BAB IV AKSI-AKSI FORSOLIMA DAN KSMM DALAM GERAKAN MENJELANG
4.1 Aksi-aksi Forsolima
4.1.2 Kudatuli 1996
Pasca-1995, Forsolima kembali memperkuat jaringan dengan berbagai kampus di Medan sampai ke berbagai daerah seperti Labuhan Batu, Binjai, dan Siantar. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap Orde Baru yang kian represif.
Salah satu isu yang mendapat perhatian adalah persoalan internal di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Setelah perebutan ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) pada 21- 25 Juli 1993 di Medan mengangkat Soerjadi secara aklamasi, berbagai pihak keberatan, yang paling kelasah adalah Soeharto, karena Soerjadi dinilai menolak tunduk kepada pemerintah. Namun, sekaligus menumbuhkan sikap perlawanan dari masyarakat luas terhadap Orde Baru. Hal ini dikarenakan isu demokrasi yang hangat dijegal Orde Baru. Oleh karena itu, Desember 1993 Kongres Luar Biasa (KLB) dilaksanakan di Surabaya dengan memajukan dua calon, yaitu Megawati dan Budi Hardjono.
KLB tidak berjalan semestinya, namun Megawati terpilih secara de facto sebagai ketua DPP PDI. Terpilihnya Megawati didukung oleh masyarakat. Megawati sama seperti Soerjadi juga menolak tunduk terhadap Soeharto, shingga kembali tidak disetujui pemerintah. Unsur yang tidak sepakat ini terus-menerus mengusik keberadaan pucuk pimpinan Megawati. Skenario terkait penurunan Megawati pun terus berkembang. Pada 20-
23 Juni 1996, kongres pun kembali digelar di Medan dengan memakai Soerjadi sebagai calon pengganti Megawati yang awalnya dimusuhi pemerintah.
Pada 27 Juli 1996, kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro di Jakarta tempat Megawati berkantor, diserbu. 97
Sejak itu, aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa direpresif lebih ketat lagi. Dengan demikian, pasca-kudatuli, gerakan mahasiswa sempat tiarap selama enam bulan. Untuk menyikapi kasus kudatuli ini, Forsolima menyulut aksi-aksi di dalam kampus.
Peristiwa ini disebut juga sebagai Sabtu Kelabu karena berlangsung pada Sabtu dinihari. Penyerbuan ini menegaskan penjungkalan terhadap megawati. Akibat penyerbuan ini, aparat memburu kelompok yang diduga sebagai dalang di balik peristiwa tersebut. Saat itu kelompok yang radikal dan baru deklarasi adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD). PRD kemudian menjadi sasaran pemburuan aparat yang berujung terhadap penghilangan paksa para aktivis.
98
Aksi yang disulut Forsolima dipusatkan di kampus Institut Teknologi Medan (ITM). ITM menjadi kampus yang dipilih karena mereka dianggap lebih berani dan sanggup bertahan lama jika bentrok dengan kepolisian. Aksi dilakukan dalam kampus, sehingga aparat kepolisian tidak gampang untuk merepresi mahasiswa.
Selain itu, mereka juga membangun diskusi-diskusi untuk menyikapi peristiwa tersebut secara rahasia. Rahasia karena intelijen tidak berhenti memantau diskusi-diskusi yang dilakukan mahasiswa.
97
Kudatuli singkatan dari kasus dua puluh tujuh Juli (1996) di mana kubu PDI Megawati diserbu oleh militer di Jl. Diponegoro Jakarta. Peristiwa ini ditujukan untuk menggulingkan Megawati yang waktu itu sudah mulai marak didukung oleh rakyat di seluruh pelosok tanah air. Ia mengambil alih kepemimpinan Soerjadi, namun pada akhirnya beliau meninggalkan PDI yang sudah didukung Soeharto lalu mendirikan PDI perjuangan. Lihat Darmanto Jatman (ed.), Membongkar Misteri Sabtu Kelabu 27 Juli 1996 (Semarang: Lubuk Raya, 2001).
98
4.1.3 Krisis 1997
Krisis tahun ini mulai dirasakan. Banyak kebijakan pemerintah yang menyengsarakan masyarakat seperti nelayan, petani, buruh, dan atau kaum tertindas lainnya. Krisis yang berdampak terhadap kebutuhan riil masyarakat semakin rentan terhadap peristiwa kriminal.
Di tengah krisis yang melanda, Forsolima tetap melakukan diskusi bersama dengan kelompoknya di internal maupun dengan organisasi mahasiswa yang berasal dari berbagai kampus. Mereka tetap mengupayakan konsolidasi gerakan tetap berjalan. Hal ini merupakan langkah-langkah untuk menentukan aksi-aksi yang akan dilakukan.
Pada tahun ini aksi-aksi Forsolima semakin intens. Intensitas ini tidak terlepas dari vakumnya gerakan mahasiswa pasca-kudatuli, sementara kebijakan pemerintah dan represifitasnya semakin menindas rakyat. Setiap kali terdapat diskusi hampir seluruhnya berujung dengan aksi unjuk rasa.
Selain menyikapi krisis yang mulai terasa, Forsolima tetap aktif melakukan aksi mendukung petani atau buruh yang bermasalah, misalnya dalam kasus tanah. Hal ini kerapkali dilakukan sendiri tanpa didukung oleh kelompok mahasiswa lainnya. Meskipun demikian, kasus tanah yang didiskusikan tetap diinformasikan bagi kelompok mahasiswa di luar Forsolima. Namun, kadangkala terdapat solidaritas dan acap juga tidak dihadiri karena terdapat persoalan lain.
Aksi Forsolima selama tahun ini lebih disebabkan karena faktor represifitas Orde Baru. Di sisi lain faktor krisis tidak menjadi prioritas sebab mereka belum memiliki
gambaran mengenai situasi ekonomi. Dengan demikian, Forsolima mengedepankan isu terkait kekerasan dan isu lokal seperti kasus tanah rakyat dan sebagainya.
4.1.4 Aksi 1998
Letupan awal 1998 dimulai dari aksi unjuk rasa pada 11 Februari di Simpang Kampus USU. Pasca-11 Februari, gerakan mahasiswa sepakat untuk melanjutkan aksi mereka dengan menggelar aksi mimbar bebas di kampus masing-masing.
Pada 23 April, rangkaian aksi mimbar bebas menjadi salah satu aksi yang memulai bentrokan dengan kepolisian. Aksi yang dimotori pentolan Forsolima di ITM tersebut diadakan dalam bentuk long march. Aksi ini dihadang aparat keamanan. Penghadangan tersebut diarahkan agar menemui titik temu. Akan tetapi, negosiasi yang terjadi tidak berhasil. Oleh sebab itu, situasi semakin tidak terkendali.
Bentrok tersebut dijawab aparat dengan menembakkan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam ke arah mahasiswa. Sementara itu, di sisi lain mahasiswa membalasnya dengan lemparan batu. Saling serang dengan persenjataan yang berbeda secara teknologi semakin terus terjadi. Akibatnya, bentrokan yang tidak berimbang ini membawa korban di pihak mahasiswa: Herlison Siahaan. Ia ditembak dengan peluru tajam.
Meskipun demikian, kerusuhan massa ini berada di luar kendali mahasiswa. Namun demikian, pascakerusuhan tersebut, aksi mahasiswa hampir setiap hari terjadi di Medan. Dalam aksi yang hampir terjadi inilah, strategi Forsolima dilakukan. Strategi yang mereka lakukan yaitu berada di belakang aksi di lapangan. Mereka mengedepankan taktik personal di delapan kampus.
Secara organisatoris, Forsolima tidak tampak dalam melakukan kerja-kerja penguatan massa. Mereka melakukannya secara personal. Hal ini dilakukan untuk menghindari persentuhan langsung dengan aparat yang semakin represif. Penangkapan yang mereka alami sebelumnya cukup membuat adanya rasa trauma.
“Jadi, kita waktu itu tidak bergerak secara organisasi. Kita memilih untuk bergerak secara personal. Waktu itu, kita masih ada rasa trauma akibat penangkapan di tahun 1995. Namun, hal ini tidak berarti Forsolima sudah bubar. Sebaliknya, taktik secara personal ini sudah dibicarakan terlebih dahulu secara organisatoris. Kita kemudian sepakat untuk memperkuat gerakan mahasiswa melalui pendekatan pribadi. Dalam delapan kampus, kita menyebar satu per satu. Di sana kita membangun gerakan mahasiswa dengan berdiskusi, membuat selebaran atau buletin dan sebagainya.”99
Strategi bergerak di balik layar ini dilakukan untuk merangsang gerakan mahasiswa yang lebih besar. Dengan demikian, hal ini membuat koordinasi antaraktivis Forsolima berlangsung secara tertutup atau rahasia. Hal semacam ini tampak sepanjang 1996-1997 di mana mereka masih terus-menerus melakukan pendidikan rahasia di delapan kampus yang dipantau secara aktif oleh Forsolima.
Personal tersebut menjadi pentolan di kampusnya masing-masing. Mereka inilah yang mengorganisir massa mahasiswa untuk melakukan aksi-aksi yang nyaris tanpa berhenti. Salah satu kampus yang tampak terus melakukan aksi adalah ITM. Di kampus tersebut, Sahrul Isman Manik, salah satu pentolan Forsolima menjadi motor penggerak massa.
Strategi di balik layar ini telah disepakati dalam diskusi internal Forsolima. Kemudian mereka menyebar ke kampus-kampus yang ditentukan setidaknya di delapan kampus yang menjadi basis Forsolima. Pentolan-pentolan inilah yang mengajak mahasiswa berdiskusi hingga melakukan aksi-aksi di dalam maupun di luar kampus.
99
Selain itu, Forsolima juga mengundang kampus atau kelompok mahasiswa se-Medan untuk berdikusi guna memanaskan gerakan mahasiswa. Dengan demikian, aksi-aksi besar dapat disepakati untuk dilakukan secara bersama. Dalam hal inilah, isu sentral dibangun, yaitu menggulingkan Soeharto. Puncaknya, 20 Mei 1998 aksi besar-besaran mengepung kantor DPRD Tingkat I Sumatera Utara. Seluruh basis massa yang diorganisir Forsolima tumpah ruah bersama mahasiswa dari berbagai kampus se-Medan.
4.2Aksi-aksi KSMM
Berangkat dari diskusi, baik diskusi lintas organisasi, sendiri maupun bersama kelompok mahasiswa yang lain, maka prakarsa turun ke jalan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Prakarsa ini oleh Tan Malaka disebut aksi. Oleh karena itu, dalam metodenya melakukan perjuangan tercakup tiga hal yang saling bertautan: diskusi, aksi, refleksi.100
Sebagai ciri khas, organisasi mahasiswa tidak bisa luput dari aksi, baik kecil maupun besar. Organisasi mahasiswa erat kaitannya dengan aksi turun ke jalan atau demonstrasi. Semangat, daya juang, predikat sebagai kaum muda menjadi stimulus yang memungkinkan mahasiswa selalu ada dalam setiap aksi demonstrasi. Ada energisitas dan spirit yang dimiliki para mahasiswa untuk menopang idealisme hingga bermuara terhadap aksi di lapangan. Kedua dan ketiga selalu menjadi bagian yang terus mahasiswa renungkan dalam proses menuju pematangan aksi.
