• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Kuantitas Air (Debit) Sungai

Perubahan tata guna lahan erat kaitannya dengan perubahan kuantitas air sungai. Perubahan ini ditandai dengan besarnya aliran permukaan yang terjadi akibat berkurangnya daerah resapan air (hutan). Hujan yang turun pada kawasan hutan yang lebat dimana faktor penutupan lahan ini memperlambat kecepatan aliran permukaan, bahkan kecepatan aliran permukaan mendekati nol dan kapasitas infiltrasinya besar.

Perubahan tata guna lahan erat kaitannya dengan kerusakan DAS. Faktor utama yang menyebabkan kerusakan DAS adalah faktor iklim, curah hujan yang tinggi, faktor geomorfologi, artinya daerah itu memang daerah DAS yang rawan rusak. Faktor ini dapat dikatakan stabil atau perubahan yang terjadi membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan faktor aktifitas manusia dalam pemanfaatan lahan untuk memenuhi kebutuhan manusia adalah faktor yang paling tinggi menyebabkan kerusakan DAS.

Perubahan kuantitas ditandai dengan besarnya debit sungai dimana meningkatnya aliran permukaan (Raharjo, 2009). Menurut metode rasional, debit

sungai dipengaruhi oleh intensitas curah hujan, jenis lahan yang ditandai dengan koefisien limpasan dan luas area tangkapannya (Asdak, 2010).

2.3.1 Intensitas hujan.

Hujan merupakan input (masukan) komponen utama dari siklus hidrologi sedangkan curah hujan merupakan jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi (mm) di atas permukaan horizontal bila tidak terjadi evaporasi, run off dan infiltrasi. Dengan demikian, jumlah curah hujan yang diukur sebenarnya adalah tebalnya atau tingginya permukaan air hujan yang menutupi suatu daerah luasan di permukaan bumi/tanah.

Curah hujan yang digunakan merupakan curah hujan rata-rata pada suatu wilayah. Curah hujan wilayah dianalisis dengan metode rata-rata aljabar, poligon thiessen dan isohyet. Tidak tersebarnya pos hujan secara merata maka curah hujan wilayah dianalisis dengan metode poligon thiessen dengan memperhitungkan pengaruh luasan daerah pada setiap titik pos hujan (Amrullah, et al. 2015).

Data hidrologi dianalisis dengan statistika (Rashid, et al. 2015) untuk memperkirakan besaran hujan dengan kala ulang tertentu. Perhitungan Curah hujan rancangan dengan menggunakan metode Normal, Log Pearson Tipe III, Gumbel dan Log Normal. Untuk mengetahui apakah frekuensi yang dipilih sudah tepat dan cocok maka dilakukan uji kesesuaian dengan metode statistik, yaitu Uji Chi Square dan Uji Kolmogorov-Smirnov (Deviana, et al. 2011). Penentuan pola distribusi curah hujan dapat diperkirakan dengan menggunakan distribusi Log Pearson Type III (Amrullah, et al. 2015).

Intensitas curah hujan adalah besarnya jumlah hujan yang turun yang dinyatakan dalam tinggi curah hujan atau volume hujan tiap satuan waktu.

Besarnya intensitas hujan berbeda-beda, tergantung dari lamanya (durasi) curah hujan dan frekuensi kejadiannya. Air larian atau limpasan permukaan semakin besar jika intensitas hujan tinggi (Juleha, et al. 2016). Agregat - agregat tanah hancur akibat intensitas hujan yang terlalu tinggi sehingga akan menutupi pori -pori tanah akibatnya dapat menurunkan kapasitas infiltrasi tanah (Bisri, et al.

2017).

Persamaan Mononobe digunakan untuk menghitung intensitas hujan apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia dan yang ada hanya data curah hujan harian. Persamaan ini memerlukan waktu konsentrasi, dimana waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai titik outlet oleh air hujan yang jatuh di tempat terjauh dari outlet. Waktu konsentrasi tergantung dari karakteristik DAS, yaitu jarak yang harus ditempuh air ke outlet (panjang sungai), kemiringan, luas DAS dan pola drainase (Suwartha, et al. 2017).

