• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study of Q Fever in Imported Dairy Cattle from Australia through the Soekarno-Hatta Airport.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study of Q Fever in Imported Dairy Cattle from Australia through the Soekarno-Hatta Airport."

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

ENDAH KUSUMAWATI

BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Q Fever pada Sapi Perah Impor dari Australia yang Masuk Melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni2012

(3)

ENDAH KUSUMAWATI. Study of Q Fever in Imported Dairy Cattle from Australia through the Soekarno-Hatta Airport. Under direction of MIRNAWATI B. SUDARWANTO and TRIOSO PURNAWARMAN.

Q fever is worldwide distributed zoonosis caused by Coxiella burnetii. This intracelluar bacterium infects a wide range of animals and associated with reproductive disorders in domestic ruminants. It can lead an acute and chronic infections and caused flu-like syndrome, hepatitis, pneumonia or endocarditis. The aim of this research is to study Q fever in imported dairy cattle from Australia through the Soekarno-Hatta airport. Forty-six samples of serum and whole blood were taken from imported dairy cattle. Two diagnostic methods used in this study were serological test using enzyme-linked immunosorbant assay (ELISA) and nested polymerase chain reaction (nested PCR). The result of serological test showed that 23 (50%) out of 46 samples were positive but Coxiella burnetii DNA were not detected by nested PCR. These data revealed that Q fever have infected imported dairy cattle from Australia through Soekarno-Hatta airport with 50% of seroprevalence.

(4)

RINGKASAN

ENDAH KUSUMAWATI. Kajian Q Fever pada Sapi Perah Impor dari Australia yang Masuk Melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta. Dibimbing oleh MIRNAWATI B. SUDARWANTO dan TRIOSO PURNAWARMAN.

Kegiatan importasi berisiko masuknya berbagai penyakit ke Indonesia. Hewan sapi dengan produknya yang diimpor dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan masuknya penyakit baru (eksotik) yang dapat menular pada hewan dan manusia ke dalam wilayah Indonesia. Q fever merupakan penyakit yang bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Hewan ternak yang dapat terserang adalah sapi, kambing, domba maupun ternak ruminansia lain. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan, makanan asal ternak yang terinfeksi seperti daging, susu, produk ternak lainnya maupun oleh partikel debu yang terkontaminasi agen penyebab.

Coxiella burnetii adalah mikroorganisme penyebab penyakit Q fever, berbentuk pleomorfik (bentuknya tidak tetap, batang atau kokoid), bersifat obligat intraseluler, berukuran lebar 0.2-0.4 µm dan panjang 0.4-1.0 µm, struktur menyerupai spora (spora like). C. burnetii mempunyai membran yang sama seperti bakteri gram negatif, mempunyai bentuk besar (large form/large cell variant) dan bentuk kecil (small form/small cell variant). Agen penyebab tahan terhadap kondisi psikokimia, seperti lingkungan panas, kering, dan tahan terhadap beberapa konsentrasi desinfektan, seperti 0.05% hipoklorit, 5% peroksida, 1:100 larutan lisol, glutaraldehid, etanol dan gas formaldehid. Pada bahan pangan asal hewan dan olahannya C. burnetii dapat bertahan hidup 1 bulan pada daging yang disimpan dalam cold storage (suhu -18 °C sampai dengan -20 °C), 42 bulan pada susu segar yang disimpan dalam suhu 4-6 °C dan lebih dari 40 bulan pada susu skim. C. burnetii dapat dikembangkan sebagai senjata biologis yang berpotensi sebagai ancaman terorisme (bioterrorisme) seperti halnya Bacillus anthracis.

(5)

dengan sanitasi, higiene personal, dan biosekuriti. Hewan target adalah sapi perah impor dari Australia yang dilalu-lintaskan melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta. Sampel yang diambil berupa serum dan whole blood, masing-masing sebanyak 46 sampel. Pengambilan sampel menggunakan rumus detect diseases dengan asumsi prevalensi 6.12 % dan tingkat kepercayaan 95 %, artinya prevalensi akan terpenuhi jika minimal ada 1 yang positif Q fever dari jumlah sampel tersebut. Sampel serum diuji dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) menggunakan CHEKIT Q-Fever (Coxiella burnetii) Antibody Test Kit dan sampel whole blood diuji dengan menggunakan nested polymerase chain reaction (PCR).

Hasil uji serologi menunjukkan sebanyak 23 sampel (50%) positif Q fever dari 46 sampel dengan rata-rata persentase nilai positif adalah 92.54%. Hasil nested PCR dengan menggunakan primer OMP1, OMP2, OMP3 dan OMP4 dari 46 sampel whole blood adalah negatif. Pada umumnya jumlah sampel yang positif C. burnetii pada pemeriksaan serologis cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan pemeriksaan dengan metode PCR. Pada pemeriksaan serologis, hewan yang positif antibodi terhadap C. burnetii adalah hewan yang telah terinfeksi dalam waktu lama, sementara agen penyebabnya sendiri belum tentu ada dalam tubuh hewan. Negatif nested PCR dapat disebabkan karena sifat C. burnetii yang merupakan bakteri intraseluler, pada fase akut dapat ditemukan di darah namun pada fase kronis bakteri banyak terakumulasi dalam sel fagosit yang terdapat di organ seperti jantung, hati, plasenta dan susu.

(6)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

KAJIAN

Q FEVER

PADA SAPI PERAH IMPOR

DARI AUSTRALIA YANG MASUK MELALUI

BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA

ENDAH KUSUMAWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Nama : Endah Kusumawati NIM : B251100194

Disetujui

Komisi Pembimbing

Diketahui

Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :

Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B. Sudarwanto

Ketua

Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si.

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, karunia dan hidayahNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penelitian ini berjudul “Kajian Q Fever pada Sapi Perah Impor dari Australia yang Masuk Melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta” yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Mei 2012.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B. Sudarwanto dan Bapak Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran, tenaga serta motivasi dalam membimbing penyelesaian tesis. Ucapan terima kasih kepada Kepala Badan Karantina Pertanian yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Denny Widaya Lukman, M.Si. selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Prof. Dr. drh. A.Winny Sanjaya, MS. sebagai penguji luar komisi. Kepada drh. Rahmat Setya Aji, M.Si dan Nunung Nuraeni, S.Si, M.Epid yang telah membantu penelitian ini. Ucapan yang sama ditujukan kepada seluruh pengajar dan staf bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang telah banyak membantu proses pendidikan dan berlangsungnya penelitian. Terima kasih disampaikan juga kepada teman-teman Kelas Khusus Karantina Hewan (Siti Khadijah, Fitria Kusumaningrum, Wulandari, Amanatin, Agus Jaelani, Trifera Melaningrum, Gatot Santoso, Platika Widiyani, Made Ary, Ali Imran, Donni Muksydayan, Hari Yuwono Adi, Endang Sri Pertiwi dan Helmi), Kepala Balai Besar dan segenap staf Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta yang telah membantu selama pengumpulan sampel sampai dengan pelaksanaan pengujian laboratorium, drh. Mazdani Daulay, M.Sc, keluarga besar Balai Besar Karantina Pertanian Makassar, Budi Ismanto, dan Bambang Urip yang turut serta membantu proses penelitian dan memberikan motivasi. Terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada G. Sigit Pramono dan Ayesha Kartika Fajar Pramesti (sumber motivasi), almarhum ayahanda Soewadji, ibu, mami, kakak dan adikku, atas segala doa, perhatian, semangat dan kasih sayang yang diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat manusia.

Bogor, Juni 2012

(11)

Penulis dilahirkan di Karanganyar Jawa Tengah pada tanggal 18 Juni 1980 sebagai anak ke-5 dari 9 (sembilan) bersaudara dari ayah Soewadji dan ibu Sri Suprapti. Pendidikan dasar sampai menengah atas dijalani di SD Negeri I Buran Tasikmadu Karanganyar tahun 1992, SMP Negeri I Karanganyar tahun 1995, SMU Negeri I Kebakkramat Karanganyar 1998, lulus Sarjana Kedokteran Hewan Universitas Airlangga tahun 2004 dan menjadi Dokter Hewan pada tahun 2005. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Magister pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dengan dukungan biaya perkuliahan dari DIPA Badan Karantina Pertanian Departemen Pertanian.

Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Balai Besar Karantina Pertanian Makassar dari tahun 2006 sampai dengan sekarang. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi pegawai yang diperbantukan sementara di Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta.

(12)

xvii

Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) ... 16

Nested Polymerase Chain Reaction (PCR) ... 17

Pencegahan dan Pengendalian ... 19

Besaran dan Metode Pengambilan Sampel ... 22

Uji Serologis (ELISA) ... 23

Identifikasi DNA C. burnetii dengan Metode Nested PCR ... 24 Ekstraksi DNA (Qiagen Kit) ... 24

Spektrofotometer (NanoVue PlusTM)... 25

(13)

xviii HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil ELISA ... Hasil Nested PCR ... Pembahasan Umum ...

SIMPULAN DAN SARAN ...

29 31 34

39

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(14)

xix

DAFTAR TABEL

Halaman

1

2

3

Frekuensi dan jumlah sapi impor yang dilalu-lintaskan melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta berdasarkan Laporan Tahunan Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) SOEHATTA (2011) ...

Interpretasi hasil ELISA ...

Hasil uji serologi terhadap Q fever dengan metode ELISA ...

1

23

(15)

xx Coxiella burnetii dengan spesies lain dari Proteobacteria

berdasarkan analisis sekuen 16S rRNA ...

Coxiella burnetii dengan mikrograf elektron pada pembesaran 75 000 kali, (k) bentuk kecil, (b) bentuk

Metode ELISA (CHEKIT Q-fever (Coxiella burnetii) antibody test kit, IDEXX, Switzerland) ...

(16)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

2

3

4

Kuisioner kajian penyakit Q fever ...

Hasil pengujian ELISA ...

Konsentrasi dan tingkat kemurnian DNA ...

Sertifikat analisis CHEKIT Q-fever (Coxiella burnetii) antibody test kit ...

49

53

55

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor

dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan

perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi informasi mengakibatkan

meningkat pula frekuensi lalu-lintas dan jumlah komoditi hewan beserta

produknya di masing-masing kegiatan ekspor, impor, dan antar area. Frekuensi

dan jumlah sapi impor yang dilalu-lintaskan melalui Bandar Udara

Soekarno-Hatta disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Frekuensi dan jumlah sapi impor yang dilalu-lintaskan melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta berdasarkan Laporan Tahunan Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) SOEHATTA (2011)

Bulan

Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011

Jumlah

yang relatif banyak dipelihara untuk memproduksi susu. Direktorat Jenderal

Peternakan (Ditjenak) (2011) menyebutkan bahwa 80% bahan baku susu masih

diimpor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) (2011), sepanjang Januari

sampai Juni 2011, impor susu bubuk Indonesia mencapai 101 657 ton dengan

(18)

2

Indonesia mengimpor bahan baku dan produk jadi susu sebesar US$ 600 juta atau

kurang lebih Rp 5.1 triliun. Impor terbanyak berasal dari Selandia Baru dengan

nilai sebesar US$ 126.65 juta, Australia senilai US$ 85.297 juta, Amerika Serikat

senilai US$ 77.610 juta, Filipina sebanyak US$ 19.247 juta, Singapura senilai

US$ 15.528 juta dan negara lainnya US$ 57.137 juta. BPS juga mencatat,

pergerakan impor susu dari bulan ke bulan menunjukan kenaikan, April 2011

impor susu hanya sebesar US$ 58.368 juta, Mei naik US$ 70.865 juta, Juni naik

menjadi US$ 77.432 juta. Lonjakan susu impor yang masuk ke Indonesia seiring

dengan pertumbuhan industri susu yang mencapai level 6 sampai 7% per tahun.

Kegiatan importasi beresiko masuknya berbagai penyakit ke Indonesia.

Keputusan importasi pada akhirnya harus mempertimbangkan

kepentingan-kepentingan lain baik ekonomi dan politis. Analisa risiko merupakan suatu proses

komplek yang sebenarnya tidak hanya ditujukan untuk menjamin keamanan dan

kesehatan pangan secara fisik, tetapi juga secara rohani, karena dalam tahap

analisa risiko sudah termasuk verifikasi kehalalan produk yang akan diimport

dimana merupakan orientasi penting bagi masyarakat Indonesia. Kebijakan

importasi yang didasari murni oleh analisa risiko tidak akan memberikan efek

yang merugikan berbagai pihak yang terkait dengan kegiatan importasi itu sendiri

apabila kondisi negara sudah cukup memadai dengan pilihan tidak melakukan

importasi. Kondisi yang memadai tersebut harus mencakup kesiapan negara akan

ketersediaan ternak dan produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Program swasembada pangan merupakan program yang tepat untuk mendukung

kebijakan importasi.

Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS 2014) merupakan

salah satu program prioritas pemerintah dalam lima tahun ke depan untuk

mewujudkan ketahanan pangan asal ternak berbasis sumber daya lokal.

Pencapaian swasembada daging sapi merupakan tantangan yang tidak ringan,

karena pada tahun 2009 impor daging mencapai 7.0 x 104 ton dan sapi bakalan

setara dengan 250.8 x 103 ton daging (Ditjenak 2010).

Data menunjukkan bahwa Indonesia mengimpor sapi rata-rata

6.5 x 105 ekor per tahun yang sebagian besar berasal dari Australia (Asosiasi

(19)

negara asal dan pertama ditemukannya Query fever (Q fever) pada pekerja rumah

potong hewan di Brisbane pada tahun 1935 (Acha dan Szyfres 2003). Hewan sapi

dengan produknya yang diimpor dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan

masuknya penyakit baru (eksotik) yang dapat menular pada hewan dan manusia

ke Indonesia.

