• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA

3.4 Parameter yang Diukur dan Pengumpulan Data 1 Parameter yang Diukur

4.1.1 Penelitian Tahap

4.1.2.5 Kualitas Air

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi total amoniak (TAN) pada semua perlakuan pada minggu pertama meningkat terutama pada perlakuan kontrol (A). Puncak konsentrasi TAN pada perlakuan tanpa rumput laut (A) dan B (3,125 g/l rumput laut) terjadi pada minggu ini (Gambar 4). Pada minggu ke- 2 konsentrasi TAN menurun pada setiap perlakuan, sedangkan pada minggu ke- 3 konsentrasi TAN pada perlakuan B (3,125 g/l rumput laut) masih terus menurun sebaliknya pada perlakuan tanpa rumput laut, C (6,250 g/l) dan D (9,375 g/l) mulai naik kembali sampai akhir penelitian. Peningkatan tertinggi terjadi pada perlakuan D (padat tebar rumput laut tertinggi yaitu 9,375 g/l), yang berbeda nyata nyata dengan perlakuan lainnya (Lampiran 19).

Gambar 4 Perubahan konsentrasi total amoniak nitrogen (TAN) dengan perlakuan perbedaan padat tebar rumput laut A (tanpa rumput laut), B (3,125 g/l), C (6,250 g/l) dan D (9,375 g/l) pada media pemeliharaan udang vaname (Litopenaeus vannamei) dan rumput laut (Gracilaria verrucosa)

0 .0 0 .5 1.0 1.5 2 .0 2 .5 3 .0 0 1 2 3 4 M ing g u ke- A B C D 0 .0 0 .2 0 .4 0 .6 0 .8 1.0 1.2 1.4 0 1 2 3 4 M ing g u ke- A B C D

Gambar 5 Perubahan konsentrasi nitrit dengan perlakuan perbedaan padat tebar rumput laut A (tanpa rumput laut), B (3,125 g/l), C (6,250 g/l) dan D (9,375 g/l) pada media pemeliharaan udang vaname (Litopenaeus vannamei) dan rumput laut (Gracilaria verrucosa)

Gambar 6 Perubahan konsentrasi nitrat dengan perlakuan perbedaan padat tebar rumput laut A (tanpa rumput laut), B (3,125 g/l), C (6,250 g/l) dan D (9,375 g/l) pada media pemeliharaan udang vaname (Litopenaeus vannamei) dan rumput laut (Gracilaria verrucosa)

Konsentrasi nitrit pada minggu pertama dari semua perlakuan meningkat pada perlakuan A dan C terus meningkat hingga minggu ke-2 dan baru turun pada

minggu ke-3 hingga akhir penelitian, sedangkan pada perlakuan B dan D pada minggu ke-2 konsentrasi nitrit mulai turun dan terus menurun hingga akhir penelitian (Gambar 5). Dari hasil analisis statistik, pada minggu ke empat nilai kandungan nitrit berbeda nyata (P<0,05) dengan perlakuan yang lainnya yaitu perlakuan tanpa rumput laut (A) lebih tinggi daripada padat tebar rumput laut 3,125 g/l; 6,250 g/l dan 9,375 g/l.

Konsentrasi nitrat meningkat di minggu ke-1, dan terjadi penurunan di minggu ke-3 sampai akhir penelitian (Gambar 6). Kandungan nitrat pada minggu ke-1 berbeda antar perlakuan. Kandungan nitrat tertinggi pada perlakuan padat tebar tanpa rumput laut 9,375 g/l yaitu 0,945 mg/l. Hasil analisis statistik pada minggu ke-2, 3 dan 4 tidak berbeda (P>0,05) antar perlakuan.

Pengamatan kualitas air pemeliharaan meliputi oksigen terlarut (DO), suhu, salinitas dan pH. Salinitas dan oksigen terlarut pada media dengan rumput laut fluktuasinya lebih kecil dari pada media tanpa rumput laut. Sedangkan untuk suhu dan pH pada setiap perlakuan tidak ada perbedaan, suhu dan pH pada perlakuan dengan rumput laut dan tanpa rumput laut hampir sama sampai akhir penelitian (Lampiran 10). Nilai dari keempat parameter kualitas air media pemeliharaan masih di dalam kisaran normal untuk hidup udang dan rumput laut (Gracilaria verrucosa).

