• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan Suku Bajo Mengendalikan Perahu (Surya Yuga)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perempuan Suku Bajo Mengendalikan Perahu (Surya Yuga)"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

Pantai Wakatobi (Surya Yuga)

(2)

INTERAKSI ORANG BAJO DAN ORANG BUGIS

Dalam Konteks Kearifan Lokal–Global

di Desa Sulaho, Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara

H. Nasruddin Suyuti Universitas Haluoleo, Kendari

Abstrak

Desa Sulaho yang lebih dikenal sebagai perkampungan Bajo, selain bermukim orang Bajo sebagai kelompok mayoritas, juga terdapat orang Bugis sebagai kelompok minoritas. Interaksi sosial antara orang Bajo dan orang Bugis di Desa Sulaho telah berlangsung lama, sehingga konsep sama dan bagai mengalami perubahan. Konsep sama dan bagai pada masyarakat Bajo yang digunakan untuk membedakan orang Bajo dengan bukan Bajo telah mengalami perubahan. Perubahan tersebut diakibatkan oleh adanya interaksi sosial yang telah berlangsung lama antara orang Bajo dan orang Bugis.

Konsep sama yang dimaknai sebagai sesama orang Bajo dan bagai yang berarti orang darat (bukan Bajo) tidak lagi menjadi penting. Kelompok masyarakat Bajo menganggap semua orang Bugis yang ada di perkampungan Sulaho sebagai bagian dari kerabat dekatnya (dansihitang), sebaliknya orang Bugis sebagai kelompok minoritas Pulang Melaut (Surya Yuga)

(3)

memandang masyarakat Bajo sebagai keluarga dengan istilah sumpu’ lolo Bajota. Hal itu yang menyebabkan rasa kekeluargaan sebagai warga sekampung dapat terwujud. Akibat perubahan makna sama dan bagai, sehingga pola budaya orang Bugis mewarnai kehidupan masyarakat di Desa Sulaho. Meskipun demikian, alat tangkap tradisional dan nilai-nilai yang bersumber pada kepercayaan orang Bajo dan orang Bugis senantiasa dipertahankan.

Orang Bajo dan orang Bugis yang dikenal sebagai masyarakat maritim mempertahankan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya laut. Kepercayaan yang menyangkut nilai-nilai tradisional menjadi faktor penting dalam menjaga kelestarian sumber daya laut. Namun demikian akibat interaksi yang intensif dengan komunitas nelayan dari luar menyebabkan sebagain nelayan tradisional di Desa Sulaho lambat laun telah mengadopsi teknologi penangkapan ikan yang kadang-kadang tidak ramah lingkungan.

A. PENDAHULUAN

asyarakat Bajo pada awalnya tinggal di atas perahu yang

M

disebut bido’, hidup berpindah-pindah bergerak secara berkelompok menuju tempat yang berbeda menurut pilihan lokasi penangkapan ikan. Di atas perahu mereka menjalani hidupnya sejak lahir, berkeluarga hingga akhir hayatnya. Oleh sebab itu, orang Bajo sering disebut sea nomads (Sopher, 1971) atau sea gypsies (Brown, 1993). Dalam perkembangannya, sebagian besar dari mereka telah tinggal menetap di pinggir laut. Seperti halnya di daerah-daerah lain di Indonesia, mereka hidup menetap di laut atau di pinggir laut. Laut dijadikan sebagai sumber kehidupan (panamamie ma di lao). Mereka memiliki prinsip bahwa pinde kulitang kadare, bone pinde sama kadare yang berarti memindahkan orang Bajo ke darat, sama halnya memindahkan penyu ke darat (Nasruddin, 1996). Bahkan banyak diantara mereka merasa pusing kepalanya jika tidak mendengarkan gemuruh ombak (piddi tikolo’na lamong nggai makale le goya). Ungkapan tersebut menggambarkan betapa sulitnya memisahkan kehidupan mereka dengan laut.

Pada masyarakat Bajo, berkembang mitos bahwa Sang Dewata memperuntukkan lingkungan laut bagi orang-orang Bajo. Adanya konsepSama dapu ma di laok (laut milik orang Bajo) yang berarti pula bahwa lingkungan darat, diperuntukkan bagi orang yang tinggal di

(4)

darat (Zacot, 1979). Oleh karena itu, pada umumnya orang Bajo memiliki mata pencaharian utama menangkap ikan atau memanfaatkan sumber daya alam laut, sedangkan lingkungan darat dengan segala potensi sumber daya alamnya kurang mendapat perhatian bahkan tidak dimanfaatkan dengan baik. Namun dalam perkembangannya, orang Bajo selalu berada dalam sikap yang mendua, khususnya dalam interaksinya dengan orang bagai. Di satu pihak mereka tetap ingin mempertahankan ke”Bajo”annya yang identik dengan kehidupan di laut. Di pihak lain, keterikatannya dengan orang bagai, mengharuskan mereka berinteraksi dengan kehidupan di darat. Oleh sebab itu dalam kehidupan sehari-hari, orang Bajo mengenal dua konsep yang berbeda dalam interaksi sosialnya yakni sama dan bagai. Mereka menyebut dirinyasama (orang Bajo) yang membedakannya dengan orang bukan Bajo (bagai) (Alena, 1975; Haris,1991; Suyuti, 1996; Zacot, 1979). Konsep sama dan bagai bukan hanya merupakan simbol “Bajo” dan “Bukan Bajo”, tetapi juga merupakan simbol kehidupan di “laut” dan “darat” (Suyuti, 2011).

Konsep tersebut telah mengalami perubahan pada masyarakat Bajo di Desa Sulaho, Kecamatan Lasusua, Kabupaten Kolaka Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara, akibat interaksi yang intensif dengan orang bagai khususnya orang Bugis. Desa Sulaho yang mayoritas penduduknya adalah orang Bajo, dikenal sebagai perkampungan orang Bajo, sedangkan orang Bugis merupakan kelompok minoritas. Walaupun demikian bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Bugis, sedangkan bahasa Bajo kadang-kadang hanya digunakan oleh orang-orang tua atau jika bertemu dengan kerabatnya yang datang dari luar Desa Sulaho.

Kelompok sukubangsa mayoritas (Bajo) telah mengadaptasikan unsur-unsur budayanya ke dalam unsur-unsur budaya kelompok sukubangsa minoritas (Bugis). Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila unsur-unsur budaya sukubangsa Bugis lebih dominan ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Bajo. Sebagai warga sekampung yang memiliki hubungan simbiotik, mobilitas interaksi antar kelompok sangat intens, tidak mengenal lagi batasan waktu dan ruang. Kelompok masyarakat Bajo menganggap semua orang Bugis yang ada di perkampungan Sulaho sebagai bagian dari kerabat dekatnya (dansihitang), sebaliknya orang Bugis sebagai kelompok minoritas memandang masyarakat Bajo sebagai keluarga

(5)

dengan istilah sumpu’ lolo Bajota.

Dalam pengelolaan sumberdaya laut, orang Bajo cenderung mengadopsi pola pemanfaatan teknologi penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan Bugis di Desa Sulaho maupun di luar Desa Sulaho. Karena keterbatasan kemampuan ekonomi yang dimiliki oleh nelayan Bajo, sehingga masih banyak nelayan yang menggunakan teknologi sederhana dalam memanfaatkan sumber laut, seperti perahu (sampan) dan alat tangkap lainnya.

B. INTERAKSI ANTARA ORANG BAJO DAN BUGIS

DI DESA SULAHO

1. Proses Interaksi: Perubahan Makna Sama dan Bagai

Interaksi antara orang Bajo dan Bugis diawali dengan proses perubahan makna sama dan bagai pada orang Bajo di Desa Sulaho, yang dapat dilihat dari periodisasi kehidupan yang pernah dilaluinya, yakni:

a. Asal usul orang Bajo berdasarkan Mitos Sawerigading

Periode awal dari kehidupan orang Bajo di Desa Sulaho, dimulai berdasarkan asal usulnya (mitos Sawerigading). Ketika Sawerigading di Kampung Ussu, Desa Cerekang, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, menebang pohon walenrangnge untuk dijadikan perahu yang akan dipergunakan. Pada saat pohon berhasil ditumbangkan, telur burung yang bersarang di pohon tersebut berjatuhan dan pecah sehingga menimbulkan banjir telur. Orang-orang yang ada di sekitar pohon tersebut hanyut bersama rumahnya yang kemudian berfungsi sebagai perahu yang diberi nama bido’ (perahu yang dijadikan tempat tinggal).

Penduduk Ussu yang tidak hanyut, melihat saudara-saudaranya di tengah laut sedang dipermainkan ombak, nampak terbayang-bayang (ta’bajo-bajo) dan menyebutnya sebagai orang Bajo. Anggota kelompok yang hanyut kemudian menyebar dalam kelompok-kelompok kecil sesuai arah angin ke berbagai penjuru tanah air, bahkan ke berbagai wilayah di Asia Tenggara. Sejak saat itu, semua anggota kelompok bersama

(6)

keturunannya disebut orang sama yang bermakna “sama-sama” di laut, sedangkan kelompok masyarakat yang hidup di darat disebutnya orang bagai.

