• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUESIONER KAJIAN PENYAKIT Q-FEVER KUESIONER UNTUK PETERNAKAN

A. Data Dasar dan Informasi

1. Nomor kuesioner :... .Tanggal :... 2. Nama Peternakan :... 3. Alamat Peternak : Jalan ... Desa... Kecamatan... Kabupaten... Nomor Telpon :...

Silahkan tandai “√” dalam kotak yang benar jika sesuai untuk pertanyaan- pertanyaan berikut

B. Karakteristik Peternak

1. Jenis Kelamin : ฀ Laki-laki ฀ Perempuan

2. Umur : ... tahun

3. Pendidikan Formal : ฀ SD

฀ SLTP ฀ SLTA

฀ Perguruan Tinggi 4. Berapa lama Bapak/Ibu telah beternak

sapi perah

: ... tahun

C. Karakteristik Peternakan

1. Populasi sapi perah : ... ekor 2. Sapi perah bunting : ... ekor

3. Lokasi Peternakan : ฀ Jauh dari pemukiman

฀ Dekat dari pemukiman 4. Lokasi pemeliharaan sapi

4.1 Jarak peternakan dari bandara soetta : ฀ < 50 km ฀ 50 – 100 km ฀ 100 – 200 km ฀ > 200 km

4.1 Lokasi peternakan : ฀ Pusat kota ฀ Kecamatan ฀ Desa 4.2 Jika tempat tinggal anda di

Kecamatan / desa, kira-kira berapa jarak dari pusat kota ?

Sebutkan...Km : ฀ 5 s/d 10 km ฀ 15 s/d 20 km ฀ Lebih dari 20 km 5. Sanitasi 5.1 Kandang : ฀ Baik ฀ Sedang ฀ Buruk

5.2 Tempat pakan : ฀ Baik

฀ Sedang ฀ Buruk

5.3 Tempat minum : ฀ Baik

฀ Sedang ฀ Buruk 5.4 Tempat penampungan susu : ฀ Baik

฀ Sedang ฀ Buruk 5.5 Lingkungan peternakan : ฀ Baik

฀ Sedang ฀ Buruk

5.6 Sumber air : ฀ PAM

฀ Sumur dalam > 30 m

฀ Sumur dangkal ≤ 30 m

6. Ventilasi Kandang : ฀ Baik

฀ Buruk 7. Higiene personal

7.1 Pakaian kerja (baju seragam, sepatu bot, dll)

: ฀ Ada ฀ Tidak ada

7.2 Sarana cuci tangan : ฀ Ada

฀ Tidak ada 7.3 Pemeriksaan kesehatan karyawan : ฀ Ada

฀ Tidak ada

7.4 Sapi yang mengalami keguguran : ฀ Ada ฀ Tidak ada Jika ada bagaimana penanganannya

... ... 8 Biosekuriti

52

8.1 Tindakan sanitasi sebelum masuk peternakan

: ฀ Ada ฀ Tidak ada 8.2 Tindakan sanitasi sebelum masuk

kandang

: ฀ Ada ฀ Tidak ada

8.3 Program vaksinasi : ฀ Ada

฀ Tidak ada Jika ada sebutkan vaksinasi apa saja yang dilakukan

... ...

8.4 Program pengobatan : ฀ Ada

฀ Tidak ada Jika ada, jenis antibiotika apa yang sering digunakan

... ... 8.5 Kegiatan desinfeksi kandang /

peralatan

: ฀ Ada ฀ Tidak ada 8.6 Kandang untuk sapi pedet, sapi

remaja, sapi dara, sapi dewasa dan sapi beranak terpisah

฀ Ya ฀ Tidak Jika Ya, berapa jaraknya ? ... m

8.7 Kandang kambing, domba dan ayam dekat lokasi peternakan

: ฀ Ya ฀ Tidak Jika Ya, berapa jaraknya ? ... m

9 Keberadaan ektoparasit

9.1 Ektoparasit yang dijumpai : ฀ Lalat ฀ Caplak ฀ Kutu

฀ Lain-lain, Sebutkan ...