Q fever merupakan penyakit yang bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan

dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Hewan ternak yang dapat terserang

adalah sapi, kambing, domba maupun ternak ruminansia lain. Penularan dapat

terjadi melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi, melalui makanan asal

ternak terinfeksi seperti daging, susu, produk ternak lainnya maupun oleh partikel

debu yang terkontaminasi agen penyebab. Q fever tersebar luas di seluruh dunia

bahkan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak negara seperti

Amerika, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang, Australia,

Thailand, Taiwan, Malaysia, dan beberapa negara lain di Asia Tenggara

(Fournier et al. 1998). Akibat distribusi geografis Q fever yang sangat luas dan

letak geografis Indonesia yang berdekatan wilayah dengan negara-negara endemik

Q fever terutama Australia, maka perlu diwaspadai penyebaran infeksi penyakit

ini di Indonesia.

Penelitian tentang Q fever di beberapa negara sudah demikian maju, bahkan

sekuensing genom dari C. burnetii secara lengkap sudah dilakukan, mengingat

C. burnetii mempunyai potensi untuk dipakai sebagai senjata biologis

(Seshadri et al. 2003). Laporan epidemiologi dari banyak negara menyebutkan

bahwa orang yang sering kontak langsung dengan ternak, seperti peternak, pekerja

rumah potong, masyarakat yang tinggal di daerah kumuh (urban area) berpeluang

besar terserang Q fever. Indonesia dengan jumlah penduduk yang sebagian besar

adalah petani yang tidak terlepas dari hewan ternak serta banyaknya lokasi kumuh

di perkotaan sangat rentan terhadap infeksi Q fever. Penentuan diagnosis yang

cepat dan akurat terhadap Q fever sangat dibutuhkan sebagai upaya pengendalian

(20)

4

Perumusan Masalah

Penelitian terhadap penyebab Q fever di Indonesia sampai saat ini masih

jarang dilakukan karena gejala klinis bentuk akut infeksi Q fever yang tidak begitu

menciri, seperti terjadinya pneumonia, keguguran ataupun tingginya kasus

hepatitis dan endokarditis. Temuan kasus klinik belum pernah didiagnosa kearah

adanya Q fever, sehingga kurang diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat.

Di satu sisi dampak jangka panjang penyakit ini sangat membahayakan dan fatal

bagi manusia. Di sisi lain Indonesia merupakan pengimpor ternak terutama sapi,

baik sapi bakalan, sapi perah maupun daging beku dari Amerika, Australia, New

Zealand dan beberapa negara lain. Selain itu era globalisasi akan meningkatkan

arus lalu lintas perdagangan ternak dan juga mobilitas manusia, yang juga

berdampak terhadap cepatnya penyebaran penyakit khususnya zoonosa seperti

Q fever ataupun yang lainnya.

Laporan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun

1955 Q fever pertama kali ditemukan di Indonesia dari 188 serum sapi yang

diperiksa secara serologis positif mengandung antibodi C. burnetii menggunakan

cappilary tube agglutination test (CAT) (Kaplan dan Bertagna 1955). Penelitian

selanjutnya dilakukan oleh Rumawas (1976) menunjukkan bahwa dari 323 sampel

darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang ditemukan

4 sampel (1.2%) positif antibodi terhadap Q fever menggunakan metode CAT.

Vanpeenen et al. (1978) juga melakukan penelitian penyakit Q fever pada pekerja

di Indonesia secara seroepidemiologi.

Penelitian selanjutnya dilaporkan Miyashita et al. (2001) pada kasus

pneumonia yang diderita oleh seseorang yang pernah tinggal di Indonesia dan

ditemukan positif terinfeksi C. burnetii. Hasil seroprevalensi Q fever di Bogor

pada domba dan kambing menunjukkan sebesar 31.88% dan 20.29%

menggunakan metode indirect immunofluorescent antibody (IFA), sedangkan

dengan metode nested polymerase chain reaction (nested PCR) terhadap 245 ekor

sapi bali dan Brahman cross ditemukan 15 ekor (6.12%) positif DNA C. burnetii

serta pada 165 ekor kambing dan domba ditemukan 6 ekor (3.64%) positif DNA

(21)

Data di atas dapat dijadikan dasar untuk melakukan penelitian tentang

keberadaan penyakit Q fever di Indonesia terutama pada hewan sapi yang diimpor

dari Australia, hal ini penting dilakukan karena sampai saat ini volume importasi

sapi masih tinggi untuk mewujudkan swasembada daging tahun 2014.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk (1) melakukan suatu kajian tentang penyakit

Q fever dan keberadaan C. burnetii pada sapi perah impor dari Australia, dan (2)

mengkaji faktor risiko penyebaran C. burnetii ke lingkungan berkaitan dengan

sanitasi, higiene personal, dan biosekuriti.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran data yang pasti dan

akurat tentang keberadaan C. burnetii sebagai penyebab penyakit Q fever

sehingga dapat dijadikan pertimbangan ilmiah dalam hal importasi sapi perah dari

Australia.

Hipotesa

Hipotesa penelitian ini adalah (1) C. burnetii sebagai penyebab Q fever

ditemukan dan menginfeksi sapi perah impor dari Australia, dan (2) terdapat

faktor risiko penyebaran C. burnetii ke lingkungan peternakan berkaitan dengan

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah

Nama lain dari penyakit demam Q atau Q fever di beberapa negara adalah

Acute Q fever, Chronic Q fever, Coxiella burnetii fever, Coxiella burnetii borne

diseases, Australian Q fever, Australian Q, Balkan influenza, Balkan Nine Mile

Fever, Coxiella burnetii infection, Derrick-bunet diseases, Hibernovenal

bronchopneumoni, Q fever pneumonia, Querry fever dan Puzzling fever (Acha

dan Szyfres 2003).

Nama Q fever berasal dari kata “Querry” (Q) yang pertama kali ditemukan

oleh Edward Holbrook Derrick pada tahun 1937. Kejadian penyakit ini bermula

pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane Queensland Australia yang

menderita demam namun tidak jelas penyebabnya (Baca dan Paretsky 1983).

Meskipun telah dilakukan penelitian terhadap penyakit tersebut pada saat itu,

namun belum berhasil menemukan penyebab utama dari Q fever, sehingga

dinamakan penyakit Maladi Q (Query) fever. Pada tahun 1939 Macfarlane

Burnett menyatakan bahwa penyebab Q fever adalah riketsia, dari ordo

Rickettsiales, famili Rickettsiaceae dengan nama spesies Rickettsia diaporica,

namun untuk mengenang jasa Macfarlane Burnett diubah menjadi Rickettsia

burnetii (Maurin dan Raoult 1999).

Berdasarkan analisis sekuen 168 rRNA yang dilakukan Maurin dan Raoult

(1999), ternyata Rickettsia burnetii secara filogenik lebih dekat dengan

Pseudomonas aeruginosa, Francisella tularensis, Escherichia coli, dan

Legionella pneumophila dalam kelompok famili Proteobacteria subdivisi gamma.

