FORUM SOLIDARITAS MAHASISWA MEDAN (FORSOLIMA) DAN KELOMPOK STUDI MAHASISWA MERDEKA (KSMM) 1990-1998:
STUDI GERAKAN MAHASISWA DI MEDAN
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O L E H
NAMA : JAKOB SIRINGORINGO
NIM : 080706023
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
FORUM SOLIDARITAS MAHASISWA MEDAN (FORSOLIMA) DAN KELOMPOK STUDI MAHASISWA MERDEKA (KSMM) 1990-1998:
STUDI GERAKAN MAHASISWA DI MEDAN SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN O
L E H
NAMA : JAKOB SIRINGORINGO
NIM : 080706023
Pembimbing
Dr. Budi Agustono
Nip: 196008051987031001
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi
FORUM SOLIDARITAS MAHASISWA MEDAN (FORSOLIMA) DAN KELOMPOK STUDI MAHASISWA MERDEKA (KSMM) 1990-1998:
STUDI GERAKAN MAHASISWA DI MEDAN Yang diajukan oleh :
Nama : Jakob Siringoringo Nim : 080706023
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh: Dosen Pembimbing,
Dr. Budi Agustono Tanggal 11 November 2013
NIP. 196008051987031001
Ketua Departemen Sejarah,
Drs. Edi Sumarno, M. Hum Tanggal 12 November 2013 NIP. 196409221989031001
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lembar Pengesahan Skripsi
FORUM SOLIDARITAS MAHASISWA MEDAN (FORSOLIMA) DAN KELOMPOK STUDI MAHASISWA MERDEKA (KSMM) 1990-1998:
STUDI GERAKAN MAHASISWA DI MEDAN SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN O
L E H
NAMA : JAKOB SIRINGORINGO
NIM : 080706023
Pembimbing
Dr. Budi Agustono NIP. 196008051987031001
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana sastra dalam bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Lembar Persetujuan Ketua Departemen Disetujui oleh:
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DEPARTEMEN SEJARAH Ketua,
Drs. Edi Sumarno, M. Hum NIP. 196409221989031001
Lembar Pengesahan Skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian
PENGESAHAN
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk
Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan
Pada
Hari :
Tanggal :
Fakultas Ilmu Budaya Dekan,
Drs. Syahron Lubis, M. A. NIP. 195110131976031001 Panitia Ujian:
No. Nama Tanda Tangan
1. Drs. Edi Sumarno, M. Hum (...)
2. Dra. Nurhabsyah, M. Si (...)
3. Dr. Budi Agustono (...)
4. Dra. Fitriaty Harahap, SU (...)
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh, jauh di kemudian hari”
-Pramoedya Ananta Toer-
Buat:
Bapak-Ibu terhormat dan abang-kakak tercinta
ABSTRAK
Judul: Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima) dan Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka (KSMM) 1990-1998: Studi Gerakan Mahasiswa di Medan
Kompleksnya sisi kelam demokrasi di Indonesia selama tiga dekade membuat mahasiswa tidak henti-hentinya melakukan kreasi melawan pemerintah otoriter Soeharto. Hilangnya gerakan mahasiswa di Medan sebagai dampak negatif dari pembredelan terhadap gerak kritis dan friksi internal di Kelompok Cipayung akhirnya menjadi stimulus munculnya Kelompok Studi. Skripsi ini bertujuan menjelaskan ruang lingkup Forsolima dan KSMM serta keterkaitan keduanya, sebagai KS, terhadap gerakan mahasiswa di Medan dalam kurun 1990-1998. Metode penelitian yang dilakukan adalah heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Forsolima dan KSMM terlahir sebagai respons terhadap sedikitnya gerakan mahasiswa dengan intensitas pemikiran dan aksi relatif banyak di Medan. Baik Forsolima maupun KSMM didasari pemahaman yang kurang lebih sama yaitu kekecewaan terhadap organisasi asalnya: Cipayung dan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi atas ketidakgelisahnya terhadap rezim otoritarian Orde Baru. Kaderisasi dalam pelaksanaannya, baik Forsolima maupun KSMM memiliki cara tersendiri. Diskusi, aksi demonstrasi maupun turun ke basis adalah tiga hal yang tidak pernah luput dari metode perekrutan kader yang diadakan. Tahun-tahun prareformasi sampai reformasi di Medan, Forsolima dan KSMM kerap mengambil bagian dalam aksi-aksi turun ke jalan. Penangkapan terhadap aktivis Forsolima dan KSMM adalah hal lain yang menjadi bagian dari sejarah keduanya dalam melakukan protes terhadap penguasa Orde Baru. Dengan demikian, kesimpulannya bahwa Kelompok Studi telah berkontribusi bagi gerakan mahasiswa di Medan dalam dasawarsa 1990.
PRAKATA
Ide penulisan skripsi ini terbetik di benak penulis, bermula dari suatu proses diskusi
setelah bergabung dengan Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS), sebuah organisasi
mahasiswa ekstrakampus. Dalam berproses di KDAS, ide menulis tentang gerakan
mahasiswa perlahan terus terbersit. Sebab melalui komunitas inilah pola pikir penulis secara
perlahan menyadari betapa pentingnya rasionalitas berpikir dalam memandang segala
sesuatunya. Dengan demikian, kesadaran diri sebagai manusia membentuk kegelisahan
dalam diri dalam kaitannya sebagai warga negara Indonesia.
Adapun pemahaman kecil mengenai gerakan mahasiswa ataupun gerakan rakyat
lainnya menumbuhkan semangat dan kedekatan emosional untuk menulis kajian ilmiah
pertama penulis. Kedekatan emosional tersebut telah mengarahkan sekaligus mempermudah
ide untuk membuat skripsi yang menceritakan sebuah masa lalu gerakan mahasiswa di
Medan.
Oleh sebab itu, kepada orangtua tercinta penulis, Sabar Siringoringo dan Rospita
Sitinjak yang telah lebih dulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, terima kasih telah menjadi
inspirasi dalam hidup penulis. Meskipun telah tiada, namun mengingat nama kedua orang tua
tercinta, semangat untuk menulis skripsi ini terasa lebih besar.
Sebagai bapak dan ibu “kecil”, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
Tunggul Siringoringo dan Rusmi Pakpahan. Bapak Uda dan Inang Uda ini telah
membesarkan dan membimbing penulis dalam berbagai kesulitan yang penulis hadapi.
jugalah penulis terinspirasi untuk tegar dalam memandang segala persoalan. Tanpa itu,
penulis tidak ada apa-apanya.
Skripsi ini tidak akan berwujud seperti sekarang tanpa bimbingan dan arahan bermutu
dari Dr. Budi Agustono selaku dosen pembimbing penulis. Selain itu juga, penulis
mengucapkan terima kasih kepada Ketua dan Sekretaris Departemen Sejarah FIB USU, Drs.
Edi Sumarno, M. Hum dan Dra. Nurhabsyah, M.Si. Saat waktu telah cukup lama dalam
pengerjaan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dra. Ratna, M.Si., atas
komunikasi yang telah terbangun akrab. Demikian juga kepada staf pengajar lainnya di
Departemen Sejarah serta kepada Bang Ampera Wira, terima kasih.
Ketika pasang-surut semangat dalam proses mengerjakan skripsi ini, penulis
dikuatkan oleh rekan-rekan sekampus, seperti Arenda Mehaga, Marco Limbong, Eri Arianto,
Jansarman Sinaga, Shinta Agnesia Silalahi, Eri Arianto, Erni Friska Nababan dll. Meskipun
rekan-rekan seangkatan sebagian telah menyelesaikan skripsinya, terima kasih atas
dukungannya yang tidak melupakan penulis dan rekan lainnya yang menyusul belakangan.
Terima kasih kepada Eko Tambunan di Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah (HIMIS) dan
Sere Murni di Kelompok Kecil Kebaktian Mahasiswa Kristen (KMK).
Untuk informan, penulis haturkan penghargaan kepada: Iswan Kaputra, Elfenda
Ananda, Mulana Samosir, Sahat Lumbanraja, Siswanto, Turunan Gulo, Diapari Marpaung,
Tohap Simamora, Rizal, dan Pdt. Nelson Siregar dan sebagainya yang tidak bisa disebutkan
satu per satu, atas diskusi dan kesediaan waktunya memberikan informasi yang menjadi
bahan baku dari “bangunan” skripsi ini.
Mimpi bersama di KDAS menyulut motivasi penulis untuk mewujudkan sebuah
rekan-rekan KDAS. Sebagai oposan permanen, tetaplah nyalakan obor veritas di
tengah-tengah masyarakat.
Akhirnya skripsi ini selesai dalam rentang waktu yang lewat dari ketentuan akademis.
Jika ketentuan akademis berlaku enam bulan, penulis malah menyelesaikannya dalam 12
bulan lebih. Hal ini bukan bermaksud gagah-gagahan. Sebaliknya, penulis merasa masih
terlalu singkat untuk mengerjakan suatu karya ilmiah yang bisa bermanfaat untuk banyak
orang. Biar bagaimanapun, skripsi ini tidak merupakan karya ilmiah yang objektif murni.
Kekurangan dan kelemahan masih banyak dalam isi skripsi ini. Penulis menyadari betul akan
hal tersebut.
