6,5-8,5. Boyd (1979) menyatakan bahwa air dengan pH kurang dari 4 akan membunuh ikan, antara 6,5- 8,5 baik untuk ikan budidaya, pH lebih dari 8,5 akan membahayakan ikan dan pH 11 akan membunuh ikan. Ikan nila dapat hidup pada pH 6,5-8,5 (SNI, 1999).

Kandungan salinitas dalam media pemeliharaan ikan nila selama penelitian adalah 30 ppt, nilai ini masih sesuai dengan toleransi salinitas dari ikan

ADLN – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

nila yang dapat hidup pada salinitas 0-45 ppt (Gilles and Pequex, 1983 dalam Fitria, 2012). Pernyataan ini juga didukung oleh laporan dari Setiawati dan Suprayudi (2003) yang menyatakan bahwa nilai laju pertumbuhan harian rata-rata ikan nila semakin meningkat dengan meningginya kadar salinitas mulai dari 10 ppt.

VI KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait