2.1. Landasan Teori
2.1.3 Kualitas Pelayanan Publik
Aparatur pemerintah yang dalam hal ini adalah pegawai negeri sipil
merupakan ujung tombak dalam melayani setiap warga negara dan penduduk
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya melalui pelayanan publik, dalam rangka
menjalankan kewajiban negara sesuai dengan yang diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Dalam rangka membangun
kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan pemerintah,
kegiatan yang senantiasa dilakukan harus seiring dengan harapan dan tuntutan
seluruh warga negara dan penduduk, khususnya yang berkaitan dengan kualitas
pelayanan publik.
Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat oleh pemerintah melalui
aparat pemerintah, walaupun tidak bertujuan untuk mencari keuntungan, namun
tetap harus mengutamakan kualitas layanan yang sesuai dengan tuntutan, harapan
dan kebutuhan masyarakat. Aparat pemerintah harus menyadari posisi dan peran
mereka sebagai pelayan masyarakat. Bila dimata masyarakat kesan yang muncul
pelayanan yang sepenuh hati, melainkan pelayanan yang didasari oleh kewajiban
sebagai abdi Negara saja.
Kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi, mulai
dari definisi yang konvensional hingga yang strategis, definisi konvensional dari
kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk,
seperti kinerja (performance), keandalan (reability), mudah dalam penggunaan
(ease of use), estetika (esthetics), dan sebagainya. Sedangkan dalam definisi
startegis menurut Sinambela (2010:6), kualitas adalah sesuatu yang mampu
memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the need of costumers).
Sejalan dengan itu, Montgomery dalam Harbani (2007:132)
mengemukakan bahwa suatu produk dapat dikatakan berkualitas bagi seseorang
jika produk tersebut dapat memenuhi kebutuhannya.
Vincent Gasperz (2006:1), mengartikan kualitas sebagai segala sesuatu
yang menentukan kepuasan pelanggan dan upaya perubahan kearah perbaikan
terus-menerus sehingga dikenal istilah Q = MATCH (Meets Agreed Terms and
Changes). Gasperz dalam Lukman (2000:9-11) melanjutkan, bahwa pada
dasarnya kualitas mengacu kepada pengertian pokok:
1. Kualitas terdiri atas sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung, maupun keistimewaan aktraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan memberikan kepuasan atas penggunaan produk.
2. Kualitas terdiri atas segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.
Sedangkan Triguno (1997:76) mengartikan kualitas sebagai standar yang
harus dimiliki seseorang, kelompok, lembaga atau organisasi, mengenai kualitas
sumber daya kerja, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang
berupa barang dan jasa. Berkualitas mempunyai arti memuaskan kepada yang
dilayani, baik internal maupun eksternal, dalam arti optimal dalam pemenuhan
atas tuntutan maupun persyaratan kepada pelanggan atau masyarakat.
Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan
produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi
harapan. Tjiptono dalam Harbani (2007:132) memberikan definisi mengenai
kualitas sebagai berikut:
1. Kesesuaian dengan persyaratan atau tuntutan, 2. Kecocokan untuk pemakaian,
3. Perbaikan atau penyempurnaan berkelanjutan; 4. Bebas dari kerusakan/cacat,
5. Pemenuhan kebutuhan pelangggan sejak awal dan setiap saat, 6. Melakukan segala sesuatu secara benar semenjak awal, 7. Sesuatu yang bisa membahagiakan pelanggan,
Menurut Purnama (2006:39), Kualitas harus dimulai dari konsumen dan
berakhir pada konsumen. Artinya spesifikasi kualitas layanan harus dimulai
dengan mengidentifkasi kebutuhan dan keinginan konsumen yang dituangkan ke
dalam harapan konsumen dan penilaian akhir diberikan oleh konsumen melalui
informasi umpan balik yang diterima pemberi pelayanan. Sehingga peningkatan
kualitas layanan harus dilakukan dengan komunikasi yang efektif dengan
konsumen. Dari pemikiran ini tampak bahwa hasil penilaian terhadap kualitas
orang akan dapat mempunyai persepsi yang berbeda tentang satu kualitas produk
yang sama. Terlebih lagi jika dihubungkan dengan kebutuhannya.