4.2. Pembahasan

Pemanfaatan nitrogen terlarut oleh rumput laut di perairan bertujuan untuk mengurangi beban dalam media budidaya. Pada minggu awal penelitian terlihat jelas (Gambar 4) kandungan total amoniak nitrogen (TAN) pada perlakuan tanpa rumput laut (A) meningkat tiga kali lebih tinggi dari perlakuan dengan rumput laut (B, C dan D). Kandungan TAN pada perlakuan dengan rumput laut bertambah tetapi tidak terlalu tinggi, dikarenakan rumput laut dapat memanfaatkan senyawa nitrogen (Lampiran 9). Rumput laut dapat memanfaatkan N terlarut dalam perairan melalui proses difusi dengan seluruh bagian tubuhnya. Semakin tinggi kemampuan rumput laut mampu menyerap N terlarut di media budidaya, maka semakin besar nilai pertumbuhannya dalam artian akan semakin meningkat juga kandungan N dalam tubuh rumput laut. Hal ini dapat dilihat dari

kandungan N rumput laut yang meningkat. Kandungan N dalam berat kering tertinggi pada perlakuan padat tebar rumput laut B (3,125 g/l) yaitu 3,93% kemudian perlakuan C (9,375 g/l) sebesar 2,92% dan terendah pada perlakuan C (6,250 g/l) yaitu 2,33%. Bukti penyerapan total amoniak nitrogen (TAN) dapat dilihat secara statistik (Lampiran 15) adanya perbedaan antar perlakuan laju pertumbuhan harian rumput laut pada padat tebar 9,375 g/l lebih rendah daripada perlakuan lainnya.

Nitrogen sangat penting bagi rumput laut dalam pengaturan metabolisme dan reproduksi. Pertumbuhan dan biomas dapat tercapai dengan baik bila tanaman laut ini tercukupi nitrogen. Pengambilan nitrogen oleh tanaman laut bukan hanya fungsi dari konsentrasi N eksternal tetapi juga konsentrasi N internal di dalam jaringan tanaman. Pengambilan dan penyimpanan N oleh rumput laut dapat dipengaruhi oleh konsentrasi N anorganik terlarut di dalam air dan juga dipengaruhi oleh fluktuasi ekologis N dalam jaringan tumbuhan dan kecepatan pertumbuhan. Konsentrasi N yang rendah di lingkungan tidak dapat mencukupi kebutuhan tanaman akan N untuk penggunaan selanjutnya. Tetapi rumput laut mempunyai kemampuan untuk mengasimilasi dan menyimpan nutrien dari lingkungannya khususnya pada saat konsentrasi rendah. Kandungan N dalam berat kering pada perlakuan C dan D lebih kecil dari B diduga walaupun jumlah N di air tinggi tetapi dalam bentuk nitrat dan nitrit, Gracilaria kurang mampu memanfaatkannya. Hal ini sesuai yang dikemukan oleh Patadjai (1993) dan Sukmarumaeti (2002), bahwa nitrogen dalam bentuk amoniak yang paling utama diserap oleh rumput laut. Oleh karena itu, untuk mencukupi kebutuhannya, N cadangan yang tersimpan di dalam jaringan dipergunakan terlebih dahulu untuk pertumbuhan (Risjani 1999).

Kemampuan penyerapan N dari limbah budidaya udang tiap perlakuan perbedaan padat tebar rumput laut tertinggi pada perlakuan B (3,125 g/l) yaitu 14,62 g kemudian (9,375 g/l) sebesar 12,46 g dan terkecil pada perlakuan C (6,250 g/l) sebesar 8,54 g (Lampiran 9). Pada perlakuan B selama empat minggu pemeliharaan, rumput laut mampu memanfaatkan 14,62 g N terlarut dari limbah budidaya udang sehingga bobot rumput laut bertambah menjadi dua kalinya. Jika dihitung dalam per jam, rumput laut mampu menyerap N terlarut sebesar 0,013 g

N/kg tubuh/jam. Walaupun pemanfaatan N oleh rumput laut pada penelitian ini lebih kecil dari hasil pengukuran Harris et al. (2008) yaitu rumput laut Gracilaria sp. mampu memanfaatkan N di media budidaya multi-tropik dari 0,6 ppm pada pengukuran jam 06.00 menjadi 0-0,125 ppm pada jam 16.45, tetapi kemampuan penyerapan ini sudah 3 kali lebih besar dari nilai produksi N eksresi udang per kilogram tubuh per jam pada penelitian tahap satu. Artinya N terlarut dari hasil ekskresi udang mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh rumput laut.