KDAS Medan, Oktober 2013
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
PRAKATA ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vii
DAFTAR GAMBAR ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1Latar Belakang Masalah ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 10
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
1.4Tinjauan Pustaka ... 11
1.5Metode Penelitian ... 15
1.6 Pendekatan Teori ... 15
BAB II TERBENTUKNYA FORSOLIMA DAN KSMM ... 24
2.1 Munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat ... 24
2.2 Pengaruh Politik Lokal (Konflik HKBP dan Gerakan Buruh) ... 32
2.2.1 Konflik HKBP ... 32
2.2.2 Gerakan Buruh ... 34
2.3 Berdirinya Forsolima dan KSMM ... 37
2.4.1 Forsolima ... 37
2.4.2 KSMM ... 44
BAB III KADERISASI ... 51
3.1 Pendidikan Politik ... 51
3.3.1 Pelatihan Forsolima ... 53
3.3.2 Pendidikan Politik KSMM ... 55
3.2 Diskusi Rutin ... 59
3.3 Menyatu dengan Rakyat ... 61
BAB IV AKSI-AKSI FORSOLIMA DAN KSMM DALAM GERAKAN MENJELANG REFORMASI ... 63
4.1 Aksi-aksi Forsolima ... 65
4.1.2 Kudatuli 1996 ... 69
4.1.3 Krisis 1997 ... 70
4.1.4 Aksi 1998 ... 71
4.2 Aksi-aksi KSMM ... 73
4.2.1 Aksi 1996 ... 75
4.2.2 Krisis 1997 ... 77
4.2.3 Aksi 1998 ... 78
BAB V KESIMPULAN ... 88
DAFTAR PUSTAKA ... 84
DAFTAR INFORMAN ... 88
LAMPIRAN ... 90
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Pendidikan politik Forsolima ... 103
Gambar 2 Pendidikan politik Forsolima ... 103
Gambar 3 Pendidikan politik Forsolima ... 103
Gambar 4 Pendidikan politik KSMM ... 104
Gambar 5 Pendidikan politik KSMM ... 104
Gambar 6 Aksi mahasiswa 1 Mei 1998 ... 105
Gambar 7 Aksi mahasiswa 17 Mei 1998 ... 105
Gambar 8 Aksi mahasiswa 21 Mei 1998 ... 105
Gambar 9 Mahasiswa menuntut reformasi ... 106
Gambar 10 Mahasiswa menduduki DPRD SU ... 106
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 ... 91
Lampiran 2 ... 92
Lampiran 3 ... 93
Lampiran 4 ... 94
Lampiran 5 ... 95
Lampiran 6 ... 96
Lampiran 7 ... 97
Lampiran 8 ... 98
Lampiran 9 ... 99
Lampiran 10 ... 100
ABSTRAK
Judul: Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima) dan Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka (KSMM) 1990-1998: Studi Gerakan Mahasiswa di Medan
Kompleksnya sisi kelam demokrasi di Indonesia selama tiga dekade membuat mahasiswa tidak henti-hentinya melakukan kreasi melawan pemerintah otoriter Soeharto. Hilangnya gerakan mahasiswa di Medan sebagai dampak negatif dari pembredelan terhadap gerak kritis dan friksi internal di Kelompok Cipayung akhirnya menjadi stimulus munculnya Kelompok Studi. Skripsi ini bertujuan menjelaskan ruang lingkup Forsolima dan KSMM serta keterkaitan keduanya, sebagai KS, terhadap gerakan mahasiswa di Medan dalam kurun 1990-1998. Metode penelitian yang dilakukan adalah heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Forsolima dan KSMM terlahir sebagai respons terhadap sedikitnya gerakan mahasiswa dengan intensitas pemikiran dan aksi relatif banyak di Medan. Baik Forsolima maupun KSMM didasari pemahaman yang kurang lebih sama yaitu kekecewaan terhadap organisasi asalnya: Cipayung dan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi atas ketidakgelisahnya terhadap rezim otoritarian Orde Baru. Kaderisasi dalam pelaksanaannya, baik Forsolima maupun KSMM memiliki cara tersendiri. Diskusi, aksi demonstrasi maupun turun ke basis adalah tiga hal yang tidak pernah luput dari metode perekrutan kader yang diadakan. Tahun-tahun prareformasi sampai reformasi di Medan, Forsolima dan KSMM kerap mengambil bagian dalam aksi-aksi turun ke jalan. Penangkapan terhadap aktivis Forsolima dan KSMM adalah hal lain yang menjadi bagian dari sejarah keduanya dalam melakukan protes terhadap penguasa Orde Baru. Dengan demikian, kesimpulannya bahwa Kelompok Studi telah berkontribusi bagi gerakan mahasiswa di Medan dalam dasawarsa 1990.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Sejarah gerakan mahasiswa bermula sejak pembentukan nation-Indonesia yang
diletakkan pada awal abad XX. Lahirnya Politik Etis1
Pentingnya berorganisasi menandai cara berjuang yang efektif dan efisien. Oleh
karena itu, dampak positif pendidikan menumbuhkan bibit organisasi modern pada 1908, di
antaranya Boedi Oetomo (BO) dan Indische Vereeninging (IV).
menyebabkan perkembangan politik
terutama bagi kalangan berpendidikan. Mereka kala itu, baik di Belanda maupun di
Indonesia, berefleksi untuk memperjuangkan kemerdekaan. Dengan kata lain, arti penting
kesadaran akan hak kebebasan diperoleh melalui lembaga pendidikan pasca-Politik Etis.
2
1
Politik Etis lahir tahun 1900. Pada hakikatnya, hal itu merupakan sebuah kebijakan lunak Belanda guna menenangkan rakyat Indonesia terutama dari perhatian internasional. Jadi, bukan balas budi sebagaimana sering ditafsirkan orang. Paling tidak berbagai gelombang kecaman lahir terhadap stelsel Belanda yang dianggap sebagai akibat buruk liberalisme. Kecaman berasal dari golongan Kristen, liberal progresif, dan sosial demokrat. Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia (Jakarta: Kompas, 1995), hlm. 168.
Keduanya lahir di dua
tempat berbeda: Jawa (Hindia Belanda) dan Belanda. Kedua organisasi ini menjadi awal
dimulainya pergerakan kaum terpelajar Indonesia. pemerintah kolonial Belanda sendiri
belum mengganggap secara serius dampak yang akan ditimbulkan nantinya. Pembentukan
organisasi seiring berlakunya Politik Etis masih dianggap sejalan dengan tujuan Politik Etis
2
Boedi Oetomo didirikan oleh Sutomo bersama beberapa rekannya dari sekolah dokter Jawa, Stovia, sekolah guru, sekolah pertanian, dan kehewanan dan sekolah pamong praja. Berdiri pada 20 Mei 1908, Budi Utomo menjadi jelmaan awal kebersamaan dalam corak modern atau sekarang ini disebut berorganisasi. Selengkapnya lihat Dawam Rahardjo dalam Denny J.A. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an
(Yogyakarta: LKIS, 2006) hlm. xiii. Sedangkan Indische Vereeninging terbentuk pada 25 Oktober 1908.
itu sendiri, yaitu salah satunya, mendapatkan asisten dalam mengurusi bagian administrasi.
Perhitungan ini menguntungkan pihak kolonial sesuai perkembangan zaman sebab Belanda
cukup hanya mengawasi dan memberi komando yang mempermudah pekerjaan mereka.
Meskipun lembaga pendidikan masih diperuntukkan bagi anak bangsawan atau orang kaya,
kesempatan langka ini dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pemuda/pelajar Indonesia.
Periode 1920-an, sebagian dari mereka membentuk Kelompok Studi (selanjutnya
disingkat KS).3 KS adalah organisasi yang beranggotakan beberapa mahasiswa/pelajar
dengan kegiatan utamanya berdiskusi. Irene H. Gayatri mendefinisikan KS sebagai suatu
bentuk kegiatan sekelompok mahasiswa di luar kampus yang masih tetap mempertahankan
posisi mahasiswa sebagai pelaku utama dan sekaligus kelompok sasaran yang dituju, dengan
penekanan kepada intelektualisme, khususnya mengkaji masalah-masalah teoritis.4
Satu hal yang menarik dari KS adalah peranannya dalam proses membangun
kebangsaan sejak awal abad XX. KS, dengan semangat nasionalismenya, telah memberikan
pengaruh besar berwujud penolakan terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda.
Meskipun zaman silih berganti, pemikiran untuk membentuk KS memiliki alasan
yang sama, yaitu adanya kekuasaan yang melarang mahasiswa berkelompok atau
3
KS yang terbentuk, misalnya Kelompok Studi Indonesia (Indonesisce Studie-club) yang dibentuk pada 1924 di Surabaya. Di samping itu, berdiri Kelompok Studi Umum (Algemeen Studie-club) yang berdiri pada 1925. Adi Suryadi Cula, Patah Tumbuh Hilang Berganti: Sketsa Pergolakan Mahasiswa dalam Sejarah Politik Indonesia, 1990-1998 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 24.
4
Irene H. Gayatri, Arah Baru Gerakan Mahasiswa 1989-1993 dalam Muridan S. Widjojo, (et.al.),
berorganisasi.5 Kekuatiran terhadap kelompok mahasiswa oleh penguasa Orde Baru turut
memengaruhi KS hadir sebagai organisasi alternatif.6
Di awal Orde Baru, 1968, KS terbentuk setelah kelompok mahasiswa yang tergabung
dalam KAMI meredup.7 KS yang ketika itu dinamakan dengan Studi Grup,8
Studi Grup (SG) berkembang dari Bandung yang dipelopori oleh kelompok
Mahasiswa Indonesia.
berdiri sebagai
simbol kekecewaan terhadap mantan aktivis mahasiswa yang masuk parlemen sebagai wakil
rakyat.