100
Diskusi-Aksi-Refleksi merupakan siklus sebuah gerakan yang patut mahasiswa peragakan. Ketiganya saling bertaut dan jika salah satu tidak terlaksana, maka gerakan yang sudah mereka bangun akan terasa pincang. Konsep ini berasal dari pemikiran Paulo Freire, filsuf pendidikan asal Brazil abad ke-20. Lihat Paulo Freire, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan (Yogyakarta: ReaD (Research, Education and Dialog bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2007).
Di lain pihak, aksi di lapangan setidak-tidaknya memberi penjelasan bahwa para aktivis mahasiswa terutama yang tergabung dalam KSMM telah menghadirkan kembali ruh gerakan sosial yang dimotori oleh mahasiswa. Aksi-aksi ini semakin intens menjelang reformasi 1997, sebagai aksi pemanasan menuju Mei 1998.
Aksi lalu refleksi terus-menerus tanpa henti. Berangkat dari perenungan-perenungan, para aktivis mahasiswa akan memperoleh pengalaman yang mengajarkan bagaimana metode dan cakupan yang sudah pernah dilakukan. Selain pembobotan kuantitas massa, soal kreatifitas dalam melakukan protes juga semakin terperbaharui. Dengan demikian, semakin menambah pengalaman mereka ketika melakukan aksi turun ke jalan.
4.2.1 Aksi 1996
Masa kudatuli dapat dikatakan sebagai salah satu peristiwa penting yang harus ditentukan dan disikapi dengan aksi demonstrasi. Dukungan terhadap ide reformasi yang diusung lewat permainan partai politik dalam membuka ruang demokrasi patut menjadi bagian dari aksi. Turun ke jalan jelas menjadi agenda penting yang tidak dapat lagi ditolerir dengan diam tanpa kata. Menghadapi fenomena Soeharto yang seolah tembok kekal tidak mungkin rubuh, maka turun ke jalan pun mereka lakukan. Secara ringkas bahwa konstelasi perpolitikan nasional yang ademokratis membuat aktivis KSMM prihatin dan gelisah.
Letupan rentetan aksi yang berlangsung sejak awal itu membuat gerakan mahasiswa semakin terbuka dan membesar. Oleh karena itu, gerakan rakyat yang meliputi konflik HKBP, Indorayon hingga gerakan buruh semakin memuncak ketika arus gerakan semakin berhembus ke kota. Gelombang protes yang terjadi di Sumatera Utara sepanjang awal tahun
90-an bermuara ke kota di mana gerakan mahasiswa adalah tujuan akhir dari gelombang tersebut. Dengan kata lain, gelombang gerakan yang dimainkan di kota menjadi tumpuan resistensi gerakan sosial.
Selama peranannya, KSMM pada umumnya melakukan aksi dengan fokus tuntutan terhadap isu-isu kekerasan.101
Sementara itu, aksi menjelang reformasi yang menjadi loncatan terhadap aksi-aksi mahasiswa di waktu berikutnya berawal pada tahun 1996. Ketika itu situasi sosial berkaitan dengan gejolak politik di tubuh Partai Demokrasi Indonesia. Dalam gonjang-ganjing tersebut, PDI melaksanakan kongres di kawasan Asrama Haji. Kongres akhirnya melahirkan kegaduhan dan ditujukan untuk menjungkalkan Megawati dari persaingan posisi sebagai pimpinan partai. Megawati dinilai menjadi salah satu simbol demokrasi yang banyak mendapat dukungan dari masyarakat. Perempuan yang menjadi simbol pertama kaum hawa dalam peta politik nasional, sehingga membuat orang yang prodemokrasi turut menyikapi persoalan PDI.
Misalnya berkaitan soal intimidasi atas pelarangan kebebasan berkumpul, berserikat, dan bersuara. Sebagaimana di masanya, Soeharto melakukan tindakan represif, kontak fisik langsung terhadap mahasiswa atau siapa saja yang tidak sejalan atau dianggap membangkang. Praktik kekerasan Orde Baru merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Oleh sebab itu, isu HAM menjadi penghubung ihwal kekerasan dengan perihal lainnya. Seperti perampasan tanah rakyat.
