BAB II
TERBENTUKNYA FORSOLIMA DAN KSMM
2.1 Munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat
Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tumbuh di Sumatera Utara, antara
lain Kelompok Studi Prakarsa dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM) yang dideklarasikan
pada 1985 di Pematang Siantar dan Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (Bitra Indonesia)
berdiri pada 1986 di Medan. Selang beberapa tahun kemudian, di Medan lahir Kelompok
Pelita Sejahtera (KPS) yang bergerak di bidang perburuhan. Sedangkan Lentera Rakyat
berdiri pada 2000 di Rantau Prapat. Di samping itu berdiri serikat-serikat petani, nelayan, dan
gerakan perempuan, seperti Sada Ahmo pada 1990 di Dairi yang juga menjadi bagian dari
pergerakan kerakyatan dengan perspektif yang sama, yaitu menolak segala bentuk
penindasan terhadap buruh perkebunan dan petani. Dalam perjalanannya, LSM di atas
memiliki aliansi dengan aktivis mahasiswa Medan yang memiliki kesamaan visi dalam
gerakan sosial.45
Kemunculan LSM merupakan salah satu pilihan bagi masyarakat sebagai wadah
kemasyarakatan nonpemerintah. Hilangnya kebebasan berekspresi akibat ketatnya rezim
yang berkuasa menyebabkan peran politik rakyat acapkali terhalangi. Lebih jauh, rakyat
justru dikebiri atas nama pembangunan yang digadang sebagai upaya penyejahteraan.
45
LSM yang lebih menekankan kepada isu-isu lokal dengan target daerah dianggap
lebih dekat dan mudah disuarakan. Hal ini dinilai tidak elitis. Mereka merupakan lembaga
yang dengan serius membantu persoalan petani dan buruh. Gerakan yang kritis terhadap
permasalahan yang dialami rakyat. Di pihak lain, konsep pembangunan Orde Baru tidak
banyak menolong ketertindasan. Rakyat hanya dijadikan objek pembangunan atau pelengkap
yang dianggap tidak perlu turut campur dalam transparansi, pengawasan serta
pelaksanaannya. Oleh karena itu, rakyat dialienasi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Apa yang disebut dengan trickle down effect46
Koalisi penguasa-pengusaha merupakan keniscayaan untuk membalut konsep
pembangunan. Koalisi ini tentu diterjemahkan oleh penguasa sebagai faktor terdepan dalam tepat menggambarkan posisi
ketersisihan masyarakat dalam pembangunan ekonomi nasional. Trickle down effect secara
umum didefenisikan sebagai tetesan kemakmuran. Ibarat air dalam gelas yang diisi penuh,
namun tidak diberikan kepada orang yang sedang haus. Orang yang sedang membutuhkan
seteguk hanya diberikan tumpahan air dari dalam gelas, sehingga si orang yang dahaga
menampung tetesan yang meluber tersebut. Apa yang dilakukan dengan teori trickle tersebut
sama sekali tidak menjawab persoalan keseharian rakyat. Umpamanya, rakyat diberikan
Koperasi Unit Desa sebagai bentuk tetesan untuk menolong rakyat, namun secara makro hal
ini justru melemahkan ekonomi masyarakat. KUD tidak menjadi kekuatan yang
menggerakkan perekonomian bangsa.
46
masa pembangunan untuk mengurangi kemiskinan. Konspirasi tersebut mengusung pola
dengan konsepsi patron-client yang dikembangkan bersama.
Pembangunan yang dikonsepkan pemerintah saat itu sangat bergantung kepada
konsep membangun dengan pendekatan penguatan sekelompok pengusaha handal
(konglomerat). Ide mereka seperti disinggung di atas adalah trickle down effect yang mana
dengan adanya konglomerat, maka diharapkan menjadi lokomotif yang menarik gerbong
pembangunan dengan meneteskan hasilnya ke pengusaha menengah dan kecil, selanjutnya
kepada koperasi tingkat desa.47
Pembangunan ini dijalankan dengan menjalin kerja sama dengan investor, sehingga
adanya kemajuan akan ditentukan oleh berhasil tidaknya para pemilik modal menanamkan
sahamnya. Agar para investor mau datang dan menanam sahamnya di Indonesia, maka salah
satu indikatornya adalah faktor keamanan. Setelah keamanan dijamin, maka kenyamanan
dipastikan menggoda para investor untuk menanam sahamnya di Indonesia sekaligus
mengeruk kekayaan alam di nusantara.
Pemerintah Orde Baru menentukan pembangunan sebagai panglima. Oleh karena itu,
rakyat diarahkan untuk mendukung program pemerintah. Dalam rangka menyongsong
pembangunan yang memberdayakan handal modal, legitimasi pemerintah merangsek hingga
ke seluruh daerah di Indonesia. Pemerintah yang berbicara tentang pemberantasan
kemiskinan atas nama pembangunan memaksa rakyat menerima apa adanya tanpa bersikap
skeptis. Dengan kata lain, rakyat tidak ditolerir untuk berbicara pembelaan atau
mempertanyakan bahkan mereka dipaksa harus menghadapi tekanan.
47
Setiap kali rakyat menolak pembangunan yang dianggap merugikan, pemerintah
acapkali juga menghadapinya dengan kekerasan. Kekuasaan semacam ini tidak memberi
peluang bagi inisiatif rakyat. Dampaknya, kepastian hukum menjadi tidak ada selain dari
penguasa. Populerlah apa yang menjadi pameo pada saat itu, yakni ”segala sesuatu dapat
diatur.” Pameo ini dalam pengertiannya menunjuk kepada kekuasaan yang memaksa, dengan
kekerasan. Dengan kata lain, ketika ada yang menolak pembangunan yang ingin dilakukan,
investor tidak nyaman, pemerintah menjawab dengan pameo tersebut. Karena segala sesuatu
dapat diatur, maka rintangan menjadi tidak berarti bagi pemerintah.48
Pembangunan sarat modal/kapitalis dipercaya akan menjadi solusi bagi kemiskinan
yang masih terus terjadi. Upaya untuk menyelesaikan persoalan melalui model pembangunan
tersebut dianggap merupakan pilihan yang tidak mungkin dihindarkan, sekalipun harus
menelan korban.
Sebelum pembangunan berpedoman kapitalis didatangkan, gap antara kota dengan
desa telah lama terjadi. Desa ditempatkan dalam titik yang paling parah, yakni sebagai
simbol kemiskinan. Sebaliknya kota dilukiskan sebagai tempat orang-orang berada. Seluruh
tempat bekerja seolah hanya ada di kota. Kemajuan berkat pembangunan dipandang hanya
terdapat di kota, sehingga meninggalkan desa sebagai lumbung sumber daya alam.