9
SG era enam puluhan muncul sebagai bentuk kekecewaan terhadap sikap aktivis,
terutama bagi mereka yang terpilih menjadi anggota legislatif, yang meninggalkan idealisme
yang diusung saat menjatuhkan Soekarno. Dalam sikap politik mahasiswa yang acapkali Setelah KAMI melemah, SG kemudian muncul hingga ke berbagai
kota, misalnya Jakarta, Jogjakarta, Surabaya, Denpasar dan sebagainya.
5
Lahirnya KS pada 1930-an, era Soekarno muda, diakibatkan oleh tiga hal: pertama, pemuda tidak bisa menyesuaikan diri dan kecewa pada partai politik yang ada; kedua, KS bisa menjadi media alternatif ketika pemerintah represif; ketiga, tidak dibatasi sekat-sekat kedaerahan. Muhammad Umar Syadat Hasibuan, Revolusi Politik Kaum Muda (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 38.
6
KS dikatakan sebagai alternatif yang lahir karena ketidakmampuan organisasi mahasiswa formal di kampus untuk menyatakan ide-ide kritis mahasiswa agar terciptanya suatu perubahan sosial. Suharsih dan Ign Mahendra K., Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia
(Yogyakarta: Resist Book, 2007), hlm. 91.
7
Tertanggal 25 Oktober 1965, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) berdiri. KAMI dibentuk sebagai wadah penggalangan berbagai pandangan mahasiswa yang tampak beragam, namun memiliki keinginan bersama dalam memberikan koreksi bagi pemerintah Orde Lama. Selama dua tahun lebih, KAMI memiliki posisi tawar yang cukup besar terhadap konstelasi politik nasional. Satu di antaranya adalah aksi besar yang berlangsung sepanjang 1966 dan KAMI merupakan kesatuan mahasiswa yang turut menggalang aksi tersebut. Namun di akhir 1968, KAMI perlahan-lahan menghilang sejak adanya masalah wakil-wakil mahasiswa di DPR. Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, Cetakan I (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 12-15.
8
Studi Grup Mahasiswa Indonesia, Grup Diskusi Universitas Indonesia, Club Diskusi Kita, Kelompok Diskusi Generasi Muda adalah beberapa KS yang berdiri di penghujung 1960-an. Francois Raillon, ibid., hlm. 71-74.
9
menyedot perhatian, kali ini SG kelihatan tidak mampu berbicara banyak. SG tidak mampu
mengembalikan posisi tawar mahasiswa seperti halnya KAMI yang sanggup menyatukan
berbagai organisasi mahasiswa.
Peran SG tidak tampak jelas dalam dinamika politik yang kembali menggeliat sejak
memasuki tahun 1970. Sebaliknya aksi mahasiswa justru dilakukan oleh pimpinan organisasi
intrakampus, seperti Dewan Mahasiswa.
Masih di tahun yang sama, ternyata situasi politik semakin memanas. Hal ini ditandai
dengan retaknya, atau meminjam pernyataan Arif Budiman, sebagai kandasnya bulan madu
antara mahasiswa dan ABRI. Ditambah maraknya kasus korupsi seperti yang terjadi di tubuh
Permina (Pertamina) pimpinan Mayjend Ibnu Sutowo dan Bulog yang dipimpin oleh
Mayjend Ahmad Tirtosudiro. Sejak dari situasi yang tidak tenang inilah, mahasiswa mulai
kecewa terhadap rezim Soeharto.10
Sementara di sisi lain, mahasiswa mulai menyusun aksi protes atas perilaku pejabat,
korupsi yang merajalela, dan terutama terhadap kenaikan harga minyak tanah. Tidak hanya
sampai di situ, mahasiswa juga mulai menyoroti persoalan investasi asing yang tergolong
dalam IMF, World Bank, Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI) yang dipimpin J.P.
Pronk. “Namun terkait modal asing ini, kami lebih fokus kepada kedatangan Perdana Menteri
Jepang Kakuei Tanaka,” demikian menurut pimpinan Dewan Mahasiswa UI ketika itu.11
10
Imran Hasibuan, (et.al.), Hariman dan Malari: Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing (Jakarta: Q-Communication, 2011), hlm. 25.
Saat
itu dualisme investasi asing sedang bertarung: pro-investasi Amerika versus pro-investasi
Jepang. Jepang dipilih sebagai investor yang mendorong model perekonomian.
11
Manuver-manuver politik pun menjadi ramai dalam perbincangan media. Baik Ali
Murtopo maupun Soemitro sama-sama melakukan manuver politik antara lain dengan
mengundang mahasiswa berdialog. Ali Murtopo mendirikan Centre for Strategic and
International Studies (CSIS) dan membangun koalisi dengan kelompok keagamaan. Lain
Murtopo, Soemitro pun berkeliling kampus-kampus di Jawa, kecuali Universitas Indonesia.
Bahkan Soemitro berkunjung ke Pulau Buru dan berniat akan membebaskan para tahanan
politik.
Pemantik perseteruan kekuasaan antara dua pembantu presiden telah terpicu sebelum
meletusnya gerakan 1973/1974. Yaitu antara Ali Murtopo yang menjabat asisten pribadi
presiden (aspri) dan Jenderal Soemitro selaku Pangkopkamtib. Keduanya berseteru dalam
kapasitas posisinya masing-masing yang banyak menunjukkan drama keintelijenan. Drama
ini menggambarkan kerumitan dalam mencari posisi kekuasaan dan mencair sejak peristiwa
Malari.12
Puncaknya pertikaian berujung pada Lima Belas Januari (Malari) 1974. Huru-hara
ketika itu terjadi setelah kedatangan PM Jepang Tanaka. Mahasiswa berdemonstrasi di jalan
dengan rute dari Salemba Universitas Indonesia dan berakhir di Universitas Trisakti, Grogol.
Di Grogol mereka membakar patung bergambar Ali Murtopo, Sudjono Hoemardani, dan
Tanaka. Akhirnya peristiwa 1974 ditutup dengan berbagai penangkapan terhadap aktivis
mahasiswa.
12
Empat tahun kemudian, gerakan mahasiswa kembali bersuara. Waktu itu kondisi
ekonomi mengalami disparitas yang mencolok dengan perbedaan pendapatan yang tidak
seimbang. Statistik mengungkapkan bahwa 40% penduduk miskin menguasai kekayaan
nasional hanya 15%. Sementara itu 40% penduduk menengah memegang kekayaan nasional
sebesar 40%. Namun ironinya, hanya 20% penduduk lapisan atas justru menguasai 45%
kekuasaan negara. Hal ini menyebabkan mahasiswa menilai bahwa pemerintah telah gagal
dan berbohong atas janjinya memperbaiki distribusi kesempatan dan hasil pembangunan.13
Gerakan mahasiswa muncul mengkritisi persoalan di atas. Keprihatinan ditunjukkan
dengan menggelar protes seperti menggelar spanduk yang berisi tuntutan menguak isu
penolakan terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden untuk yang ketiga
kalinya. Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) menerbitkan Buku Putih Perjuangan
Mahasiswa 1978. Buku ini berisi protes dan mencerca pemerintah terkait korupsi yang
meluas, kebijakan ekonomi yang akrab hanya memperkaya diri sendiri, dan hilangnya
komunikasi dengan rakyat.14
Akan tetapi pemilihan umum tahun 1976 tetap membawa Soeharto menuju
singgasana RI-1. Sesuai dengan penolakan sebelumnya, mahasiswa kembali memprotes hasil
pemilihan tersebut. Mereka tidak mengakui Soeharto sebagai presiden terpilih. Di sini
mereka menolak tegas dengan berunjuk rasa hingga ke depan istana negara. Mereka
menyatukan diri dari pelbagai Dewan Mahasiswa dan menghindari afiliasi dengan faksi elite.
Dengan demikian, mereka melakukan aksi demonstrasi di mana tuntutan diarahkan kepada
Presiden Soeharto, bukan pembantu-pembantunya sehingga dianggap melawan hukum.
13
Suharsih, op.cit., hlm. 84.
14
Praduga ini kemudian direalisasikan melalui Staf Komando Soedomo yang
menyatakan bahwa mahasiswa telah melawan hukum dan melanggar konstitusi. Hal ini
diperjelas lagi ketika kedatangan mahasiswa ke MPR pada 07 Januari 1978 yang dianggap
sebagai pelecehan terhadap lembaga tertinggi di Indonesia.
Menanggapi aksi protes mahasiswa, Presiden Soeharto angkat bicara. Ia menyatakan
bahwa demonstrasi sah-sah saja asalkan sesuai dengan fakta dan kebenaran. Sebab jika unjuk
rasa dilakukan dengan tidak benar apalagi tanpa fakta yang tepat, maka bisa membahayakan
Pancasila dan melanggar konstitusi. Oleh karena itu, beliau berharap agar mahasiswa
hati-hati dalam mempergunakan hak kebebasannya.
Meskipun pidato tersebut menyerupai himbauan, namun melalui pidato inilah keluar
kebijakan untuk membubarkan lembaga resmi mahasiswa seperti Dewan Mahasiswa. Dengan
demikian, lahirlah SK Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)
21 Januari 1978 tentang pembubaran Dewan Mahasiswa semua universitas dan pendudukan
kampus oleh militer. Tidak hanya itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga
mengeluarkan instruksi nomor 1/U/1978 dan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor
037/U/1979. Sejak saat itu, mahasiswa hanya diperbolehkan berkegiatan seputar
kesejahteraan, rekreasi, dan persoalan akademik.