Perubahan pola pemukiman dari darat ke laut menyebabkan orang Bajo mengalami perubahan budaya. Nenek moyangnya yang hanyut dengan latar belakang budaya orang Bugis, melakukan perubahan sesuai dengan kondisi yang dialaminya pada saat itu, termasuk munculnya bahasa yang kemudian menjadi simbol sesama orang Bajo yang disebut boang sama. Dengan demikian boang sama dapat berarti simbol bagi masyarakat Ussu yang karena takdir hanyut dan terbuang bersama ke laut kemudian menjadi orang Bajo.

b. Kehidupan di atas Bido’ sebagai Masyarakat Nomaden

Dari Kampung Ussu, masyarakat Bajo memulai kehidupannya sebagai orang laut kemudian hidup mengembara di atas laut. Pada periode ini, konsep sama bermakna sesungguhnya akibat kehidupannya yang berbeda dengan kehidupan orang bagai yang bermukim di darat. Meskipun demikian, interaksinya dengan orang bagai khususnya orang Bugis tetap terjalin. Sebagai orang laut mereka tetap terikat dengan orang bagai dalam memenuhi kebutuhannya, baik sandang maupun pangan meskipun dengan cara barter. Interaksi antara orang Bajo dengan orang Bugis, menyebabkan pola budaya orang Bugis mulai memberi warna terhadap kehidupan sosial budaya dan ekonomi orang Bajo.

c. Masa Transisi dari Perahu Bido’ ke Pantai

Kehidupan masyarakat Bajo pada periode ini, ditandai dengan pola pemukiman yang mulai menetap di Sulaho, dengan mendirikan rumah panggung di atas air pada kawasan pantai. Periode ini disebut periode transisi karena terjadi pola hidup sebagai pengembara (nomaden) ke pola hidup menetap, sekalipun dalam situasi tertentu kehidupan mengembara tetap dilakukan. Interaksi antara orang Bajo dengan orang Bugis semakin intensif, dengan kehadiran pasukan Kahar Muzakkar yang pada umumnya orang Bugis pada tahun 1965. Kampung Sulaho yang secara geografis terpencil dan dikelilingi gunung dan hutan lebat menjadi tempat persembunyian yang strategis.

(7)

Kahar Muzakkar dengan kharisma yang dimiliki, mampu mengambil hati kelompok masyarakat Bajo. Dengan pendekatan keagamaan, beberapa anggota kelompok masyarakat Bajo mulai intensif menggunakan bahasa Bugis.

d. Pemukiman di Darat

Pemukiman di darat dimulai pada tahun 1972 oleh seluruh warga masyarakat Bajo di kampung Sulaho dan tidak ada lagi yang bermukim di atas air di pinggir pantai. Ciri utama pada periode ini, selain telah bermukim di darat juga adanya kebutuhan sarana produksi dan transportasi sebagai kelompok yang menggantungkan hidupnya pada laut. Orang-orang Bugis memperkenalkan kepada mereka sejenis perahu bercadik yang disebut lepa-lepa yang dijadikan sarana penangkapan ikan dan transportasi.

Meningkatnya mobilitas orang Bajo menyebabkan kelompok ini semakin “dekat” dengan kehidupan orang Bugis, bahkan mulai terjadi kawin-mawin antara dua kelompok masyarakat ini. Maknasama dan bagai telah bergeser akibat ketergantungannya pada masyarakat Bugis, baik dalam hal pemenuhan kebutuhan sandang, pangan maupun berbagai alat produksi.

e. Intervensi Pemerintah dalam Kegiatan Sistem Pemukiman Sosial

Periode ini ditandai dengan adanya Proyek Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing (PKSMT) melalui Sistem Pemukiman Sosial (SPS). Di awali dengan penelitian dan pengkajian sosial budaya dan lingkungan masyarakat terasing suku Bajo di kampung Sulaho pada tahun 1995, kemudian ditindaklanjuti dengan dibangunnya 85 unit rumah semi permanen pada tahun 1996 yang disertai dengan jaminan hidup (jadup) berupa bantuan pangan dan alat-alat produksi selama lima tahun, serta berbagai macam pengetahuan dan penyuluhan yang diberikan.

Melalui kegiatan ini, makna sama dan bagai dalam tataran konsep kewilayahan mengalami pergeseran. Konsep sama dapu’ma di lao yang berarti laut milik orang Bajo, dan bagai dapu’na di dare yang berarti pula darat milik orang bagai tidak

(8)

lagi menjadi penting. Batasan wilayah sebagai hak ulayatnya adalah laut, kini berangsur-angsur bergeser ke makna yang lebih luas. Lingkungan darat terutama pemukiman dan lahan perkebunan yang diberikan oleh pemerintah kini menjadi penting, meskipun lahan tersebut tidak diolah dengan baik.

Intensifnya program-program pemerintah yang menyertai Proyek Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing (PKSMT), mengakibatkan kelompok masyarakat Bajo semakin membuka diri. Oleh karena itu, semakin kuat kecenderungannya untuk mengadopsi sistem budaya orang Bugis, baik secara parsial terutama melalui bahasa dan sistem teknologi maupun secara totalitas berupa adat istiadat orang Bugis yang berimplikasi pada tingkat kehidupan yang lebih baik.

2. Pola Interaksi dan Kondisi Penunjang Perubahan

Kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat Bajo cenderung bergerak menuju ke arah konsepsi dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh kelompok masyarakat bagai, khususnya masyarakat Bugis, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu: (a) ikatan geneologis yaitu adanya asal usul yang sama dengan orang Bugis; (b) orientasi ekonomi yaitu ketergantungannya

(9)

terhadap orang Bugis; (c) keunggulan komparatif yaitu keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh orang Bugis terhadap orang Bajo, dan (d) status sosial yakni keinginan orang Bajo “tampil” seperti orang Bugis.

Tentunya faktor-faktor tersebut tidak berdiri sendiri tetapi saling terkait satu sama lain dan muncul berdasarkan adaptasi masing-masing kelompok pelaku perubahan (pendukung kebudayaan). Faktor-faktor ini juga muncul berdasarkan kebutuhan dari masing-masing kelompok pelaku perubahan dalam interaksinya dengan orangbagai, khususnya orang Bugis.

a. Ikatan Geneologis

Munculnya konsep sama dan bagai pada masyarakat Bajo telah melahirkan pola interaksi yang berbeda secara kultural antara kelompok masyarakat Bajo dengan masyarakat bukan Bajo yang cenderung bersifat segregatif khususnya dalam hal okupasi dan pemukiman.

Kelompok masyarakat Bajo dan kelompok masyarakat Bugis, memiliki asal usul yang sama (geneologis). Sesuai mitos yang berkembang, orang Bajo di Sulaho meyakini asal usulnya dari Ussu-Cerekang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang mendasari perubahan makna sama dan bagai. Orang Bugis di mata orang Bajo di Desa Sulaho dianggap saudara.

Hubungan kekerabatan antara orang Bajo dan Bugis berdasarkan asal usul sebagaimana digambarkan dalam mitos Sawerigading, dapat dilihat pada kisah Walenrangnge dan Petta Saddampalie. Walaupun kedua kisah tersebut bersifat mitos, tetapi kepercayaan orang Bajo terhadap mitos tersebut mempertegas garis imperial kelompok masyarakat Bajo. Setidaknya yang bermukim di Desa Sulaho berasal dari keturunan orang Bugis yang bermukim di Ussu, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Karena itu, ketika terjadi interaksi sosial antara orang sama dan bagai, hanya dengan orang-orang Bugis padangan dari kelompok bagai yang dapat bertahan dan berlangsung secara harmonis, karena adanya faktor geneologis dan faktor-faktor lainnya.

(10)

masyarakat Bugis terletak pada konsep budaya dalam memandang dirinya dan memandang orang lain melalui simbol sama dan bagai sebagai ciri internalnya. Peran ekologi dan letak geografis wilayah pemukiman kelompok masyarakat Bajo yang sebelumnya nomaden hingga bermukim di pantai yang cenderung memilih lokasi yang terisolir, membentuk perbedaan-perbedaan tersebut. Kelompok masyarakat Bajo dengan pola budayanya di laut selama berabad-abad, tidak banyak menyerap unsur-unsur budaya dari kelompok masyarakat pendukung kebudayaan lain, sebaliknya kelompok masyarakat Bugis yang hidup di darat dan juga memiliki

semangat kebaharian telah mengalami berbagai macam interaksi dengan kelompok lain sehingga telah menyerap berbagai macam nilai-nilai baru.

Dalam kondisi perkembangan budaya seperti ini masyarakat Bajo tetap mempertahankan kecenderungannya untuk selektif berinteraksi dengan kelompok masyarakat luar (bagai) dengan mengembangkan konsep budaya olai lesse (menghindari konflik). Karena itu kelompok masyarakat ini tetap menjadi kelompok masyarakat yang senantiasa “mengisolir diri” sehingga dalam

(11)

memilih tempat pemukiman tetap bersifat segregatif. Adanya kepercayaan bahwa laut adalah milik kelompoknya (sama dapu’ma di lao’) menyebabkan pilihan pekerjaan hanya sebagai nelayan, sementara itu kelompok masyarakat bagai telah mengembangkan berbagai macam diversifikasi pekerjaan, termasuk orang Bugis.

Kecenderungan bertahannya kehidupan segregatif bagi kelompok masyarakat Bajo terkait dengan pola kehidupannya sebagai orang laut dengan kehidupan yang tidak menentu. Konsep sama yang telah melahirkan perasaan senasib sebagai orang laut, menuntut untuk mementingkan kewajiban, kesetiaan dan kerjasama kelompok sehingga sedikit orientasi kepentingan yang bersifat individual. Perasaan senasib sebagai kelompok kolektif dituangkan dalam simbol sama menjadi ikatan yang erat dalam mempertahankan identitas kelompok sebagai orang laut. Sebaliknya, untuk interaksinya secara eksternal dikembangkan konsep berlawanan dengan konsep sama, yakni bagai atau berbagai macam kelompok masyarakat yang hidup di darat sebagai milik orang bagai. Dengan adanya perbedaan kedua konsep ini, sehingga dengan karakteristik yang dimilikinya, masyarakat Bajo cenderung memilih lokasi pemukiman yang terisolir, tertutup dan selalu berorientasi ke laut.

Konsep sama dan bagai adalah suatu simbol yang dipedomani oleh kelompok masyarakat Bajo dalam menjalin hubungan antara kelompoknya dengan kelompok masyarakat lain. Bagi orang Bajo di Desa Sulaho, orang Bugis tidak lagi termasuk kategori orang bagai, oleh sebab itu dalam kehidupan masyarakat Bajo di Desa Sulaho berkembang istilah ”Bajo campuran” atau “Bugis Bajo”. Hal ini disebabkan karena terjadinya kawin mawin (amalgamasi) antara orang Bajo dengan orang Bugis, baik dengan orang Bugis yang berdomisili di Desa Sulaho maupun yang ada di luar Desa Sulaho. Berbeda halnya dengan kelompok masyarakat bagai dari etnis lain jarang sekali terjadi kawin mawin dengan orang Bajo, karena faktor geneologis menjadi acuan bagi mereka.

b. Orientasi Ekonomi

Sejarah perjalanan kehidupan orang Bajo menunjukkan adanya kontak dagang yang telah berlangsung lama dengan orang Bugis.