Nelson dalam Zauhar (1994) mengemukakan pandangannya tentang sifat
suatu produk dalam hubungannya dengan penilaian kualitas. Kualitas suatu
produk ada yang dapat dengan mudah dikenali sebelum produk tersebut dinikmati
oleh konsumennya. Produk yang demikian ini disebut mempunyai sifat sebagai
search goods. Kualitas produk yang bersifat search goods ini cukup dikenali
hanya dengan melihat spesifikasinya saja. Pada sisi lain ada produk yang sulit
dikenali kualitasnya sebelum produk tersebut dinikmati oleh konsumennya.
Produk yang demikian ini disebut mempunyai sifat sebagai experienced goods.
Dalam hubungannya dengan pelayanan publik, produk ini termasuk
kategori experienced goods. Pelayanan publik baru akan dapat dinilai kualitasnya,
jika pelayanan tersebut sudah dinikmati secara langsung oleh mereka yang
membutuhkan. Kualitas pelayanan publik tidak dapat dikenali hanya melalui
spesifikasinya saja (standar kualitas). Dia baru akan dapat dikenali lebih baik
setelah pengguna pelayanan menikmati hasil pelayanan diberikan oleh pemberi
pelayanan.
Menurut Parasuraman dalam Purnama (2006:19) kualitas layanan
merupakan perbandingan antara layanan yang dirasakan (persepsi) konsumen
dengan kualitas layanan yang diharapkan konsumen. Jika kualitas jasa atau
layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan diharapkan, maka
kualitas jasa atau layanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka
kualitas jasa atau layanan akan dipersepsikan buruk.
Parasuraman, Zeithalm dan Berry dalam Tjiptono (2007:262-270)
memaparkan bahwa ada lima kesenjangan (Gap) dalam proses pelayanan, yaitu
pertama, gap antara harapan konsumen dan pendapat manajemen. Gap ini muncul
sebagai akibat dari ketidaktahuan manajemen tentang kualitas jasa macam apa
yang sebenarnya diharapkan konsumen pengguna jasa dan bagaimana penilaian
konsumen terhadap pelayanan yang diberikan. Akibatnya desain dan standar jasa
yang disampaikan menjadi tidak baik. Sehingga perusahaan tidak dapat
memperlihatkan kinerja pelayanan yang dijjanjikan.
Kesenjangan ini pada umumnya disebabkan:
a. Kurangnya orientasi penelitian pemasaran,
b. Pemanfaatan yang tidak memadai atas temuan-temuan penelitian, c. Kurangnya interaksi antara pihak manajemen dan pelanggan, d. Komunikasi atas-bawah yang kurang memadai,
e. Terlalu banyaknya lapis manajemen.
Kedua, gap antara pendapat manajemen tentang harapan konsumen dan
spesifikasi kualitas jasa. Gap ini muncul karena para manajer menetapkan
spesifikasi kualitas jasa yang tidak tidak jelas dan realistis. Akibatnya pegawai
yang memberikan pelayanan kepada konsumen secara langsung tidak tahu
pelayanan seperti apa yang harus diberikan.
Kesenjangan ini dapat terjadi karena:
a. Tidak memadainya komitmen manajemen terhadap kualitas jasa, b. Tidak memadainya standardisasi
Ketiga, gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa. Gap ini
biasanya muncul pada jasa yang sistim penyampaiannya sangat tergantung pada
karyawan. Pendapat yang akurat tentang harapan konsumen memang penting,
tetapi belum cukup untuk menjamin bahwa spesifikasi kualitas jasa akan
terpenuhi apabila jasa memerlukan kinerja pelayanan dan penyajian yang sesegera
mungkin bila para konsumen pengguna jasa hadir ditempat jasa diproses.
Kesenjangan ini terjadi, diantaranya, karena:
a. Karyawan kurang terlatih,
b. Beban kerja yang melampaui batasan (overload), c. Ambiguitas peran, atau konflik peran.
Keempat, gap antara penyampaian jasa aktual dan komunikasi eksternal
kepada konsumen pengguna jasa. Janji yang disampaikan mungkin secara
potensial bukan hanya meningkatkan harapan yang akan dijadikan sebagai standar
kualitas jasa yang akan diterima konsumen pengguna jasa, akan tetapi juga akan
meningkatkan pendapat tentang jasa yang akan disampaikan kepada debitur.
Kegagalan dalam memenuhi jasa yang dijanjikan dengan faktanya akan
memperbesar gap ini. Kesenjangan ini terjadi antara lain karena tidak
memadainya komunikasi antara penyedia dengan pembeli jasa serta adanya
kecenderungan untuk memberikan janji yang berlebihan.
Kelima, gap antara jasa yang diharapkan dan jasa aktual yang diterima.