Lalu konsep urbanisasi didorong untuk mencari penyelesaian disparitas yang terjadi.
Urbanisasi masuk sebagai agenda pemerintah untuk menolong rakyat desa bangkit dari
kemiskinan dan ketertinggalannya. Desa ketika itu dicap sebagai posisi yang selalu
ketinggalan zaman. Dengan demikian, desa tetaplah sebagai peta kemiskinan, banyak
warganya yang buta huruf, sehingga tidak mampu merantau ke kota.
48
Konsep pembangunan seperti itu akhirnya kian disadari masyarakat semakin
menjauhkan mereka dari keadilan dan kesejahteraan. Rakyat mulai jenuh, namun belum
berani bersuara untuk mengeluarkan seluruh aspirasi mereka. Akan tetapi kemiskinan yang
justru bertambah luas dan hukum tergantung kepada Soeharto. Di sisi lain, kebebasan
tersekat membuat bangkitnya kesadaran masyarakat.
Kesadaran awal tersebut menjadi titik balik refleksi kritis bagi para aktivis. Dengan
orientasi ekonomi yang tidak mempertimbangkan kebudayaan ternyata mengakibatkan
hancurnya tatanan masyarakat. Dengan kata lain, nasionalisme rakyat menjadi terjual. Hal ini
ditunjukkan bahwa ideologi yang ada waktu itu dinilai telah membodohi masyarakat, bukan
lagi memberdayakan. Perlu ditambahkan lagi bahwa pada tahun 1980-an itu juga banyak
kerusakan lingkungan terjadi.49
Di samping kesadaran, dampak negatif pembangunan juga melahirkan perlawanan.
Dengan pemahaman ini, beberapa individu yang menyadari hal tersebut, berjuang untuk
keluar dan bergabung dengan masyarakat. Kesadaran awalnya menghendaki agar rakyat bisa
diperkuat. Hal ini sesuai dengan keniscayaan bahwa kesadaran berpolitik juga merupakan
hak masyarakat. Jadi, gagasan untuk memperkuat rakyat akhirnya membutuhkan
pengorganisasian yang lebih baik. Pembangunan kesadaran ini kemudian mendorong
lahirnya LSM.
Proses pembentukan LSM pada dekade 1980-an secara umum turut dibidani oleh
mahasiswa. Pendiri LSM waktu itu bukan saja orang-orang yang sudah alumni dari kampus
atau aktivis tua (akademisi maupun pendeta). Keterlibatan mahasiswa yang awalnya telah
membentuk KS tidak dapat dipisahkan dari lahirnya LSM, sehingga mahasiswa dengan
49
orang-orang di LSM seperti tidak menunjukkan adanya perbedaan. Mereka menyatu serta
sejalan.50
Pada masa itu, para aktivis mahasiswa Medan belajar dan berjuang bersama dengan
LSM. Bergabung bersama LSM merupakan suatu hal yang memiliki keuntungan bagi
mahasiswa. Pertama, belajar mengadvokasi kasus-kasus tanah yang dihadapi petani atau
buruh dengan turut langsung terjun ke tengah-tengah konflik dan bersama dengan rakyat.
Mereka mempelajari cara penanganan kasus yang dihadapi rakyat dan juga live in agar
kepekaan sosialnya lebih tajam karena langsung turut merasakan bagaimana persoalan rakyat
sehari-hari.
Kedua, menyangkut finansial. Mahasiswa sedikit banyak terbantu dalam hal perut
yang sejengkal guna menghemat uang kantong seraya menunggu uang kiriman orangtua yang
besarannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari bahkan kurang.51
Aktivis mahasiswa seperti mereka berasal dari kelompok yang anti-kemapanan.
Selain itu, mahasiswa memegang prinsip bahwa kesadaran tidak dapat dibeli begitu saja
secara materi dengan mengingkari nurani. Lahirnya kegelisahan menjelaskan bahwa
idealisme mahasiswa tetap pada garis perjuangannya. Garis perjuangan yang terutama
membela kepentingan rakyat, kepentingan kemanusiaan. Dasar inilah yang dilihat, sehingga
kebanyakan mereka memilih membidani organisasi kritis yang lepas dari intervensi kampus.
Setelah kebebasan berpolitik praktis ditamatkan oleh Orde Baru, mahasiswa
kemudian memilih alternatif lain untuk terus menghidupi idealisme dan keterbebanannya
sebagai agen perubah. Hal ini tidak lepas dari inkonsistensi organisasi mahasiswa yang
50
Wawancara dengan Diapari Marpaung, Medan 04 Juli 2013.
51
skopnya nasional yang larut dalam friksi internal. Organisasi tersebut adalah Kelompok
Cipayung.52
Gerakan mahasiswa dari Kelompok Cipayung yang diakui secara resmi oleh
pemerintah ternyata tidak mampu menyuarakan perubahan serta memiliki kelemahan seperti
minimnya gerakan kritis yang diperbuat. Perbedaan terlihat ketika idealisme tidak lagi
diusung sebagai prioritas semangat perjuangan mereka. Salah seorang mantan aktivis dalam
pendapatnya mengilustrasikan:“Kondisi Kelompok Cipayung di Medan tidak lagi
mengusung idealisme, melainkan lebih tertuju terhadap konsep pragmatis. Sebagai contoh,
adanya keinginan untuk mengharapkan jabatan yang lebih tinggi.”
53
Kelompok ini acapkali mengutamakan gerakan moral daripada aksi turun ke jalan. Ini
terbukti dengan kehadiran kebijakan normalisasi yang diterima dengan baik, fakta yang
bertolak belakang dengan ciri kritis aktivis mahasiswa. Kenyataan ini menambah daftar
panjang minimnya protes mahasiswa dari Cipayung.
Dalam pada itu, di tubuh Cipayung terdapat juga mahasiswa-mahasiswa yang
berpendirian tetap menolak kebijakan pemerintah Orde Baru. Mereka yang tidak sepaham
dengan sistem, menghendaki terjadinya perubahan sosial dan juga politik. Namun Senat
Mahasiswa Perguruan Tinggi maupun Cipayung, mengalami kemandulan aktivitas politik di
kampus akibat birokratisasi kampus serta mengalami stagnasi akibat konflik intern. Hal
52
Kelompok Cipayung merupakan forum bersama lima organisasi mahasiswa: Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) yang dibentuk pada 22 Januari 1972 di Cipayung, Jawa Barat. Lihat Wem Kaunang (ed.) dalam kelompokcipayung.blogspot.com, [diakses Sabtu, 31 Agustus 2013, pukul 11:57 wib].