(12)

Pada awalnya, kontak dagang hanya terjadi di tengah laut dengan sistem selo (barter) antara orang Bajo dengan orang Bugis. Pada perkembangan selanjutnya, kehadiran orang Bugis yang bermukim di pesisir pantai sangat dibutuhkan oleh orang Bajo untuk memenuhi segala kebutuhannya, baik sandang, pangan maupun pemenuhan alat-alat produksi penangkapan ikan. Bahkan intensitas pertemuannya tidak hanya terjadi di tengah laut atau di pantai dalam kaitannya dengan distribusi hasil tangkapannya, tetapi orang Bajo telah menjangkau aktivitas perdagangan di pasar, baik untuk kepentingan menjual hasil tangkapannya maupun untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Sementara itu, aktivitas perdagangan di pasar-pasar tradisional di Lasusua dan Lambai pada umumnya dilakukan oleh orang-orang Bugis. Begitu pula dalam pengadaan alat-alat produksi, khususnya dalam pembuatan perahu (lepa-lepa) maupun perahu bermesin (katinting), orang Bajo telah menjalin kerjasama dengan panrita lopi (pembuat perahu). Profesi sebagai panrita lopi kebanyakan ditekuni oleh orang-orang Bugis yang berdomisili di desa-desa sekitar Desa Sulaho. Ketergantungan orang Bajo terhadap orang Bugis dalam pemenuhan berbagai kebutuhannya, menyebabkan berbagai unsur-unsur budaya orang Bugis lambat laun diadopsi oleh orang Bajo. Hal ini dapat dimaklumi, karena dalam interaksi tersebut orang Bajo senantiasa melakukan interpretasi terhadap apa yang ia terima, kemudian dikomunikasikan secara timbal balik sehingga menghasilkan keputusan untuk melakukan suatu tindakan.

Ketergantungan orang Bajo terhadap orang Bugis dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya, mencerminkan ketergantungan masyarakat Bajo dengan kehidupan di darat sangat besar. Hal ini menunjukkan bahwa posisinya lebih rendah dibandingkan dengan orang Bugis. Mereka tidak dapat menghindar dari kenyataan ini, sehingga satu-satunya jalan adalah mengadaptasikan pola-pola budayanya terhadap kebudayaan Bugis. Keinginan untuk “menjadi” orang Bugis sangat besar, mereka bercermin pada keberhasilan orang Bugis yang ada di desa tetangga seperti Lambai dan Lasusua, yang juga merupakan langganannya dalam memenuhi berbagai kebutuhannya. Untuk memenuhi keinginannya, mereka tidak dapat lagi mempertahankan simbol-simbol yang selama ini dipedomani, termasuk simbol sama danbagai. Hal itu berdampak pada sistem produksinya yang tidak

(13)

lagi sekedar berorientasi untuk konsumsi tetapi sudah berorientasi pada pengumpulan modal. Oleh sebab itu, alasan ekonomi menjadi salah satu faktor perubahan makna sama dan bagai pada masyarakat Bajo di Desa Sulaho.

c. Keunggulan Komparatif

Interaksi sosial yang intensif dalam kurun waktu yang lama antara orang Bajo (sama) dengan orang Bugis (bagai) baik di Desa Sulaho maupun di luar Desa Sulaho, telah melahirkan interpretasi terhadap kehidupan orang bagai (Bugis). Bagi orang Bajo, orang Bugis dipandang sebagai kelompok yang menguasai berbagai bidang kehidupan baik di laut maupun di darat. Pandangan ini cenderung memperlihatkan adanya keunggulan komparatif yang dimiliki oleh orang-orang Bugis, bahkan sebelum bermukimnya orang Bajo di kampung Sulaho.

Keunggulan-keunggulan yang dimiliki orang Bugis memasuki semua dimensi kehidupan sosial kelompok masyarakat Bajo. Keunggulan-keunggulan yang dimaksud meliputi: (1) bahasa Bugis yang digunakan sebagai bahasa pengantar di desa-desa sekitar, termasuk penggunaannya di pasar Lambai, Lasusua dan Ranteangin; (2) keunggulan dalam jabatan-jabatan formal, seperti jabatan-jabatan dalam struktur pemerintahan; pengetahuan di bidang keagamaan; (3) keunggulan ekonomi; (4) pemanfaatan teknologi dan informasi, dan (5) keunggulan di bidang pendidikan. Menurut orang Bajo jabatan-jabatan tersebut, pada umumnya diisi oleh orang Bugis yang juga menjadi panutan masyarakat Bajo di Desa Sulaho. Karena itu, posisi orang Bugis sebagai significant others semakin kuat. Keunggulan-keunggulan komparatif yang diperlihatkan orang-orang Bugis, menyebabkan kelompok masyarakat Bajo menerima keberadaannya sebagai kelompok masyarakat “inferior” dan sebaliknya memandang orang Bugis sebagai kelompok “superior”.

Pandangan tersebut mulai nampak ketika Kampung Sulaho dijadikan sebagai desa definitif, banyak orang Bugis karena tingkat pendidikannya tampil menduduki jabatan dalam struktur pemerintahan desa, maupun kedudukan-kedudukan lainnya. Sebagai satu kesatuan masyarakat desa, orang Bugis tampil memainkan peran yang lebih aktif dalam kehidupan

(14)

bermasyarakat. Hal itulah yang menyebabkan penerimaan kelompok masyarakat Bajo terhadap orang Bugis semakin terbuka.

Peran tokoh-tokoh formal seperti guru, paramedis, pemuka agama, dan penyuluh perikanan sangat berpengaruh. Hal itu disebabkan karena fungsi, perilaku dan keteladannya langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa (kelompok masyarakat Bajo) sehingga dengan cepat mendapat posisi sebagai elit desa. Orang Bugis tampil sebagai pelopor dalam setiap kegiatan kemasyarakatan, seperti kegiatan perkawinan, keagamaan, selamatan, dan sebagainya. Keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh orang Bugis yang diperankan dalam setiap aktivitasnya sehari-hari, antara lain menjadi penyebab makna sama dan bagai mengalami perubahan.

d. Status Sosial

Bertolak dari perubahan status kampung Sulaho sebagai pemukiman Bajo menjadi Desa Sulaho membawa konsekuensi dengan munculnya kencenderungan superioritas orang-orang Bugis di mata kelompok masyarakat Bajo. Karena Dusun Sulaho sebagai ibukota Desa Sulaho yang otomatis menjadi pusat pemerintahan desa, sehingga mobilitas orang-orang Bugis ke perkampungan Bajo tersebut semakin tinggi. Hal ini terjadi karena pembentukan Desa Sulaho, kemudian diikuti oleh pembentukan struktur organisasi dan sarana prasarana pemerintahan yang baru serta berbagai perangkat-perangkat pendukung pemerintahan desa lainnya.

Pada posisi itu, perkampungan Sulaho menjadi perkampungan terbuka yang secara administratif masyarakat Bajo mulai membuka interaksi dengan orang luar, yang sebelumnya jarang terjadi di Desa Sulaho. Mulai dari urusan pemerintahan hingga ke masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Begitu pula partai politik tertentu mulai membuka ranting di Desa Sulaho, kesemuanya itu membawa perubahan yang signifikan bagi kelompok masyarakat Bajo.

Orang-orang Bugis yang menjalankan tugasnya di Desa Sulaho, tidak hanya sekedar melaksanakan tugas-tugas pokoknya, namun karena adanya tuntutan masyarakat Bajo yang lebih luas menyebabkan mereka memainkan peran-peran sosial lain, seperti tokoh agama dan tokoh adat dan sebagainya. Karena selalu tampil

(15)

menjadi pelopor dalam setiap kegiatan kemasyarakatan maka kehadirannya semakin dibutuhkan.

Tampilnya orang-orang Bugis dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan, menyebabkan terjadinya berbagai perubahan dalam kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat Bajo. Orang Bugis dianggap sebagai “tokoh pembaharu” yang telah banyak membawa perubahan, oleh sebab itu kecenderungan orang Bajo tampil ”seperti” orang Bugis sangat besar. Dalam kehidupan sehari-hari, orang Bajo berusaha mengadaptasikan pola budayanya kepada pola budaya orang Bugis. Bahasa Bugis yang dipergunakan oleh orang Bajo tidak hanya digunakan untuk berkomunikasi dengan orang Bugis, tetapi juga digunakan berkomunikasi dengan sesama orang Bajo. Nampaknya, dengan menggunakan bahasa Bugis menjadi simbol bagi kelompoknya untuk menjadi “masyarakat maju” dan meninggalkan peredikatnya sebagai masyarakat terisolir.

Penggunaan bahasa Bugis sebagai alat komunikasi dan sekaligus pemersatu bagi masyarakat Desa Sulaho, berdampak pada perkembangan budaya masyarakat Bajo. Anak-anak usia sekolah (12 tahun ke bawah) sudah tidak dapat berbahasa Bajo, bahkan bahasa yang dikuasai selain Bahasa Bugis adalah Bahasa Indonesia.

Proses perubahan ini tidak hanya terjadi karena peran yang dimainkan oleh orang-orang Bugis, tetapi juga sebagai akibat meningkatnya mobilitas interaksi masyarakat Bajo dengan kelompok masyarakat Bugis yang ada di desa-desa tetangga, terutama di pasar Lambai dan pasar Lasusua. Di antara kelompok masyarakat Bajo yang memiliki mobilitas tinggi berinteraksi dengan orang-orang Bugis di luar desa adalah kelompok perempuan yang bekerja sebagai pappalele (pedagang perantara) sekaligus sebagai penjual eceran ikan di pasar. Untuk kepentingan distribusi dan konsumsi, kelompok ini harus berhadapan dengan superioritas orang-orang Bugis di pasar, baik sebagai sesama penjual ikan maupun sebagai pembeli.

Identitasnya sebagai orang Bajo cenderung dinilai “negatif”, sehingga kadang-kadang dilecehkan. Status sosial sebagai “masyarakat terisolir” yang melekat pada diri orang Bajo selama ini

(16)

membuat mereka untuk “tampil” seperti orang Bugis, antara lain dengan menggunakan bahasa Bugis dan unsur-unsur budaya Bugis lainnya. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan pengakuan bahwa mereka sesungguhnya telah berbeda dengan orang-orang Bajo lainnya, dan ini merupakan bentuk adaptasi untuk mempermudah menjalankan perannya sebagai pappalele (pedagang perantara) terhadap pappettu (penjual ikan) di pasar yang semuanya adalah orang Bugis, dan berbagai kebutuhan dan interaksi lainnya. Begitu pula dengan kelompok pemuda/remaja, mereka senang disebut orang Bugis sebagai simbol kehidupan orang maju, sebagaimana kehidupan orang Bugis yang ada di desa-desa sekitarnya.

Menurut orang Bajo, status sosial orang Bugis lebih baik dari orang Bajo sebagai orang sama, yang hidupnya hanya sebagai nelayan. Citra diri yang terlanjur melekat pada kelompoknya yang lebih dikenal sebagai masyarakat terisolir (inferior) dan orang Bugis sebagai kelompok superior semakin memperlebar jarak sosial kedua kelompok. Akibatnya, untuk mengangkat status sosialnya, terutama untuk ke luar dari citra diri tersebut, menjadi “orang Bugis” adalah pilihan yang tepat dalam rangka meningkatkan status sosialnya. Oleh sebab itu, masyarakat Bajo di

(17)

Desa Sulaho, terdapat beberapa kelompok yang dikategorikan berdasarkan peran-peran yang dimainkan dalam merespon perubahan tersebut. Berusaha “tampil seperti” orang Bugis paling tidak dapat meningkatkan kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan orang Bugis di luar Desa Sulaho.

C. ORANG BAJO DAN BUGIS DI DESA SULAHO: PENGAWASAN DAN PEMANFAATAN ALAT TANGKAP RAMAH LINGKUNGAN

ebudayaan digunakan sebagai acuan manusia untuk mengelola

K

lingkungan dan memanfaatkan sumber daya alam. Dengan kebudayaan, manusia akan dapat memilah-milah, mana yang dianggap bermanfaat atau tidak, atau menentukan pilihan-pilihan yang tepat dalam hidupnya sehingga hubungan antara manusia dengan lingkungannya dapat berlangsung secara selaras, serasi dan seimbang (Suparlan, 1986). Penentuan pilihan-pilihan dan pengkategorian tersebut didasarkan pada seperangkat pengetahuan yang disebut dengan kearifan lingkungan.

Dalam usaha mempertahankan hidupnya, orang Bajo dan orang Bugis di Desa Sulaho memiliki seperangkat pengetahuan yang diterapkan, dikembangkan dan diwariskan guna memanfaatkan dan mengelola sumber daya laut. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam berbagai larangan dan kewajiban dalam pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya laut.

Orang Bajo dan orang Bugis di Desa Sulaho mempercayai adanya dunia gaib yang dihuni oleh makhluk halus yang disebut pamakitalo. Makhluk halus tersebut diyakini sebagai leluhurnya yang bernama Petta Saddampalie (Nenek Baliang). Mereka mempercayai bahwa Nenek Baliang memiliki kekuatan supranatural yang dapat mendatangkan bencana maupun pertolongan. Sang Dewata yang merupakan pencipta alam dengan segala isinya telah memberikan tugas kepada Nenek Baliang untuk menjaga laut. Oleh sebab itu, manusia dalam melakukan aktifitasnya di laut harus terlebih dahulu meminta izin kepada penjaganya. Bila seseorang mengalami musibah di laut, maka ia harus meminta pertolongan kepada penjaga laut dengan menyebut namanya. Selain Nenek Baliang, juga terdapat hantu-hantu

(18)

laut yang merupakan penjelmaan roh-roh orang yang meninggal di laut. Apabila seseorang tenggelam dan meninggal dunia di laut, maka rohnya akan menjadi hantu. Wujud hantu laut dapat berubah-ubah, menyerupai manusia, ikan atau gurita, serta diyakini bahwa jika melihat makhluk halus tersebut di permukaan laut, maka tidak diperbolehkan melanjutkan perjalanan.

Berbagai larangan yang diajarkan oleh leluhur mereka secara turun temurun, antara lain:

a. Dilarang membuang sisa-sisa kayu bakar ke laut;

b. Dilarang mengambil atau mencuri harta atau milik orang lain di laut;

c. Dilarang mengucapkan kata-kata kotor selama di laut;

d. Dilarang menyentuh atau mengambil benda-benda terapung, karena diyakini benda-benda tersebut ditumpangi atau didiami oleh roh-roh halus;

e. Tidak boleh terperanjat apabila melihat sesuatu yang aneh di tengah laut;

f. Apabila ada sesuatu terjatuh ke dalam laut, tidak boleh diambil karena hal itu sudah menjadi milik penjaga laut, dan

g. Air yang ada di dalam perahu tidak boleh dibuang ke luar sebelum perahu melaju.

Larangan atau pantangan tersebut apabila tidak diindahkan maka seseorang akan mendapatkan musibah, baik ketika berada di laut maupun di darat. Orang Bajo dan orang Bugis di Desa Sulaho menyadari bahwa mematuhi semua pantangan/larangan akan menimbulkan keseimbangan lingkungan laut. Selain keterikatan nilai-nilai budaya dan norma adat, pengawasan terhadap areal penangkapan ikan dan aset-aset ekonomi lainnya, dilakukan oleh masyarakat baik secara kolektif maupun individual. Tindakan yang tidak sesuai dengan tatanan nilai budaya akan mendapat reaksi dari masyarakat.

Pada umumnya nelayan dalam pemanfaatan sumber daya laut, masih menggunakan teknologi sederhana. Selain karena keterbatasan dana untuk membeli alat tangkap modern, seperti perahu bermesin (katinting) juga karena adanya pengetahuan tradisional yang dimiliki untuk mempertahankan ekosistem laut. Berbagai alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Desa Sulaho, di antaranya:

(19)

a. Pancing

Penangkapan ikan dengan menggunakan pancing dapat dilakukan di sekitar pesisir pantai maupun di laut lepas, di mana terdapat banyak karang sebagai tempat berkumpulnya ikan. Untuk menjangkau lokasi tersebut biasanya nelayan menggunakan perahu kecil tanpa mesin (lepa-lepa) maupun dengan perahu bermesin (katinting) agar lebih mudah berpindah lokasi. Alat pancing yang digunakan adalah tali nilon atau tali yang panjangnya bervariasi antara 50 sampai 100 meter yang digulungkan pada sepotong bambu atau plastik. Pada tali tersebut dipasang mata pancing dengan jarak antara 0,5 meter sampai 1 meter, di atas mata pancing dipasang bulu ayam atau bulu kambing sebagai umpan. Hasil yang didapat tergantung perolehan pada setiap tarikan pancing, misalnya: tali dengan 100 mata pancing biasanya menghasilkan antara 25 sampai 75 ekor ikan dari berbagai jenis, antara lain ikan lajang,cakalang, commo-commo,botto-botto dan lain-lain. Tenaga yang dibutuhkan untuk menangkap ikan dengan cara memancing adalah 1 sampai 4 orang. Jika jumlah tenaga banyak, biasanya dibarengi dengan kegiatan lain, seperti menyelam untuk mendapatkan teripang, lola, japing-japing, penyu sisik dan lain-lain.

b. Pukat/Jaring

Penangkapan ikan dengan menggunakan pukat/jaring dilakukan di laut lepas sehingga untuk menjangkaunya digunakan perahu bermesin (katinting) agar dalam merentangkan pukat/jaring, perahu yang digunakan selalu dalam keadaan bergerak (memutar) dan mudah dipindahkan ke lokasi lain. Pukat/jaring yang digunakan biasanya dibeli dalam bentuk jadi. Bahan yang digunakan serta ukuran mata jaring disesuaikan dengan jenis ikan yang akan ditangkap. Penangkapan ikan dengan menggunakan pukat biasanya dilakukan oleh 2 atau 3 orang.

c. Mallanra

Penangkapan ikan dengan cara ini sama dengan pukat, karena alat yang digunakan juga adalah pukat/jaring tetapi ukurannya anyaman jaring yang lebih kecil yaitu 1.5 sampai 2 inci dan lokasi penangkapan dilakukan di sekitar pesisir pantai. Karena lokasinya dangkal maka dapat dilakukan tanpa perahu atau dengan berjalan

(20)

sambil menebar pukat/jaring. Ujung pukat/jaring dipegang, lalu berjalan memutar pada lokasi di mana terdapat ikan yang sedang berkumpul. Cara ini sering dilakukan oleh anak-anak untuk dikonsumsi sendiri karena jumlah hasil tangkapan sedikit dan tidak cukup untuk dijual.

d. Mallampu

Sama halnya dengan malanra, mallampu adalah cara penangkapan ikan yang dilakukan di pesisir pantai pada malam hari pada saat air surut. Alat yang digunakan adalah lampu petromaks sebagai penerang, tombak, panah, golok (parang) dan ember sebagai tempat penampungan ikan hasil tangkapan. Ikan yang ditangkap biasanya dalam ukuran kecil, seperti karama (kepiting), ikan pote mate, ikan bolu (bandeng), teripang, dan ikan kerung-kerung.

e. Menyelam

Menyelam biasanya dilakukan untuk mencari hasil laut seperti teripang,lola,kima,japing-japing, kerang mutiara dan rumput laut pada kedalaman antara 10 sampai 50 depa. Untuk menjangkau lokasi tersebut digunakan perahu bermesin (katinting). Alat transportasi ini dapat membawa berbagai peralatan yang digunakan seperti mesin kompresor sebagai sumber oksigen (alat bantu pernapasan), selang saluran pernapasan yang biasanya berukuran 100 meter, marphis (masker gas), kacamata pelindung, dan timah pemberat.

f. Rumpon

Rumpon dimanfaatkan saat tertentu jika diketahui bahwa banyak ikan yang berkumpul di suatu tempat. Untuk menjangkau rumpon tersebut digunakan lepa-lepa (sampan) atau katinting (kapal bermesin). Biasanya pemancingan di sekitar rumpon dilakukan anak-anak sambil bermain. Rumpon dapat dilakukan pada struktur tanah relatif miring dan dalam. Untuk pemancingan biasanya dilakukan pada sore hari di mana terik matahari mulai berkurang.

Beragam alat tangkap tersebut di atas, oleh komunitas nelayan di Desa Sulaho dianggap ramah lingkungan, yang tidak menimbulkan kerusakan pada ekosisitem laut. Di samping itu, jenis

(21)

ikan yang diperoleh disesuaikan dengan jenis alat tangkap yang digunakan.

D. PENUTUP

onsep sama dan bagai pada masyarakat Bajo yang digunakan

K

untuk membedakan orang Bajo dengan bukan Bajo telah mengalami perubahan. Perubahan tersebut telah melalui proses yang panjang, dimulai dengan mitos Sawerigading yang berkaitan dengan asal usul orang Bajo. Mitos tersebut meneguhkan keyakinannya bahwa keberadaannya tidak dapat dipisahkan dengan orang Bugis berdasarkan ikatan geneologisnya.

Pada perkembangannya selanjutnya, interaksi dengan orang bagai tidak dapat dihindari. Untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, orang Bajo harus menjalin kerjasama dengan orang bagai. Oleh sebab itu, prinsip budaya olai lesse’e yakni berusaha menghindar dari orang bagai mulai berubah. Perubahan itu diakibatkan oleh adanya interaksi sosial yang telah berlangsung antara orang Bajo dan orang Bugis. Pada saat itu masing-masing unsur kebudayaan dikomunikasikan dan berusaha melakukan interpretasi terhadap apa yang ia terima.

Perubahan pola pemukiman dari laut (bido’) ke darat, menyebabkan orang Bajo mengalami perubahan. Hal ini terjadi karena secara ekologis, terdapat perbedaan kondisi kehidupan di darat dengan kehidupan di laut. Kehidupan di darat memberikan pemaknaan baru dengan munculnya konsep ‘piddi tikkolo’na lamong ‘nggai makale le goya’ yang berarti kehidupannya tidak dapat dipisahkan dengan gemuruh ombak. Hal ini pula berarti bahwa mereka dapat hidup di darat sepanjang gemuruh ombak masih terdengar. Bagi masyarakat Bajo, konsep ini merupakan usaha untuk menjustifikasi kehidupan laut dan darat melalui suatu perspektif adaptasi dengan menempatkan perubahan budaya sebagai bagian dari usahanya untuk beradaptasi terhadap lingkungannya. Karena itu tingkat adaptasinya dengan kehidupan di darat juga semakin baik. Penggunaan teknologi poduksi pada periode ini mulai digunakan, sehingga ketergantungannya dengan orangbagai juga semakin tinggi.

Berdasarkan interaksi yang intensif dengan orang Bugis dalam beberapa periode yang telah dilaluinya, berbagai unsur kebudayaan

(22)

Bugis telah terserap dalam kebudayaannya (akulturasi), untuk menyesuaikan dengan perkembangan objektif di dalam kehidupan sosialnya. Perubahan tersebut antara lain bahasa, sistem kekerabatan, agama dan sistem kekerabatan, kepemimpinan dan organisasi sosial, serta sistem pengetahuan dan teknologi.

Suatu perubahan yang memungkinkan seseorang memodifikasi pola tingkah lakunya, sebagai suatu proses adaptasi terhadap kondisi kehidupan yang baru. Siklus perubahan tersebut dimulai dari perubahan pola pemukiman yang sebelumnya berkelana di laut dengan perahu bido (nomaden), hingga pola pemukiman menetap di darat. Perubahan pola pemukiman masyarakat Bajo dari laut (sama) ke darat (bagai) adalah inti dari perubahan kehidupan sosial budaya orang Bajo. Maknasama yang terkait dengan kehidupan laut dan bagai yang terkait dengan kehidupan di darat, “di tata ulang” untuk mendekatkan jarak mereka dengan kelompok bagai (Bugis) yang selama ini telah berinteraksi secara intensif. Dalam interaksinya, orang Bajo dan orang Bugis memiliki kepentingan yang sama dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya laut sehingga senantiasa membertahankan kearifan lokal. *****

Daftar Pustaka

Alena, 1975. “Orang Bajo, Manusia Laut di Indonesia”, Kompas, 15 Agustus. Brown, C.S.G., 1993. Bajau. Jakarta: Yayasan Sejati.

Harris, Z., 1991. “Bajo, Suku yang Tinggal Terapung di Perairan Timur Kendari”.Sinar Harapan, 18 Pebruari 1991.

Suyuti, Nasruddin, 1996. Kehidupan Sosial Budaya Komunitas Nelayan di Boenaga, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Hasil Penelitian). Kerjasama FISIP Unhalu dengan Kanwil Depsos Sulawesi Tenggara. Suyuti, Nasruddin, 2004. Bajo dan Bukan Bajo, Studi Tentang Perubahan

Makna Sama dan Bagai Pada Masyarakat Bajo di Desa Sulaho Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara (Disertasi). Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.

(23)

Suyuti, Nasruddin, 2011. Orang Bajo di Tengah Perubahan. Penerbit Ombak, Yogyakarta.

Sopher, David E., 1971. The Sea Nomads: A Study of Maritim Boat People of Southeast Asia. Singapore, The National Museum.

Suparlan, Parsudi, 1986. “Masyarakat: Struktur Sosial”, dalam Individu, Keluarga, dan Masyarakat. (Editor: A.W. Wijaya). Jakarta: Akademika Pressindo.

Zacot, Francois, 1979. “Bajo atau Bukan Bajo: Itu Soalnya”, Prisma, No.2 Pebruari 1979.

(24)

Bertambat di Rumpon (Surya Yuga)

NOTULA SESI PERTAMA

JAGAD BAHARI NUSANTARA

Pendasaran Kearifan Lokal Bagi Dinamika Pranata Sosial Dalam Meniti Semangat Zaman

Pemakalah:

Prof. Dr. Darmawan Salman, MS Moderator:

Dra. Dade Pratuntari, M.Si. Notulis:

Drs. Faisal, M.Si.

A. Paparan

Dalam pemaparan makalah ini, terbagi atas beberapa jagad. Pertama, jagad tentang negara kepulauan, benua maritim, dan bangsa pelaut yang menjadi label bagi bangsa Indonesia. Karena Indonesia terdiri atas ribuan pulau, baik besar maupun kecil yang satu sama lain dihubungkan dengan laut. Indonesia sebagai benua maritim, bangunan dasarnya adalah air. Kemudian, air tersebut di isi pulau-pulau, maka lahirlah Nusantara. Dengan cara berpikir "darat", maka Indonesia dapat diartikan sebagai pulau-pulau yang dihubungkan oleh air. Akan

(25)

tetapi, dengan cara berpikir "laut", maka Indonesia adalah air yang diisi oleh pulau-pulau. Sebagai bangsa pelaut, leluhur kita sering melantunkan lagu yang mengisahkan tentang bangsa kita sebagai pelaut. Selain itu, banyak dongeng yang mengisahkan tentang tokoh yang berhubungan dengan pelaut. Banyak pula buku sejarah yang memaparkan tentang peradaban bahari Indonesia masa lalu. Hal tersebut menggambarkan bahwa leluhur bangsa kita menumbuhkan peradabannya di atas pendasaran budaya pesisir dan bahari. Muncul pertanyaan, mengapa sekarang Indonesia bukan lagi bangsa pelaut, tidak lagi mengembangkan perdaban berdasarkan budaya bahari?

Jagad kedua adalah kondisi di mana bangsa kita telah terjebak kepinggiran budaya bahari karena arus budaya tani dalam pembangunan. Setelah Indonesia merdeka, terjadi perubahan yang beriorentasi pada budaya tani. Pada masa penjajahan, perubahan yang terjadi berlangsung secara alamiah atau tidak terencana. Setelah kemerdekaan terjadi proses pembangunan yang terencana, sehingga disebut era pembangunan. Prioritas utama dalam pembangunan tersebut adalah terciptanya swasembada pangan, sehingga dikenal revolusi hijau. Dalam hal ini yang ditonjolkan adalah jagad tani sebagai peradaban darat.

(26)

Jagad ketiga adalah tentang ketertinggalan bahari karena kegagalan transisi sosio-kultural. Secara sosio-kultural atau dapat dikatakan secara etos pada aktor bahari itu sendiri memang kemudian tidak bisa melampaui tuntutan perubahan pada fasenya sendiri. Misalnya, sebelum tahun 1980-an, perahu pinisi dapat dijumpai di berbagai pelabuhan di nusantara. Akan tetapi setelah tahun 1990-an, perahu yang mengandalkan layar tersebut tidak dijumpai lagi. Hal ini disebabkan karena kebijakan pemerintah yang mengharuskan navigasi modern.

Jagad keempat tentang bagaimana mendorong sintesa pengetahuan untuk pranata sesuai spirit zaman. Misalnya, bagaimanapun perkembangan pembuatan perahu, penangkapan ikan, dan sebagainya perlu melibatkan dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan lokal dan pengetahuan ilmiah.