Gap ini timbul akibat adanya perbedaan antara kinerja pelayanan yang diterima
pada konsumen pengguna jasa dan kinerja pelayanan yang diharapkan atau
kesesuaian konsumen pengguna jasa, ini mencerminkan bahwa para konsumen
pengguna jasa tersebut berada pada keadaan sesuai. Kesenjangan ini terjadi
apabila pelanggan mempunyai persepsi sendiri dalam mengukur kinerja/prestasi
perusahaan.
Berdasarkan uraian diatas dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja pelayanan, yaitu strategi pelayanan, petugas atau pejabat
yang berorientasi pada klien, sistem pelayanan yang berorientasi pada klien,
komitmen manajemen, perumusan tujuan organisasi, standarisasi tugas, kepaduan
tim, kesesuaian antara orang dengan pekerjaan, kesesuaian antara teknologi
dengan pekerjaan, realitas kontrol, kejelasan peran, konflik peran, dan tingkatan
manajemen.
Untuk menangani kelima gap yang terjadi ini, selanjutnya Parasuraman,
Berry, dan Zeithaml dalam Harbani (2007:135), menyatakan ada lima
karakteristik yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas jasa, yaitu :
1. Tangibles (bukti langsung), kualitas pelayanan berupa fasilitas fisik perkantoran, perlengkapan, kebersihan, dan sarana komunikasi, ruang tunggu, tempat informasi.
2. Reability (kehandalan), yakni kemampuan dan keandalan untuk menyediakan pelayanan yang terpercaya (pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan).
3. Responsiveness (daya tanggap), yaitu kesanggupan para staff untuk membantu para masyarakat dan menyediakan pelayanan yang cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan konsumen.
4. Assurance (jaminan), mencakup kemampuan, keramahan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staff, bebas dari bahaya, resiko, atau keraguan.
5. Empathy (empati), sikap tegas tapi penuh perhatian terhadap konsumen, sehingga memudahkan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan para pelanggan.
Selanjutnya, Gonroos dalam Tjiptono (2007:261) menyatakan bahwa ada
enam kriteria pokok dalam menilai kualitas jasa, yaitu:
1. Profesionalism and Skill, kriteria ini dimaksudkan agar pelanggan menyadari bahwa penyedia jasa, karyawan, sistim operational, dan sumbangan fisik memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah pelanggan secara profesional. 2. Attitude and Behavioral, pelanggan merasa bahwa karyawan
perusahaan menaruh perhatian terhadap mereka dan berusaha membantu dalam memecahkan masalah mereka secara spontan dan senang hati.
3. Accessibility and Flecsibility, pelanggan merasa bahwa penyedia jasa, lokasi, jam kerja, sistim operasionalnya dirancang sedemikian rupa sehingga pelanggan dapat melakukannya dengan mudah, selain itu dirancang agar dapat fleksibel agar dapat menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan.
4. Reliability and Trustworhtiness, pelanggan memahami bahwa apapun yang terjadi, mereka bisa mempercayakan segala sesuatunya kepada penyedia jasa, karyawan dan sistimnya.
5. Recovery, pelanggan memahami bahwa jika ada kesalahan atau terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, maka penyedia jasa akan segera mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari pemecahan yang tepat.
6. Reputation and Credibility, pelanggan meyakini bahwa operasi dari penyedia jasa dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan yang sesuai dengan pengorbanannya.
Masyarakat pada dasarnya mengharapkan pelayanan yang mudah, wajar,
adil, dan bertanggung jawab. Seperti apa yang disampaikan oleh Moenir
(2006:41-44), bahwa pelayanan publik yang diharapkan oleh masyarakat harus
mengkondisikan:
1. Adanya kemudahan dalam pengurusan kepentingan dengan pelayanan yang cepat dalam arti tanpa hambatan yang kadangkala dibuat-buat 2. Memperoleh pelayanan secara wajar tanpa gerutu, sindiran atau hal-hal
yang bersifat tidak wajar.
3. Mendapatkan perlakuan yang sama dalam pelayanan terhadap
4. Pelayanan yang jujur dan terus terang, artinya apabila ada hambatan karena suatu masalah yang tidak dapat dielakkan hendaknya diberitahukan, sehingga orang tidak menunggu-nunggu sesuatu yang tidak jelas. Karena dalam pelayanan publik, kepuasan masyarakat merupakan faktor penentu kualitas, maka setiap organisasi penyedia layanan public diharapkan mampu memberikan kepuasan kepada pelanggannya.
