• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualitas Perumusan APBD

Dalam dokumen Direktorat Otonomi Daerahc Dan Bappeans (Halaman 36-42)

ANALISIS KUALITAS BELANJA DAERAH DAN APBD

11. Penetapan Perda APBD dan Perkada Penjabaran APBD

4.2. Kualitas Perumusan APBD

Sebagaimana diuraikan dalam tinjauan teoretis dan metodologi, kualitas belanja dan perumusan APBD dapat diketahui dari pemenuhan nilai-nilai ekonomi, efisiensi, efketivitas, equity/keadilan, akuntabilitas, dan responsivitas. Berikut ini hasil kajian lapangan melalui fgd dan wawancara mendalam dengan narasumber di masing-masing lokasi kajian. Kualitas Perumusah APBD dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:

Arsip SMS M-GOV Kutai Kartanegara

Kirimkan saran, pendapat atau kritik anda kepada Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara melalui SMS, ketik: kukar (spasi) pesan dan kirim ke nomor 6468 (khusus pelanggan Telkomsel). Layanan ini terselenggara atas kerjasama Bagian Humas & Protokol Setkab Kukar dengan PT Telkomsel Regional Kalimantan dan KutaiKartanegara.com.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD IV - 6

a. Ekonomi

Nilai ekonomi dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan jumlah pengeluaran yang selalu meningkat sehingga dianggap APBD tersebut semakin tinggi cakupan belanjanya.

Dari kajian di lapangan, semua belanja dan APBD di masing-masing lokasi kajian mengalami kenaikan sekitar 5% sampai 10% dibanding tahun sebelumnya. Oleh Karen itu, semua lokasi kajian dianggap memenuhi nilai ekonomi ini. Tidak ada satu lokasi kajian pun yang alokasi belanja dan nilai APBD-nya tetap, apalagi menurun. Kecuali untuk Provinsi Sulawesi Tenggara yang menggunakan APBD Tahun 2009 untuk Tahun anggaran 2010 karena RAPBD tahun 2010 tidak diperoleh kesepakatan dengan legislatif (DPRD).

b. Efisiensi

Nilai efisiensi dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan apa yang dapat dihasilkan dari belanja tersebut dan berapa alokasi biaya untuk itu, terrmasuk alokasi waktu untuk perumusan APBD.

Dari hasil kajian di lapangan, ternyata pada masing-masing lokasi kajian tidak ditemukan adanya hasil yang dapat dibanggakan atau berkesan dari alokasi belanja yang ada. Sedangkan dari proses perumusan APBD ternyata alokasi waktu yang disediakan secara normative tidak dapat digunakan secara tepat, akan tetapi hampir semua lokasi mengalami keterlambatan. Kota Medan menjadi salah satu lokasi yang relative tepat waktu dalam perumusan APBD, sedangkan D.I. Yogyakarta menjadi satu-satunya lokasi kajian yang sudah menggunakan analisis standar belanja (ASB).

Oleh karena itu, dari nilai efisiensi, Kota Medan dan Provinsi D.I.Yogyakarta merupakan yang terbaik.

c. Efektivitas

Nilai efektivitas dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan apa yang dapat dihasilkan dari belanja tersebut dan apakah yang dihasilkan tersebut memuaskan bagi stakeholders yang ada.

Dari hasil kajian di lapangan, ternyata semua lokasi kajian tidak mendapatkan satu hasil belanja daerah yang dianggap memuaskan. Semua lokasi kajian menganggap belanja daerah sebagai sesuatu yang biasa saja seperti hal rutin yang tidak perlu

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD IV - 7 diingat, apalagi belanja untuk pegawai, meskipun dibeberapa tempat ada kenaikan

tunjangan, namun kenaikan tersebut tetap dianggap masih kurang. Belanja modal pun demikian, tidak dianggap sebagai sesuatu yang patut diingat, menjadi sesuatu yang biasa saja. Hanya Kota Medan yang menganggap belanja daerah menjadi sesuatu yang penting dan menjadi target bahwa tahun 2011 ini belanja langsung lebih tinggi dari belanja tidak langsung, dan tercapai.

d. Equity/Keadilan

Nilai keadilan atau equity dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan alokasi anggaran yang memihak pada masyarakat yang lemah atau miskin dan melalui prosedur yang dianggap adil.

Pada umumnya pemberantasan kemiskinan merupakan prioritas belanja daerah, namun tetap saja alokasi belanja untuk pemberantasan kemiskinan terkendala

dengan kemampuan keuangan daerah. Hal ini diperberat dengan beban belanja pegawai di hampir semua lokasi penelitian, kecuali Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Terutama untuk Provinsi Kalimantan Timur yang relative besar mengalikasikan bagi kelompok miskin atau program pemberantassan kemiskinan.

e. Akuntabilitas

Nilai akuntabilitas dalam belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan kelengkapan dan kebenaran dokumen yang relevan dalam belanja dan proses perumusan APBD, termasuk kemungkinan penelusuran semua proses belanja dan perumusan APBD.