Pemanfaatan amoniak perlakuan perbedaan padat tebar rumput laut C (6,250 g/l) dan D (9,375 g/l) lebih besar dari pada pelakuan B (3,125 g/l) hanya di awal penelitian saja. Keadaan tersebut tidak bertahan lama karena jumlah amonium sudah berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan nutriennya rumput laut memanfaatkan nitrat dan nitrit. Ini dapat dilihat dari semakin menurunnya kandungan nitrat dan nitrit di media budidaya (Gambar 5 dan 6). Alga umumnya menyerap nitrogen secara bertahap, yaitu: Amonium > nitrat > nitrit. Pemanfaatan nitrat dan nitrit oleh rumput laut kurang efisien karena nitrat dan nitrit harus terlebih dahulu direduksi sebelum digunakan oleh sel-sel rumput laut. Nitrat dimanfaatkan oleh rumput laut untuk metabolisme dengan bantuan enzim nitrat reduktase yang dihasilkannya (Patadjai 1993). Penyerapan nitrat dan nitrit oleh rumput laut dipengaruhi oleh konsentarsi amonium dalam media. Karena yang dimanfaatkan rumput laut pada perlakuan C dan D nitrat dan nitrit, pertumbuhannya tidak secepat pada awal penelitian yang lebih banyak memanfaatkan amonium. Pertumbuhan rumput laut di dua minggu pertama cepat kemudian menurun hingga akhir penelitian. Hal yang sama dengan penelitian Soriano (2002), pemeliharaan rumput laut Gracilaria sp. di saluran pembuangan tambak udang vaname 15 hari pertama mencapai 8,8% kemudian trus menurun.

Hal ini juga dipengaruhi keadaan cuaca yang tidak mendukung, pada minggu ketiga hingga akhir penelitian terjadi hujan dan banjir. Rumput laut memerlukan proses fotosintesi untuk pertumbuhannya. Proses fotosintensi dapat berjalan lancar bukan karena adanya nutrien saja tetapi membutuhkan sinar matahari. Rendahnya pertumbuhan juga dikarenakan kepadatan rumput laut dalam satu rumpun yang terlalu tinggi. Rumput laut yang diikat dan padat tebarnya tinggi bila rumpunnya sudah makin besar mengurangi ruang gerak dari rumput

laut itu sendiri, hal ini merupakan gejala yang normal. Padat tebar yang tinggi, ruang gerak menjadi sempit sehingga susah untuk berkembang dan kebutuhan akan nutrien terus meningkat (Sidik et al. 2002).

Pada perlakuan B dengan padat tebar rumput laut paling rendah (3,125 g/l) pertumbuhan maksimal dicapai pada minggu ketiga. Dari minggu ke minggu pengurangan TAN pada perlakuan B terus meningkat hingga mencapai minimum. Penyerapan amoniak yang bertahap dapat meningkatkan pertumbuhan yang baik sehingga diperoleh nilai laju pertumbuhan harian terbesar. Perlakuan B (3,125 g/l rumput laut) karena dapat memanfaatkan amoniak dalam waktu yang lama sehingga pertumbuhannya bisa lebih baik dan cepat dari pada perlakuan C dan D yang harus memproses nitrat dan nitrit untuk memenuhi kekurangan kebutuhan akan nutrien. Hal ini dapat dilihat dari jumlah N di rumput laut akhir penelitian yang meningkat dari 3,04% menjadi 3,93%. Budidaya rumput laut Gracilaria parvispora dengan mengunakan air buangan dari tambak udang dapat meningkatkan kandungan nitrogen di tallus dari 1% menjadi 3,5% dengan laju pertumbuhan 8-9% per hari lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan rumput laut yang diberi pupuk kimia hanya 4-5% per hari (Glenn et al. 2002).

Pada penelitian ini nilai laju pertumbuhan harian rata-rata rumput laut tertinggi pada perlakuan B yaitu 2,62%, kemudian C (2,31%) dan terendah pada perlakuan D (1,20%). Walaupun nilai laju pertumbuhan ini lebih kecil dari penelitian (Sukmarumaeti 2002; Soriano 2002) tetapi masih dalam kisaran normal yang lebih besar dari hasil penelitian yang dilakukan Hendrajat dan Mangampa (2007) dengan laju pertumbuhan 1,08-2,09%. Perbedaan produksi biomassa yang diperoleh terutama dikarenakan sistem budidaya dan spesies rumput laut yang digunakan.