Menurut Abidin (2010:71) pelayanan publik yang berkualitas bukan hanya
mengacu pada pelayanan itu semata, tetapi juga menekankan pada proses
penyelenggaraan atau pendistribusian pelayanan itu sendiri hingga ke tangan
masyarakat sebagai konsumer.
Tuntutan masyarakat terhadap pelayanan publik yang berkualitas bukan
merupakan hal yang baru, masyarakat mengharapkan dalam mengurus
kepentingan mereka pada unit-unit pelayanan publik akan memperoleh pelayanan
yang mudah, lancar, sederhana, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, ramah,
manusiawi, terdapat kepastian dan kejelasan prosedur, persyaratan pelayanan
dengan biaya atau tarif yang masuk akal dan pasti atau konsisten, kenyamanan
serta keterbukaan, seperti yang dikemukakan oleh Warella (1997:2).
Dengan demikian, fungsi pemerintah bukan hanya terbatas pada aktivitas
pemberian pelayanan kepada masyarakat, tetapi juga harus menjamin bahwa
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tersebut betul-betul berkualitas.
berdasarkan sendi-sendi kualitas pelayanan tersebut. Menurut Gazperzs
(1997:12), secara umum sendi-sendi yang mencerminkan karakteristik pelayanan
yang diinginkan pelanggan yaitu pelayanan yang lebih cepat, lebih murah dan
Kualitas pelayanan dapat dikatakan juga sebagai suatu aktivitas yang
menekankan pada kepuasan penerima pelayanan, yang diimplementasikan pada
kegiatan menghasilkan pelayanan terbaik dan kemampuan menyesuaikan diri
secara cepat dengan perubahan kebutuhan serta selera penerima pelayanan.
Pendekatan ini memfokuskan pada komitmen seluruh anggota organisasi terhadap
perbaikan kualitas di semua aspek manajemen, sehingga menjadi dasar organisasi
dalam melakukan perbaikan proses pelayanan secara berkelanjutan. Menurut
Santosa (1992:32), dalam perspektif modern, pendekatan tersebut identik dengan
TQM (Total Quality Management) yaitu suatu pendekatan manajemen yang terus
menerus diarahkan pada peningkatan kualitas dan berorientasi pada kepuasan
penerima pelayanan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi.
Menurut Tjiptono dan Anastasia Diana (2003:285), kualitas pelayanan
dapat diwujudkan dengan menerapkan konsep Kaizen, yaitu suatu konsep
manajeman yang difokuskan pada usaha melakukan perubahan agar lebih baik
secara terus-menerus dan tiada berkesudahan, baik terhadap proses pelayanan
maupun orang yang melaksanakannnya.
Gasperzs (1997:2) menjelaskan bahwa ada beberapa karakteristik atau
atribut yang harus diperhitungkan dalam perbaikan kualitas jasa atau pelayanan.
Karakteristik atau atribut tersebut adalah:
1. Kepastian waktu pelayanan, berkaitan dengan waktu proses atau penyelesaian, pengiriman, penyerahan, jaminan atau garansi, dan menanggapi keluhan.
2. Akurasi pelayanan, berkaitan dengan reabilitas pelayanan, bebas dari kesalahan-kesalahan.
3. Kesopanan dan keramahan, dalam memberikan pelayanan personil yang berada di garis depan yang berinteraksi langsung dengan pelanggan harus dapat memberikan sentuhan pribadi yang menyenangkan. Sentuhan pribadi yang menyenangkan tercermin melalui penampilan, bahasa tubuh dan tutur bahasa yang sopan, ramah, lincah dan gesit.
4. Tanggung jawab, dalam penerimaan pesan atau permintaan dan penanganan keluhan pelanggan eksternal.
5. Kelengkapan pelayanan, menyangkut lingkup (cakupan) pelayanan ketersediaan sarana pendukung.
6. Kemudahan mendapatkan pelayanan, berkaitan dengan banyaknya petugas yang melayani dan fasilitas yang mendukung.
7. Pelayanan pribadi, berkaitan dengan ruang/tempat pelayanan kemudahan, ketersediaan, data/Informasi dan petunjuk – petunjuk. 8. Variasi model pelayanan, berkaitan dengan inovasi untuk memberikan
pola baru pelayanan.
9. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan, berkaitan dengan ruang tunggu/tempat pelayanan, kemudahan, ketersediaan data dan Informasi dan petunjuk- petunjuk.