Pemerintah melalui Panglima Kopkamtib Sudomo (Militer) dan Daoed Joesoef
(Mendikbud) mengeluarkan kebijakan baru tentang aktivitas mahasiswa yang dipandang
normalisasi kehidupan kampus (NKK) yang digunakan sebagai alat untuk mendepolitisasi
kampus.15
Selain itu, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi juga mengeluarkan instruksi nomor
002/DK/Inst/1978 yang menempatkan semua aktivitas mahasiswa berada di bawah kendali
Pembantu Rektor III dan Pembantu Dekan III di setiap fakultas. Kebijakan ini bermuara bagi
adanya koordinasi kampus demi menjalankan normalisasi politik kampus seperti diharapkan
pemerintah. Dengan demikian, pada 24 Februari 1979, Mendikbud mengeluarkan SK nomor
037/U/1979 tentang susunan lembaga/organisasi kemahasiswaan lingkungan Perguruan
Tinggi Departemen P dan K. Wujudnya adalah di setiap Perguruan Tinggi dibentuk badan
koordinasi kemahasiswaan (BKK) sebagai badan non-struktural yang membantu rektor untuk
merencanakan kegiatan mahasiswa. Sesuai peraturan tersebut, kampus berbenah untuk tidak
berdiskusi seputar tema politik yang cenderung dianggap menjadi akar perlawanan
mahasiswa.
Pertengahan 1980-an, setelah legislasi pemagaran ditetapkan, KS16 hadir sebagai
respons terhadap kebijakan baru pemerintah yang mengekang mahasiswa berpolitik praktis.
Dengan mengangkat isu-isu lokal,17
15
Gerakan mahasiswa sejak 1974 sampai 1978 direspons oleh pemerintah Orde Baru dengan cara-cara represif dan militeristik. Tindakan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Pangkopkamtib No. SKEP.02.KOPKAM/1978 tentang pembekuan Dewan Mahasiswa diikuti dengan keputusan Menteri P & K, Dr. Daoed Joesoef, No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Muchtar E. Harahap dan Adris Basril, Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia (Jakarta: Network for South East Asian Studies, 2000), hlm. 55. Lihat juga Adi Suryadi Cula, op.cit., hlm. 118-120.
mereka mencoba untuk membangkitkan semangat kritis
16
Pembungkaman pemerintah terhadap kampus-kampus dalam 1980-an memunculkan format baru gerakan mahasiswa. Beberapa KS yang lahir ketika itu, di antaranya Kelompok Diskusi Nommensen (KDN), Kelompok Studi Mahasiswa Hukum (KSMH), Kelompok Kerja Studi Perkotaan, Forum Komunikasi Nommensen.
17
dan daya juang mahasiswa yang berlangsung hingga dekade berikutnya.18
Perbedaan yang dapat dilihat terhadap gerakan mahasiswa era 1980-an adalah dalam
bentuk aksi yang mereka lakukan. Jika pada periode 1966, 1974, dan 1978, gerakan
mahasiswa akrab dengan aksi massa, turun ke jalan dan dalam kurun waktu yang cukup
lama, maka gerakan mahasiswa 1980-an justru bergerak dalam aksi informasi seperti melalui
pers mahasiswa, membagikan selebaran, dan melakukan penyadaran. Aksi informasi tentu
tidak membutuhkan massa sampai ratusan bahkan ribuan orang.
Gerakan dalam era
ini secara kasat mata berbeda dengan gerakan periode sebelumnya.
19
Jika gerakan mahasiswa sebelum 1980 selalu menonjolkan isu-isu nasional, maka isu
lokal menggantikannya sebagai bentuk perlawanan baru dengan pertimbangan ketidaksiapan
mendobrak pusat kekuasaan. Pergeseran isu dari nasional ke lokal merupakan keunikan
tersendiri dari gerakan mahasiswa. Jika menelaah gaya hidup mahasiswa, maka tampaklah
betapa mereka jarang memberi waktu untuk memperhatikan kehidupan masyarakat kelas
bawah seperti petani, buruh dan sebagainya. Namun, para aktivis mahasiswa 1980-an
membuktikan kalau mereka juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kaum tani,
buruh, nelayan ataupun kaum miskin kota.
Pada masa ini mahasiswa memiliki kesempatan luas mempelajari berbagai literatur
dan juga membantu advokasi kasus-kasus rakyat. Itulah yang mereka lakukan selama
tanah di Tapanuli Utara yang dirampas oleh PT. Inti Indorayon Utama (IIU) atau kini berganti nama menjadi PT. Toba Pulp Lestari dengan lokasi pabrik terletak di Sosor Ladang, Porsea, Toba Samosir. Selain itu terdapat juga Sei Belumai, Sei Lepan di Sumatera Utara. Lihat Dimpos Manalu, Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik: Studi Kasus Gerakan Perlawanan Masyarakat Batak vs PT. Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009).
18
Syadat Hasibuan, op.cit., hlm. 69.
19
tindakan pemerintah masih mengekang aktivitas politik mahasiswa. Hilangnya peranan
negara dalam mensejahterakan rakyat mengakibatkan munculnya ketimpangan sosial atau
ketidakadilan.20
Selanjutnya di era 1990-an sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia meninggalkan
catatan yang panjang. Berlarutnya sterilisasi politik kampus dari kepekaan terhadap
sosial-politik akhirnya membawa dampak pada organisasi mahasiswa ekstra-kampus. Organisasi
ekstra-kampus, salah satunya KS, pada era ini adalah sebentuk bandul baru dalam
membangun gerakan mahasiswa.
Berbicara mengenai gerakan mahasiswa di Indonesia, tentu tidak dapat dipisahkan
dari faktor-faktor khusus yang mendukungnya. Betapapun gerakan mahasiswa berperan dan
ikut dalam setiap perubahan politik, umumnya diperankan oleh organisasi mahasiswa.
Skripsi ini membahas tentang dua organisasi mahasiswa di Medan, yaitu Forum
Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima) dan Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka
(KSMM) dalam kurun 1990-1998. Dalam konteks menjelang reformasi, kapasitas KS
merupakan satu bagian yang mendapat perhatian. Hal ini disebabkan oleh KS menjadi
inspirasi gerakan mahasiswa waktu itu.
20
1.2Rumusan Masalah
Rumusan masalah skripsi ini terdiri atas:
a) Bagaimana latar belakang, kelahiran dan bentuk kaderisasi Forsolima dan
KSMM?
b) Bagaimana aktivitas Forsolima dan KSMM dalam aksi pra-reformasi di Medan.
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah menjelaskan ruang lingkup Forsolima dan
KSMM serta keterkaitan keduanya, sebagai KS, terhadap gerakan mahasiswa di Medan
dalam kurun waktu 1990-1998.
Adapun manfaat yang diharapkan dari skripsi ini:
a) Menambah perbendaharaan atau melengkapi sejarah gerakan sosial di Medan.
b) Sebagai pengayaan tentang perjalanan gerakan mahasiswa di Medan.
1.4Tinjauan Pustaka
Dalam kajian gerakan mahasiswa 1990-an, Gunawan21
21
FX Rudi Gunawan (et.al.), Menyulut Lahan Kering Perlawanan Gerakan Mahasiswa: Tribute to Andi Munajat (Jakarta: Penerbit Spasi & VHR Book bekerja sama dengan Friedrich Ebert Stiftung, 2009).
mendeskripsikan mereka
sebagai “semak kering yang mudah dibakar.” Refleksi atas kondisi sosial politik, dan
ekonomi pada masa Orde Baru menjadi dasar utama hadirnya gerakan mahasiswa yang lebih
kritis. Gerakan mahasiswa 1990-an itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari pergerakan periode
sebelumnya. Seperti telah disinggung di atas, gerakan mahasiswa pasca-kebijakan yang
rakyat. Misalnya, kasus Kedung Ombo di mana KS turun ke basis membantu petani untuk
melawan perampas tanah.
Gunawan juga memperbincangkan pertumbuhan awal gerakan mahasiswa dasawarsa
itu dari KS hingga forum-forum mahasiswa lintas kota. Selain itu, turut ikut terlibat adalah
Persatuan Rakyat Demokratik (PRD).22
Karya lain, Daniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam
Negara Orde Baru menjelaskan dengan panjang lebar dan terperinci, turut membantu bagi
penulisan skripsi ini.23
Dhakidae membahas wacana intelektualitas dalam interval Orde Baru. Di mana
sepanjang tiga dasawarsa tersebut, Dhakidae mengkaji kedudukan kaum cendekiawan yang
masih secuil dari segudang persoalan kecendekiaan yang tidak maksimal dan tepat sasaran
selama masa pembangunan. Bahkan kelompok cendekiawan dikatakan memiliki kepentingan
politis yang terlalu bercampur-baur dengan kegiatan akademis-ilmiah murni. Dengan kata
lain, kaum cendekia tidak bisa lepas dari intervensi politis dalam lingkungan kekuasaan Orde
Baru.
Diterbitkannya kebijakan yang ditujukan untuk mempersempit peran politik
mahasiswa merupakan salah satu buah dari miringnya tugas kaum cendekiawan di Indonesia.
Lingkungan kekuasaan yang teknokratis oleh Dhakidae disebut menjadi salah kaprah dalam
22
PRD merupakan salah satu kelompok yang sifatnya lintas kota dan ditujukan untuk menampung aktivis-aktivis yang dianggap radikal. Persatuan Rakyat Demokratik dibentuk pada 02 Mei 1994 di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Jakarta bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Ketua Umum PRD terpilih adalah Sugeng Bahagijo, mahasiswa filsafat UGM didampingi Tumpak Sitorus, mahasiswa Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) Jakarta Selatan sebagai Sekretaris Jenderal. (Tabloid MomenT, No. 04/Tahun I/1994)
23
kapasitas seorang Mendikbud sebagai cendekiawan. Mahasiswa justru disuruh hanya
memenuhi pekerjaan belajar dan tidak perlu mencampuri urusan politik. Padahal mahasiswa
adalah bagian dari kelompok cendekiawan yang tidak sedikit menyumbang ilmu pengetahuan
dan juga semangat mudanya yang menjadi penerus dalam menahkodai bangsa Indonesia.