53
tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi sebagian aktivis mahasiswa yang memilih
melawan kekuasaan pemerintah.54
Oleh karena itu, beberapa aktivis baik dari Kelompok Cipayung maupun Senat
Mahasiswa Perguruan Tinggi meninggalkan kelompoknya masing-masing. Mereka kecewa
terhadap organisasinya yang tidak mewadahi kegelisahan. Hal ini terasa kemudian dengan
menyoroti kepada gerakan kritis yang telah terbangun sebelumnya oleh organisasi alternatif
seperti LSM. LSM banyak memberi inspirasi akan corak pergerakan baru yang lebih militan
dan terutama bergerak dari basis. Hal ini didasari bahwa persentuhan langsung dengan rakyat
atau basis menjadi contoh yang sangat tepat bagi mahasiswa.
Selain itu di penghujung 1980-an, beberapa KS yang sudah tumbuh masih jauh dari
harapan. Mereka masih mengandalkan aksi informasi dan belum berinisiatif membangun
gerakan yang berbentuk aksi massa. Jadi, secara umum mahasiswa belum bergerak
menyuarakan kondisi sosial-ekonomi-politik yang menjadi persoalan bagi masyarakat.
Berkaca terhadap kejadian berupa pembungkaman menjadi indikator utama ketika gerakan
mahasiswa belum tercipta.
Sahat Lumbanraja mendeskripsikan ihwal tersebut: “Organisasi mahasiswa tahun
1990-an juga sudah ada. Umpamanya KS, organisasi mahasiswa ekstrakampus dengan skop
lokal. Namun beberapa KS tersebut belum kelihatan menonjol atau memberi sinyal
kebangkitan gerakan mahasiswa. Dengan kata lain, bahana gerakan mahasiswa masih
merupakan hal yang langka.”55
Beberapa aktivis mahasiswa yang tidak lagi sepaham dengan organisasi asalnya,
seperti Sahat Lumbanraja, Mulana Samosir, Iswan Kaputra dan sebagainya lebih memilih
54
Denny J.A., op.cit., hlm. 45.
55
membentuk kelompok baru, yaitu KS. Dengan demikian, mereka memutuskan untuk
mengikuti nuraninya, yakni melawan tirani Orde Baru. Demikianlah prolog munculnya KS
dasawarsa 1990.
2.2Pengaruh Politik Lokal (Konflik HKBP dan Gerakan Buruh) 2.2.1 Konflik HKBP
Kondusifnya kehidupan sipil dalam negara Orde Baru dimaklumi lewat perantara
militer. Hal ini disebabkan oleh pengamanan secara militer merupakan satu-satunya pilihan
bagi pemerintah Orde Baru. Intervensi militer acapkali sampai kepada persoalan sehari-hari
masyarakat yang sangat jauh dari perkara peperangan ataupun pertempuran. Masuknya
militer ke dalam wilayah sipil memaksa siapa saja bertindak menjaga keamanan, meskipun
persoalannya hanya sebatas friksi internal Gereja.
Situasi sosial-politik lokal dimulai pada 1992 ketika mencuatnya konflik Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP).56
56
HKBP merupakan organisasi Gereja yang berdiri secara independen dan memiliki jemaat terbesar Gereja-gereja se-Asia. Secara politis, HKBP mampu memiliki posisi tawar yang besar bagi pemerintah. Namun karena lembaga ini fokus pada peribadatan, maka HKBP tidak terlihat seperti kelompok agama lain. Bandingkan dengan Nadhlatul Ulama atau Muhammadiyah. HKBP dikukuhkan oleh pemerintah RI pada 1958. Ester Indahyani Jusuf (et.al.), Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data dan Analisa, Mengungkap Kerusuhan Mei 1998 sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Cetakan II (tanpa kota penerbit: Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) dan Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI) yang difasilitasi oleh Yayasan TIFA, 2008), hlm. 5-6.
Sinode Godang (Musyawarah Akbar) dalam Gereja
terbesar Batak Toba memperebutkan pucuk pimpinan yang menyebabkan suhu politiknya
Kubu pertama, yaitu grup S.A.E. Nababan, dan kubu yang lain yaitu kelompok P.W.T.
Simanjuntak.57
Perebutan kedua kubu ternyata tidak bisa diselesaikan secara internal. Konflik kali ini
meluas dari biasanya. Meskipun hanya sebatas perebutan pucuk pimpinan yang dipandang
sebagai pengayom jemaat, namun secara politis tidak tersirat memiliki sikap pragmatis.
Walaupun begitu, kursi satu di HKBP ternyata merupakan sebuah jabatan yang posisinya
harus berada di podium tertinggi.
Untuk alasan pengamanan, Orde Baru turut campur dalam mencari jalan tengah bagi
pertikaian selama Sinode Godang. Forum pengambilan keputusan dan bersifat sakral tersebut
dilerai oleh pemerintah melalui Panglima Daerah Militer (Pangdam) Bukit Barisan, Mayjen
H.R. Pramono pada 23 Desember 1992. Sinode Agung ini dibubarkan oleh pangdam setelah
mengambil alih ruang sidang dan akhirnya mengambil keputusan membubarkan sidang.58
Kemudian atas dasar surat keputusan di atas, maka diwujudkan sebuah Sinode
Godang Istimewa (SGI) pada 13-14 Februari 1992 di Hotel Tiara, Medan. Sinode tersebut
mengukuhkan Pdt. Dr. P.W.T. Simanjuntak sebagai Ephorus dan Pdt. Dr. S.M. Siahaan
57
Perihal adanya kubu dalam konflik ini bukanlah sebagai persaingan biasa yang maju dalam pemilihan pimpinan tertinggi. Konsep demikian yang banyak dipakai dalam sistem demokrasi tentu tidak asing lagi. Sesuai sistem demokrasi, tentu calon yang bertarung absah terlihat dan sepenuhnya. diserahkan kepada konstituen untuk menentukan pemenangnya melalui penggunaan hak suara. Oleh karena itu, dalam konflik HKBP pesta demokrasi seperti itu bukanlah sesungguhnya yang dipertunjukkan. Munculnya Simanjuntak sebagai tandingan Nababan justru datang dari rekayasa beberapa pihak. Intervensi Mayjen Pramono mempertegas rekayasa dan kemudian melakukan Sinode Agung Istimewa secara sepihak. Wawancara dengan Nelson Siregar, Siborong-borong 26 Juni 2013.
58
sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjend).59
Kubu S.A.E. Nababan dalam konflik HKBP dipandang pemerintah memiliki
kekuatan di dalam dan luar negeri. Kekuatan yang dimiliki Nababan jika tidak dicegah bisa
menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Orde Baru. Ketika itu, S.A.E. Nababan adalah
sosok yang dipandang memiliki kapasitas sebagai pejuang atau aktivis yang melawan
kebijakan pemerintah.