10. Atribut pendukung pelayanan, berkaitan dengan sarana dan prasarana yang di berikan dalam proses pelayanan.
Penilaian terhadap kualitas pelayanan tidak dapat lepas dari kemampuan
pegawai dalam pemberian pelayanan serta penyediaan fasilitas fisik. Hal ini sesuai
dengan teori “The triangle of balance in service quality" dari Morgan dan Murgatroyd dalam Warsisto (1997) bahwa perlu dipertahankan keseimbangan dari ketiga komponen (interpersonal component, procedures environment/process
component, and technical/professional component) guna menghasilkan pelayanan
yang berkualitas. Berikut adalah ketiga ketentuan pokok tersebut:
1. Bagian antar pribadi yang melaksanakan (Inter Personal Component), 2. Bagian proses dan lingkungan yang mempengaruhi (Process and
Environment),
3. Bagian profesional dan teknik yang dipergunakan (Professional and Technical).
BAGIAN ANTAR PRIBADI YANG MELAKSANAKAN (Inter Personal Component)
BAGIAN PROSES & LINGKUNGAN BAGIAN PROSES LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI YANG DIPERGUNAKAN
(Process/Environment Component) (Professional/TechnicalComponent)
Gambar 2.1
Segitiga Keseimbangan dalam Kualitas Pelayanan Sumber : Warsito Utomo, 1997
Model tersebut merupakan suatu segitiga sama sisi dimana puncaknya
adalah interpersonal component dari suatu pelayanan, sedangkan pada sisi sebelah
kiri dari segitiga tersebut didapati konteks fisik dan prosedur serta komponen
proses. Pada sisi sebelah kanan didapatkan komponen teknik atau profesionalitas
dalam menyampaikan pelayanan. Asumsi dari model ini adalah perlu
dipertahankan keseimbangan antara ketiga komponen tersebut di dalam
menyediakan suatu pelayanan yang baik. Apabila terlalu menekankan pada proses
atau prosedur, akan memberikan kesan pelayanan yang berbelit-belit. Apabila
terlalu menekankan pada komponen interpersonal akan menimbulkan impresi
bahwa penyedia jasa pelayanan kurang memperhatikan profesional pelayanan, dan
memberikan kesan bahwa pelayanan dilakukan secara profesional namun tidak
ada perhatian khusus secara individual.
Total Quality Service (TQS) didefinisikan Tjiptono (2001:56) sebagai
sistem manajerial strategik dan integratif yang melibatkan semua manajer dan
karyawan, serta menggunakan metode-metode kualitatif dan kuantitatif untuk
memperbaiki secara berkesinambungan proses-proses organisasi, agar dapat
memenuhi dan melebihi kebutuhan, keinginan, dan harapan pelanggan. Strategi
ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Strategi
Pelanggan
Sistem SDM
Gambar 2.2
Total Quality Service (TQS) Sumber : Fandy Tjiptono (1997:56)
Berdasarkan gambar tersebut, strategi merupakan pernyataan yang jelas
dan dikomunikasikan dengan baik mengenai posisi dari sasaran organisasi dalam
organisasi yang dirancang untuk mendorong, menyampaikan, dan menilai jasa
dan layanan yang nyaman dan berkualitas bagi pelanggan. SDM merupakan
karyawan di semua posisi yang memiliki kapasitas dan hasrat untuk responsif
terhadap kebutuhan pelanggan. Tujuan keseluruhan adalah untuk mewujudkan
kepuasan pelanggan, memberikan tanggung jawab kepada setiap orang dan
melakukan perbaikan berkesinambungan
Proses implementasi Total Quality Service (TQS) dalam organisasi dimulai
dengan melakukan berbagai perubahan (pergeseran paradigma) dalam struktur,
tanggung jawab, prosedur, proses dan sumber daya organisasi tersebut. Perubahan
pertama yang patut dilakukan adalah dalam hal peranan visionaris dan
implementasi.