Namun demikian ternyata masih mempunyai perbedaan dengan kelompok

tersebut dan akhirnya berdiri sendiri dengan nama Coxiella burnetii seperti

(23)

Gambar 1 Pohon filogenetik yang menunjukkan hubungan antara Coxiella burnetii dengan spesies lain dari Proteobacteria berdasarkan analisis sekuen 16S rRNA (Maurin dan Raoult 1999).

Organisme

C. burnetii adalah mikroorganisme pleomorfik (bentuknya tidak tetap,

batang atau kokoid), bersifat obligat intraseluler, berukuran lebar 0.2-0.4 µm dan

panjang 0.4-1.0 µm, struktur menyerupai spora (spora like) (Fournier et al. 1998).

C. burnetii mempunyai membran yang sama seperti bakteri gram negatif namun

secara umum sulit dilihat dengan teknik pewarnaan Gram, sehingga dipakai

pewarnaan Gimenez yang umum digunakan untuk pewarnaan spesimen klinik

atau kultur laboratorium. Alternatif lain adalah menggunakan pewarnaan Stamps

dengan pewarna 2% basic fuchsin dan counterstained methylen blue (Baca dan

Paretsky 1983; Maurin dan Raoult 1999). C. burnetii mempunyai bentuk besar

(large form/large cell variant) dan bentuk kecil (small form/small cell variant)

(24)

9

Gambar 2 Coxiella burnetii dengan mikrograf elektron pada pembesaran 75 000 kali, (k) bentuk kecil, (b) bentuk besar (Fournier et al.

1998).

Bentuk besar adalah bentuk vegetatif yang menginfeksi monosit dan sel

makrofag, sedangkan bentuk kecil terdapat ekstraseluler dan diduga merupakan

bentuk yang infeksius. C. burnetii memiliki 2 bentuk antigen yaitu antigen fase I

dan fase II. Antigen fase I ditemukan di alam atau hewan, sedangkan fase II

ditemukan setelah passage di telur tertunas atau sel kultur. Antigen fase I bersifat

lebih patogenik dibandingkan dengan fase II. Perbedaan antara kedua fase antigen

ini sangat penting di dalam diagnosa. Antigen fase I mempunyai susunan

lipopolisakarida (LPS) yaitu L-vironosa dihidroksistreptosa dan galaktosamin

uronil (1.6) glukosamin, bersifat halus dan berperan dalam menentukan

patogenitasnya, sedangkan fase II terlihat kasar dan tidak ditemukan rantai

sakarida vironosa dan hidroksistreptosa, seperti pada Gambar 3 (Fournier et al.

1998).

Gambar 3 Antigen fase I (a) dan fase II (b) C. burnetii (Fournier et al. 1998).

Pada infeksi Q fever akut, antibodi terhadap antigen fase II lebih dominan

dibandingkan dengan terhadap fase I. Namun pada kasus kronis, antibodi terhadap

antigen fase I lebih memegang peran penting. Kedua antibodi ini dapat bertahan

hingga berbulan-bulan setelah infeksi (Field et al. 2002; Harris et al. 2000). b

k

(25)

Menurut Centers for Diseases Control (CDC 2005) pada penderita akut Q fever

dapat dideteksi dengan peningkatan antibodi IgG fase II serta IgM fase I dan fase

II, sedangkan pada kondisi kronis Q fever terlihat peningkatan antibodi IgG dan

IgA fase I.

Center for Food Security and Public Health (CFSPH 2007) menyebutkan

bahwa agen penyebab tahan terhadap kondisi psikokimia, seperti lingkungan

panas, kering dan tahan terhadap beberapa konsentrasi desinfektan, seperti 0.05%

hipoklorit, 5% peroksida dan 1:100 larutan lisol serta glutaraldehid, etanol dan gas

formaldehid. C. burnetii pada bahan pangan asal hewan dan olahannya dapat

bertahan hidup 1 bulan pada daging yang disimpan dalam cold storage (suhu

-18 °C sampai dengan -20 °C), 42 bulan pada susu segar yang disimpan dalam

suhu 4-6 °C dan lebih dari 40 bulan pada susu skim (CFSPH 2007). C. burnetii

dapat dikembangkan sebagai senjata biologis yang berpotensi sebagai ancaman

terorisme (bioterrorisme) seperti halnya Bacillus anthracis (Maurin dan Raoult

1999; CDC 2005).

Epidemiologi

Q Fever pada Hewan

Hewan yang dapat terinfeksi C. burnetii antara lain sapi, kambing, domba,

anjing, kucing, kuda, kerbau, babi, unta, kelinci, reptil, kodok, burung merpati,

kalkun, ayam, bebek, rodensia, ikan, dan caplak (Arricau-Bouvery dan Rodolaksis

2005; Parker et al. 2006; Muskens et al. 2007). Burung dan rodensia merupakan

pembawa C. burnetii di alam, sedangkan sapi, kambing, dan domba merupakan

reservoir utama (Acha dan Szyfres 2003; Kim et al. 2005; Van den Brom dan

Vellema 2009).

Penularan Q fever dapat terjadi melalui kontak langsung dengan sumber

penularan, partikel debu, bahan makanan asal hewan, susu, dan luka yang

terkontaminasi serta melalui transfusi darah (Baca dan Paretsky 1983; Fournier

et al. 1998). C. burnetii dapat mengkontaminasi lingkungan jika ada hewan yang

melahirkan, yaitu melalui cairan amnion, plasenta, feses, dan urin secara terus

(26)

11

manusia karena kejadian pada kambing lebih lama dibandingkan domba, yaitu

selama dua kali masa kebuntingan (Hatchette et al. 2003; Arricau-Bouvery dan

Rodolaksis 2005). Mikroorganisme C. burnetii berkembangbiak dan tumbuh

subur di dalam plasenta dan cairan amnion, sehingga pada hewan bunting infeksi

Q fever bersifat laten (Kloppert et al. 2004).

Caplak merupakan sumber penularan antar hewan di alam, dari hewan liar

ke hewan pelihara, dan diantara hewan pelihara melalui feses caplak yang

terinhalasi. Caplak dapat berperan sebagai perantara pada hewan tetapi tidak pada

manusia. Penyebaran antar hewan pelihara dapat juga terjadi melalui kontak

seksual karena agen penyebab ditemukan pada semen sapi (Marrie 2000; Maurin

dan Raoult 1999).

Beberapa negara seperti Amerika, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol,

Kanada, Jepang, Australia, Thailand, Korea, Taiwan, Malaysia, dan beberapa

negara lain di Asia Tenggara, Q fever merupakan masalah kesehatan masyarakat

yang penting. Penelitian tentang Q fever telah banyak dilakukan dan bahkan

sekuensing genom dari C. burnetii telah dilakukan secara lengkap (Seshadri et al.

2003). Hal ini dilakukan karena C. burnetii berpotensi untuk dipakai sebagai

provinsi yang berbeda di Oman ternyata 52% seropositif terhadap C. burnetii.