Persoalan PDI mulai diamati masyarakat terlebih mahasiswa yang tergabung dalam KSMM bukan karena faktor figur Megawati. Lebih dari itu, para aktivis prodemokrasi
101
memandang bahwa lambang perlawanan terhadap Orde Baru terlihat semakin meruncing.102
Kudatuli turut menyulut perlawanan mahasiswa. Sebagai inisiator, KSMM menggelar aksi untuk menyikapi isu politik tersebut dengan memunculkan Aliansi Sumut untuk Demokrasi (ASUD).
Keadaan ini bahkan menjadi tonggak penting dalam kumandang aksi dan perlawanan terhadap rezim Soeharto yang telah lama menjadi sorotan sosial-politik masyarakat. Pada aksi ini, terjadi penangkapan terhadap aktivis KSMM, yakni Turunan Gulo. Ia ditangkap di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan dan dibawa ke kantor poltabes Medan, beberapa jam setelah aksi selesai.
103
Aksi ini dipimpin oleh Turunan Gulo dengan kuantitas massa sebanyak 10 orang. Pascaaksi ini juga terjadi penangkapan terhadap Mulana Samosir. Sementara mahasiswa lainnya seperti Abadi Halawa, Mangasi Purba, dan Ronald Naibaho ditangkap dari lokasi kos-kosan mereka di Padang Bulan.104
4.2.2 Krisis 1997
Kemudian pada 1997, Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden RI. Suasana tampak semakin mengecewakan publik sebab kekuasaan Soeharto masih berdiri kukuh. Waktu terus bergulir, ekonomi-politik semakin goncang. Ketika itu mahasiswa melakukan aksi-aksi propaganda di secara sembunyi-sembunyi. Selebaran-selebaran disebar di tempat- tempat umum, misalnya halte. Bagi mereka, hal itu merupakan cara merawat gerakan. Selebaran gelap tersebut dinamakan Masyarakat Indonesia untuk Pembaharuan (MIP)
102
Wawancara dengan Turunan Gulo, Medan 07 April 2013.
103
ASUD merupakan nama kelompok aksi yang diciptakan oleh KSMM untuk membuat aksi unjuk rasa menolak represifitas Orde Baru berkaitan dengan PDI dan penangkapan terhadap aktivis prodemokrasi. Penamaan ASUD di sisi lain untuk mengaburkan orang-orang yang melakukan aksi sehngga tidak mudah dikenali. Wawancara dengan Turunan Gulo, Medan 07 April 2013.
104
sebagai nama taktis agar tidak gampang diketahui oleh aparat kemanan. MIP, dengan demikian menjadi selebaran yang sulit dilacak pembuat dan penyebarnya.
Pada waktu yang berdekatan, situasi ekonomi-politik kian bergejolak sejak awal 1997 sampai 1998. Krisis moneter yang terjadi di Thailand dengan hancurnya nilai mata uang Baht terhadap Dolar AS, kemudian menerpa negara-negara Asean. Krisis ekonomi tersebut ternyata tidak mampu dihadapi Indonesia, Rupiah terjun bebas terhadap Dolar Amerika. Soeharto yang selama kekuasaannya banyak menumpuk harta dengan cara KKN105
Sehubungan dengan situasi yang berkembang, aksi-aksi mahasiswa mulai marak. Di sini mahasiswa menikmati gerakan yang mulai bersemangat. Kerja gerakan mahasiswa sejak itu relatif konsisten dan mulai memasuki masa heroiknya.
tiba-tiba dihadapkan kepada efek domino krismon (krisis moneter). Luluh lantak ekonomi menjadi badai yang tidak terhindarkan. Perusahaan-perusahaan gulung tikar, buruh di-PHK, kepastian hidup kian tidak menentu, dan terakhir kekerasan, perampokan, hingga perkosaan marak terjadi di kota-kota besar.