9.2 Kerapatan Relatif : ฀ Lalat

฀ Caplak 10 Pengetahuan peternak tentang penyakit Q

Fever

10.1 Apakah anda mengetahui tentang penyakit qfever ?

: ฀ Ya, tahu

฀ Tidak (Jika tidak, langsung ke pertanyaan nomor 10.4)

10.2 Tolong sebutkan secara singkat bahayanya penyakit qfever bagi hewan dan manusia ...

:

10.3 Menurut anda hewan apa saja yang dapat tertular penyakit qfever dan bagaimana cara penularan penyakit qfever ...

:

10.4 Apakah pernah ada penyuluhan tentang penyakit qfever oleh Dinas peternakan atau instansi lain di lingkungan tempat tinggal anda ?

: ฀ Tidak ฀ Pernah

53

Lampiran 2 Hasil pengujian ELISA

Nilai OD kontrol positif dan kontrol negatif

Kontrol Hasil OD (duplo) Rata-rata OD Positif –OD Negatif

I II

Negatif 0,162 0,161 0,1615

1,7955

Positif 1,96 1,954 1,957

Nilai valid jika : OD kontrol negatif < 0.5, OD kontrol positif < 0.2, selisih OD kontrol positif dengan kontrol negatif ≥ 0.3.

Nilai OD dan nilai (%) sampel yang diperiksa

No Kode Sampel Nilai OD Nilai %

1 75 2,524 131,58 2 175 0,26 5,49 3 162 0,224 3,48 4 370 1,606 73,81 5 168 2,095 107,69 6 249 2,02 103,51 7 308 0,178 0,92 8 412 1,39 68,42 9 411 0,238 4,26 10 303 2,369 122,95 11 66 2,552 133,14 12 126 2,109 108,47 13 446 1,977 101,11 14 158 1,094 51,94 15 61 2,415 125,51 16 63 0,127 -1,92 17 183 2,508 130,69 18 69 0,274 6,27 19 74 1,274 61,96 20 404 1,21 58,40 21 456 0,161 -0,03 22 37 1,824 92,59 23 260 2,496 130,02 24 262 2,384 123,78 25 155 0,15 -0,64 26 103 1,475 73,16 27 T3650 0,226 3,59 28 T3692 0,252 5,04

No Kode Sampel Nilai OD Nilai % 29 T3712 0,274 6,27 30 T3662 0,137 -1,36 31 T3670 0,166 0,25 32 T0164 0,289 7,10 33 T0160 0,235 4,09 34 T0422 0,365 11,33 35 T0486 0,257 5,32 36 400 2,267 117,27 37 314 0,326 9,16 38 310 0,374 11,84 39 132 0,403 13,45 40 305 0,295 7,44 41 111 0,311 8,33 42 398 1,793 90,87 43 437 0,313 8,44 44 343 2,243 115,93 45 178 2,51 130,80 46 214 2,439 126,84

Rata-rata persentase nilai positif adalah 92.54% dan rata-rata persentase nilai negatif adalah 7.69 %.

55

Lampiran 3 Konsentrasi dan tingkat kemurnian DNA No Kode Sampel Konsentrasi DNA

(µg/ml) Kemurnian DNA 1 75 40 1,538 2 175 26 1,831 3 162 27 1,698 4 370 24 1,584 5 168 19,5 1,674 6 249 17,5 1,707 7 308 19,5 3,12 8 412 32,5 1,912 9 411 33 1,784 10 303 30 1,974 11 66 26 2,159 12 126 31,5 1,575 13 446 22,5 1,552 14 158 27,5 1,618 15 61 18 1,622 16 63 22,5 1,625 17 183 38,5 1,54 18 69 29,5 1,595 19 74 26 2,667 20 404 26 1,529 21 456 31,5 1,575 22 37 20,5 1,541 23 260 19 1,836 24 262 28 1,728 25 155 31 1,676 26 103 30 1,622 27 T3650 22 2,075 28 T3692 74 1,51 29 T3712 17,5 2,229 30 T3662 19 2,021 31 T3670 18,5 3,426 32 T0164 10 2,532 33 T0160 22,5 1,94 34 T0422 25 2,294 35 T0486 24 2,462 36 400 28 2,456 37 314 26,5 2,377 38 310 24,5 2,103