B. Diskusi

Tanggapan/pertanyaan:

1. Surya Yuga (Kemenbudpar):

Kepada Darmawan, legenda ataupun sejarah masa lalu tentang Maling Kundang di Sumatera Barat, Sawerigading di Sulawesi Selatan, maupun Putri Junjung Buih di Kalimantan menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa bahari. Bahkan perpaduan antara budaya bahari dan budaya tani di Kerayan, Kalimantan Timur dapat kita ketahui yaitu masyarakatnya membawa bibit padi dengan menggunakan perahu. Padahal daerah Kerayan tersebut terletak 800 meter dari permukaan laut. Untuk di Lamalera, Nusa Tenggara Timur, dalam makalah dipaparkan tentang masyarakat Lamalera yang memiliki pengetahuan dan keterampilan menangkap ikan hiu. Sebenarnya yang mereka tangkap bukan ikan hiu, tetapi ikan paus.

2. Eymal B. Demmallino (dosen Universitas Hasanuddin):

Sulawesi utamanya Sulawesi Selatan terkenal dengan berasnya. Pada masa penjajahan, beras tidak hanya untuk konsumsi warga masyarakat setempat, tetapi juga diperdagangkan. Pada masa itu, perdagangan melalui jalur laut

(27)

berkembang, sehingga budaya tani (agraris) juga berkembang dengan pesat. Pertanyaannya, kenapa budaya bahari jika dikembangkan budaya tani juga turut berkembang. Sedangkan pada zaman orde baru budaya tani dikembangkan tetapi budaya bahari tidak turut berkembang?

3. Simon Petrus (dosen UKI Paulus)

Orang Bajo sangat alergi terhadap sistem pengetahuan dan teknologi modern. Sebaliknya sangat patuh terhadap tradisi leluhur, terutama berkaitan dengan pantangan-pantangan yang menjadi tradisi masyarakat tersebut. Suku Bajo di Toraja disebut Tau Bajo yang artinya “sebentar menghilang dan sebentar kemudian muncul”, atau Bayo-Bayo yang berarti bayang-bayang. Apakah Wajo sama dengan Bajo? Menurut saya suku Bajo adalah suku Wajo yang sekarang. Pertanyaan yang dapat diangkat pula adalah nilai-nilai apakah yang bisa kita ambil dari keberadaan orang Bajo?

Jawaban pemakalah

1. Terima kasih atas koreksi tentang kegiatan masyarakat Lamalera menangkap ikan paus, bukan ikan hiu.

2. Seandainya Orde Baru mengembangkan budaya tani lalu mengembangkan juga bisnis dan pasar bebas tentu akan berbicara lain. Peningkatan produksi beras dan komoditi lainnya (sebagai budaya tani) akan menjadi komodi ekspor yang dapat mengembangkan budaya bahari.

3. K i t a s e m u a d a p a t b e r k o n t r i b u s i d a l a m k e g i a t a n mengembangkan revitalisasi nilai-nilai budaya yang ada pada orang Bajo tersebut. Saya pribadi menganggap bahwa hal itu merupakan satu poin yang penting. Tindak lanjutnya, bagaimana nilai-nilai interkoneksitas bisa kita temukan pada persebaran orang Bajo lalu kita bawa ke ranah budaya bahari. Memang, kita harus berpikir komprehensip untuk melihat realitas. Tatarannya bukan hanya ilmu pengetahuan saja, tetapi dalam konteks ini bagaimana mengawinkan pengetahuan atau kearifan lokal dengan ilmu pengetahuan atau kearifan modern yang masing-masing memiliki kebenaran dan fungsional dalam masyarakat.

(28)

POLITIK IDENTITAS ORANG BAJO

Pemakalah:

Dr. Tasrifin Tahara, M.Si. Moderator:

Dra. Dade Pratuntari, M.Si. Notulis:

Drs. Faisal, M.Si.

A. Paparan

Bajo merupakan suatu konsep yang diberikan oleh suku bangsa lain. Orang Bajo sendiri menyebut dirinya sebagai 'sama', sedangkan orang lain (bukan Bajo) disebutnya sebagai 'bagai'. Pengertian sama mengandung makna kesamaan bahasa, tradisi, kebiasaan, dan hidup di atas laut. Sedangkan pengertian bagai mengandung makna berbagai-bagai sukubangsa yang mendiami daratan. Orang Bajo biasanya susah untuk menyatakan dirinya sebagai orang Bajo kepada orang lain. Akan tetapi setelah lawan berinteraksinya menyatakan hal-hal positif tentang orang Bajo, maka barulah mengemukakan hal yang sebenarnya tentang orang Bajo.

Secara historis, orang Bajo mendapat stereotipe sebagai perompak atau bajak laut. Selain itu, stereotipe bagi orang Bajo sebagai nelayan yang menggunakan alat tangkap destruktif, seperti bom dan bius. Oleh karena itu, orang Bajo sering dijadikan biang kerok kerusakan ekosistem laut. Kendati demikian, orang Bajo berusaha untuk melakukan resistensi sebagai respon untuk mengubah stereotipe yang selama ini melekat pada dirinya.

Interaksi sosial orang Bajo dengan masyarakat di sekitarnya sangat intens. Orang Bajo dikenal mudah beradaptasi dengan lingkungan sosialnya, dan akan selalu berusaha menuturkan bahasa setempat. Oleh karena itu, orang Bajo sangat fasih berbahasa Bugis, Buton, Kaledupa dan sebagainya. Dalam jaringan perdagangan, orang Bajo mengembangkan hubungan ekonomi dengan orang-orang yang berada di sekitar tempat mereka menetap.

(29)

Menyadari ketertinggalan dan termarginalisasi dibanding etnik lain, orang Bajo menyusun gerakan-gerakan untuk pembentukan kesadaran identitas. Gerakan yang dilakukan, misalnya membentuk Persekutuan Orang Bajo yang diakui oleh PBB dan persekutuan tersebut mewadahi seluruh komunitas orang Bajo di dunia. Mereka juga mengangkat presiden sebagai pemimpinnya. Dalam kegiatan politik, orang Bajo senantiasa melakukan negosiasi kepada calon kontestan demi kepentingan kelompoknya.

B. Diskusi

Tanggapan/pertanyaan

1. Surya Yuga:

Perhatian kita terhadap budaya bahari lebih banyak ke orang Bajo, karena kita sama-sama mengetahui dan melihat bahwa hak-hak sipil orang Bajo diabaikan. Lokakarya ini diharapkan menghasilkan informasi potensi budaya bahari sebagai bahan masukan di bidang kebudayaan dan pariwisata, serta sebagai informasi potensi dan kondisi masyarakat pantai dalam penyusunan kebijakan bagi instasi terkait lainnya.

2. Raodah (staf peneliti BPSNT Makassar)

Orang Bajo sebenarnya tidak mengucilkan diri dari masyarakat sekitarnya. Karena sebenarnya orang Bajo telah menjalin hubungan sosial bahkan kawin-mawin dengan penduduk sekitar (terutama orang Bugis), serta melakukan kegiatan ekonomi menjalin kerjasama dengan orang Bugis. Pemilik modal yang biasa disebut ponggawa berasal dari orang Bugis, sedangkan sawi (anak buah) berasal dari orang Bajo. Demikian pula dari segi pemerintahan, bilamana lurah atau kepala desa berasal dari orang Bajo sendiri, maka mereka akan mendukung sepenuhnya. Bagaimana dengan orang Bajo di Sulawesi Tenggara?

3. Eymal B. Demmallino (dosen Universitas Hasanuddin)

Saat ini kita tidak bisa mengenali orang Bajo; atau identitas orang Bajo sekarang ini seperti sudah hilang karena sudah beradaptasi dengan penduduk di mana mereka berada. Apakah masih ada identitas orang Bajo yang masih bertahan hingga

(30)

sekarang?

4. Simon Petrus (dosen UKI Paulus Makassar)

Apakah Bajo itu sama dengan Wajo? Karena beberapa kosa kata di Sengkan (Kabupaten Wajo) huruf "w" berubah menjadi "b", misalnya kata “watang” menjadi “batang”, “watu” menjadi“batu”,“waju” menjadi “baju” dan sebagainya.

Jawaban Pemakalah

1. Sebenarnya orang Bajo memiliki sifat apatis. Mereka tidak mau berurusan dengan pemerintah. Banyak di antara mereka tidak memiliki kartu keluarga dan KTP. Setelah otonomi daerah, orang Bajo sudah mulai memasang strategi untuk kepentingan jati diri dan masyarakatnya. Di Wakatobi, populasi orang Bajo berkisar 12.000 orang dari total penduduk sebanyak 25.000 orang. Hal ini merupakan kekuatan besar dalam pemilukada. Kita semua sangat setuju agar pemerintah secara serius memikirkan dan memperhatikan hak-hak sipil orang Bajo untuk keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Sebenarnya orang Bajo dapat mengidentifikasi dirinya sebagai orang Bugis atau orang Bajo itu sendiri. Ia memiliki strategi adaptif yang cukup tinggi, bisa berbahasa daerah sesuai dengan bahasa yang digunakan masyarakat setempat. Mereka lancar dan fasih berbahasa Indonesia, bahasa Bugis, bahasa Kaledupa dan sebagainya. Ada waktu-waktu tertentu orang Bajo mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Bajo dan pada saat yang lain mampu mengidentifikasi dirinya sebagai orang Bugis. Hal itu disesuaikan dengan kepentingan yang menguntungkan dirinya. Tentang perilaku melakukan pemboman ikan, orang Bajo di Wakatobi juga mengunakan bahan peledak untuk menangkap ikan. Orang Bajo memiliki hubungan kerja dengan pedagang-pedagang dari luar, terutama orang Bugis. Orang Bugis mempercayai orang Bajo, sehingga berani memberi modal, perahu, alat tangkap, alat penyelam kepada orang Bajo. Persyaratannya sangat mudah, orang Bajo hanya menyetorkan hasil tangkapan ikannya. Dengan kemudahan itu, orang Bajo meningkatkan konsumsi mereka bukan hanya pada kebutuhan primer, tetapi juga kebutuhan sekunder, seperti handphone, televisi dan sebagainya. Untuk mengejar setoran, orang Bajo

(31)

melakukan apa saja untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan termasuk dengan cara pengeboman.