Tomagola memerinci Cendekiawan dan Kekuasaan sebagai berikut:
“Dengan memanfaatkan, baik kerangka pikiran maupun cara pendekatan Foucaultian yang
sangat menekankan pentingnya peneropongan realitas sebagai sesuatu yang terus bergerak dalam suatu
proses relasional yang dialektis, Dhakidae menggeledah-periksa ruang bawah tanah dan loteng penuh
laba-laba di mana bertebaran dokumen-dokumen tentang cengkeraman kuku rezim Orde Baru dan
kiprah-geliat perlawanan para cendekiawannya.”24
Kajian lain yang memberikan deskripsi mengenai mahasiswa adalah Patah Tumbuh
Hilang Berganti: Sketsa Pergolakan Mahasiswa dalam Politik Sejarah Indonesia
(1990-1998).25
Kajian berikutnya yang membahas tentang KS adalah karya Denny J.A., mantan
aktivis mahasiswa. Ia mengatakan bahwa akurasi pergerakan dengan sasaran patutnya Buku ini menguraikan proses gerakan mahasiswa di Indonesia sejak
pra-kemerdekaan hingga reformasi 1998. Isinya merunut gerakan-gerakan mahasiswa yang telah
terjadi di tiap zamannya. Sebagaimana judulnya, gerakan mahasiswa diurutkan bagai anak
tangga dengan catatan-catatan peristiwanya. Demikianlah secara ringkas buku ini
merekapitulasi perjalanan gerakan mahasiswa yang berimplikasi langsung terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara.
24
Tamrin Amal Tomagola, Republik Kapling (Yogyakarta: Resist Book, 2006), hlm. 170.
25
dikonsentrasikan agar dalam pergerakan mahasiswa memiliki tendensi yang
dinanti-nantikan.26
Selain itu ada karya Muchtar E. Harahap dan Andrias Basril dalam Gerakan
Mahasiswa dalam Politik Indonesia.
Buku ini menjelaskan refleksi terhadap gerakan mahasiswa yang telah
berkali-kali terjun menyuarakan aspirasinya, namun acapberkali-kali tidak menemukan hasil memuaskan.
Kemudian di dalam buku ini juga diuraikan bagaimana refleksi terhadap perkembangan
gerakan mahasiswa yang selanjutnya melahirkan KS. KS dalam dinamikanya juga
mengalami pro dan kontra sebagai wadah yang tepat dalam memompa kekritisan mahasiswa.
Singkatnya, maju-mundurnya politik kaum muda dalam era KS merupakan fokus yang
menarik untuk dikaji.
27
Dalam perspektif lain, Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan Mahasiswa dan
Perubahan Sosial di Indonesia karangan Suharsih dan Ign Mahendra K. memuat deskripsi
untuk memenuhi ruang teori dalam memandang skripsi ini.
Buku ini menjelaskan tentang sikap mahasiswa yang
militan, progresif, dan posisi politik (bargaining) yang kuat. Mahasiswa disebut sebagai
gerakan oposan paling mungkin dan ideal. Tetapi sehubungan dengan hal itu, buku ini
menekankan bahwa gerakan mahasiswa bukanlah faktor utama, melainkan salah satu faktor
dalam gerakan sosial menentang pemerintah, termasuk pada rezim Soeharto. Di samping itu,
Harahap dan Basril juga memberi analisis terhadap politik mahasiswa dan sebab-sebab
kemunculan aksi-aksi politik dan serangkaian teori. Terkait aksi, dijelaskan secara periode
per periode.
28
26
Denny J. A., loc.cit.
Isinya memuat analisis seputar
27
Muchtar E. Harahap dan Adris Basril, loc.cit.
28
resistensi mahasiswa terhadap sikap dan kebijakan rezim neo-liberal yang didukung oleh
penguasa-penguasa dalam negeri. Hal ini juga mengungkapkan bahwa perjuangan mahasiswa
harus terus digelorakan dengan banyak bercermin dari sejarah. Gerakan mahasiswa
diharapkan dapat lebih kritis, bermutu, kuat, dan agar lebih cepat mencapai cita-citanya:
memperjuangkan kepentingan rakyat. Memperjuangkan rakyat merdeka sepenuhnya tanpa
harus dijajah kekuatan asing, sehingga mendongkel impian seluruh anak bangsa.
Karya lain adalah Kisah Perjuangan Reformasi oleh Selo Soemardjan (ed.) yang
merupakan kumpulan tulisan dari para akademisi tentang kajian sosiologi dan ekonomi.
Kajian yang sedikit-banyak membantu menjelaskan peristiwa reformasi 1998 di Indonesia
serta menguraikan sebab-sebab munculnya aksi-aksi politik yang berujung pada reformasi
secara nasional.29
Buku lain yang mengkaji tentang pergerakan mahasiswa adalah Radikalisme Kaum
Pinggiran: Studi tentang Ideologi, Isu, Strategi dan Dampak Gerakan.30 Karya ini
menuturkan bahwa gerakan mahasiswa yang terjadi di Medan tergolong lambat, terbukti dari
masih banyaknya kelompok mahasiswa yang konsisten dengan peraturan kampus. Di sinilah
dapat digolongkan beberapa jenis mahasiswa mulai dari yang apatis hingga yang kritis.
Penggolongan tersebut tidak dijabarkan dalam skripsi ini karena sudah cukup jelas betapa
gerakan mahasiswa masih terlihat belum berani keluar dari zona nyaman mereka.
29
Selo Soemardjan (ed.), Kisah Perjuangan Reformasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999).
30
1.5Metode Penelitian
Dalam penelitian sejarah terdapat empat tahapan sebagaimana disebut Kuntowijoyo,31
Dalam kajian ini juga dilakukan wawancara. Dalam hal penelitian, wawancara
merupakan salah satu bentuk implementasi penelitian yang sangat penting. Setelah
pengumpulan data, maka dilanjutkan dengan kritik ekstern dan kritik intern. Langkah
berikutnya adalah membuat interpretasi atau penafsiran berdasarkan data dan fakta
se-objektif mungkin. Terakhir, melakukan eksplanasi peristiwa secara kronologis dan sistematis
dalam historiografi.
yaitu heuristik, verifikasi, kritik sumber, dan terakhir historiografi atau tahap penulisan.
Tahap pertama adalah yang paling penting karena bergelut dengan data dan fakta atau
sumber, sebab sumberlah yang berbicara dalam penelitian sejarah yang apa adanya.
Selebihnya, penambahan oleh penulis sebagai eksplanasi agar data dan fakta itu tidak
tercerabut, melainkan terjalin utuh. Sehubungan dengan hal itu, studi pustaka diperlukan
dengan mempergunakan buku-buku dan dokumen. Studi kepustakaan juga dilakukan untuk
mengumpulkan studi-studi lain yang sedikit banyak membahas tema yang sama sebagai
bahan perbandingan.
32
1.6Pendekatan Teori
Gerakan mahasiswa berhubungan langsung dengan kondisi sosial-politik yang terjadi
di masyarakat. Kondisi sosial-politik masyarakat di bawah dominasi politik Orde Baru
melahirkan kemiskinan dan kebodohan. Ekspresi demokrasi yang hampa telah membuat
kualitas kesejahteraan rakyat jauh dari harapan. Di samping itu, kenyataan bahwa selama 30
31
Lihat Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 1993).
32
tahun lebih masyarakat Indonesia hidup di bawah represifnya Orde Baru berdampak bagi
psikologi masyarakat yang tidak mampu melakukan usaha atau inovasi.
Selama Orde Baru berkuasa, bangsa Indonesia tenggelam dalam pusaran politik
kekuasaan otoriter dan manipulatif. Bangsa ini dibuai dengan konsep kapitalis yang lebih
menekankan modal daripada melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan
demikian, kondisi sosial sulit dapat dikatakan berpihak kepada rakyat sekalipun sering
disebut sebagai masa pembangunan. Kesan pembangunan yang dikumandangkan tidak
berbanding lurus terhadap kehidupan rakyat yang larut dalam kemiskinan.
Berangkat dari situasi sosial, ekonomi, dan politik yang melandasi kekecewaan
masyarakat menjadi fokus dalam pendekatan teori. Dalam kaitan tersebut, pengalaman
kesulitan di atas pada akhirnya akan menciptakan kesadaran masyarakat. Sehubungan dengan
itu, penulis juga mengaitkannya dengan teori gerakan sosial. Pendapat Marx bahwa
kesadaran dipengaruhi oleh keadaan sosial di sekitarnya, misalnya tampak seperti berikut:
“Menurut Marx, kesadaran itu berakar pada praxis manusia yang pada gilirannya bersifat
sosial. Inilah pengertian dari bukan kesadaran yang menentukan eksistensi orang, tetapi
sebaliknya kehidupan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka.”33
Kesadaran sosial akan menjadi kekuatan bagi masyarakat untuk meretas kehidupan
sehari-hari mereka demi melepaskan diri dari kondisi sosial lama. Oleh karena itu, satu hal
yang menjadi analisis dalam keterkaitan itu adalah pentingnya gerakan sosial. Lebih lanjut
33
gerakan sosial menurut Giddens adalah suatu keberanian untuk berusaha menstabilkan suatu
tata kehidupan yang baru.