Pada minggu kedua perlakuan tanpa rumput laut (A) kandungan total amoniak nitrogen (TAN) turun drastis. Hal ini dikarena adanya oksidasi amoniak menjadi nitrit dan oksidasi nitrit menjadi nitrat. Terlihat pada Gambar 5 dan 6 nilai kandungan nitrat dan nitrit terus meningkat hingga mencapai puncak. Ini sangat mungkin terjadi dikarenakan pada media budidaya diberi aerasi sehingga kebutuhan oksigen untuk proses oksidasi terpenuhi. Bukti yang mendukung terjadinya proses oksidasi dapat dilihat dari kandungan oksigen terlarut pada

perlakuan A dari minggu ke minggu hingga akhir penelitian terus berkurang. Boyd (1981) menyatakan bahwa untuk proses oksidasi amoniak sebagai sumber energi, CO2 sebagai sumber karbon dan O2 untuk proses oksidasinya. Pada perlakuan dengan rumput laut oksidasi terjadi juga tetapi karena amoniak banyak yang dimanfaatkan oleh rumput laut maka yang dioksidasi menjadi nitrit lebih sedikit ini dapat dilihat dari Gambar 5. Proses oksidasi amoniak sedikit, pengurangan oksigen terlarut di media budidaya juga sedikit. Dilain pihak rumput laut juga menyumbang oksigen dari hasil fotosintesis. Izzati (2005) menyatakan rumput laut Gracilaria sp. dapat meningkatkan kadar oksigen terlarut 14,5% di perairan tambak. Walaupun terjadi proses respirasi tetapi konsentrasi oksigen terlarut dari proses fotosintesis oleh rumput laut lebih tinggi. Rumput laut Gracilaria sp. mampu menyuplai oksigen terlarut sekitar 2,86 mg/L selama 24 jam ke media pemeliharaan ikan bandeng, udang vaname dan rumput laut (Harris et al. 2008; Neori et al. 2004).

Pada minggu keempat penelitian, nilai kandungan total amoniak nitrogen (TAN) kembali meningkat pada semua perlakuan. Nilai tertinggi pada perlakuan D (9,375 g/l rumput laut). Hal ini dikarenakan adanya pemberian pakan serta makin banyaknya sisa ekskresi dan feses yang dikeluarkan udang dan adanya rumput laut yang mati. Selain itu pertumbuhan maksimal rumput laut telah dicapai pada minggu ketiga. Bila pertumbuhan maksimal sudah tercapai, kemampuan menyerap N akan menurun oleh sebab itu rumput laut lebih baik di panen pada minggu ketiga.

Pertumbuhan dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan, umur dan kualitas air (Hamsiah 2000). Peningkatan biomassa merupakan tingkat pemberian pakan yang ditransformasikan menjadi biomas udang. Tingkat pemanfaatan pakan dapat terindikasi dari peningkatan biomassa total dan peningkatan jumlah pakan yang diberikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pertambahan bobot rata-rata individu udang pada setiap perlakuan sampai akhir penelitian. Udang pada perlakuan dengan rumput laut bobot rata-rata individunya lebih tinggi dari pada perlakuan tanpa rumput laut.

Namun karena adanya perbedaan kualitas air lingkungan budidaya pertumbuhan dari tiap perlakuan pun berbeda. Kualitas air yang baik mampu

mendukung kehidupan udang, sehingga mampu meningkatkan nafsu makan udang. Hal ini dapat dilihat dari nilai FCR dan retensi tiap perlakuan. Nilai FCR mengindikasikan tingkat efisiensi pemanfaatan pakan oleh udang sekaligus mempengaruhi beban limbah nutrien yang terbuang ke lingkungan perairan. Kontribusi N yang berasal dari pakan terhadap beban limbah akan dipengaruhi oleh nilai FCR dan retensi nutrien dalam biomassa udang. Perbedaan jumlah N yang terdapat di dalam pakan dan udang yang diproduksi merupakan jumlah beban N yang masuk ke dalam media budidaya. Pada perlakuan B (3,125 g/l rumput laut) dengan nilai FCR terkecil (1,99) memberikan biomassa (350,16 g) dan nilai kelangsungan hidup tertinggi (82,67%). Pada perlakuan B ini pakan yang diberikan banyak dimanfaatkan oleh udang. Pakan yang diberikan dimakan, dicerna dan diretensi oleh tubuh sebagai pertumbuhan, hal ini dapat dilihat dari nilai retensi nitrogen udang pada perlakuan B paling besar (2,73 g) sehingga dapat meningkatkan biomassa udang.