3. Identitas orang Bajo dapat dilihat dari bahasanya, yaitu bahasa “sama”. Kosa kata bahasa Bajo banyak mengadopsi bahasa Bugis. Hal ini disebabkan karena orang Bajo banyak berinteraksi dengan orang Bugis, baik di daerah pesisir maupun di pulau-pulau. Orang Bugis datang memberi pinjaman modal dan teknologi alat penangkapan ikan serta berperan sebagai ponggawa (pemimpin sekaligus pemilik modal dalam kegiatan ekonomi), sementara orang Bajo sebagai sawi (anak buah). Pola-pola interaksi yang terjadi, orang Bugis sebagai pemilik modal, pemilik perahu, pemilik alat tangkap. Orang Bajo sebagai sawi yang hanya mengandalkan tenaga, kemudian menyerahkan ikan-ikan hasil tangkapannya kepada ponggawa.

4. Kata Bajo mungkin berasal dari kata Wajo. Di Buton, terdapat pasar yang disebut pasar Wajo. Di pasar itu merupakan tempat interaksi antara orang Buton dengan orang Wajo (bukan orang Wajo yang ada di Sengkan, Sulawesi Selatan). Orang Wajo yang dimaksud di Buton tersebut adalah orang Bajo.

INTERAKSI ORANG BAJO DAN ORANG BUGIS Dalam Konteks Kearifan Lokal - Global Di Desa Sulaho,

Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara

Pemakalah:

Prof. Dr. H. Nasruddin Suyuti, M.Si. Moderator:

Dra. Dade Pratuntari, M.Si. Notulis:

Drs. Faisal, M.Si.

A. Paparan

Pada awalnya, orang Bajo lahir, hidup dan mati di atas perahu yang disebut bido’. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil dan mengembara dari suatu pesisir ke pesisir lain, atau dari suatu pulau ke pulau yang lain. Oleh karena kehidupan mereka sama, pola budaya sama walaupun berlainan tempat tinggal, maka mereka menyebut

(32)

dirinya sebagai orang same atau sama. Sedangkan orang lain yang hidup di darat di sebut orang bagai karena kehidupan mereka beraneka macam. Komunitas Bajo di Desa Sulaho, walaupun mayoritas orang Bajo dan hanya sedikit orang Bugis, tetapi di dalam interaksi sosial mereka ternyata orang Bajo menyesuaikan diri dengan orang Bugis yang minoritas. Hampir seluruh penduduk setiap hari menggunakan bahasa Bugis sebagai bahasa pengantar. Banyak anak-anak mereka tidak tahu lagi bahasanya sendiri. Sehingga muncul kekhawatiran bahwa suatu kelak bahasa Bajo termasuk unsur-unsur budaya mereka akan hilang dan punah tergantikan oleh budaya Bugis.

Dalam berbagai hal termasuk pembuatan perahu, keterampilan pembuatan perahu dikuasai oleh orang Bugis yang dikenal dengan sebutan panrita lopi. Ketergantungan atas pemenuhan kebutuhan perahu lambat laun orang Bajo mengadopsi keterampilan tersebut. Hal ini disebabkan karena orang Bajo selalu melakukan interpretasi terhadap apa yang mereka terima. Selain itu, ketergantungan orang Bajo juga berkaitan dengan berbagai kebutuhan primer yang kebanyakan bersumber di darat, sehingga orang Bajo senantiasa dipandang sebelah mata. Atas dasar itu, orang Bajo juga senantiasa berkeinginan untuk "menjadi" orang Bugis yang sukses dalam kegiatan ekonomi.

B. Diskusi

Tanggapan/pertanyaan

1. Surya Yuga

Kami akan melakukan peninjauan lokasi orang Bajo di Wakatobi, karena kami melihat bahwa pemukiman orang Bajo di darat akan terkesan unik dan menarik, karena selama ini orang Bajo tinggal di atas air atau di perahu. Apakah ada saran terbaik untuk lokasi yang dapat kami tinjau?

2. Raodah (staf peneliti BPSNT Makassar)

Orang Bajo di Bone rata-rata menggunakan alat tangkap destruktif, seperti bom dan bius. Menurut mereka penggunaan bom tidak merusak ekosistem laut terutama terumbu karang. Oleh karena itu perlu ada perhatian pemerintah untuk meningkatkan SDM orang Bajo agar mereka tidak hanya menggantungkan harapannya pada mata pencaharian sebagai

(33)

nelayan.

3. Suriadi Mappangara (dosen Universitas Hasanuddin)

Bagaimana kita mencari benang merah antara setiap komunitas orang Bajo, karena hampir semua komunitas Bajo memiliki latar budaya yang berbeda-beda? Selain itu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan orang Bajo? Apakah Bajo itu merupakan “bayang-bayang”, ataukah sebagai perompak besar ataukah sebagai manusia perahu?

Jawaban Pemakalah

1. Kalau ingin melakukan pengecekan orang Bajo di Wakatobi sebaiknya jangan di Kecamatan Wangi-wangi, sebab pemukiman orang Bajo di tempat tersebut sudah terpengaruh dengan kehidupan kota. Sehingga, keaslian budaya Bajo tidak dapat diamati lagi. Saya menyarankan peninjauan lokasi sebaiknya dilakukan di Kecamatan Kaledupa atau Binongko. 2. Penggunaan bom bagi orang Bajo bukan hanya di Bone tetapi

hampir menyentuh semua komunitas Bajo di Sulawesi Tenggara terutama yang berdiam di sekitar kota. Pada umumnya, orang Bajo yang melakukan kegiatan pemboman pada saat menangkap ikan, biasanya memiliki interaksi yang sangat luas dengan nelayan dari luar komunitasnya, dan bertempat tinggal di pemukiman yang tidak terisolir.

3. Orang Bajo sebenarnya memiliki keterampilan dalam mengelola sumberdaya laut, seperti menangkap ikan, menangkap teripang dan sebagainya. Keterampilan seperti itu hampir dimiliki oleh semua komunitas Bajo di mana pun berada. Akan tetapi suatu hal yang mungkin membedakan antara suatu komunitas Bajo di Desa Sulaho dengan komunitas Bajo yang lain adalah mengikisnya penuturan penggunaan bahasa Bajo. Di desa Sulaho sudah banyak orang Bajo yang tidak tahu menuturkan bahasanya sendiri. Bahasa Bajo hanya hanya digunakan oleh orang-orang tua untuk membicarakan mengenai sistem kekerabatan. Ada kekhawatiran bahwa identitas (bahasa) orang Bajo akan hilang. *****

(34)

DINAMIKA KELEMBAGAAN SOSIAL EKONOMI

ORANG BAJO

Munsi Lampe

Universitas Hasanuddin, Makassar

Abstrak

Studi tentang fenomena kehidupan orang Bajo dengan topik “Dinamika Kelembagaan Sosial Ekonomi Orang Bajo” diangkat dalam tulisan ini lantara kajian yang ada selama ini pada umumnya terarahkan pada karakteristik tradisional yang statis, kehidupan di perahu, dunia air dan kearifan lingkungan, pengembaraan pelayaran tanpa desa pemukiman permanen, keterbelakangan dan keterisolasian, termarginalisasi tanpa atau kurang pemihakan kebijakan politik, menjadi korban dari kelas-kelas pengusaha nelayan dari etnis lain, dan sebagainya.

Dari beberapa literatur, hasil penelitian, dan pengamatan langsung membuktikan bahwa justru beberapa komunitas atau keluarga orang Bajo menunjukkan suatu fenomena dinamika sosial budaya yang mencolok dalam beberapa unsur, terutama pola pemukiman, kelembagaan sosial ekonomi, sistem pertukaran/pasar, teknologi kebaharian, budidaya laut dan pelestarian ekosistem laut, sampai pada unsur-unsur bahasa, kesenian, religi, dan lain-lain.

(35)

Belajar dari proses dinamika kehidupan orang Bajo, khususnya kelembagaan sosial ekonominya, bukan hanya memperkaya koleksi bahan etnografi orang Bajo, tetapi lebih pada manfaat praktis bagi mengarahkan proses dinamika kehidupan yang bijak dan peningkatan martabat masyarakat nelayan miskin, khususnya komunitas nelayan Bajo di Nusantara ini.

Kata kunci: mengarahkan dinamika, kelembagaan sosial ekonomi, berbasis lokal, orang Bajo.

PENGANTAR

tudi-studi tentang kehidupan orang Bajo, khususnya yang di

S

Indonesia, selama ini kebanyakan terfokuskan pada karakteristik tradisional yang statis, kehidupan di perahu, dunia air dan kearifan lingkungan, pola pengembaraan pelayaran tanpa pemukiman permanen, keterbelakangan dan keterisolasian, termarginalisasi tanpa atau kurang pemihakan kebijakan politik, menjadi korban eksploitasi dari kelas-kelas pengusaha nelayan mampu dari etnis lain, dan sebagainya.

Sebetulnya karya dan informasi yang melimpah dan akurat dari studi lapang seperti telah menyumbang kepada pengayaan etnografi dan sejarah Orang Bajo sebagai salah suku laut yang tertinggi kadar kemaritimannya. Meskipun demikian ada aspek yang kurang atau tidak tersentuh lantaran hasrat dan perbincangan tentang mereka larut dalam kenikmatan tradisinya. Aspek dimaksudkan ialah fenomena dinamika kehidupan (sosial budaya) pada beberapa unsur yang di sana-sini diperistiwakan oleh komunitas atau keluarga-keluarga Bajo hingga batas-batas tertentu.