Sidang Istimewa ini menjadi indistingtif bagi kubu
S.A.E. Nababan karena mereka dikalahkan secara resmi versi SGI.
Beberapa aktivis mahasiswa melihat adanya keganjilan yang terjadi dalam HKBP.
Bahkan masyarakat awam juga mampu membaca situasi yang ada sekalipun mereka
tergolong antipati terhadap politik. Jadi, hampir seluruh masyarakat mengetahui konflik
tersebut. Siswanto adalah salah satu aktivis non-HKBP yang memberi tanggapan sebagai
berikut:
“Ketika itu pemerintah melakukan kooptasi di berbagai bidang. Misalnya tiga partai yang ada telah dikooptasi melalui Paket UU 1985. Partai politik pun ditaruh di bawah pembinaan menteri dalam negeri. Masyarakat yang berorganisasi juga dikooptasi dengan hanya memperbolehkan satu organisasi saja. Dalam praktiknya, sering terjadi penegasian, umpamanya, jika pemerintah tidak suka terhadap tokoh tertentu, maka keputusan yang berkenaan dengan tokoh tersebut dalam sebuah wadah bisa dianggap tidak sah. Sebab ketika itu, segala sesuatunya harus se-pengetahuan dan seizin penguasa. Contohnya bisa dilihat dalam tubuh PDI maupun Sinode Godang HKBP. Singkatnya, seluruh sendi-sendi masyarakat dikooptasi oleh pemerintah.”60
Konflik HKBP pada akhirnya mengakibatkan semakin tumbuh dan berkembangnya
resistensi dari masyarakat dan mahasiswa. Para mahasiswa bahkan terdorong untuk
mengorganisir diri, misalnya di Medan. Perluasan jaringan dan pembahasan lebih banyak lagi
bahkan terus digelindingkan mahasiswa. Sebab melihat konflik HKBP, mahasiswa bukan
59
Ibid.
60
saja prihatin, seterusnya bahkan semakin intensif melakukan pengorganisiran mahasiswa di
kampus. Itu sebabnya, konflik HKBP telah turut membangkitkan idealisme mahasiswa.
2.2.2 Gerakan Buruh
Salah satu bukti kesadaran masyarakat (civil society) di awal 1990-an adalah
bangkitnya gerakan buruh. Absennya negara terhadap tuntutan para buruh menyebabkan
sekat-sekat ketakutan dari kalangan buruh memecah kebuntuan interaksi sosial-politik.
Mereka tidak mengindahkan sikap represif pemerintah Orde Baru.
Pembangunan yang selama ini menjadi perhatian pemerintah, dalam kenyataannya
banyak merugikan masyarakat. Salah satu yang terlihat jelas adalah adanya kesenjangan
dalam hal pengupahan yang dialami oleh kaum buruh. Tidak hanya menyoal upah, para
buruh juga diperlakukan sesuka hati. Para pemilik modal dengan seenaknya memberi
perintah dan sanksi terhadap buruh kendatipun mereka tanpa daya untuk melawan.61
Sistem politik pemerintah yang sangat mendominasi dalam keadaan di Sumatera
Utara dirasakan sebagai tekanan yang terlalu kuat. Kondusifnya Sumatera Utara disebabkan
oleh tekanan yang begitu besar dan membungkam hak-hak bersuara para pekerja. Bagi
buruh, berbicara sekenanya saja merupakan suatu kewajaran dan hal itu dirasa tidak perlu
dipandang sebagai sebuah kerisauan apalagi provokasi. Sementara itu, setiap ada kelompok
yang berdiskusi kerapkali diinterogasi, diciduk oleh aparat militer hingga ditindak melalui
kekerasan. Setiap kali ada kegiatan berupa diskusi lepas, sesering itu pula aparat
Bakorstanasda menjemput mereka dan membawanya ke Komando daerah militer (Kodam)
untuk dipaksa diam.
61
Praktik ini membuat kebebasan buruh semakin terhimpit. Belum lagi nasib mereka di
tangan pengusaha yang tidak berperikemanusiaan, di mana pengusaha kerap menganiaya;
melakukan pelecehan; serta tidak adanya jaminan tunjangan hari raya (THR), dan kalaupun
ada biasanya akan diberikan pengusaha sesuka hatinya. Dengan demikian, pengusaha juga
turut diberi keleluasaan oleh pemerintah untuk membuat para buruh semakin terpinggirkan.
Buruh dijadikan sapi perahnya pengusaha-penguasa.
Adapun sikap arogan dan represif dari pengusaha-penguasa pada akhirnya turut
mendorong terbentuknya Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) pada 02 Agustus 1992.62
Di tahun itu juga, buruh mendeklarasikan sebuah forum untuk tempat mereka berani
keluar dari kebiasaan lama yang mengungkung kebebasan berserikat maupun berekspresi.
Dengan buruh pabrik sebagai basisnya, mereka mendirikan Forum Aspirasi Kaum Buruh.
Lewat forum ini mereka mulai turun ke jalan menyuarakan aspirasinya dengan tuntutan
utama kenaikan upah. Demonstrasi yang terlaksana lewat forum tersebut mengambil sasaran
kantor gubernur. Gubernur Radja Inal Siregar, menyepakati tuntutan para buruh. Sejak itu,
disepakati upah buruh naik setiap tahun.
SBSI cabang Medan adalah satu serikat yang memberikan kesempatan bersuara di kalangan
kaum buruh. Dengan adanya serikat, kaum buruh dapat memperoleh informasi dan
melakukan diskusi yang berkaitan langsung dengan nasibnya. Berbagai peristiwa yang
mereka lihat dan alami menjadi perbincangan yang tidak terlewatkan.
62
Keberhasilan tersebut mendapat sambutan positif dari semua kalangan buruh pabrik
yang ada di Medan dan sekitarnya. Pembahasan lebih lanjut kemudian dibangun dari waktu
ke waktu untuk lebih meningkatkan gerakan supaya lebih membesar. Berangkat dari
keyakinan itulah mereka kemudian menyepakati aksi-aksi lanjutan di hari-hari berikutnya.