Selain itu, terdapat hubungan yang nyata antara kasus infeksi C. burnetii pada

hewan dan pada manusia. Setiyono et al. (2005) menetapkan kriteria baru untuk

uji serologis terhadap Q fever dengan metode IFA, dan penggunaan PCR juga

telah dievaluasi serta dapat dipakai untuk mendeteksi C. burnetii (Ogawa et al.

(27)

Q Fever pada Manusia

Menurut Van den Brom dan Vellema 2009, kejadian Q fever pada manusia

berhubungan erat dengan pekerjaan (occupational disease), seperti peternak,

pembeli dan pengunjung yang datang ke peternakan; dokter hewan; pekerja di

peternakan, rumah potong hewan, penyamakan kulit, pengolahan daging, susu dan

wol; peneliti dan pegawai laboratorium serta pekerja di kebun binatang. Penularan

antar manusia jarang terjadi, tetapi dapat melalui transfusi (darah, sumsum tulang

belakang), saliva, dan hubungan seksual. Selain itu bisa tertular selama

menangani keguguran dan otopsi pada manusia (Milazzo et al. 2001). Beberapa

faktor yang mempermudah seseorang terserang Q fever yaitu tidak divaksinasi

Q fever dan yang mengalami imunosupresan karena menderita penyakit tertentu,

misalnya AIDS, kanker, limpoma, tumor, diabetes, hepatitis, gangguan jantung,

gangguan ginjal kronis atau penerima transplan organ (Norlander 2000).

Hasil penelitian Marrie (2003) menunjukkan bahwa C. burnetii dapat

menimbulkan pneumonia yang fatal pada manusia. Penularan Q fever secara

aerosol dapat menimbulkan lesi yang hebat pada paru-paru (Stein et al. 2005).

Q Fever sebagai Penyebab Food-borne Diseases

Kim et al. 2005 menyatakan bahwa jika sapi perah terinfeksi C. burnetii

maka mikroorganisme tersebut dapat ditemukan dalam susu, hal ini merupakan

salah satu sumber penularan dari hewan ke manusia (Rodolaksis et al. 2009).

Penelitian Hirai et al. (2005) menemukan 131 sampel (53.7%) positif DNA

C. burnetii dari 244 sampel susu yang dijual di supermarket di Tokyo

menggunakan metode nested PCR. Fretz et al. (2007) menemukan 17 sampel

(4.7%) dari 359 sampel susu sapi positif DNA C. burnetii menggunakan metode

nested PCR di Zwitzerland, tetapi tidak ditemukan pada susu domba dan

kambing.

Q Fever di Indonesia

Kaplan dan Bertagna (1955) melakukan penelitian tentang keberadaan

Q fever di Indonesia menggunakan metode CAT terhadap 188 serum sapi yang

(28)

13

323 sampel darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan

Semarang , didapatkan 4 sampel (1.2%) positif antibodi Q fever dengan metode

CAT (Rumawas 1976). Miyashita et al. (2001) menemukan infeksi Q fever dari

penderita pneumonia yang pernah tinggal di Indonesia. Penelitian

seroepidemiologi terbaru terhadap spotted fever group rickettsia (SFGR) di

Indonesia dilakukan oleh Richards et al. (2003) di Kepulauan Gag yang

menunjukkan bahwa reaktor yang bereaksi positif sebanyak 2.1-20.4%.

C. burnetii secara serologis dan molekuler telah ditemukan pada hewan

ruminansia (domba, kambing, sapi) dan juga manusia, sehingga kemungkinan

penularan kepada hewan lain dan bahan pangan asal hewan (susu, telur) di

beberapa wilayah di Indonesia sudah terjadi. Hal ini didasarkan pada hasil

seroprevalensi di kota Bogor pada domba dan kambing menunjukkan seropositif

masing-masing 31.88% dan 20.29% menggunakan metode IFA. Penelitian pada

sapi bali dan brahman cross ditemukan 6.12% positif DNA C. burnetii, serta pada

kambing dan domba 3.64% positif C. burnetii menggunakan metode nested PCR

(Mahatmi 2006).

Gejala Penyakit

Hewan yang terinfeksi C. burnetii tidak selalu menunjukkan gejala klinis,

bahkan lebih sering tidak ada gejala yang tampak. Fase akut C. burnetii dapat

ditemukan di dalam darah, jantung, hati dan limpa hewan yang terinfeksi.

Penyakit umumnya berlanjut menjadi kronis dan secara terus menerus hewan akan

mengekskresikan bakteri melalui tinja dan urin (Smith 1999; Ho et al. 1995).

Gejala umum pada ruminansia ditandai dengan anoreksia, rhinitis, frekuensi

pernafasan meningkat, abortus, retensio plasenta, endometritis, tidak fertil dan

beberapa ditemukan lahir dalam keadaan lemah, kecil dan mati (Arricau-Bouvery

dan Rodolaksis 2005). Sapi perah kadang-kadang terlihat pneumonia, sedangkan

pada anak domba terjadi diare dan gangguan pernafasan (Van den Brom dan

Vellema 2009).

Infeksi C. burnetii pada hewan umumnya bersifat subklinis, yang ditandai

dengan penurunan nafsu makan, gangguan pernapasan ringan dan gangguan

(29)

C. burneii sering bersifat akut dan menahun serta dapat menimbulkan kondisi

yang fatal, yaitu kegagalan fungsi hati, radang tulang, radang otak, gangguan pada

pembuluh darah dan endokarditis yang berakibat kematian (Raoult 2002).

Ho et al. (1995) menyatakan bahwa beberapa kasus pneumonia pada anak-anak di

Jepang ternyata disebabkan oleh Q fever.

Penularan pada manusia jarang terjadi, tetapi dapat melalui transfusi (darah,

sumsum tulang belakang), saliva dan hubungan seksual. Selain itu dilaporkan bisa

tertular selama menangani keguguran dan otopsi pada manusia (Milazzo et al.

2001). Manusia yang terserang penyakit Q fever umumnya menunjukkan gejala

klinis yang tidak spesifik atau asymptomatis (60%), spesifik atau symptomatis

(38%) dan beberapa penyakit lainnya (2%), sehingga sulit dibedakan dengan

gejala dari penyakit lain. Gejala akut pada umumnya seperti flu (flu like

syndrome), misalnya demam, sakit kepala, berkeringat, menggigil, lelah (fatigue),

pegal-pegal, sakit tenggorokan, batuk, dada sakit, muntah, diare dan penurunan

bobot badan.

Penyakit Q fever yang tidak terobati dalam kurun waktu dua minggu, dapat

berlanjut menjadi pneumonia (30-50%), hepatitis, infeksi kulit, hepatomegali,

miokarditis, perikarditis, meningoencefalitis, uveitis, artritis, tromboplebitis,

pleuritis dan pankreatitis. Wanita hamil yang terinfeksi C. burnetii akan

mengalami keguguran pada semester pertama atau lahir prematur, bayi dengan

bobot badan rendah dan plasentitis pada saat melahirkan (Arricau-Bouvery dan

Rodolaksis 2005; CFSPH 2007; Maurin dan Roault 1999). Kematian pada kasus

akut dapat mencapai 1-2% (CDC 2005; CFSPH 2007; Delsing dan Kullberg

2008).