No No Sampel Konsentrasi DNA (µg/ml) Kemurnian DNA 39 132 27,5 1,93 40 305 26 2,43 41 111 26,5 2,345 42 398 29 2,109 43 437 32,5 2,038 44 343 29,5 1,903 45 178 28,5 2,457 46 214 33,5 1,971

Rata-rata konsentrasi DNA adalah 36.75 µg/ml dan rata-rata tingkat kemurnian DNA adalah 1.75.

57

Lampiran 4 Sertifikat analisis CHEKIT Q-fever (Coxiella burnetii) antibody test kit

ENDAH KUSUMAWATI. Study of Q Fever in Imported Dairy Cattle from Australia through the Soekarno-Hatta Airport. Under direction of MIRNAWATI B. SUDARWANTO and TRIOSO PURNAWARMAN.

Q fever is worldwide distributed zoonosis caused by Coxiella burnetii. This intracelluar bacterium infects a wide range of animals and associated with reproductive disorders in domestic ruminants. It can lead an acute and chronic infections and caused flu-like syndrome, hepatitis, pneumonia or endocarditis. The aim of this research is to study Q fever in imported dairy cattle from Australia through the Soekarno-Hatta airport. Forty-six samples of serum and whole blood were taken from imported dairy cattle. Two diagnostic methods used in this study were serological test using enzyme-linked immunosorbant assay (ELISA) and nested polymerase chain reaction (nested PCR). The result of serological test showed that 23 (50%) out of 46 samples were positive but Coxiella burnetii DNA were not detected by nested PCR. These data revealed that Q fever have infected imported dairy cattle from Australia through Soekarno-Hatta airport with 50% of seroprevalence.

RINGKASAN

ENDAH KUSUMAWATI. Kajian Q Fever pada Sapi Perah Impor dari Australia yang Masuk Melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta. Dibimbing oleh MIRNAWATI B. SUDARWANTO dan TRIOSO PURNAWARMAN.

Kegiatan importasi berisiko masuknya berbagai penyakit ke Indonesia. Hewan sapi dengan produknya yang diimpor dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan masuknya penyakit baru (eksotik) yang dapat menular pada hewan dan manusia ke dalam wilayah Indonesia. Q fever merupakan penyakit yang bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Hewan ternak yang dapat terserang adalah sapi, kambing, domba maupun ternak ruminansia lain. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan, makanan asal ternak yang terinfeksi seperti daging, susu, produk ternak lainnya maupun oleh partikel debu yang terkontaminasi agen penyebab.

Coxiella burnetii adalah mikroorganisme penyebab penyakit Q fever, berbentuk pleomorfik (bentuknya tidak tetap, batang atau kokoid), bersifat obligat intraseluler, berukuran lebar 0.2-0.4 µm dan panjang 0.4-1.0 µm, struktur menyerupai spora (spora like). C. burnetii mempunyai membran yang sama seperti bakteri gram negatif, mempunyai bentuk besar (large form/large cell variant) dan bentuk kecil (small form/small cell variant). Agen penyebab tahan terhadap kondisi psikokimia, seperti lingkungan panas, kering, dan tahan terhadap beberapa konsentrasi desinfektan, seperti 0.05% hipoklorit, 5% peroksida, 1:100 larutan lisol, glutaraldehid, etanol dan gas formaldehid. Pada bahan pangan asal hewan dan olahannya C. burnetii dapat bertahan hidup 1 bulan pada daging yang disimpan dalam cold storage (suhu -18 °C sampai dengan -20 °C), 42 bulan pada susu segar yang disimpan dalam suhu 4-6 °C dan lebih dari 40 bulan pada susu skim. C. burnetii dapat dikembangkan sebagai senjata biologis yang berpotensi sebagai ancaman terorisme (bioterrorisme) seperti halnya Bacillus anthracis.