Agar pemahaman tidak meluas, maka perlu kiranya definisi gerakan sosial dibahas
supaya dapat menjadi acuan dalam pembahasan berikutnya. Ada berbagai macam defenisi
yang menguraikan tentang gerakan sosial, misalnya Singh dan Wilson.34
Gerakan sosial kerap dipandang sebagai simbol protes yang dilancarkan masyarakat
terhadap struktur-struktur sosial pemerintah yang jarang merealisasikan kehendak rakyat.
Oleh karena itu, gerakan sosial secara umum dilancarkan oleh masyarakat termasuk
mahasiswa agar tercipta suatu perubahan sosial dan juga politik dengan dukungan dari
masyarakat di luar struktur politik formal. Dari sini dapat disimpulkan bahwa gerakan
mahasiswa merupakan bagian dari gerakan sosial.
Keduanya memiliki
tendensi terhadap peletakan perubahan setelah mengusir ketidakpuasan. Hal ini merupakan
siklus yang saling melengkapi, namun kurang padu apabila digeneralisasikan.
Kecenderungan kembalinya kekuasaan yang mengacaukan perjuangan panjang menjadi satu
hal yang harus diwaspadai. Akan tetapi, pandangan Wilson tentu mendapat tempat lebih luas
sebab menurutnya gerakan sosial tidak ditujukan untuk memperoleh posisi-posisi kekuasaan.
Akan tetapi, secara spesifik ditujukan sebagai tawar-menawar agar pembuat keputusan
terpengaruh dan memihak mereka. Jadi, gerakan sosial adalah jalan menuju sebuah
perubahan.
34
Munculnya gerakan sosial tidak terlepas dari situasi sosial yang permanen di
masyarakat. Mereka akrab menerima perlakuan tidak adil; campur tangan pemerintah hanya
sekadar penampakan muka; ketidaksetaraan akibat dari pembangunan yang meminggirkan
masyarakat. Konsep ini kerap dikenal dalam bidang ilmu sosial di mana Rajendra Singh
sebagai tokoh yang turut ambil andil dalam teori sosial.
Dalam teori gerakan sosial terdapat tiga kecenderungan sebagaimana pembagian yang
diletakkan Ron E. Robert dan Robert Marsh Kloss: industrialisasi, birokratisasi, dan
imperialisasi.35
Kecenderungan sosial terhadap birokratisasi memunculkan konflik di tengah-tengah
masyarakat akibat alienasi, kontrol masyarakat yang hierarkis, serta tidak sesuainya praktik
kerja lembaga masyarakat dengan kapasitasnya. Kecenderungan ini memunculkan gerakan
mahasiswa yang anti-birokrasi di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Secara
umum gerakan sosial dipicu oleh kekecewaan terhadap sebuah sistem politik suatu negara.
Akibat ketidakpuasan ini lahirlah titik-titik api penyulut perlawanan. Sementara itu, Dimpos
Manalu dalam studi kasusnya menyebutkan juga selain karena desakan kekecewaan, desakan
legalitas, bahkan melalui institusi formal, gerakan sosial juga terlahir sebagai akibat dari
gerakan rakyat yang didukung secara luas.
Setiap kecenderungan tersebut memiliki alasan dan varian yang berbeda.
Gerakan sosial yang berbeda satu sama lain dapat dibaca sesuai dengan teori yang disebut
Robert dan Kloss. Dalam pada itu, pembahasan hanya difokuskan terhadap kecenderungan
birokratisasi.
36
35
Seta Basri dalam
Dalam konteks Indonesia, gerakan sosial dipicu
36
oleh masifnya tindakan dan kebijakan represif dari pemerintah. Selain itu, terdapat juga
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), ketimpangan sosial dan ketidakpastian hukum serta
militerisme.
Gerakan sosial di Indonesia merupakan gerakan pro-demokrasi yang
dikumandangkan demi menegasi cengkeraman militeristik Orde Baru. 37
Manalu menulis bahwa Gerakan Sosial Baru (GSB)
Konfrontasi itu
dibangun secara multiorganisasional seperti gerakan mahasiswa, gerakan perempuan dan
lembaga swadaya masyarakat. Mereka pun melakukan aksi nyata seperti unjuk rasa ke jalan,
selebaran gelap, boikot, penerbitan pers alternatif, aksi teatrikal dan seterusnya merupakan
tindakan kolektif yang dilandasi kesadaran bersama setiap elemen. Dalam hal gerakan sosial,
di sini difokuskan kepada sub-gerakan sosial yang juga tidak kalah daya dobraknya terhadap
kekuasaan suatu rezim, yakni mahasiswa.
38
37
Seta Basri dalam
menjadi penghubung antara
gerakan mahasiswa dengan gerakan sosial. Keterkaitan keduanya, terutama sekali terlihat
sejak 1968 dalam gerakan reformasi yang terjadi di Perancis dan Berlin serta Italia (1969)
yang dipelopori oleh mahasiswa.
38
Tentang gerakan di era 1960-an ditandai dengan Perang Dingin. Perang Dingin yang
melambangkan perseteruan antara komunis melawan kapitalis sedikit banyak memengaruhi
peta perpolitikan dunia. Salah satu akibat Perang Dingin antara Amerika Serikat dengan
sekutunya dan Uni Soviet dengan sekutunya adalah pecahnya perang Vietnam. Vietnam
sebagai salah satu basis komunis diserang oleh Amerika, namun perang ini dimenangkan
Vietnam. Perang ini menjadi sejarah baru dalam perpolitikan dunia dalam logika kekuasaan
negara adidaya.
Sementara itu pendulum global pada dasawarsa 1980 bergerak ke Kanan.39 Hal ini
ditandai dengan rubuhnya Sosialisme di Eropa Timur dan runtuhnya totalitarianisme
Komunis di Cina. Melihat fenomena ini, tesis Francis Fukuyama seolah menemui
kebenarannya yang mengatakan, “Kapitalisme merupakan akhir dari sejarah umat manusia.”
Ia berpendapat bahwa Sosialis maupun Komunis telah berakhir dan sulit menandingi
kapitalisme.40
Pada 1989, peristiwa di Cina mengejutkan dunia dengan memaksa demonstran damai
tunduk di bawah desingan bayonet. Peristiwa Tiananmen tersebut membunuh ratusan
39
Terminologi “Kanan” dan juga “Kiri” berawal dari rapat parlemen pasca-Revolusi Perancis abad ke-18. Dalam rapat paripurna yang digelar ketika itu terdiri dari tiga kelompok yang duduk dengan perspektif yang berbeda satu sama lain. Kelompok pertama yang pro-ideologi konservatif dan liberal bersila di sebelah kanan pemimpin sidang dan kelompok yang kontra duduk di barisan sebelah kiri. Sedangkan kelompok terakhir duduk di tengah atau tidak memihak, netral. Kelompok yang terakhir ini disebut juga sebagai kaum yang demokrat. Sejak itulah terminologi Kiri/Kanan masuk ke dalam leksikon politik. Pendukung Kanan yang berciri demokrasi liberal adalah Amerika Serikat sebagaimana berikutnya pada dasawarsa 1990, Presiden AS, Ronald Reagen dan Perdana Menteri Inggris Margaret Tatcher kemudian membawa kelompok konservatif menjadi satu-satunya ideologi yang dianggap oleh Barat sebagai yang lebih baik. Hal ini juga dijabarkan Francis Fukuyama. Sementara untuk terminologi Kiri, sejak Revolusi Perancis lebih ditujukan sebagai kelompok oposisi, bukan komunisme sebagaimana dua abad kemudian pasca Revolusi Perancis. Kiri akrab dikaitkan dengan ideologi Komunis. Kasijanto Sastrodinomo, Kiri (Juga Kanan) dalam Majalah Tempo, 30 Mei 2011.
40
demonstran, kemudian ratusan lainnya juga ditangkapi bahkan sampai ada yang melarikan
diri meminta suaka ke luar negeri.
Akhir sejarah yang dimaksud muncul dari pengamatan terhadap pelbagai sistem
ideologi yang dimiliki berbagai negara khususnya negara-negara kuat pasca-perang.
Meskipun demikian, Fukuyama menegaskan bahwa bukanlah perang yang akan berakhir,
melainkan pemahaman sejarah sebagai proses tunggal, bersifat evolusioner, koheren, serta
memperhitungkan pengalaman manusia dari setiap zaman. Negara-negara totaliarianisme
seperti Jerman maupun Uni Sovyet telah gagal mempertahankan kekuasaannya. Dampaknya
yang terus berkembang hingga Perang Dunia Kedua berakhir adalah munculnya
negara-negara demokrasi sebagai tuntutan dari tidak tahannya masyarakat terus-menerus berada di
bawah kekuasaan totaliter. Hal ini berbeda dengan gaya otoriter tradisional. Munculnya
demokrasi liberal yang marak di beberapa negara seperti pecahan-pecahan Uni Sovyet
membuat Fukuyama menarik tesis bahwa sistem fasis, totaliter sudah tidak terpakai lagi
dalam sejarah masa depan umat manusia.
Pendapatnya yang kuat bahwa sejak runtuhnya Uni Sovyet pada 1991 dan ambruknya
Tembok Berlin adalah dua hal yang menjadi data sahih dari sekian banyak lagi pasca-Perang
Dingin yang merepresentasikan secara akurat kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal
di seluruh penjuru dunia.41
41
Francis Fukuyama, loc.cit.
Runtuhnya Uni Sovyet menimbulkan beberapa dampak terhadap
situasi global: berakhirnya Perang Dingin; berkurangnya kecemasan dunia terhadap
demokrasi; Amerika Serikat bertengger sendirian sebagai negara adidaya; serta tumbangnya
komunisme di beberapa negara Eropa Timur.