Kasus Q fever akut akan menjadi kronis sebanyak 2-10% jika selama 6-12

bulan tidak diberikan pengobatan yang efektif, yaitu terjadi endokarditis, infeksi

osteoartikular, pneumoni fibrosis, sindrom kelelahan kronis (chronic fatique

syndrome), dan masalah kehamilan (Maurin dan Roault 1999; Schimmer et al.

2008). Kematian pada penderita kasus kronis bisa mencapai 25-65% (bila

mempunyai faktor imunosupresan dan atau abnormal valvular). Sindrom

kelelahan kronis ditandai dengan seringnya mengalami kelelahan yang panjang

(30)

15

dan waktu tidur berubah. Sindrom ini terjadi setelah infeksi akut yang

berlangsung lebih dari satu bulan (Arricau-Bouvery dan Rodolaksis 2005; CDC

2005; Delsing dan Kullberg 2008). Gambaran darah dari orang yang menderita

penyakit Q fever akut ditandai dengan peningkatan laju endap darah, jumlah sel

darah putih cenderung rendah sampai normal, trombositopenia serta urinalisis

yang abnormal, seperti hematuria, leukosituria, proteinuria (Ergar et al. 2006).

Masa inkubasi penyakit Q fever pada manusia bervariasi mulai 2-5 minggu

dan beberapa kasus mencapai lebih dari 6 minggu (Maurin dan Roault 1999;

CFSPH 2007; Delsing dan Kullberg 2008). Masa inkubasi dipengaruhi oleh dosis

infeksi C. burnetii (Maurin dan Roault 1999). Orang yang terinfeksi 1-10 sel

mikroorganisme C. burnetii dapat menimbulkan gejala klinis (CFSPH 2007).

Teknik Diagnosa

Gejala dan tanda dari penyakit Q fever tidak spesifik sehingga sulit

membuat diagnosa tanpa didukung dengan tes laboratorium. Diagnosa yang

diperlukan untuk menegaskan Q fever adalah dengan melakukan tes darah untuk

mendeteksi kehadiran antibodi terhadap C. burnetti. IFA, ELISA, dan CFT adalah

uji yang dapat diandalkan dan umum digunakan di laboratorium. C. burnetii

mungkin dapat diidentifikasi pada jaringan yang terinfeksi (plasenta, hati,

paru-paru fetus yang mati dan jaringan lain), susu, telur, kotoran, cairan vagina dengan

menggunakan PCR. Pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Ziehl

neelsen, Gimenez, Stamp, Giemsa, Immunohistokimia pada placenta atau jaringan

lain, apabila positif akan terlihat C. burnetii yang terbentuk pleomorfik, kecil,

bulat atau seperti benang.

Beberapa penelitian serodiagnosa memberikan gambaran yang sangat

berguna untuk mengetahui seroprevalensi Q fever di suatu daerah secara luas

dalam waktu relatif singkat (Setiyono et al. 2008). Metode serodiagnosa yang

telah diterapkan untuk pemeriksaan Q fever adalah capilary tube agglutination

test (CAT), complement fixation test (CFT), enzyme-linked immunosorbent assay

(ELISA) dan indirect immunofluorescent antibody (IFA) (Cetinkaya et al. 2000;

(31)

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu metoda

immunokimia yang berdasarkan reaksi spesifik antara antigen dengan antibodi

yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan menggunakan

enzim sebagai indikatornya. Antigen atau antibodi yang dilabel dengan enzim dan

diikatkan dengan pendukung immunosorbent akan membentuk antigen-antibodi

kompleks. Metoda ELISA dengan antigen kompetitif, antibodi dilapiskan pada

immunosorbent (substrat padat), kemudian antigen sampel dan antigen yang

berlabel enzim dimasukan kedalam immunosorbent sehingga terjadi kompetisi

antara antigen sampel dengan antigen berlabel enzim untuk berikatan dengan

antibodi dan terbentuk kompleks antibodi-antigen. Tambahan substrat yang

spesifik terhadap kerja enzim, akan dihasilkan reaksi yang menghasilkan warna.

Hasil warna tersebut dapat dilihat secara visual atau diukur dengan menggunakan

kolorimeter atau spektrofotometer. Ciri utama metoda ini adalah menggunakan

suatu indikator enzim untuk reaksi immunologi (Burgess 1995).

Teknik ELISA dapat digunakan untuk pemeriksaan sampel dalam jumlah

banyak, waktu yang singkat dan mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi tetapi

spesifitasnya rendah. Adapun kekurangan teknik ELISA diantaranya sering

menimbulkan reaksi positif palsu, hal ini disebabkan karena antigen standar yang

digunakan umumnya dipropagasi dalam sel kultur, sehingga ada kemungkinan

antibodi dalam serum berikatan dengan epitop-epitop lain yang ada di permukaan

sel kultur. Reaksi silang yang pernah dilaporkan adalah dengan Microbacterium

pneumonia dan Bordetella pertusis (Setiyono et al. 2005; Slaba et al. 2005).

Field et al. (2002) membandingkan dua uji serologis untuk mendiagnosa

Q fever yaitu teknik ELISA dan IFA. Hasil studi tersebut memperlihatkan bahwa

teknik ELISA memberikan sensitivitas 95% dan spesifitas 88%, sedangkan

menggunakan IFA sensitivitas 99% dan spesifitas 98%. Penelitian yang sama juga

dilaporkan Setiyono (2003) bahwa ELISA mempunyai tingkat sensitifitas dan

spesifitas masing-masing 93.8% dan 83.3%. Teknik ELISA baik digunakan untuk

tes skrining dengan jumlah sampel yang banyak dan spesifitasnya dapat

ditingkatkan dengan mengkombinasi IFA. Hasil penelitian yang dilakukan

(32)

17

yang berumur antara 10-24 bulan di Turki sejak tahun 2001-2004 dengan

menggunakan uji ELISA Chekit Q fever (Idexx Laboratories, Broomfield, CO,

USA). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Cekani et al. (2008) dengan

teknik ELISA menggunakan Chekit Q fever enzyme immunoassay dan

memperoleh 9.8% seropositif pada domba dan kambing (dari 1085 ekor) serta

7.9% seropositif pada sapi 9 dari 571 ekor di Albania.