Penelitian tentang Q fever di beberapa negara sudah demikian maju, bahkan sekuensing genom dari C. burnetii secara lengkap sudah dilakukan, mengingat C. burnetii mempunyai potensi untuk dipakai sebagai senjata biologis. Laporan epidemiologi dari banyak negara menyebutkan bahwa orang yang sering kontak langsung dengan ternak, seperti peternak, pekerja rumah potong, masyarakat yang tinggal di daerah kumuh (urban area) berpeluang besar terserang Q fever. Penelitian terhadap penyebab Q fever di Indonesia sampai saat ini masih jarang dilakukan karena gejala klinis bentuk akut infeksi Q fever tidak begitu menciri, seperti terjadinya pneumonia, hepatitis, dan endokarditis. Temuan kasus klinis belum pernah didiagnosa ke arah adanya Q fever, sehingga kurang diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat. Dampak jangka panjang penyakit ini sangat membahayakan dan fatal bagi manusia, di sisi lain Indonesia merupakan pengimpor ternak terutama sapi, baik sapi bakalan, sapi perah maupun daging beku dari Amerika, Australia, New Zealand dan beberapa negara lain. Indonesia dengan jumlah penduduk yang sebagian besar adalah petani yang tidak terlepas dari hewan ternak serta banyaknya lokasi kumuh di perkotaan sangat rentan terhadap infeksi Q fever. Penentuan diagnosis yang cepat dan akurat terhadap Q fever sangat dibutuhkan sebagai upaya pengendalian yang tepat dan cepat.

dengan sanitasi, higiene personal, dan biosekuriti. Hewan target adalah sapi perah impor dari Australia yang dilalu-lintaskan melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta. Sampel yang diambil berupa serum dan whole blood, masing-masing sebanyak 46 sampel. Pengambilan sampel menggunakan rumus detect diseases dengan asumsi prevalensi 6.12 % dan tingkat kepercayaan 95 %, artinya prevalensi akan terpenuhi jika minimal ada 1 yang positif Q fever dari jumlah sampel tersebut. Sampel serum diuji dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) menggunakan CHEKIT Q-Fever (Coxiella burnetii) Antibody Test Kit dan sampel whole blood diuji dengan menggunakan nested polymerase chain reaction (PCR).

Hasil uji serologi menunjukkan sebanyak 23 sampel (50%) positif Q fever dari 46 sampel dengan rata-rata persentase nilai positif adalah 92.54%. Hasil nested PCR dengan menggunakan primer OMP1, OMP2, OMP3 dan OMP4 dari 46 sampel whole blood adalah negatif. Pada umumnya jumlah sampel yang positif C. burnetii pada pemeriksaan serologis cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan pemeriksaan dengan metode PCR. Pada pemeriksaan serologis, hewan yang positif antibodi terhadap C. burnetii adalah hewan yang telah terinfeksi dalam waktu lama, sementara agen penyebabnya sendiri belum tentu ada dalam tubuh hewan. Negatif nested PCR dapat disebabkan karena sifat C. burnetii yang merupakan bakteri intraseluler, pada fase akut dapat ditemukan di darah namun pada fase kronis bakteri banyak terakumulasi dalam sel fagosit yang terdapat di organ seperti jantung, hati, plasenta dan susu.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi informasi mengakibatkan meningkat pula frekuensi lalu-lintas dan jumlah komoditi hewan beserta produknya di masing-masing kegiatan ekspor, impor, dan antar area. Frekuensi dan jumlah sapi impor yang dilalu-lintaskan melalui Bandar Udara Soekarno- Hatta disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Frekuensi dan jumlah sapi impor yang dilalu-lintaskan melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta berdasarkan Laporan Tahunan Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) SOEHATTA (2011)

