• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kualleangi Tallanga Natoalia

Navigasi Tradisional dalam Pelayaran Perahu Pinisi istem Pengetahuan Komunitas Bahari sedikitnya terdiri atas: (1)

SISTEM KEPERCAYAAN

3. Kualleangi Tallanga Natoalia

ualleangi Tallanga Natoalia memiliki makna yang beragam

K

sebagaimana yang dipahami banyak orang. Kebanyakan orang memahaminya sebagai sumpah para pelaut atas keberaniannya dalam menghadapi keganasan laut dan ada pula yang memahaminya sebagai sebuah pernyataan yang lahir karena segala sesuatunya telah dimatangkan sebelum berangkat. Dalam pandangan penulis, agaknya makna yang terakhir ini lebih tepat dan lebih memungkinkan untuk ditelusuri dan dipelajari oleh generasi pelaut. Ketika badan perahu (kale lopi) telah direparasi atau diperbaharui atas segala sesuatu yang

dipandang tidak layak layar, tali-temali dan layar (pakakkasa’ pannyombalang) telah diperbaharui atau secara eksternal telah dinyatakan layak layar, dan ketika tradisi appassili, assongko bala, dan baiyat diri dan keluarga telah dilaksanakan dengan “khusu’-sakral” atau secara internal telah siap untuk berlayar, maka barulah pernyataan “Kualleangi Tallanga Natoalia” keluar dari mulut seorang pelaut. Dengan demikian pernyataan Kualleangi Tallanga Natoalia sesungguhnya lebih bermaknakan “Kematangan Perencanaan” baik secara eksternal (fisik-keperahuan) maupun secara internal (jiwa-semangat), meskipun itu kedengarannya bagaikan sumpah dari keberanian seorang pelaut. Dengan kata lain keberanian seorang pelaut bukan sekedar keberanian semata (teyai pa’bambangan natolo), tetapi lebih merupakan keberanian yang dilandasi oleh pertimbangan rasional (intelektual, emosional, dan spiritual).

E P I L O G

Masa Depan Komunitas Bahari

ehadiran modernisasi kemudiaan (paro ketiga abad XX) ke

K

dalam masyarakat bahari, yang dikenal dengan istilah motorisasi atau yang penulis sebut “Teknologi Percepatan Pelayaran” secara perlahan-lahan telah mencopot layar perahu pinisi. Mula-mula layar belakang (sombala ri boko dan tampase’re ri boko) dan dua layar depan (cocoro’ ri olo dan cocoro’ tangga) dicopot karena dianggap sudah tidak relevan, sehingga yang bertahan hanya layar tengah (sombala bakka), layar atas depan (tampase’re ri olo) dan layar depan besar (cocoro’ bakka’). Bukan hanya itu, ketiga layar yang dipertahankan tersebut juga semakin diperkecil ukurannya seiring dengan peningkatan kapasitas mesin penggerak pelayaran, dan akhirnya sekarang ketiga layar itu hanya berfungsi sebagai simbol untuk mengelabui petugas pelabuhan agar pajak mereka tidak disamakan dengan kapal-kapal mesin lainnya. Di sinilah muncul istilah baru dalam pelayaran, yakni Perahu Layar Motor (PLM), meski sesungguhnya secara fungsional tepatnya adalah Perahu atau Kapal Motor (KM). Tak seorang pun yang sadar ketika itu, bahwa pencopotan layar adalah juga sekaligus bermaknakan pencopotan keterampilan navigasi tradisional yang selama ini dibanggakan oleh para pelaut kita. Bukan hanya itu aktivitas sosial kebaharian juga semuanya ikut tercopot, musnah bagaikan dilahap “api modernisasi”. Inilah yang dimaksud “teknologi yang tidak bertubuh” (Don Ihde dalam Lim,