Penelitian yang dilakukan terhadap 34 ekor domba menggunakan uji

serologis (ELISA dan IFA) serta uji molekuler (PCR) didapatkan 24% positif

dengan ELISA, 32% positif dengan IFA dan 44% positif dengan PCR. Tujuh ekor

domba yang seronegatif, dilakukan pengujian dengan PCR dan diperoleh hasil

positif, hal ini menunjukkan PCR mempunyai sensitifitas lebih tinggi

dibandingkan uji serologis (Berri et al. 2001). Perbandingan uji serologis dan

molekuler dalam mendiagnosa Q fever fase akut menunjukkan bahwa apabila

serum sampel yang diambil satu sampai dua minggu setelah infeksi dapat

didiagnosa dengan kedua metode uji. Bila diambil pada minggu ketiga sampai

keempat sebaiknya menggunakan uji serologis, sedangkan uji molekuler hanya

untuk mengonfirmasi hasil uji yang seronegatif (Fournier dan Raoult 2003).

Nested Polymerase Chain Reaction (PCR)

Polymerase chain reaction (PCR) ditemukan pertama kali oleh Kary B.

Mullis tahun 1983. PCR adalah teknik yang didasari oleh penggunaan

oligonukleotida pendek sebagai primer dan taq DNA polymerase sebagai enzim

untuk menggandakan sejumlah rangkaian DNA khas C. burnetii pada sampel

yang diperiksa. polymerase chain reaction memiliki tingkat akurasi yang sangat

tinggi untuk deteksi DNA khas C. burnetii pada serum dan leukosit manusia

(Zhang et al. 1998; Ogawa et al. 2004). Mahatmi et al. 2006 melakukan penelitian

dengan menggunakan sampel jantung dan hati untuk melihat C. burnetii pada fase

kronis.

Nested PCR adalah suatu teknik perbanyakan replikasi sampel DNA

menggunakan bantuan enzim DNA polymerase yang menggunakan dua

pasang primer untuk mengamplifikasi fragmen. Pasangan primer yang pertama

(33)

umumnya. Pasangan primer yang kedua biasanya disebut nested primers

(sepasang primer tersebut terletak di dalam fragmen pertama) yang berikatan di

dalam fragmen produk PCR yang pertama untuk memungkinkan terjadinya

amplifikasi produk PCR yang kedua dimana hasilnya lebih pendek dari yang

pertama. Nested PCR adalah PCR yang sangat spesifik dalam

melakukan amplifikasi karena jika ada fragmen yang salah diamplifikasi maka

kemungkinan bagian tersebut diamplifikasi untuk kedua kalinya oleh primer yang

kedua sangat rendah (Chauhan et al. 2009).

Nested PCR merupakan variasi dari reaksi polymerase chain reaction biasa

(PCR). Nested PCR dan PCR biasa keduanya berguna untuk memperbanyak

fragmen DNA tertentu dalam jumlah banyak. Pada nested PCR digunakan 2

pasang primer sedangkan pada PCR biasa hanya menggunakan 1 pasang

primer. Oleh karena itu, hasil fragmen DNA dari nested PCR lebih spesifik (lebih

pendek) dibandingkan dengan PCR biasa. Waktu yang diperlukan dalam reaksi

nested PCR lebih lama daripada PCR biasa karena pada nested PCR dilakukan

2 kali reaksi PCR sedangkan pada PCR biasa hanya 1 kali reaksi PCR. Selain itu,

keuntungan nested PCR adalah meminimalkan kesalahan amplifikasi gen dengan

menggunakan 2 pasang primer (Chauhan et al. 2009).

Menurut Louise et al 2001, secara umum, PCR adalah suatu proses

perbanyakan DNA secara in vitro melalui beberapa tahap, yaitu denaturasi,

penempelan primer, dan pemanjangan. Prinsip kerja nested PCR tidak jauh

berbeda dengan PCR biasa, namun nested PCR akan bekerja menggunakan dua

pasang primer untuk mengamplifikasi fragmen DNA spesifik melalui dua proses

PCR secara terpisah. Pertama-tama DNA mengalami denaturasi lalu memasuki

fase penempelan, di mana sepasang primer pertama melekat di kedua utas tunggal

DNA dan mengamplifikasi DNA di antara kedua primer tersebut dan terbentuklah

produk PCR pertama. Kemudian produk PCR pertama tersebut dijalankan pada

proses PCR kedua di mana pasangan primer kedua (nested primer) akan

mengenali sekuen DNA spesifik yang berada di dalam fragmen produk PCR

pertama dan memulai amplifikasi bagian di antara kedua primer tersebut.

Hasilnya adalah sekuens DNA yang lebih pendek daripada sekuens DNA hasil

(34)

19

Modifikasi metode Qiao untuk mendeteksi DNA C. burnetii pada telur

ayam ras dan lokal dapat menghasilkan konsentrasi DNA yang cukup dan tingkat

kemurnian DNA yang tinggi. Metode nested PCR mampu mendeteksi DNA

C. burnetii pada konsentrasi ≥ 300 pg. Metode nested PCR mempunyai spesifitas

yang tinggi (concerved) dan 50 kali lebih sensitif dibandingkan dengan PCR biasa

untuk mendeteksi DNA C. burnetii (Purnawarman 2011).

Pencegahan dan Pengendalian

Pencegahan pada hewan dapat dilakukan dengan menggunakan vaksin yang

diproduksi dalam telur berembrio. Plasenta sapi atau domba perlu ditanam atau

dibakar setelah itu di area kelahiran dibersihkan dengan desinfektan (lisol, bleach

atau hidrogen peroksida) untuk mengurangi penularan di lapangan dan hewan

yang bunting atau sedang melahirkan dijaga dari hewan lain.

NNDSS (2003) melaporkan bahwa sejak tahun 2000-2003 dilakukan upaya

pencegahan penyakit ini, yaitu melakukan program vaksinasi Q fever pada pekerja

di industri pengolahan daging dan RPH. Tahun 2001-2004 dilaksanakan vaksinasi

pada hewan ternak dan pekerja di peternakan (ternak potong dan perah).

Penggunaan vaksin Q fever yang aman memerlukan pemeriksaan potensi vaksin

dengan uji dermal, uji serologis atau proliferasi limfosit secara invitro. Kesesuaian

antara strain antigen C. burnetii sebagai bahan vaksin dengan wilayah endemis

sangat berperan terhadap daya perlindungan dan efektifitas vaksinasi.

Vaksin Q fever (Q Vax) dibuat dengan inaktivasi antigen fase I C. burnetii

strain Henzerling yang mengandung antigen kompleks LPS-protein dan

disuntikan secara subkutan dengan dosis tunggal sebesar 30 mikrogram per dosis

(Waag et al. 2002). Vaksin baru dapat diberikan kepada hewan atau manusia

apabila hasil tes serologis tidak ditemukan antibodi terhadap Q fever.