Bulan

Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011

Jumlah (ekor) Frekuensi Jumlah (ekor) Frekuensi Jumlah (ekor) Frekuensi Januari 191 1 192 1 0 0 Februari 0 0 0 0 0 0 Maret 0 0 202 1 0 0 April 588 3 0 0 0 0 Mei 0 0 0 0 220 1 Juni 430 2 247 2 132 3 Juli 0 0 47 1 395 4 Agustus 17 1 0 0 0 0 September 17 1 203 1 0 0 Oktober 0 0 0 0 0 0 Nopember 0 0 0 0 99 1 Desember 158 3 0 0 0 0 Total 1 401 11 891 6 714 8

Jenis sapi yang diimpor antara lain adalah sapi perah, merupakan ternak yang relatif banyak dipelihara untuk memproduksi susu. Direktorat Jenderal Peternakan (Ditjenak) (2011) menyebutkan bahwa 80% bahan baku susu masih diimpor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) (2011), sepanjang Januari sampai Juni 2011, impor susu bubuk Indonesia mencapai 101 657 ton dengan nilai US$ 381.472 juta atau setara dengan Rp 3.2 triliun. Rata-rata setiap tahun

Indonesia mengimpor bahan baku dan produk jadi susu sebesar US$ 600 juta atau kurang lebih Rp 5.1 triliun. Impor terbanyak berasal dari Selandia Baru dengan nilai sebesar US$ 126.65 juta, Australia senilai US$ 85.297 juta, Amerika Serikat senilai US$ 77.610 juta, Filipina sebanyak US$ 19.247 juta, Singapura senilai US$ 15.528 juta dan negara lainnya US$ 57.137 juta. BPS juga mencatat, pergerakan impor susu dari bulan ke bulan menunjukan kenaikan, April 2011 impor susu hanya sebesar US$ 58.368 juta, Mei naik US$ 70.865 juta, Juni naik menjadi US$ 77.432 juta. Lonjakan susu impor yang masuk ke Indonesia seiring dengan pertumbuhan industri susu yang mencapai level 6 sampai 7% per tahun.

Kegiatan importasi beresiko masuknya berbagai penyakit ke Indonesia. Keputusan importasi pada akhirnya harus mempertimbangkan kepentingan- kepentingan lain baik ekonomi dan politis. Analisa risiko merupakan suatu proses komplek yang sebenarnya tidak hanya ditujukan untuk menjamin keamanan dan kesehatan pangan secara fisik, tetapi juga secara rohani, karena dalam tahap analisa risiko sudah termasuk verifikasi kehalalan produk yang akan diimport dimana merupakan orientasi penting bagi masyarakat Indonesia. Kebijakan importasi yang didasari murni oleh analisa risiko tidak akan memberikan efek yang merugikan berbagai pihak yang terkait dengan kegiatan importasi itu sendiri apabila kondisi negara sudah cukup memadai dengan pilihan tidak melakukan importasi. Kondisi yang memadai tersebut harus mencakup kesiapan negara akan ketersediaan ternak dan produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Program swasembada pangan merupakan program yang tepat untuk mendukung kebijakan importasi.

Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS 2014) merupakan salah satu program prioritas pemerintah dalam lima tahun ke depan untuk mewujudkan ketahanan pangan asal ternak berbasis sumber daya lokal. Pencapaian swasembada daging sapi merupakan tantangan yang tidak ringan, karena pada tahun 2009 impor daging mencapai 7.0 x 104 ton dan sapi bakalan setara dengan 250.8 x 103 ton daging (Ditjenak 2010).

Data menunjukkan bahwa Indonesia mengimpor sapi rata-rata 6.5 x 105 ekor per tahun yang sebagian besar berasal dari Australia (Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia/APFINDO 2010). Australia merupakan

3

negara asal dan pertama ditemukannya Query fever (Q fever) pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane pada tahun 1935 (Acha dan Szyfres 2003). Hewan sapi dengan produknya yang diimpor dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan masuknya penyakit baru (eksotik) yang dapat menular pada hewan dan manusia ke Indonesia.