Pakan yang tidak dapat dicerna dan yang dikeluarkan melalui ekskresi serta sisa pakan yang tidak termakan jumlahnya lebih sedikit dari pada perlakuan A, C dan D, ini dapat dilihat dari kandungan N di air. Pada perlakuan B nilai total amoniak nitrogen (TAN) dan nitrit lebih rendah daripada perlakuan yang lainnya. Untuk menumbuhkan udang dari 265,95 g menjadi 350,20 g ternyata dikeluarkan limbah N sebanyak 15,36 g (Lampiran 9). Sebahagian besar dari limbah tersebut (14,62 g) mampu diretensi oleh pertumbuhan rumput laut sebanyak 1,69 kg dan sisa limbahnya sebanyak 0,74 g N masih tersisa di dalam air (Lampiran 9).

N yang tersisa di bak pemeliharaan semakin kecil (mendekati 0) menunjukkan keefektifan tingkat pemanfaatan N terlarut oleh rumput laut. Pada perlakuan B sisa N di bak pemeliharaan paling rendah. Kemampuan rumput laut dalam memanfaatkan nitrogen terlarut di perairan dapat membuat lingkungan budidaya lebih baik dan dapat mendukung kehidupan udang yang dipelihara bersamanya. Ini terlihat dari nilai kelangsungan hidup udang selama pelaksanaan penelitian. Dari hasil analisis statistik (Lampiran 13) bahwa perbedaan padat tebar rumput laut berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai kelangsungan hidup udang. Nilai kelangsungan hidup tertinggi pada perlakuan B (3,125 g/l) yang mencapai 82,67%. Pada perlakuan dengan rumput laut selain mampu meyerap N di perairan,

pada media ini N yang tersisa di perairan lebih banyak dalam bentuk nitrat. Sedangkan pada perlakuan tanpa rumput laut N di media perlakuan banyak dalam bentuk amoniak dan nitrit, bentuk ini berbahaya terhadap udang. Hal ini dapat menyebabkan udang mati karena keracunan dan kekurangan oksigen. Dikarenakan adanya penambahan aerasi di setiap perlakuan, sehingga kebutuhan oksigen untuk respirasi dan perombakan oleh bakteri masih terpenuhi. Pada penelitian ini kandungan amoniak dalam air masih berada dalam kisaran yang aman bagi pemeliharaan udang 0,05-0,10 mg/l tetapi kandungan nitrit yang sudah diluar ambang batas yang baik yaitu 0,01-0,05 mg/l (Fatimah 2004). Namun karena konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan > 5 mg/l maka udang masih dapat hidup normal. Secara umum kualitas air (salinitas, suhu dan pH) berada dalam kisaran yang aman untuk hidup dan tumbuhnya udang dan rumput laut.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dengan perbedaan padat tebar rumput laut (Gracilaria verrucosa) yang dipelihara dalam skala laboratorium, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Penambahan rumput laut (Gracilaria verrucosa) dengan biomassa 3,125 gram/liter pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) dapat meningkatkan derajat kelangsungan hidup udang dari 62,67% (tanpa rumput laut) menjadi 82,67% dan bobot akhir rata-rata udang dari 15,58 gram (tanpa rumput laut) menjadi 16,99 gram.

2. Pertumbuhan udang vaname sebesar 84,25 gram mengeluarkan limbah N sebanyak 15,36 gram dan 14,62 gram (95,18%) dari jumlah tersebut mampu dimanfaatkan oleh rumput laut Gracilaria verrucosa untuk membentuk biomassa sebanyak 16,9 kg.

5.2 Saran

Dari penelitian ini disarankan untuk melakukan budidaya polikultur udang vaname dan rumput laut (Gracilaria verrucosa) dengan keseimbangan 5 ekor udang dan 312,5 gram rumput laut per 100 liter media pemeliharaan. Penelitian lanjutan yang disarankan adalah memperpanjang masa pemeliharaan sehingga didapatkan model sistem budidaya polikultur untuk pendederan (30 hari) dan pembesaran (60 hari).

Dokumen terkait