4.2.3 Aksi 1998
Pascaaksi pertama 11 Februari yang turut dimotori KSMM, aksi mimbar bebas dilaksanakan kembali di USU. Sebulan tepat, 11 Maret, KSMM bersama kelompok lainnya melakukan mimbar bebas di Pintu Satu kampus USU. Mahasiswa dalam aksi kali ini sudah
105
Sebelumnya Indonesia sempat diwacanakan sebagai tempat globalisasi (liberalisasi ekonomi atau era ‘keterbukaan’ dengan catatan, konsep otoriter dianggap sudah usang yang telah juga dimulai sejak Perang Dingin berakhir. Namun, wacana tersebut gagal karena telah berganti menjadi negara yang dihunjam krisis. Dampak krisis tampaknya sangat tidak merata. Hal ini diidentifikasi sebagai akibat dari KKN dan dengan demikian semakin tajam pula krisis kepercayaan masyarakat terhadap para pejabat. Adrian Vickers, Sejarah Indonesia Modern (Yogyakarta: Insan Madani, 2011), hlm. 303-314.
mulai banyak yang keluar dari kampus. Sementara tiga hari kemudian, 14 Maret, mereka mengulangi mimbar bebas dengan mengusung tema sentral, yakni menuntut reformasi total.106
Tepat pada 25 April setelah dua hari terjadi bentrokan di ITM, KSMM bersama mahasiswa USU menggelar aksi turun ke jalan menuntut reformasi total serta solidaritas terhadap peristiwa penembakan di ITM. Aksi ini juga diarak mengelilingi USU atau long march yang mengakibatkan terpicunya bentrokan dengan aparat keamanan.
Kemudian 04 Mei menjadi hari naas bagi mahasiswa Medan. Hal ini dipicu karena terjadinya pelecehan terhadap mahasiswa perempuan IKIP Medan yang dilakukan oleh aparat. Pelecehan ini pun memicu kemarahan masyarakat. Akibatnya kerusuhan pun tidak terhindari. Pos polisi yang terdapat di Aksara hancur dilempari dan dibakar massa. Tidak hanya sampai di situ, massa pun menjarah rumah-rumah toko dan swalayan yang berdekatan hingga membuat kerusuhan pecah.
Aksi 1998 hampir mirip dengan model aksi 1996 (kongres PDI dan kudatuli). Hampir seluruh lapisan masyarakat di masa ini turut bangkit; dosen-dosen pun bergelora memberi dukungan terhadap aksi-aksi mahasiswa. Dengan demikian, waktu itu merupakan wabah nasional aksi gerakan mahasiswa.
Menjelang 20 Mei, KSMM mengorganisir pertemuan di Berastagi. Dalam, pertemuan tersebut, Turunan Gulo menjadi pemimpinnya bersama dengan organisasi PRD. Sementara itu, di Universitas Katholik-Medan juga ada diadakan pertemuan mahasiswa. Akhirnya
106
mereka menyatukan gerakan menjadi satu. Target aksi adalah 20 Mei 1998 sebagai hari yang dapat menyatukan elemen-elemen gerakan mahasiswa. Prinsip mereka ketika itu adalah aksi diorganisir sedemikian rupa tanpa memandang siapa yang menjadi pemimpinnya. Berangkat dari prinsip tersebut dan melalui kesepakatan bersama, maka yang ditunjuk memimpin jalannya aksi adalah Ihwaluddin dari UMSU dan Mulana Samosir dari KSMM sebagai wakilnya.