Q fever merupakan penyakit yang bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Hewan ternak yang dapat terserang adalah sapi, kambing, domba maupun ternak ruminansia lain. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi, melalui makanan asal ternak terinfeksi seperti daging, susu, produk ternak lainnya maupun oleh partikel debu yang terkontaminasi agen penyebab. Q fever tersebar luas di seluruh dunia bahkan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak negara seperti Amerika, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang, Australia, Thailand, Taiwan, Malaysia, dan beberapa negara lain di Asia Tenggara (Fournier et al. 1998). Akibat distribusi geografis Q fever yang sangat luas dan letak geografis Indonesia yang berdekatan wilayah dengan negara-negara endemik Q fever terutama Australia, maka perlu diwaspadai penyebaran infeksi penyakit ini di Indonesia.

Penelitian tentang Q fever di beberapa negara sudah demikian maju, bahkan sekuensing genom dari C. burnetii secara lengkap sudah dilakukan, mengingat C. burnetii mempunyai potensi untuk dipakai sebagai senjata biologis (Seshadri et al. 2003). Laporan epidemiologi dari banyak negara menyebutkan bahwa orang yang sering kontak langsung dengan ternak, seperti peternak, pekerja rumah potong, masyarakat yang tinggal di daerah kumuh (urban area) berpeluang besar terserang Q fever. Indonesia dengan jumlah penduduk yang sebagian besar adalah petani yang tidak terlepas dari hewan ternak serta banyaknya lokasi kumuh di perkotaan sangat rentan terhadap infeksi Q fever. Penentuan diagnosis yang cepat dan akurat terhadap Q fever sangat dibutuhkan sebagai upaya pengendalian yang tepat dan cepat.

Perumusan Masalah

Penelitian terhadap penyebab Q fever di Indonesia sampai saat ini masih jarang dilakukan karena gejala klinis bentuk akut infeksi Q fever yang tidak begitu menciri, seperti terjadinya pneumonia, keguguran ataupun tingginya kasus hepatitis dan endokarditis. Temuan kasus klinik belum pernah didiagnosa kearah adanya Q fever, sehingga kurang diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat. Di satu sisi dampak jangka panjang penyakit ini sangat membahayakan dan fatal bagi manusia. Di sisi lain Indonesia merupakan pengimpor ternak terutama sapi, baik sapi bakalan, sapi perah maupun daging beku dari Amerika, Australia, New Zealand dan beberapa negara lain. Selain itu era globalisasi akan meningkatkan arus lalu lintas perdagangan ternak dan juga mobilitas manusia, yang juga berdampak terhadap cepatnya penyebaran penyakit khususnya zoonosa seperti Q fever ataupun yang lainnya.

Laporan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 1955 Q fever pertama kali ditemukan di Indonesia dari 188 serum sapi yang diperiksa secara serologis positif mengandung antibodi C. burnetii menggunakan cappilary tube agglutination test (CAT) (Kaplan dan Bertagna 1955). Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Rumawas (1976) menunjukkan bahwa dari 323 sampel darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang ditemukan 4 sampel (1.2%) positif antibodi terhadap Q fever menggunakan metode CAT. Vanpeenen et al. (1978) juga melakukan penelitian penyakit Q fever pada pekerja di Indonesia secara seroepidemiologi.

Penelitian selanjutnya dilaporkan Miyashita et al. (2001) pada kasus pneumonia yang diderita oleh seseorang yang pernah tinggal di Indonesia dan ditemukan positif terinfeksi C. burnetii. Hasil seroprevalensi Q fever di Bogor pada domba dan kambing menunjukkan sebesar 31.88% dan 20.29% menggunakan metode indirect immunofluorescent antibody (IFA), sedangkan dengan metode nested polymerase chain reaction (nested PCR) terhadap 245 ekor sapi bali dan Brahman cross ditemukan 15 ekor (6.12%) positif DNA C. burnetii serta pada 165 ekor kambing dan domba ditemukan 6 ekor (3.64%) positif DNA C. burnetii di Bali dan Bogor (Mahatmi 2006).