Dari hasil kajian pada umumnya semua lokasi tidak didapat kasus hukum penyimpangan prosedur perumusan APBD, kecuali ada kasus yang sedang diproses secara hukum yang berkaitan dengan APBD. Dokumentasi belanja dan proses perumusan APBD di semua lokasi kajian tersedia dan dapat ditelusuri. Oleh karena itu, pada nilai ini, hanya Provinsi Sumatera Utara yang dapat dianggap relatif kurang akuntabel.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD IV - 8 f. Responsivitas

Nilai Responsivitas dalan belanja daerah dan perumusan APBD berkaitan dengan keterbukaan dalam belanda daerah dan perumusan APBD sehingga memungkinkan semua unsur masyarakat berpartisipasi atau memberikan masukan yang relevan. Pada dasarnya semua proses perumusan APBD di lokasi kajian memungkinkan keterlibatan masyarakat melalui Musrenbang dan sidang terbuka DPRD. Meskipun demikian, ada dua lokasi kajian yang memiliki beberapa pilihan akses keterlibatan masyarakat dalam perumusan APBD, seperti adanya hotline (SMS, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Medan).

Dengan kriteria rendah, sedang, dan tinggi, indikator-indikator tersebut dapat diadaptasikan dengan kondisi masing-masing lokasi kajian ini sebagaimana tabel berikut. Jika diambil rata-rata secara kuantitatif, maka Kota Medan menjadi Daerah yang kualitas belanja dan anggarannya terbaik karena mendapat empat kriteria indicator yang baik. Namun tidak dapat dirata-rata seperti itu, penelitian ini justru menemukan tipikal dari masing-masing lokasi sebagaimana tabel berikut.

Tabel 4.3. Kualitas Penganggaran Daerah

No. Instrumen DIY Sleman Sumut Medan Kaltim KuKar Sultra Wakatobi

1. Ekonomi 2. Efisiensi 3. Efektifitas 4. Equity 5. Akuntabilitas 6 Responsivitas Rendah Sedang Tinggi

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD IV - 9 4.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Hasil dari FGD dan wawancara di daerah dalam kajian ini dapat mengidentifikasi beberapa faktor yang menentukan kualitas belanja dan anggaran daerah sebagai berikut.

a. Faktor SDM

Sebagian besar lemahnya SDM ditengarai dengan lemahnya kemampuan untuk mengidentifikasi potensi pendapatan daerah. Banyaknya pegawai juga membuat belanja tidak langsung menjadi selalu lebih besar dari belanja langsung. Mengingat perencanaan dan penganggaran idealnya terintegrasi, maka faktor kemampuan (kapasitas) SDM menjadi penting, termasuk kemampuan untuk mengidentifikasi prioritas pembangunan yang riil sesuai potensi dan kebutuhan masyarakat dan sinkron dengan prioritas nasional. Lemahnya SDM juga ditengarai dengan sebagian besar posisi TAPD di masing-masing lokasi kajian relative tidak stabil, rata-rata dua tahun sudah dirotasi ke tempat atau posisi lain sehingga posisi TAPD hampir selalu diisi dengan pegawai-pegawai yang relatif baru dan harus belajar kembali dalam proses penganggaran.

b. Faktor SDA

Luasnya wilayah dianggap menjadi beban bagi daerah dalam mengelola kepentingan dan fasilitas publiknya, meskipun sebenarnya potensi yang tersimpan di dalamnya sangat besar untuk dapat dieksploitasi. Dalam hal ini, luas wilayah menjadi penghambat, namun sebenarnya dapat dibalik menjadi potensi yang besar. Potensi alam yang ada di masing-masing lokasi kajian merupakan faktor positif bagi proses penganggaran karena jika dieksploitasi dengan optimal akan menghasilkan pendapatan yang relatif tidak terbatas.

c. Faktor Kebijakan

Ada kebijakan pusat yang tidak memungkinkan daerah untuk menggali pendapatan daerah secara lebih leluasa. Potensi SDA yang besar yang tereksploitasi pun tidak dapat langsung dinikmati oleh daerah karena ternyata kewenangan daerah untuk itu relatif terbatas. Kasus Provinsi Sulawesi Tenggara yang sangat kaya akan hasil tambang juga tidak dapat langsung berkontribusi bagi pendapatan daerahnya. Dalam

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD IV - 10 hal ini, factor kebijakan menjadi factor negative yang menghambat kemungkinan

daerah untuk meningkatkan kualitas penganggarannya.

d. Faktor Lain

Komitmen pemerintahan daerah untuk memprioritaskan kepentingan publik terutama berkaitan dengan pengentasan kemiskinan juga ikut menentukan kualitas belanja daerah. Komitmen ini dapat terbangun dengan sendirinya sesuai dengan kapasitas pemerintahan di daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu, kapasitas legislatif juga sangat menentukan kualitas anggaran dan belanja daerah. Legislatif yang komit dengan nilai-nilai keadilan akan menghasilkan penganggaran yang lebih adil, legislatif yang komit dengan demokratisasi akan menghasilkan belanja dan proses penganggaran yang responsif terhadap masukan dari masyarakatnya.

Laporan Akhir Kajian Kualitas Belanja APBD V - 1

BAB 5

Dalam dokumen Direktorat Otonomi Daerahc Dan Bappeans (Halaman 36-42)

Dokumen terkait