Dengan bergeraknya pendulum global ke Kanan, ideologi Kiri42
Gerakan sosial yang berkembang pun seolah didukung penganut kapitalisme itu
sendiri dengan mengangkat tema-tema berupa feminisme, lingkungan dan HAM. Amerika
Serikat yang menjadi sentral Kanan turut menggalakkan teori gerakan sosial tersebut.
Indonesia yang menjalin hubungan erat dengan Amerika di bawah Soeharto terpaksa menurut
kepada perintah Amerika Serikat mengenai penggunaan teori baru tersebut.
seperti kata Marx
seakan menggali kuburnya sendiri. Dengan demikian tesis Fukuyama menjadi bulan-bulanan
perbincangan politik dunia yang seolah lebih dipercaya. Di sinilah teori kapitalisme yang
dianggap telah menang kemudian didesain menjadi ideologi global.
Sebagai negara yang membutuhkan donor, terutama dari Amerika Serikat, Indonesia
mulai menerapkan kebijakan yang lebih lunak, disesuaikan dengan isu HAM. Bahkan
Indonesia diminta untuk mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM.
Pada kesempatan ini, di Indonesia mulai terjadi perubahan politik di tingkat elite. Era
keterbukaan mulai didengungkan yang ditandai dengan banyaknya bermunculan Lembaga
Swadaya Masyarakat, aksi gerakan mahasiswa maupun masyarakat yang menunjukkan
42
ketidakpuasannya terhadap pemerintahan Orde Baru. Bahkan di tubuh militer sendiri mulai
terjadi perpecahan.
Berkaca terhadap negeri sendiri, Soeharto, diyakini akan mengalami kehancuran tidak
berapa lama lagi. Terkait pengaruh, justru gerakan buruh di Indonesia semakin menguat.
Misalnya, munculnya Wiji Thukul dengan sajaknya yang dianggap begitu membahayakan:
“Hanya ada satu kata: Lawan!”43
Inilah wacana baru yang bahkan menjadi awal koreksi tanpa henti terhadap kekuasaan
Orde Baru. Gerakan di Indonesia terutama pejuang demokrasi seperti mahasiswa bahkan
semakin intens mencari teori-teori Kiri untuk memecahkan persoalan yang mereka hadapi.
Meskipun pelarangan terhadap buku-buku44
Selanjutnya, Dimpos Manalu menjabarkan bahwa kehadiran GSB tersebut merupakan
suatu jalan lain dari gerakan sosial yang selama ini bertumpu kepada Marx, yakni
pertentangan kelas. Pertentangan kelas populer sebagai ideologi gerakan sosial yang
dipelopori oleh kaum buruh. Dengan demikian, gerakan sosial lama (konvensional) bertumpu berpendirian kiri dilarang peredarannya,
namun bagi mahasiswa hal itu bukan menjadi penghalang. Sebaliknya mereka semakin
mencari dan membacanya dari tangan ke tangan, walaupun dalam bentuk fotokopian.
43
Penyair asal Solo yang bernama asli Widji Widodo merupakan aktivis yang hilang hingga hari ini. Ia merupakan penyair yang membangkitkan semangat perlawanan, terutama kaum buruh. Menyair tentang kisah pedih sosial-politik Orde Baru sejak 1980 terkenal dengan puisinya berjudul “Peringatan.” Dalam baris terakhir puisi inilah tertulis kalimat bermarwah dan terdengar menusuk bagi rezim Orde Baru: Hanya ada satu kata: Lawan! Pengaruh barisan puisi ini ternyata sangat berdampak bagi gerakan, termasuk gerakan mahasiswa.
Tempo, edisi khusus 13-19 Mei 2013.
44
kepada buruh. Sementara GSB dinyatakan telah meliputi berbagai sektor, salah satunya
gerakan mahasiswa.
Demikianlah Forsolima dan KSMM dalam pembahasan ini telah turut bersinggungan
dengan kondisi sosial-politik di Medan. Kehadiran keduanya pada dasarnya disebabkan
karena kondisi sosial-politik yang tidak pernah lagi menjadi kebanggaan semua orang.
Mereka dalam praktiknya menjadi bagian dari gerakan sosial yang berpusat bagi perlawanan
terhadap birokrasi militer yang kala itu dilambangkan oleh Soeharto. Sosok Soeharto yang
dianggap mewakili keseluruhan sistem yang sewenang-wenang menjadi musuh bersama
dalam tujuan mahasiswa mendobrak birokratisasi Orde Baru.
Hadir sebagai organisasi mahasiswa ekstra-kampus, Forsolima dan KSMM, tumbuh
dalam dasawarsa terakhir Orde Baru. Meskipun demikian, kehadiran mereka telah memberi
BAB II
TERBENTUKNYA FORSOLIMA DAN KSMM
2.1 Munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat
Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tumbuh di Sumatera Utara, antara
lain Kelompok Studi Prakarsa dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM) yang dideklarasikan
pada 1985 di Pematang Siantar dan Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (Bitra Indonesia)
berdiri pada 1986 di Medan. Selang beberapa tahun kemudian, di Medan lahir Kelompok
Pelita Sejahtera (KPS) yang bergerak di bidang perburuhan. Sedangkan Lentera Rakyat
berdiri pada 2000 di Rantau Prapat. Di samping itu berdiri serikat-serikat petani, nelayan, dan
gerakan perempuan, seperti Sada Ahmo pada 1990 di Dairi yang juga menjadi bagian dari
pergerakan kerakyatan dengan perspektif yang sama, yaitu menolak segala bentuk
penindasan terhadap buruh perkebunan dan petani. Dalam perjalanannya, LSM di atas
memiliki aliansi dengan aktivis mahasiswa Medan yang memiliki kesamaan visi dalam
gerakan sosial.45
Kemunculan LSM merupakan salah satu pilihan bagi masyarakat sebagai wadah
kemasyarakatan nonpemerintah. Hilangnya kebebasan berekspresi akibat ketatnya rezim
yang berkuasa menyebabkan peran politik rakyat acapkali terhalangi. Lebih jauh, rakyat
justru dikebiri atas nama pembangunan yang digadang sebagai upaya penyejahteraan.
45
LSM yang lebih menekankan kepada isu-isu lokal dengan target daerah dianggap
lebih dekat dan mudah disuarakan. Hal ini dinilai tidak elitis. Mereka merupakan lembaga
yang dengan serius membantu persoalan petani dan buruh. Gerakan yang kritis terhadap
permasalahan yang dialami rakyat. Di pihak lain, konsep pembangunan Orde Baru tidak
banyak menolong ketertindasan. Rakyat hanya dijadikan objek pembangunan atau pelengkap
yang dianggap tidak perlu turut campur dalam transparansi, pengawasan serta
pelaksanaannya. Oleh karena itu, rakyat dialienasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Apa yang disebut dengan trickle down effect46
Koalisi penguasa-pengusaha merupakan keniscayaan untuk membalut konsep
pembangunan. Koalisi ini tentu diterjemahkan oleh penguasa sebagai faktor terdepan dalam tepat menggambarkan posisi
ketersisihan masyarakat dalam pembangunan ekonomi nasional. Trickle down effect secara
umum didefenisikan sebagai tetesan kemakmuran. Ibarat air dalam gelas yang diisi penuh,
namun tidak diberikan kepada orang yang sedang haus. Orang yang sedang membutuhkan
seteguk hanya diberikan tumpahan air dari dalam gelas, sehingga si orang yang dahaga
menampung tetesan yang meluber tersebut. Apa yang dilakukan dengan teori trickle tersebut
sama sekali tidak menjawab persoalan keseharian rakyat. Umpamanya, rakyat diberikan
Koperasi Unit Desa sebagai bentuk tetesan untuk menolong rakyat, namun secara makro hal
ini justru melemahkan ekonomi masyarakat. KUD tidak menjadi kekuatan yang
menggerakkan perekonomian bangsa.
46
masa pembangunan untuk mengurangi kemiskinan. Konspirasi tersebut mengusung pola
dengan konsepsi patron-client yang dikembangkan bersama.
Pembangunan yang dikonsepkan pemerintah saat itu sangat bergantung kepada
konsep membangun dengan pendekatan penguatan sekelompok pengusaha handal
(konglomerat). Ide mereka seperti disinggung di atas adalah trickle down effect yang mana
dengan adanya konglomerat, maka diharapkan menjadi lokomotif yang menarik gerbong
pembangunan dengan meneteskan hasilnya ke pengusaha menengah dan kecil, selanjutnya
kepada koperasi tingkat desa.47
Pembangunan ini dijalankan dengan menjalin kerja sama dengan investor, sehingga
adanya kemajuan akan ditentukan oleh berhasil tidaknya para pemilik modal menanamkan
sahamnya. Agar para investor mau datang dan menanam sahamnya di Indonesia, maka salah
satu indikatornya adalah faktor keamanan. Setelah keamanan dijamin, maka kenyamanan
dipastikan menggoda para investor untuk menanam sahamnya di Indonesia sekaligus
mengeruk kekayaan alam di nusantara.
Pemerintah Orde Baru menentukan pembangunan sebagai panglima. Oleh karena itu,
rakyat diarahkan untuk mendukung program pemerintah. Dalam rangka menyongsong
pembangunan yang memberdayakan handal modal, legitimasi pemerintah merangsek hingga
ke seluruh daerah di Indonesia. Pemerintah yang berbicara tentang pemberantasan
kemiskinan atas nama pembangunan memaksa rakyat menerima apa adanya tanpa bersikap
skeptis. Dengan kata lain, rakyat tidak ditolerir untuk berbicara pembelaan atau
mempertanyakan bahkan mereka dipaksa harus menghadapi tekanan.