5

Data di atas dapat dijadikan dasar untuk melakukan penelitian tentang keberadaan penyakit Q fever di Indonesia terutama pada hewan sapi yang diimpor dari Australia, hal ini penting dilakukan karena sampai saat ini volume importasi sapi masih tinggi untuk mewujudkan swasembada daging tahun 2014.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk (1) melakukan suatu kajian tentang penyakit Q fever dan keberadaan C. burnetii pada sapi perah impor dari Australia, dan (2) mengkaji faktor risiko penyebaran C. burnetii ke lingkungan berkaitan dengan sanitasi, higiene personal, dan biosekuriti.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran data yang pasti dan akurat tentang keberadaan C. burnetii sebagai penyebab penyakit Q fever sehingga dapat dijadikan pertimbangan ilmiah dalam hal importasi sapi perah dari Australia.

Hipotesa

Hipotesa penelitian ini adalah (1) C. burnetii sebagai penyebab Q fever ditemukan dan menginfeksi sapi perah impor dari Australia, dan (2) terdapat faktor risiko penyebaran C. burnetii ke lingkungan peternakan berkaitan dengan sanitasi, higiene personal dan biosekuriti.

Sejarah

Nama lain dari penyakit demam Q atau Q fever di beberapa negara adalah Acute Q fever, Chronic Q fever, Coxiella burnetii fever, Coxiella burnetii borne diseases, Australian Q fever, Australian Q, Balkan influenza, Balkan Nine Mile Fever, Coxiella burnetii infection, Derrick-bunet diseases, Hibernovenal bronchopneumoni, Q fever pneumonia, Querry fever dan Puzzling fever (Acha dan Szyfres 2003).

Nama Q fever berasal dari kata “Querry” (Q) yang pertama kali ditemukan oleh Edward Holbrook Derrick pada tahun 1937. Kejadian penyakit ini bermula pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane Queensland Australia yang menderita demam namun tidak jelas penyebabnya (Baca dan Paretsky 1983). Meskipun telah dilakukan penelitian terhadap penyakit tersebut pada saat itu, namun belum berhasil menemukan penyebab utama dari Q fever, sehingga dinamakan penyakit Maladi Q (Query) fever. Pada tahun 1939 Macfarlane Burnett menyatakan bahwa penyebab Q fever adalah riketsia, dari ordo Rickettsiales, famili Rickettsiaceae dengan nama spesies Rickettsia diaporica, namun untuk mengenang jasa Macfarlane Burnett diubah menjadi Rickettsia burnetii (Maurin dan Raoult 1999).

Berdasarkan analisis sekuen 168 rRNA yang dilakukan Maurin dan Raoult (1999), ternyata Rickettsia burnetii secara filogenik lebih dekat dengan Pseudomonas aeruginosa, Francisella tularensis, Escherichia coli, dan Legionella pneumophila dalam kelompok famili Proteobacteria subdivisi gamma. Namun demikian ternyata masih mempunyai perbedaan dengan kelompok tersebut dan akhirnya berdiri sendiri dengan nama Coxiella burnetii seperti tercantum pada Gambar 1.

8

Gambar 1 Pohon filogenetik yang menunjukkan hubungan antara Coxiella burnetii dengan spesies lain dari Proteobacteria berdasarkan analisis sekuen 16S rRNA (Maurin dan Raoult 1999).