Singkatnya, sejak September 1993 hampir setiap hari ada unjuk rasa buruh di Medan.63
Gerakan buruh di Medan mencapai puncaknya pada 14 April 1994. Dalam gerakan
buruh waktu itu, jumlah massa yang turun terhitung sebanyak 50.000 buruh.64 Meskipun
demikian aksi demonstrasi berjalan dengan damai dan terorganisir secara rapi, sehingga dari
lima tuntutan yang mereka ajukan, hanya satu yang tidak terealisasi, yakni kebebasan
berserikat. 65
Pasca-14 Juli 1994, gerakan buruh terus menggelinding hampir ke semua lapisan
masyarakat. Dari keberanian gerakan buruh atau gerakan rakyat inilah kemudian gerakan
multisektor banyak mendapat pembelajaran karena setiap akumulasi kekecewaan terhadap
pemerintah telah diperlihatkan rakyat sejak itu. Pada akhirnya situasi politik di Medan mulai
bergejolak untuk merumuskan kembali gerakan-gerakan sosial demi meruntuhkan rezim
yang telah terlalu yakin akan sifatnya yang otoriter.
63
Wawancara dengan Diapari Marpaung, Medan 04 Juli 2013.
64
Penyebutan angka 50.000 didasarkan pada skripsi sejarah Tongam Panggabean tanpa tambahan analisis, akan tetapi masih diragukan keabsahannya, karena masih mungkin lebih dari jumlah yang ditulis tersebut atau bahkan kurang seperti ditulis Edi Cahyono’s Experience dalam Cerita Kami edisi 1994 sebanyak 25. 000 buruh saja. Oleh karena itu, penulis mengacu pada kategori gerakan tersebut sebagai yang terbesar di masa rezim otoritarian Soeharto di Asia. Tongam Panggabean, Gerakan Serikat Buruh di Medan1971-1990, Skripsi Sarjana Jurusan Sejarah Universitas Sumatera Utara tidak diterbitkan, Medan, 2009.
65
Salah satu dampak dari menggelindingnya gerakan buruh adalah gerakan mahasiswa.
Kampus-kampus di Medan kembali tersulut di mana gerakan mahasiswa sejak pertengahan
1990-an bangkit kembali dan mulai menjamur.
2.3Berdirinya Forsolima dan KSMM 2.3.1 Forsolima
Orde Baru secara kasat mata menutup ruang gerak mahasiswa untuk mengkritisi
pemerintah. Peraturan ini terlahir sebagai bentuk respons represif pemerintah bagi pergerakan
mahasiswa yang dianggap membahayakan stabilitas nasional. Aktivitas sosial-politik
mahasiswa yang menolak konsep pembangunan oleh Orde Baru diartikan sebagai
anti-Pancasila dan subversi.66
Untuk menjelaskan pokok pikiran ini, Daoed Joesoef memaparkan keberhasilannya
menerapkan kebijakan normalisasi semasa masih Mendikbud: “Sesuai pernyataan terkenal
Aristoteles tentang kebijaksanaan, saya menjalankan kebijakan yang mengedepankan Mahasiswa yang dicurigai melakukan pembelaan terhadap rakyat
akan mendapat pengawalan. Ketatnya pengawasan berlaku terus hingga mahasiswa yang
melakukan sekadar diskusi atau berkumpul dianggap subversi, lalu diinterogasi bahkan akan
diadili tanpa proses pengadilan. Pada akhirnya pemerintah yang telah lama bergulir seperti
tidak bosan-bosannya menghentikan segala tindak-tanduk mahasiswa, kecuali dalam urusan
belajar. Urusan belajar dimaksud, misalnya Kuliah Kerja Nyata (KKN) ke daerah/desa,
membuat pertunjukan musik di kampus, dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya yang jauh dari
kata politik.
66
kebijaksanaan dengan menghargai waktu terhadap mahasiswa. Misalnya mengisi waktu
dengan menulis, membaca, membuat penelitian, dan tidak selalu di jalan raya.”67
Salah satu keberhasilan kebijakan sterilisasi politik Orde Baru adalah bertahannya
Kelompok Cipayung dalam kenyamanan di tengah permasalahan yang melanda hidup rakyat
banyak. Hal ini terjadi akibat adanya kooptasi dari pemerintah. Mahasiswa sebagian besar
lebih memilih bergelut dengan perebutan ketua Senat Mahasiswa68
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa mahasiswa yang bersikap melawan kekuasaan
akhirnya memilih menanggalkan simbol keorganisasian. Mereka melihat jika terus berdiam
diri, maka perubahan tidak akan datang. Orde Baru akan semakin jaya dan membuat rakyat
di Indonesia bertambah sengsara. Sikap militeristiknya akan menjadi adikuasa yang semakin
tidak terbendung. Oleh karena itu, atas sikap menolak tunduk kepada Soeharto, aktivis
mahasiswa menyepakati pembentukan organisasi baru yang sifatnya lebih bebas dan tegas
melawan sistem Orde Baru serta bercita-cita untuk membuat sebuah perubahan sosial dan
politik.
di berbagai kampus di
Medan dan mengabdi di organisasi induk tanpa ada kepedulian terhadap kesengsaraan rakyat
yang sering ditindas oleh penguasa.
Kekecewaan kepada Kelompok Cipayung maupun Senat Mahasiswa Perguruan
Tinggi melahirkan keinginan baru untuk keluar dan mengembalikan idealisme dalam diri
67
Seta Basri dalam
68
mahasiswa. Memilih keluar dari Kelompok Cipayung maupun Senat Mahasiswa diputuskan
berdasarkan pemahaman bahwa gerakan mahasiswa berjuang demi kerakyatan.
Pada tahun 1990-an bersamaan dengan perkembangan era keterbukaan politik,
Forsolima merupakan salah satu organisasi mahasiswa yang berdiri waktu itu. Awal
terbentuknya Forsolima mengalami perjalanan yang cukup panjang. Waktu demi waktu
dilalui dengan melakukan perundingan atau berdiskusi bersama atas ketidaksepahaman
dengan organisasi masing-masing yang memilih diam. Aktivis-aktivis yang berseberangan
dengan pemikiran kelompok asalnya akhirnya berembuk. Mereka menjalin keakraban dan
kekeluargaan yang diikat atas munculnya kegelisahan bersama. Kristalisasi dalam hal
metode, alat-alat perjuangan, dan ideologi yang didapatkan dari buku-buku bacaan semakin
menguat.
Awalnya para penggiat diskusi yang terdiri dari berbagai kampus dan organisasi
setelah memutuskan keluar dari keorganisasian masing-masing, mengajak mahasiswa untuk
melihat realita sosial di masyarakat. Dengan cara tersebut, mereka mencari mahasiswa yang
kritis kemudian menghadapkannya kepada situasi sosial masyarakat. Hal lain yang terkait
adalah adanya kekecewaan terhadap wakil rakyat (DPRD). Bagi mereka, wakil rakyat
sebagai salah satu pilar demokrasi dianggap tidak mampu mewakili aspirasi rakyat.
Kekecewaan mereka pun semakin bertambah.