47
Setiap kali rakyat menolak pembangunan yang dianggap merugikan, pemerintah
acapkali juga menghadapinya dengan kekerasan. Kekuasaan semacam ini tidak memberi
peluang bagi inisiatif rakyat. Dampaknya, kepastian hukum menjadi tidak ada selain dari
penguasa. Populerlah apa yang menjadi pameo pada saat itu, yakni ”segala sesuatu dapat
diatur.” Pameo ini dalam pengertiannya menunjuk kepada kekuasaan yang memaksa, dengan
kekerasan. Dengan kata lain, ketika ada yang menolak pembangunan yang ingin dilakukan,
investor tidak nyaman, pemerintah menjawab dengan pameo tersebut. Karena segala sesuatu
dapat diatur, maka rintangan menjadi tidak berarti bagi pemerintah.48
Pembangunan sarat modal/kapitalis dipercaya akan menjadi solusi bagi kemiskinan
yang masih terus terjadi. Upaya untuk menyelesaikan persoalan melalui model pembangunan
tersebut dianggap merupakan pilihan yang tidak mungkin dihindarkan, sekalipun harus
menelan korban.
Sebelum pembangunan berpedoman kapitalis didatangkan, gap antara kota dengan
desa telah lama terjadi. Desa ditempatkan dalam titik yang paling parah, yakni sebagai
simbol kemiskinan. Sebaliknya kota dilukiskan sebagai tempat orang-orang berada. Seluruh
tempat bekerja seolah hanya ada di kota. Kemajuan berkat pembangunan dipandang hanya
terdapat di kota, sehingga meninggalkan desa sebagai lumbung sumber daya alam.
Lalu konsep urbanisasi didorong untuk mencari penyelesaian disparitas yang terjadi.
Urbanisasi masuk sebagai agenda pemerintah untuk menolong rakyat desa bangkit dari
kemiskinan dan ketertinggalannya. Desa ketika itu dicap sebagai posisi yang selalu
ketinggalan zaman. Dengan demikian, desa tetaplah sebagai peta kemiskinan, banyak
warganya yang buta huruf, sehingga tidak mampu merantau ke kota.
48
Konsep pembangunan seperti itu akhirnya kian disadari masyarakat semakin
menjauhkan mereka dari keadilan dan kesejahteraan. Rakyat mulai jenuh, namun belum
berani bersuara untuk mengeluarkan seluruh aspirasi mereka. Akan tetapi kemiskinan yang
justru bertambah luas dan hukum tergantung kepada Soeharto. Di sisi lain, kebebasan
tersekat membuat bangkitnya kesadaran masyarakat.
Kesadaran awal tersebut menjadi titik balik refleksi kritis bagi para aktivis. Dengan
orientasi ekonomi yang tidak mempertimbangkan kebudayaan ternyata mengakibatkan
hancurnya tatanan masyarakat. Dengan kata lain, nasionalisme rakyat menjadi terjual. Hal ini
ditunjukkan bahwa ideologi yang ada waktu itu dinilai telah membodohi masyarakat, bukan
lagi memberdayakan. Perlu ditambahkan lagi bahwa pada tahun 1980-an itu juga banyak
kerusakan lingkungan terjadi.49
Di samping kesadaran, dampak negatif pembangunan juga melahirkan perlawanan.
Dengan pemahaman ini, beberapa individu yang menyadari hal tersebut, berjuang untuk
keluar dan bergabung dengan masyarakat. Kesadaran awalnya menghendaki agar rakyat bisa
diperkuat. Hal ini sesuai dengan keniscayaan bahwa kesadaran berpolitik juga merupakan
hak masyarakat. Jadi, gagasan untuk memperkuat rakyat akhirnya membutuhkan
pengorganisasian yang lebih baik. Pembangunan kesadaran ini kemudian mendorong
lahirnya LSM.
Proses pembentukan LSM pada dekade 1980-an secara umum turut dibidani oleh
mahasiswa. Pendiri LSM waktu itu bukan saja orang-orang yang sudah alumni dari kampus
atau aktivis tua (akademisi maupun pendeta). Keterlibatan mahasiswa yang awalnya telah
membentuk KS tidak dapat dipisahkan dari lahirnya LSM, sehingga mahasiswa dengan
49
orang-orang di LSM seperti tidak menunjukkan adanya perbedaan. Mereka menyatu serta
sejalan.50
Pada masa itu, para aktivis mahasiswa Medan belajar dan berjuang bersama dengan
LSM. Bergabung bersama LSM merupakan suatu hal yang memiliki keuntungan bagi
mahasiswa. Pertama, belajar mengadvokasi kasus-kasus tanah yang dihadapi petani atau
buruh dengan turut langsung terjun ke tengah-tengah konflik dan bersama dengan rakyat.
Mereka mempelajari cara penanganan kasus yang dihadapi rakyat dan juga live in agar
kepekaan sosialnya lebih tajam karena langsung turut merasakan bagaimana persoalan rakyat
sehari-hari.
Kedua, menyangkut finansial. Mahasiswa sedikit banyak terbantu dalam hal perut
yang sejengkal guna menghemat uang kantong seraya menunggu uang kiriman orangtua yang
besarannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari bahkan kurang.51
Aktivis mahasiswa seperti mereka berasal dari kelompok yang anti-kemapanan.
Selain itu, mahasiswa memegang prinsip bahwa kesadaran tidak dapat dibeli begitu saja
secara materi dengan mengingkari nurani. Lahirnya kegelisahan menjelaskan bahwa
idealisme mahasiswa tetap pada garis perjuangannya. Garis perjuangan yang terutama
membela kepentingan rakyat, kepentingan kemanusiaan. Dasar inilah yang dilihat, sehingga
kebanyakan mereka memilih membidani organisasi kritis yang lepas dari intervensi kampus.
Setelah kebebasan berpolitik praktis ditamatkan oleh Orde Baru, mahasiswa
kemudian memilih alternatif lain untuk terus menghidupi idealisme dan keterbebanannya
sebagai agen perubah. Hal ini tidak lepas dari inkonsistensi organisasi mahasiswa yang
50
Wawancara dengan Diapari Marpaung, Medan 04 Juli 2013.
51
skopnya nasional yang larut dalam friksi internal. Organisasi tersebut adalah Kelompok
Cipayung.52
Gerakan mahasiswa dari Kelompok Cipayung yang diakui secara resmi oleh
pemerintah ternyata tidak mampu menyuarakan perubahan serta memiliki kelemahan seperti
minimnya gerakan kritis yang diperbuat. Perbedaan terlihat ketika idealisme tidak lagi
diusung sebagai prioritas semangat perjuangan mereka. Salah seorang mantan aktivis dalam
pendapatnya mengilustrasikan:“Kondisi Kelompok Cipayung di Medan tidak lagi
mengusung idealisme, melainkan lebih tertuju terhadap konsep pragmatis. Sebagai contoh,
adanya keinginan untuk mengharapkan jabatan yang lebih tinggi.”
53
Kelompok ini acapkali mengutamakan gerakan moral daripada aksi turun ke jalan. Ini
terbukti dengan kehadiran kebijakan normalisasi yang diterima dengan baik, fakta yang
bertolak belakang dengan ciri kritis aktivis mahasiswa. Kenyataan ini menambah daftar
panjang minimnya protes mahasiswa dari Cipayung.
Dalam pada itu, di tubuh Cipayung terdapat juga mahasiswa-mahasiswa yang
berpendirian tetap menolak kebijakan pemerintah Orde Baru. Mereka yang tidak sepaham
dengan sistem, menghendaki terjadinya perubahan sosial dan juga politik. Namun Senat
Mahasiswa Perguruan Tinggi maupun Cipayung, mengalami kemandulan aktivitas politik di
kampus akibat birokratisasi kampus serta mengalami stagnasi akibat konflik intern. Hal
52
Kelompok Cipayung merupakan forum bersama lima organisasi mahasiswa: Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) yang dibentuk pada 22 Januari 1972 di Cipayung, Jawa Barat. Lihat Wem Kaunang (ed.) dalam
kelompokcipayung.blogspot.com, [diakses Sabtu, 31 Agustus 2013, pukul 11:57 wib].
53
tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi sebagian aktivis mahasiswa yang memilih
melawan kekuasaan pemerintah.54
Oleh karena itu, beberapa aktivis baik dari Kelompok Cipayung maupun Senat
Mahasiswa Perguruan Tinggi meninggalkan kelompoknya masing-masing. Mereka kecewa
terhadap organisasinya yang tidak mewadahi kegelisahan. Hal ini terasa kemudian dengan
menyoroti kepada gerakan kritis yang telah terbangun sebelumnya oleh organisasi alternatif
seperti LSM. LSM banyak memberi inspirasi akan corak pergerakan baru yang lebih militan
dan terutama bergerak dari basis. Hal ini didasari bahwa persentuhan langsung dengan rakyat
atau basis menjadi contoh yang sangat tepat bagi mahasiswa.
Selain itu di penghujung 1980-an, beberapa KS yang sudah tumbuh masih jauh dari
harapan. Mereka masih mengandalkan aksi informasi dan belum berinisiatif membangun
gerakan yang berbentuk aksi massa. Jadi, secara umum mahasiswa belum bergerak
menyuarakan kondisi sosial-ekonomi-politik yang menjadi persoalan bagi masyarakat.
Berkaca terhadap kejadian berupa pembungkaman menjadi indikator utama ketika gerakan
mahasiswa belum tercipta.
Sahat Lumbanraja mendeskripsikan ihwal tersebut: “Organisasi mahasiswa tahun
1990-an juga sudah ada. Umpamanya KS, organisasi mahasiswa ekstrakampus dengan skop
lokal. Namun beberapa K