Pelayanan yang berkualitas atau pelayanan prima yang berorientasi pada
pelanggan sangat tergantung pada kepuasan pelanggan. Sebagaimana pendapat
Lukman (2000:8) yang mengatakan bahwa salah satu ukuran keberhasilan
menyajikan pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada tingkat kepuasan
pelanggan yang dilayani. Pendapat tersebut artinya menuju kepada pelayanan
eksternal, dari perspektif pelanggan, lebih utama atau lebih didahulukan apabila
ingin mencapai kinerja pelayanan yang berkualitas. Pengukuran kualitas internal
memang penting, tetapi semua itu tidak ada artinya jika pelanggan tidak puas
dengan yang diberikan. Seperti apa yang disampaikan oleh Gerson dalam Harbani
(2010:133), yakni bagaimanapun performa suatu organisasi tetapi kalau tidak
sesuai dengan keinginan pelanggan atau tidak memuaskan, citra kinerja organisasi
Kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang terbaik, yaitu suatu
sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara
memuaskan. Kasmir dalam Harbani (2007:133) mengatakan bahwa pelayanan
yang baik adalah kemampuan seseorang dalam memberikan pelayanan yang dapat
memberikan kepuasan kepada pelanggan dengan standar yang ditentukan. Begitu
pula yang dikemukakan Tjiptono (2002:129), bahwa pelayanan yang berhasil
guna dalam suatu organisasi adalah pelayanan yang diberikan oleh anggota
organisasi tersebut dapat memberikan kepuasan kepada konsumen atau
pelanggannya. Sebagai tolak ukurnya adalah tidak adanya atau berkurangnya
keluhan dari masyarakat atau konsumen.
Menurut Triguno (1997:78), pelayanan yang terbaik yaitu melayani setiap
saat, secara cepat dan memuaskan, berlaku sopan, ramah dan menolong, serta
profesional dan mampu. Dari pendapat Triguno itu, dapat ditarik kesimpulan
bahwa suatu layanan dapat memuaskan seseorang atau kelompok orang, jika
petugas yang memberi pelayanan dapat menunjukkan perilaku yang baik seperti
bertingkah laku yang sopan, menyampaikan sesuatu dengan cara yang baik dan di
waktu yang tepat berkaitan dengan apa yang seharusnya diterima oleh orang yang
bersangkutan, serta dengan keramah-tamahan dan profesionalitas.
Sementara itu, Zeithalmdalam Rakhmat (2009) mengatakan ada dua faktor
utama yang mempengaruhi kualitas layanan, yaitu Expectative Service (pelayanan
yang diharapkan) dan Perceived Service (pelayanan yang diterima). Karena
kualitas pelayanan berpusat pada pelanggan serta ketepatan penyampaian untuk
pelayanan secara excelent atau superior dibandingkan dengan pemenuhan harapan
konsumen. Artinya pelayanan yang diberikan seharusnya melebihi harapan
konsumen agar tercipta kepuasan konsumen terhadap pelayanan yang diberikan.
Elthaitammy dalam Tjiptono (2004:131) menyatakan bahwa service
excellence atau pelayanan yang unggul adalah suatu sikap atau cara karyawan
dalam melayani pelanggan secara memuaskan.
Secara garis besar ada empat unsur pokok yang terkandung di dalam
pelayanan yang unggul (service excellence), yaitu kecepatan, ketepatan,
keramahan, serta kenyamanan. Keempat komponen tersebut merupakan satu
kesatuan yang terintegrasi, artinya pelayanan menjadi tidak excellence bila ada
komponen yang kurang. kualitas jasa atau layanan yang baik akan dapat
memberikan kepuasan kepada masyarakat, yang pada akhirnya akan menciptakan
loyalitas masyarakat kepada organisasi (institusi) yang bersangkutan.
Rohman (2010) berpendapat bahwa penilaian kinerja publik tidak cukup
hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada
birokrasi seperti efisiensi dan efektivitas, tetapi harus pula dilihat dari indikator
yang melekat pada pengguna jasa seperti kepuasan pengguna jasa. Konsep
kualitas pelayanan dapat pula dipahami melalui consumer behaviour (perilaku
konsumen) yaitu perilaku yang dimainkan oleh konsumen dalam mencari,
membeli, menggunakan dan mengevaluasi suatu produk pelayanan yang
diharapkan mampu memenuhi kebutuhannya. Keputusan-keputusan konsumen
dipengaruhi berbagai faktor, antara lain persepsinya terhadap kualitas pelayanan.
Hal ini menurut Harbani Pasolong (2007:135) menunjukkan adanya interaksi
yang kuat antara kepuasan konsumen dengan kualitas pelayanan.
Dengan demikian untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik
diperlukan adanya kesetaraan posisi tawar antara konsumen atau klien dengan
lembaga penyelenggara pelayanan, yang dalam hal ini adalah birokrasi publik.
Secara teoritis kesetaraan posisi tawar ini akan dapat dicapai dengan cara:
1. Meningkatkan posisi tawar klien atau konsumen, atau dengan kata lain