Lambat laun diskusi menjadi rutinitas. Diskusi diselenggarakan dari satu kampus ke
kampus lain. Peserta diskusi adalah anggota Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi dari
berbagai Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta. Berawal dari diskusi seperti
dari pengenalan organisasi masing-masing, bertukar informasi, kaji materi, sampai kepada
ajang menjalin silaturahmi. Mereka berdiskusi secara luas mengenai perkembangan politik
teraktual dan gerakan mahasiswa.
Metode diskusi ini sendiri dinamakan dengan sistem sel.69
Silang pendapat terhadap masalah sosial-politik menjadi awal analisis dalam mencari
akar masalah. Tentu saja perbedaan pendapat menjadi bumbu diskusi yang tidak jarang
menjadi perdebatan. Dapat dibayangkan gerakan mahasiswa satu sama lain memiliki garis
ideologi tersendiri, sehingga pemikiran-pemikiran yang ada terlihat berjenis pula. Meskipun
demikian, perbedaan ini justru semakin memperkaya kualitas diskusi yang mereka bangun. Metode diskusi seperti ini
merupakan alegori jaring laba-laba, yaitu menjalin jejaring dengan gerakan mahasiswa lain
yang selama ini belum berjalan dengan baik. Tujuannya adalah untuk menyatukan isu politik,
sehingga terjalin simpul gerakan mahasiswa yang semakin kuat.
Berdasarkan penelitian terhadap Forsolima menunjukkan betapa sulitnya para
penggiat diskusi disatukan. Egosentris kampus yang melekat dalam diri mereka sempat
membuat tarik ulur soal penamaan organisasi yang dibentuk. Namun, akhirnya mereka
menemukan jalan keluar, yakni mengikrarkan diri dalam satu-kesatuan yang baru. Mereka
tidak lagi mengedepankan simbol atau egosentris kampusnya masing-masing.
69
Berbagai pertemuan yang digelar selalu menemui jalan buntu. Pengaruh egosentris kampus masing-masing mempersulit adanya titik temu di antara mereka, sehingga perdebatan untuk memutuskan soal nama organisasi menjadi sangat ulet, karena masing-masing perwakilan kampus meinginkan nama yang mereka usulkan dapat diterima. Akibatnya, untuk menentukan tempat diskusi atau pertemuan berikutnya menjadi perdebatan yang panjang karena masing-masing perwakilan mahasiswa meminta tempat pertemuan dilaksanakan di kampusnya masing-masing.70
Waktu itu mahasiswa dari delapan kampus berbeda yang secara rutin dan konsisten
berdiskusi kembali membahas masa depan gerakan mahasiswa di Medan.71 Mereka
membentuk sebuah wadah gerakan mahasiswa. Beberapa di antara mereka yang terlibat
dalam diskusi antarkampus terdapat Jhoni Silitonga dan Turunan Gulo dari Nommensen,
Iswan Kaputra dan Siswanto dari Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan, Elfenda
Ananda dari Universitas Amir Hamzah. Semuanya merupakan bagian secara struktural dari
Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi. Sebagai diskusi awal, mereka membahas isu-isu sosial.72
Karena terdapat delapan kampus, maka diskusi-diskusi mereka berpindah dari
Universitas Panca Budi ke UMSU; kemudian berpindah ke kampus ITM, STIKP, demikian
seterusnya. Pada 1992, diskusi antarkampus ini dipantau oleh sebuah LSM yang juga
konsentrasi terhadap gerakan sosial di Sumut, yakni Bitra.73
70
Wawancara dengan Iswan Kaputra, Medan 16 April 2013.
Sebagaimana telah diuraikan di
atas bahwa organisasi mahasiswa dapat menyatu dengan LSM lokal yang juga memiliki
kesamaan dalam visi perjuangan. Ini merupakan pemantapan arah gerakan mahasiswa.
71
Delapan kampus dimaksud adalah Sekolah Tinggi Informasi Komunikasi Pembangunan (STIKP), Universitas Pembangunan Panca Budi (Unpab), Universitas HKBP Nommensen, Universitas Medan Area (UMA), Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara (IAINSU), Institut Teknologi Medan (ITM), dan Universitas Amir Hamzah. Wawancara dengan Iswan Kaputra, Medan 31 Mei 2012.
72
Wawancara dengan Elfenda Ananda, Medan 26 Januari 2013.
73
Melihat konsistensi mereka, Bitra mengundang para aktivis mahasiswa ke sekretariat mereka.
Aktivis mahasiswa merespons positif undangan Bitra. Hal ini mengingat Bitra adalah LSM
yang turut membela kaum pinggiran dan juga mendukung gerakan mahasiswa.
Bitra sudah menjalin komunikasi dengan mahasiswa dapat dijelaskan, bahwa sejak
1990-an Bitra mempunyai program yang mereka namakan mahasiswa marginal. Program
mahasiswa marginal ditujukan untuk mencari kader aktivis mahasiswa khususnya mereka
yang memiliki kelemahan secara finansial. Dengan program ini, aktivis mahasiswa bukan
saja hanya diperbantukan sesuai kebutuhan dan kemampuan Bitra, namun diharapkan juga
mampu menjadi kolega dalam membantu perjuangan rakyat yang terpinggirkan. Di sisi lain,
terbentuknya Forsolima sendiri tidak dapat dipisahkan dari pengaruh Bitra. Walaupun begitu,
Forsolima bukan merupakan organisasi sayap Bitra. Relasi Forsolima dan Bitra berangkat
dari adanya kesamaan pemahaman untuk memperjuangkan hak-hak yang tertindas serta
menentang rezim yang sewenang-wenang.74
Aliansi perjuangan dengan Bitra juga menjadi pelecut semangat mahasiswa dalam
merealisasikan mimpi-mimpinya. Mahasiswa memandang Bitra sebagai satu alternatif tempat
berdiskusi termasuk dukungan peralatan berdiskusi, di samping sebagai salah satu pendukung
dana pergerakan, walaupun tidak ketergantungan. Mengenai dana, aktivis mahasiswa tidak
memiliki sumber pendanaan mapan dalam mendukung aktivisme mereka. Dana yang dimiliki
para aktivis umumnya berasal dari orangtua mereka sendiri yang hanya cukup digunakan
untuk biaya kuliah.
74
Setelah menjalani diskusi-diskusi rutin dan lebih serius serta adanya dukungan dari
Bitra, para aktivis mahasiswa selanjutnya merumuskan untuk membangun gerakan
mahasiswa baru. Alotnya situasi politik di tengah-tengah bangsa lambat laun memupuk
pemikiran dan sikap mereka untuk berbuat sesuatu kepada masyarakat. Sebagai warga
kampus yang notabene bagian dari kelompok intelektual menyadarkan mereka akan
tanggung jawab besar dalam kehidupan bermasyarakat.