Aksi mahasiswa tidak berhenti sejak awal pertengahan 1997 dan di awal 1998 semakin kentara. Hal ini diakibatkan oleh isu ekonomi yang sedang hangat dan menjadi isu nasional dan menohok bagi kehidupan orang banyak. Puncaknya pada 20 Mei 1998, KSMM dan 33 gerakan mahasiswa yang tergabung dalam Rapat Aksi Mahasiswa Sumatera Utara (RAMSU)107
Dalam aksi ini, mahasiswa Medan melampiaskan kekecewaannya kepada wakil rakyat yang mandul dengan caci-maki dan cemooh. Mereka juga menghancurkan fasilitas- fasilitas yang ada di dalam gedung DPRD Tkt. I Sumatera Utara. Aksi ini menuntut: Penurunana Harga dan Pengadilan Soeharto beserta kroni-kroninya.
berunjuk rasa yang dipusatkan di depan kantor DPRD Tingkat I Sumatera Utara. Ribuan mahasiswa dari Perguruan Tinggi di Medan tumpah ruah di jalan dan tidak dapat dihempang aparat keamanan.
107
BAB V KESIMPULAN
Selama dasawarsa 1990-an, Forsolima dan KSMM telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan mahasiswa di Medan. Kedua kelompok ini menjadi satu bagian penting dalam sejarah gerakan mahasiswa di era tersebut. Adapun KS ini merupakan kelompok mahasiswa yang tampil sebagai motor penggerak bangkitnya gerakan mahasiswa kala itu. Terletak di antara rezim otoriter dan vakumnya gerakan mahasiswa dari Kelompok Cipayung maupun Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi, kehadiran Forsolima dan KSMM terasa sebagai semangat baru perlawanan gerakan mahasiswa.
Namun demikian, terdapat hal yang membedakan keduanya dalam strateginya sebagai gerakan oposan Orde Baru. Forsolima mengedepankan perlawanannya secara tidak frontal. Sementara itu, KSMM bergerak dengan menonjolkan sikap politik praktis. Dengan demikian, KSMM lebih bersifat politis dalam tindakan dan aktivismenya sehari-hari. Di lain pihak, Forsolima lebih bersifat nonpolitik praktis.
Hal lain yang menunjukkan perbedaan dalam hal kinerja adalah mengenai masyarakat dampingan. Dalam hal ini, Forsolima lebih sering turun langsung mendampingi rakyat yang tengah menghadapi kasus tanah ataupun buruh. Dapat dikatakan bahwa Forsolima memiliki perjuangan yang lebih fokus bagi rakyat yang tertindas. Berbeda dengan itu, KSMM tampak lebih memfokuskan arah perjuangan dari tataran mahasiswa.
Adapun tokoh-tokoh yang diundang dalam setiap diskusi diperuntukkan bagi seluruh kelompok mahasiswa. Hadirnya sosok Amien Rais yang diundang KSMM maupun Sri Bintang Pamungkas yang dihadirkan Forsolima tidak memunculkan faksi tersendiri. Kedatangan tokoh-tokoh nasional selalu dihadiri oleh kelompok mahasiswa se-Medan. Hal ini berada di luar penanggung jawab sebagai pengundang.
Dalam faksionalisasinya, kecenderungan merupakan perihal paling tepat. KSMM cenderung berkomunikasi dengan kelompok Kristen. Menjauh dari kecenderungan tersebut, Forsolima tidak mengenal faksi keagamaan. Ideologi nasionalisme lebih dikedepankan, meskipun tidak menutup adanya diskusi bersama tokoh yang berlatar belakang keagamaan, misalnya Islam.
Tidak hanya Forsolima, KSMM lebih tepatnya juga merupakan KS yang tidak memiliki faksi keagamaan. Kembalinya ke ideologi nasionalis yang bercorak kritis merupakan keputusan yang telah dipilih sejak awal pendirian KSMM. Selebihnya, kesamaan ideologi, ketertindasan, dan kesadaranlah yang mereka kedepankan sehingga bersama kelompok mana pun menginisiasi gerakan prodemokrasi.
Selanjutnya meskipun bergerak di jangkauan terdekat, misalnya KSMM di Padang Bulan, Tanjung Sari dan sebagainya serta Forsolima di kawasan Medan Teladan berikut basis di delapan kampus (Sekolah Tinggi Informasi Komunikasi Pembangunan, Universitas