2008) atau “teknologi yang tidak konek” (Makagiansar, 1997). Bahkan lebih jauh kehadirannya kini selain semakin membebani biaya operasional juga telah merampok hak-hak ekonomi para pelaut, dengan adanya bagian khusus untuk mesin melebihi bagian pelaut atau sama dengan keseluruhan bagian pelaut, sebagai konsekuensi dari semakin besarnya biaya operasional. Perampokan seperti ini dipandang sangat tidak manusiawi dan karena itu pula kehadirannya dipandang sebagai “teknologi yang tidak berwajah kemanusian” (Schumacher, 1979). Jika kehadiran sebuah teknologi tidak bertubuh, tidak terkoneksitas, dan tidak berwajah kemanusiaan atau tepatnya menghancurkan kebudayaan setempat, maka kehadirannya tidak dapat dipandang sebagai “modernisasi” (Ramos, 1985). Ke depan, jika budaya kebaharian ingin dipertahankan, sebagai kebanggaan masyarakat Bugis-Makassar Sulawesi Selatan bahkan kebanggaan nasional, maka penggunaan motorisasi harus dapat dipertahankan sampai pada tingkat

di mana navigasi tradisional yang menjadi kebanggaan bangsa harus tetap dipertahankan. B.J. Habibie melalui BPPT dan Menristek bekerjasama dengan PT. PAL Surabaya telah pernah menciptakan Kapal Layar Motor (KLM) Maruta Jaya 900, sebuah kapal layar motor berkekuatan 900 ton dan mampu berlayar dengan kecepatan 8 – 9 knot per jam pada saat cuaca normal dengan penghematan BBM hingga 70 % dari kapal kargo sejenisnya. Jika kapal sejenisnya mengkonsumsi solar 3.000–4.000 liter per hari, maka Kapal Maruta Jaya ini hanya mengkonsumsi 900–1.000 liter per hari. Bukan hanya itu, pelaut dari Tanjung Bira juga pernah menciptakan Perahu Lambo Berlayar Pinisi (1960-an) dan ternyata mampu berlayar dengan kecepatan 9–10 knot per jam pada saat cuaca normal. Jika dibandingkan dengan Kapal Ferry sekarang yang menempuh rute Bira - Selayar memerlukan waktu 3–4 jam, Perahu Lambo Pinisi ini hanya memerlukan waktu 1–2 jam saja.

Dua produk teknologi yang dimaksud jelas sangat menyatu dengan alam dan budaya bangsa, bangsa maritim, bukan bangsa daratan-pedalaman atau kontinental. Karena itu sudah seharusnya bila para pemimpin dan cendikiawan bangsa sadar bahwa hanya karya seperti inilah yang sesungguhnya dapat dipandang sebagai “Karya Besar” (Fukuoka, 1978), karya yang patut dikagumi oleh bangsa yang mengaku sebagai bangsa maritim.*****

Daftar Pustaka

Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES.

Demmallino, Eymal B. 1984. Sistem Pengetahuan Lokal Bugis Makassar Konjo Mengenai Kebaharian (Pa’lopian). Makassar: Toyota Foundation Japan–Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia–Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin.

---. 1997. Transformasi Sosio–Kultural: Model Pengembangan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus pada Komunitas Nelayan Makassar di Dua Desa Pantai Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar. Bandung: Tesis Program Magister Pascasarjana Universitas Padjadjaran.

---. 2011. Transformasi Sosio–Kultural: Menggagas Pembaharuan Masyarakat Maritim di Negeri Bugis~Makassar Sulawesi Selatan. Makassar: Disertasi Program Doktor Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Fukuoka, Masanobu. 1991. Revolusi Sebatang Jerami: Sebuah Pengantar Menuju Pertanian Alami. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Hanafi, dkk. 1989. Geografi Ilmu Pengetahuan Sosial. Bandung: Lubuk Agung.

Lim, Francis. 2008. Filsafat Teknologi Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat. Yogyakarta: Kanisius.

Makagiansar, Makaminan. 1997. Meneropongi Perguruan Tinggi Indonesia dalam Dunia yang Saling Ketergantungan dan Senantiasa Penuh Perubahan. Makassar: Orasi Ilmiah Disampaikan pada Dies Natalis ke 41 UNHAS pada Tanggal 10 September 1997.

Ramos, Alberto Guerrero. 1980. “Menuju Suatu Model Kemungkinan” dalam W.A. Belling dan G.O. Totten, Modernisasi: Masalah Model Pembangunan. Jakarta: YIIS.

Schumacher, E.F. 1979. Kecil Itu Indah: Ilmu Ekonomi yang Mementingkan Rakyat Kecil. Jakarta: LP3ES.