Kesadaran akan pentingnya peran mahasiswa dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara memantapkan ciri kritis para aktivis muda yang terus berdiskusi membahas isu-isu
sosial-politik. Mereka menyadari pentingnya melakukan perubahan untuk alasan
kemanusiaan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Untuk itu, para aktivis dari delapan kampus berbeda di atas sepakat membentuk
sebuah wadah baru untuk dijadikan tempat berdiskusi dan melakukan gerakan secara
bersama. Kesepakatan mulai menemui titik kulminasinya ketika mereka tidak
membeda-bedakan lambang kampus satu sama lain. Kedelapan aktivis akhirnya bersepakat untuk
melepas atribut Cipayung maupun Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi masing-masing untuk
melebur menjadi satu organisasi yang baru. Gagasan melepas simbol kampus ternyata
membuahkan hasil, ego masing-masing dapat dilepaskan.
Pada suatu aksi perdana di Deli Serdang, mereka untuk pertama kalinya menyebut
diri sebagai komite solidaritas mahasiswa Medan.75
75
Aksi mendukung petani dimaksud adalah mendukung petani Dusun Anggrek-Rumania, Lubuk Pakam, Deli Serdang, Agustus 1993. Saat itu lahan petani Dusun Anggrek dikuasai oleh Pusat Koperasi Angkatan Darat (Puskopad). Wawancara dengan Iswan Kaputra, Medan 16 April 2013.
Komite Solidaritas kemudian
berikutnya menjadi Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima)76
Berbeda dengan KS pada dasawarsa sebelumnya, Forsolima hadir sebagai organisasi
mahasiswa ekstrakampus yang tidak melulu hanya berdiskusi atau membicarakan studi.
Mereka tidak hanya banyak membaca, berteori atau berdiskusi. Atas kondisi dan kemauan
politik yang kuat, para aktivis kelompok ini kemudian melakukan aksi-aksi demonstrasi
sebagai praksis dari studi. Dengan kata lain, mereka memadukan studi dengan aksi
demonstrasi sebagai desakan (pressure) bagi pemerintah yang berkuasa ketika itu.
yang berdiri dalam
Agustus 1993. Oleh karena itu, deskripsi di atas memperlihatkan, bahwa Forsolima terbentuk
dari diskusi rutin yang membahas isu sosial-politik di masyarakat dan ditindaklanjuti dengan
aksi konkret di lapangan.
2.3.2 KSMM
Tidak jauh berbeda dengan alasan berdirinya Forsolima, beberapa aktivis yang juga
awalnya tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) membentuk
sebuah kelompok baru yang berprinsip kerakyatan dan nasionalis. Pada awalnya kelompok
ini tidak dirancang karena tidak disertakan dalam program kegiatan GMKI. Sebab ide untuk
mendirikan sebuah KS belum terpikirkan mereka. Namun demikian, gagasan awal
pembentukan KSMM mewacanakan bahwasannya adanya kegelisahan dan semangat
perjuangan menjadi titik temu yang mungkin melahirkan sebuah organisasi dalam waktu
yang tidak terlalu lama.
76
Awal pembentukan KSMM muncul dari Sahat Lumbanraja, anggota GMKI.77
KLK yang diikuti sebanyak 40 peserta merupakan kegiatan rutin GMKI untuk
menuntun anggotanya agar mampu bertanggung jawab terhadap beban yang ditugaskan. Di
sinilah dituntut sikap kepemimpinan yang telah didapatkan dari pelatihan KLK. Akan tetapi,
yang kerap menjadi kelemahan dalam setiap kegiatan ini adalah tidak adanya rencana tindak
lanjut, sehingga tindakan konkret sebagai hasil dari pelatihan kepemimpinan sangat jarang
dibangun. Itu sebabnya latihan kepemimpinan dianggap hanya sebagai seremonial yang lebih
banyak berteori, namun minus aplikasi. Melihat hal ini, Sahat Lumbanraja menawarkan
konsep tindak lanjut untuk dibahas oleh sesama peserta pelatihan. Rencana lanjutan yang
diajukan adalah menentukan wujud kepemimpinan dalam diri masing-masing mahasiswa. Ia
mendorong anggota GMKI Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara periode 1994 untuk
melaksanakan program yang sudah ditetapkan, yaitu Kursus Latihan Kepemimpinan (KLK)
bagi para anggota GMKI. Pelatihan ini merupakan pembobotan untuk mencetak kader atau
pemimpin-pemimpin baru.
Ide kepemimpinan yang dipelajari dapat dimanifestasikan dalam kehidupan sejak
masa mahasiswa. Faktor kepemimpinan dalam diri seorang mahasiswa sangat berperan
penting dalam bermasyarakat setelah ia menamatkan dirinya dari perkuliahan. Ide
kepemimpinan yang digulirkan melalui diskusi tidak hanya diaplikasikan pada
kelompok/organisasi yang sama.
Selain KLK, mereka juga mengkritisi penyebab melemahnya organisasi Cipayung
dalam memprotes pemerintah. Salah satu penyebabnya karena adanya garis komando yang
77
berlaku secara struktural. Di mana pengurus daerah harus tunduk terhadap garis kebijakan
pengurus tingkat pusat. Sifat struktur demikian dimanfaatkan dengan benar oleh pemerintah
untuk melemahkan pergerakan mahasiswa. Ketika pimpinan pusat organisasi Cipayung
berhasil dirangkul, maka diharapkan tidak ada gejolak berarti yang dilakukan oleh pengurus
di daerah. Oleh karena itu, mereka yang terdorong ingin membuat perubahan sosial mendapat
rintangan dari internal organisasi.
Atas dasar berpikir itulah, peserta pelatihan mencoba keluar dari pakem lama GMKI.
Berikut ini adalah kesimpulan dari diskusi KLK seperti diutarakan oleh Sahat Lumbanraja:
“Mengawali RTL, metode yang digunakan adalah dengan memetakan minat para peserta pelatihan kepemimpinan. Membaca minat masing-masing dalam pertemuan itu mengantarkan mereka kepada sebuah kata mimpi di masa mendatang. Satu demi satu para peserta menyatakan apa yang menjadi minatnya, misalnya satu orang meminati dunia jurnalistik, satu orang lagi meminati dunia akademis yang berorientasi pada penelitian ilmiah, lain lagi berminat pada dunia kepengarangan dan sebagainya. Masing-masing minat ini kemudian diikat dengan sebuah harapan yang disatukan menjadi pemahaman dan dibayangkan harus ditarik benang merahnya sejak saat itu. Langkah berikutnya adalah sampai ke tingkatan level tinggi. Tentu saja minat tadi sekaligus menjadi penyemangat untuk disuntikkan bagi peserta.”78
Mengkaji diskusi yang tergabung dalam latihan kepemimpinan rata-rata memiliki
pemikiran yang sama untuk turut membawa pemahaman mengenai KSMM. Melihat
kesepahaman yang ada, akhirnya tanpa ragu-ragu disepakati untuk membentuk wahana
organisasi mahasiswa yang baru, KS.