Organisme

C. burnetii adalah mikroorganisme pleomorfik (bentuknya tidak tetap, batang atau kokoid), bersifat obligat intraseluler, berukuran lebar 0.2-0.4 µm dan panjang 0.4-1.0 µm, struktur menyerupai spora (spora like) (Fournier et al. 1998). C. burnetii mempunyai membran yang sama seperti bakteri gram negatif namun secara umum sulit dilihat dengan teknik pewarnaan Gram, sehingga dipakai pewarnaan Gimenez yang umum digunakan untuk pewarnaan spesimen klinik atau kultur laboratorium. Alternatif lain adalah menggunakan pewarnaan Stamps dengan pewarna 2% basic fuchsin dan counterstained methylen blue (Baca dan Paretsky 1983; Maurin dan Raoult 1999). C. burnetii mempunyai bentuk besar (large form/large cell variant) dan bentuk kecil (small form/small cell variant) seperti dilihat pada Gambar 2 (Fournier et al. 1998).

Gambar 2 Coxiella burnetii dengan mikrograf elektron pada pembesaran 75 000 kali, (k) bentuk kecil, (b) bentuk besar (Fournier et al.

1998).

Bentuk besar adalah bentuk vegetatif yang menginfeksi monosit dan sel makrofag, sedangkan bentuk kecil terdapat ekstraseluler dan diduga merupakan bentuk yang infeksius. C. burnetii memiliki 2 bentuk antigen yaitu antigen fase I dan fase II. Antigen fase I ditemukan di alam atau hewan, sedangkan fase II ditemukan setelah passage di telur tertunas atau sel kultur. Antigen fase I bersifat lebih patogenik dibandingkan dengan fase II. Perbedaan antara kedua fase antigen ini sangat penting di dalam diagnosa. Antigen fase I mempunyai susunan lipopolisakarida (LPS) yaitu L-vironosa dihidroksistreptosa dan galaktosamin uronil (1.6) glukosamin, bersifat halus dan berperan dalam menentukan patogenitasnya, sedangkan fase II terlihat kasar dan tidak ditemukan rantai sakarida vironosa dan hidroksistreptosa, seperti pada Gambar 3 (Fournier et al. 1998).

Gambar 3 Antigen fase I (a) dan fase II (b) C. burnetii (Fournier et al. 1998).

Pada infeksi Q fever akut, antibodi terhadap antigen fase II lebih dominan dibandingkan dengan terhadap fase I. Namun pada kasus kronis, antibodi terhadap antigen fase I lebih memegang peran penting. Kedua antibodi ini dapat bertahan hingga berbulan-bulan setelah infeksi (Field et al. 2002; Harris et al. 2000).

b k

10

Menurut Centers for Diseases Control (CDC 2005) pada penderita akut Q fever dapat dideteksi dengan peningkatan antibodi IgG fase II serta IgM fase I dan fase II, sedangkan pada kondisi kronis Q fever terlihat peningkatan antibodi IgG dan IgA fase I.

Center for Food Security and Public Health (CFSPH 2007) menyebutkan bahwa agen penyebab tahan terhadap kondisi psikokimia, seperti lingkungan panas, kering dan tahan terhadap beberapa konsentrasi desinfektan, seperti 0.05% hipoklorit, 5% peroksida dan 1:100 larutan lisol serta glutaraldehid, etanol dan gas formaldehid. C. burnetii pada bahan pangan asal hewan dan olahannya dapat bertahan hidup 1 bulan pada daging yang disimpan dalam cold storage (suhu -18 °C sampai dengan -20 °C), 42 bulan pada susu segar yang disimpan dalam suhu 4-6 °C dan lebih dari 40 bulan pada susu skim (CFSPH 2007). C. burnetii dapat dikembangkan sebagai senjata biologis yang berpotensi sebagai ancaman terorisme (bioterrorisme) seperti halnya Bacillus anthracis (Maurin dan Raoult 1999; CDC 2005).

Epidemiologi

Q Fever pada Hewan

Hewan yang dapat terinfeksi C. burnetii antara lain sapi, kambing, domba, anjing, kucing, kuda, kerbau, babi, unta, kelinci, reptil, kodok, burung merpati, kalkun, ayam, bebek, rodensia, ikan, dan caplak (Arricau-Bouvery dan Rodolaksis

Dokumen terkait