Waktu konsentrasi dihitung dengan mengetahui panjang sungai dan panjang DAS. Untuk menghitung waktu konsentrasi dengan rumus Kirpich, perlu diketahui nilai kemiringan rata-rata (s) dan panjang alur sungai (l) (Amrullah, et al.

2015). Panjang sungai adalah panjang yang diukur sepanjang sungai, dari stasiun yang ditinjau dari muara sungai sampai ujung hulunya. Sedangkan panjang DAS adalah panjang maksimum sepanjang sungai utama dari muara ke titik terjauh dari batas DAS. Sedangkan luas DAS diperkirakan dengan mengukur daerah itu pada peta topografi. Luas DAS sangat berpengaruh terhadap debit sungai. Pada umumnya semakin besar DAS semakin besar jumlah limpasan permukaan sehingga semakin besar pula aliran permukaan atau debit sungai (Triatmodjo, 2010).

2.3.2 Koefisien limpasan.

Koefisien C didefinisikan sebagai perbandingan antara laju puncak aliran permukaan terhadap intensitas hujan (Arsyad, 2006). Faktor utama yang mempengaruhi nilai C adalah laju infiltrasi tanah, tanaman penutup tanah dan intensitas hujan (Mohamadi and Kavian, 2015). Bentuk dan ukuran DAS, topografi dan geologi merupakan faktor yang juga mempengaruhi volume air larian. Kerapatan daerah aliran (drainase) mempengaruhi kecepatan air larian.

Kerapatan daerah aliran adalah jumlah dari semua saluran air/sungai (km) dibagi luas DAS (km2). Makin tinggi kerapatan daerah aliran makin besar kecepatan air larian sehingga debit puncak tercapai dalam waktu yang cepat (Prayoga, et al.

2014). Vegetasi dapat menghalangi jalannya air larian dan memperbesar jumlah air infiltrasi dan masuk ke dalam tanah. Laju infiltrasi tergantung pada sifat dan kondisi tanah (Neris, et al., 2012). Penurunan persentase curah hujan yang meresap dalam tanah diperkirakan karena adanya perubahan alih fungsi lahan yang cenderung mengurangi lahan resapan air (Yimer, et al., 2008).

Koefisien limpasan ditentukan dengan metode Cook dimana parameter yang digunakan Cook, yaitu, morfometri (kerapatan alur), kemiringan lereng, dan tekstur tanah merupakan parameter yang sulit untuk berubah dalam jangka waktu yang pendek. Namun satu parameter lain yang digunakan Cook untuk menentukan besarnya nilai koefisien aliran yang sangat mudah berubah karena pengaruh intervensi manusia adalah penggunaan lahan. Misalnya C untuk hutan adalah 0,1 artinya 10% dari total curah hujan akan menjadi air larian. Angka C ini merupakan salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan fisik (Prayoga, et al. 2014). Nilai C yang besar berarti

sebagian besar air hujan menjadi air larian, maka ancaman erosi dan banjir akan besar.

Koefisien limpasan ditentukan dengan metode Cook melalui analisa spasial dengan perangkat lunak ArcGIS terhadap beberapa peta yaitu peta kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan jenis tanah dimana ketiga peta dilakukan tumpang susun atau overlay (Wahyuningrum dan Pramono, 2007).

Tabel 2.1 menjelaskan berbagai nilai skor dalam Metode Cook untuk berbagai jenis karakteristik DAS berdasarkan parameter kelerangan, jenis tanah yaitu kemampuan infiltrasi, tutupan lahan dan kerapatan aliran.

Tabel 2.1 Karakteristik DAS dan nilai skor (W) dalam metode cook

Karakteristik DAS yang di

Karakteristik yang dapat menghasilkan aliran

pertimbangkan 100 (Ekstrim) 75 (Tinggi) 50 (Normal) 25 (Rendah) Kemiringan

Infiltrasi (W) Tidak ada penutup tanah efektif, lapisan tanah

Sumber : Chow (1988) dalam Samawa dan Hadi, 2016

Dokumen terkait