Alasan pembentukan ini dipandang sebagai akibat dari situasi gerakan mahasiswa
yang statis, meskipun terdapat Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi dan Cipayung. Di
samping itu, alasan lainnya adalah KS dianggap mampu melahirkan pemimpin gerakan
mahasiswa yang mampu menyatukan segala perbedaan. Berbeda dengan organisasi
78
mahasiswa Cipayung, dalam KS menjadi pemimpin bukanlah sesuatu yang sakral ataupun
menjadi agenda yang diperebutkan serta dibanggakan sebagai sebuah prestise.
Seperti dijelaskan di atas, pembentukan KS sejalan dengan kehendak politik aktivis
mahasiswa. Mereka menginginkan strategi baru gerakan mahasiswa di bawah tekanan
represif Soeharto. KS sejak masa Soekarno sangat kental dengan ide atau pemikiran, punya
modal untuk menunjukkan sikap.79
Ketika bergabung bersama buruh, mereka juga menyesuaikan diri dengan membantu
buruh melakukan pekerjaan sehari-hari, sehingga mereka memahami kehidupan sosial yang
dialami buruh. Dengan menjadi buruh, para aktivis pun menangkap keprihatinan yang terjadi
atas mereka.
Bukan saja menuntut, namun ada tawaran alternatif atau
solusi. Intelektualitas yang melekat dalam KS merupakan senjata pamungkas yang
membedakan mereka dengan Cipayung. Tidak mengajukan tuntutan yang skopnya nasional.
KS, justru dekat dengan petani, nelayan, buruh, kaum miskin kota dan kaum tertindas
lainnya.
Metode seperti ini digunakan untuk meningkatkan sikap kritis KS. Hidup bersama
masyarakat yang tersisihkan, tidak mengikuti permainan kaum elite merupakan pilihan lebih
berdampak dan berpengaruh. Dengan mengasah diri lewat pengalaman langsung bersama
rakyat, diharapkan para aktivis mahasiswa semakin militan.
Dasar pemikiran ini sangat mengena bagi aktivis mahasiswa yang bosan dengan
keadaan organisasi mahasiswa yang berbasis massa dan selalu terkontaminasi pengaruh
79
pemerintah. Seiring perkembangan diskusi pasca-KLK, akhirnya mereka mendirikan sebuah
organisasi mahasiswa ekstrakampus berupa KS yang dinamakan Kelompok Studi Mahasiswa
Merdeka (KSMM). KSMM berdiri pada 1995 atau dua tahun pasca-Forsolima terbentuk. KS
ini bertempat di Padang Bulan yang aktivisnya terdiri dari tiga kampus berbeda: Universitas
Sumatera Utara, Universitas HKBP Nommensen, dan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(IKIP) Medan. 80
Perubahan konstelasi politik yang membawa perubahan dan kebebasan berpolitik
menjadi pemicu munculnya gerakan mahasiswa yang mengedepankan kebebasan dalam
berekspresi dan berkarya. Di mana kebebasan merupakan hal tabu di zaman Orde Baru.
Hanya orang-orang yang tidak mau tunduk terhadap Soeharto yang menyatakan diri bebas
atau merdeka. Untuk itu, KSMM adalah satu di antara organisasi mahasiswa yang muncul
dengan mengedepankan kebebasan, termasuk mampu menjadi pemimpin di kalangan
gerakan mahasiswa se-Medan.
Sesuai mottonya, berpikir kritis berjiwa merdeka, KSMM merupakan KS yang turut
memberikan kontribusi penting dalam melakukan perubahan bagi bangsa, yaitu mewujudkan
demokrasi yang selama 30 tahun lebih dikekang oleh Orde Baru. KSMM juga mengangkat
isu-isu sosial, dengan catatan setiap masalah selalu langsung direspons dengan aksi turun ke
jalan.
KSMM lahir dengan latar belakang para anggotanya melakukan analisis dan aksi
terhadap masalah-masalah aktual. Ini merupakan metode yang banyak diadopsi oleh KS
80
mahasiswa yang hanya mengutamakan teori, namun minus aksi. Sebaliknya pers mahasiswa
justru lebih banyak berperan dalam melakukan aksi-aksi turun ke jalan.
Dalam perjalanannya, KSMM akhirnya memperbaharui diri dengan meningkatkan
fungsinya sebagai organisasi mahasiswa. Serupa dengan Forsolima, KSMM juga merubah
konsepnya, tidak hanya diskusi dan belajar, melainkan ikut memotori aksi unjuk rasa. Dalam
kondisi rezim yang antidemokrasi, gerakan mahasiswa tidak cukup hanya sebagai gerakan
moral. Namun harus masuk kepada tindakan konkret di lapangan, misalnya melakukan aksi
demonstrasi.
Dalam hal ini studi (diskusi) saja tidak cukup. Studi merupakan satu sisi penting
sebagai awal pemikiran menuju tahap berikutnya. Sementara di sisi lain, demostrasi
merupakan kebutuhan mahasiswa dalam sebuah gerakan.
“Awalnya adalah KS. Kenapa? Karena obsesi kita untuk menganalisis dan membahas masalah-masalah aktual. Kemudian di tengah jalan kita berpikir tidak mungkin hanya fokus pada studi saja. Ketika itu kita menyebutnya—jika hanya studi—sebagai “onani intelektual”. Oleh karena itu, di luar studi diperlukan aksi (demonstrasi). Nah, kita tidak mau diam zaman itu. Kita selalu ingin bergerak, kita ingin sekali ada aksi turun ke jalan. Istilahnya “gatal” hendak bergerak ke sana kemari. Begitulah kita waktu itu. Gelisah.”81
Wadah seperti KSMM dan Forsolima juga dapat menjadi alternatif bagi mahasiswa
untuk menyalurkan kesadaran sekaligus menyuarakan aspirasinya. Sebab, kehadiran
keduanya telah cukup memberikan dampak yang besar terhadap gerakan sosial yang
terbangun di Medan. Meskipun tidak berumur panjang, kontribusinya dianggap sudah
menjadi perhatian yang perlu dipertimbangkan apalagi dalam ranah peristiwa reformasi yang
berhasil menggulingkan rezim otoritarian. Dengan munculnya Forsolima dan KSMM,
gerakan mahasiswa semakin tersebar dan membesar.
81