Pola pemukiman menetap dengan rumah panggung, meskipun penuh dengan kebersahajaan merupakan loncatan drastis dari pola nomaden dan menjadikan perahu vinta dan bido’ sebagai rumah dan desanya. Adopsi dan keterlibatan dalam kelompok Ponggawa-Sawi model Bugis-Makassar dengan organisasi produktif dan rapi adalah langkah menanjak dari kesatuan keluarga inti sebagai unit-unit produksi. Spesifikasi tangkapan (teripang, sirip hiu, kerang, lobster, ikan kerapu) sebagai komoditas pasar yang mahal dengan spesifikasi sarana tangkap yang melibatkannya dalam jaringan pasar ekspor

(36)

merupakan puncak dari proses evolusi budaya mencolok dari produksi subsisten. Praktik budidaya laut (teripang, kerang mutiara, lobster, kerapu, rumput laut) merupakan suatu loncatan evolusi dari berburu ikan liar dan meramu biota tidak liar di laut. Menanam bakau dengan berbagai fungsi pemenuhan kebutuhan perlindungan lahan pemukiman dan area tambak hingga fungsi ekonomi produktif merupakan buah pikiran jenius dan sangat unik mengingat kebanyakan orang Bajo suka membabat semak-semak di pulau-pulau atau tepi pantai karena takut setan atau hantu darat yang dipercaya bersemayam di situ.

Fenomena dinamika kehidupan budaya orang Bajo seperti disebutkan banyak menyamai kalau bukan melebihi yang diperistiwakan kebanyakan komunitas petani, apalagi pemburu di darat. Itulah sebabnya dengan semua pencapaian atau prestasi seperti ini orang Bajo semestinya diberi apresiasi tinggi dan dipihaki dalam proses pengembangannya lebih lanjut tidak berbeda dengan kelompok-kelompok etnis sebangsa setanah air lainnya yang hidup di darat.

Tulisan menyajikan konsep dinamika sosial budaya dalam perspektif antropologi, dinamika sosial budaya Bajo dalam catatan

(37)

sejarah dan antropologi, dinamika kelembagaan sosial ekonomi komunitas nelayan Bajo di Pulau Sembilan dan Kawasan Takabonerate (Sulawesi Selatan), dan mengarahkan dinamika kelembagaan sosial ekonomi sebagai penutup.

Material dari penulisan ini diambil secara selektif dari berbagai laporan penelitian lapangan yang saya dan kawan-kawan (Lampe dkk.) lakukan pada desa nelayan pulau-pulau dalam Kabupaten Pangkep dan Kodya Makassar, desa-desa nelayan Pulau Sembilan dan Tongke-Tongke (Sinjai) dan Kawasan Takabonerate (Selayar) Sulawesi Selatan dari paruh kedua periode 1990-an hingga tahun periode 2004, Kelurahan Dupa-Dupa Ternate (Maluku Utara) pada tahun 2005, dan Gemeente Urk Provinsi Overijssel (Nederlands) pada tahun 1986.

DINAMIKA SOSIAL BUDAYA

DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI

ada hakekatnya masyarakat dan kebudayaan (pengetahuan,

P

bahasa, organisasi sosial, ekonomi, teknologi, religi, kesenian) di mana dan kapanpun, lambat atau cepat pasti mengalami dinamika atau perubahan, meskipun ada saja unsur-unsur tertentu bertahan karena masih efektif dan efisien dalam pemungsian bagi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat manusia pendukungnya. Demikianlah masyarakat nelayan, termasuk orang Bajo, yang dalam kondisi sesederhana bagaimanapun cepat atau lambat pasti mengalami proses dinamika, baik secara terencana maupun kurang terencana.

Dari perspektif antropologi, terdapat dua alur proses dinamika sosial budaya, yakni alur proses evolusi dan alur proses difusi (Keesing, 1981; Barnard, 2000). Dari perspektif evolusionis, diasumsikan bahwa setiap masyarakat dengan individu-individu yang potensial mengembangkan mental kreativitas dan inovatifnya dalam wujud ide, tindakan/perilaku, dan teknologi. Bilamana ide, tindakan, atau teknologi yang diperkenalkan oleh individu-individu terbukti bermanfaat dalam pemungsian pemenuhan kebutuhan hidup, maka ini selanjutnya dipolakan atau ditradisikan dan dikembangkan lagi, bahkan didifusikan ke atau ditiru oleh kelompok-kelompok masyarakat di tempat-tempat lain yang menyukainya. Orang Bajo yang dikenal sebagai salah satu suku laut yang terkenal di Asia Tenggara (Dick-Read, 2009), bahkan salah satu cikal bakal masyarakat bahari

(38)

Nusantara di samping Bugis, Makassar, Mandar, Buton, dan Madura (Horridge, 1978, 1980) tentu juga merupakan hasil dari perkembangan evolusionis sosial budaya sejak ratusan bahkan ribuan tahun silam. Dalam rangka mengembangkan masyarakat bahari, khususnya masyarakat nelayan Bajo, karena itu, perlu penggalian potensi sosial budaya terutama yang mengandung kearifan lokal dalam wujud pengetahuan, jiwa kreatif dan inovatif, kelembagaan sosial ekonomi, teknologi, dan praktik pemanfaatan sumberdaya laut.

Dari perspektif difusionis diasumsikan bahwa fenomena dinamika sosial budaya suatu masyarakat bersumber dari tempat-tempat lainnya. Jarang sekali adanya unsur-unsur budaya baru yang tidak memiliki sejarah atau cerita asal usulnya dari tempat-tempat lainnya. Sumber

perubahan dan kemajuan yang berarti, karena itu, banyak berasal dari luar. Bagi orang Bajo yang dikenal sebagai pengembara di laut (sea nomaden/sea gypsi) pengetahuan dan kepandaian membuat perahu dan melayarkannya sesungguhnya diwarisi dari ras Melayu-Polinesian Asia Tenggara ribuan tahun silam (Horridge, 1978, 1980). Suatu pengembangan terencana dan terarah bagi kebanyakan masyarakat nelayan Bajo yang dalam kondisi statis dan miskin, karena itu, semestinya banyak diusahakan dengan belajar kepada masyarakat nelayan berkembang dan sejahtera di tempat-tempat lainnya, tanpa mengikis tradisi yang arif lingkungan dan sosial.

(39)

ORANG BAJO

DALAM CATATAN SEJARAH DAN ANTROPOLOGI

rang Bajo, Bajau, Baju, Waju atau Bajoo merupakan salah satu

O

kelompok suku pelaut nomaden yang terkenal dan tersebar di segala penjuru Indonesia, dari ujung Barat kepulauan Sumatera hingga Papua dan dari Selatan Pulau Timor hingga ujung Utara Nusantara. Beberapa penamaan yang mirip yang digunakan di berbagai tempat menunjukkan persebarannya di seluruh Nusantara (Dick-Read, 2009). Asal usul orang Bajo yang misterius menurut A.B. Lapian (1996; 2009) kemungkinkan sekali dari Zulu (Filipina), Johor (Malaysia), dan daerah Sabah, Kalimantan Utara (Malaysia). Lain halnya beberapa sejarawan Eropa, termasuk Dick-Read, yang menghubungkan orang Bajo dengan bangsa pelaut lain seperti Bugis, Makassar, dan Mandar di kawasan timur Nusantara. Orang Bajo disebut-sebut berasal dari Sulawesi yang merupakan wilayah yang sama dengan Orang Bugis atau Tau-Wugi, dan memiliki kekerabatan yang dekat dengan orang Wugi tersebut. Di Sulawesi Selatan, menurut tradisi lisan, terdapat empat versi asal usul Bajo, yakni versi Jampea, versi Kayuadi, versi Appa'tana, dan versi tulisan lontara Ara. Ketiga tempat pertama munculnya versi berada dalam wilayah Kabupaten Selayar, sedang versi keempat di Ara, Kabupaten Bulukumba. Pada intinya, keempat versi tersebut menghubungkan orang Bajo dengan mitologi Sawerigading dari Tana Luwu (Liebner dalam Robinson dan Mukhlis Paeni, 2005: 173-211).

Orang Bajo yang lebih kaya, menurut Dick-Read, tinggal di kapal yang disebut vinta, sejenis kapal cadik yang memiliki tiga atau empat penyangga. “Tak ada angin tak ada ombak”, kata orang Bajo, “kapal itu tetap bergoyang”. Di kawasan timur Nusantara, kebanyakan keluarga Bajo hidup di atas perahu yang disebut bido. Tidur, memasak, dan melahirkan keturunan mereka lakukan di atas perahu. Karena perahu merupakan tempat tinggal, maka setiap keluarga inti/keluarga batih memiliki sebuah perahu (Lapian, 2009).

Menurut Nimmo (dalam A.B. Lapian, 2009: 91-94), susunan masyarakat Bajo Asli yang masih tinggal di perahu dapat dibedakan dalam tiga tingkat, (1) mataan, (2) pagmundah, dan (3) dakampungan. Mataan adalah unit paling kecil yang terdiri dari unit-unit keluarga inti. Beberapa mataan membentuk sebuah pagmundah, dan beberapa buah

Referensi

Dokumen terkait

3) Konsep secara umum yang akan digunakan pada desain interior Restoran Bebek Sinjay Madura adalah mencoba menghadirkan budaya daerah setempat yaitu budaya Madura

Berdasarkan Firman Tuhan tentang” ibadah yang sejati” ( Roma 12,1), Maka pemuda BNKP Jemaat Hilisawato Simalingkar Medan menyatakan bahwa Ibadah tidak sekedar mengikuti

Mösyö Madeleine önüne yine bir dosya almıştı ki, epey yo­ ğun işi olan biri gibi, bir şeyler yazıp çizdikten sonra:. «Peki, Javert,»

Penelitian yang relevan dengan karya tulis ini berjudul “PERKEMBANGAN INDUSTRI KERAJINAN GERABAH DAN KETERSEDIAANNYA FAKTOR-FAKTOR YANG DIDUGA IKUT BERPENGARUH” Studi Kasus :

Louis I Catholic Senior High School make in using English modal auxiliaries. Which modal auxiliaries found most difficult by

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan digunakan sebagai acuan dalam hal penggunaan sarana dan prasarana Lalu

Dan untuk mengetahui ada atau tidaknya keterkaitan atau hubungan nilai-nilai religi dalam penghayatan iman dengan ciri-ciri Entrepreneurship pada entrepreneur ,