Pengobatan

Penyakit Q fever dapat disembuhkan apabila pengobatan dilakukan sedini

mungkin (Maurin dan Raoult 1999). Pencegahan penyakit Q fever selain vaksinasi

adalah (1) memberikan edukasi pada individu atau kelompok yang berisiko; (2)

(35)

dari plasenta, sisa abortan dan fetus; (3) karantina ternak yang akan diimpor; (4)

autoclave dan disinfeksi peralatan laboratorium; (5) pasteurisasi susu pada suhu

lebih dari 62.7 °C selama 30 menit atau 71.6 °C selama 15 detik dan sterilisasi

pada suhu 130 °C selama 5 detik serta pesteurisasi telur pada suhu lebih dari

60 °C selama 6.2 menit atau 61.1 °C selama 3.5 menit dapat membunuh

mikroorganisme C. burnetii (CFSPH 2007; Marrie 2000; Mine 2008)

Antibiotika yang digunakan untuk pengobatan kasus Q fever akut pada

manusia adalah doksisiklin. Penyakit yang kronis pengobatan dapat berlangsung

selama 2-3 tahun. Doksisiklin dan quinolon tidak boleh dipakai untuk ibu hamil.

Ibu hamil dapat diobati dengan antibiotik co-trimoksazol (kombinasi

trimethoprim-sulfametoksazol), namun pengobatan ini dapat menyebabkan

kematian fetus pada beberapa kasus. Seseorang yang sembuh dari Q fever akan

tetap membawa penyakit tersebut selama hidupnya.

Efektifitas pengobatan hewan dengan antibiotik hanya sedikit diketahui.

Pemberian antibiotika (tetrasiklin) ke hewan diberikan melalui air minum.

Antimikroba yang digunakan tidak untuk membunuh hewan yang menjadi karier

tetapi untuk menekan jumlah hewan yang mengalami aborsi. Pengawasan

Q fever yang terbaik di peternakan melalui vaksinasi, seleksi dan pemilihan

(36)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Karantina Hewan Balai Besar

Karantina Pertanian Soekarno-Hatta Cengkareng Banten, pada bulan Januari

sampai dengan Mei 2012.

Bahan dan Alat

Bahan penelitian adalah serum dan whole blood sapi perah impor dari

Australia. Bahan untuk uji serologi yaitu kit ELISA (CHEKIT Q-fever (Coxiella

burnetii) Antibody Test Kit, IDEXX, Switzerland) dengan lot number QFT1135T.

Bahan untuk uji nested PCR yaitu Qiagen kit, etanol, nuclease free water (NFW),

10x PCR bufer, MgCl2 50 mM (Vivantis), dNTP 10 mM (Vivantis), taq DNA

polymerase (Vivantis) 5 U/µl, 10x TAE, etidium bromida, 100 pb DNA ladder,

loading dye, DNA C. burnetii sebagai kontrol positif dan Staphylococcus aureus

sebagai kontrol negatif. Primer PCR yang digunakan adalah produk Sigma

(OMP1, OMP2, OMP 3 dan OMP4).

Alat yang dipakai adalah biosafety cabinet, ELISA reader, komputer, DNA

thermal cycler, kamera, vortex, refrigerator, spektrofotometer (NanoVue PlusTM),

microwave, elektroforesis, freezer, UV lumination, inkubator, sentrifus,

multichanel/singel pipet & tip, shaker.

Metode Penelitian

Pra penelitian berupa pemberian kuisioner untuk mengkaji risiko

penyebaran Q Fever ke lingkungan berkaitan dengan sanitasi, higiene personal

(37)

Gambar 4 Rancangan penelitian.

Besaran dan Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random

sampling). Estimasi besaran sampel yang diambil, dihitung menggunakan rumus

Detect Diseases yaitu sebagai berikut (Martin 1987):

n = [1-(1-a)1/D] [N-{(D-1)/2}]

= [1-(1-0,95)1/36.6588] [599-{(36.6588-1)/2}]

= 45.6387

= 46

Keterangan: (a) adalah tingkat konfidensi (95%), (D) adalah jumlah hewan

yang sakit dalam populasi dengan prevalensi 6.12% (Mahatmi 2006), (N) adalah

populasi sapi perah yang diimpor dari Australia selama tahun 2011 yang masuk

melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta, (n) adalah besaran sampel. Sapi Perah

Darah

Nested PCR

Serum

Analisa Data secara Deskriptif

ELISA Whole blood

(38)

23

Uji Serologis ELISA

Sampel serum dan kontrol diencerkan 1:400 dengan Chekit-wash solution.

100 µl sampel dan kontrol yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam sumur

microtiter plate. Mencampur isi dalam sumur dengan cara menggoyang sebentar

microtiter plate secara lembut atau dengan menggunakan shaker. Microtiter plate

diinkubasi selama 60 menit (±5 menit) pada suhu 37 ºC (±2 ºC), setelah itu

dilakukan pencucian dengan 300 µl Chekit-wash solution sebanyak tiga kali.

Dilakukan aspirasi isi cairan di dalam sumur setelah dicuci. Aspirasi terakhir

diketuk-ketuk dengan kuat pada bahan yang mudah menyerap. 100 µl konjugat

Chekit-Q-Fever-Anti-Ruminant-Ig-PO dimasukkan pada setiap sumur. Microtiter

plate ditutup dan diinkubasi selama 60 menit (±5 menit) dengan suhu 37 ºC

(±2ºC) pada ruang yang lembab, setelah itu dilakukan pencucian dengan 300 µl

Chekit-wash solution sebanyak tiga kali. Dilakukan aspirasi isi cairan di dalam

sumur setelah dicuci. Aspirasi terakhir diketuk-ketuk dengan kuat pada bahan

yang mudah menyerap. 100 µl Chekit-TMB-Substrate dimasukkan dalam setiap

sumur. Inkubasi pada suhu ruang (18 ºC-25 ºC) selama 15 menit. Reaksi warna

dihentikan dengan menambahkan 100 µl Chekit-Stop Solution TMB pada setiap

sumur. Stop solution sebaiknya dimasukkan dengan urutan dan kecepatan yang

sama seperti memasukkan substrat. Hasil dibaca dengan fotometer pada panjang

gelombang 450 nm (Gambar 5). Uji yang valid adalah jika OD kontrol positif

tidak lebih dari 2.0 dan OD kontrol negatif tidak lebih dari 0.5. Perbedaan antara

kontrol positif dan negatif harus ≥ 0.3. Hasil dihitung dengan rumus:

OD sample – OD neg

Nilai (%) : X 100%

ODpos – ODneg

Interpretasi hasil ELISA dapat dilihat pada Tabel 2 :

Tabel 2 Interpretasi hasil ELISA

Nilai < 30% ≥30% - <40% ≥40%

(39)

Gambar 5 Metode ELISA (CHEKIT Q-fever (Coxiella burnetii) antibody test kit, IDEXX, Switzerland).

Jika hasil sampel yang dicurigai pada pengujian ke dua sama, maka

sebaiknya mengambil sampel yang baru pada hewan yang sama dan diuji lagi.

Jika sampel yang baru hasilnya tetap dicurigai maka secara epidemiologis perlu

dipertimbangkan. Sampel diuji dengan metode yang berbeda.

Identifikasi DNA C. burnetii dengan Metode Nested PCR Ekstraksi DNA (Qiagen Kit)

Sebanyak 20 µl proteinase K dimasukkan ke dalam tabung mikrosentrifus

ukuran 1.5 ml. Sebanyak 50-100 µl darah yang mengandung antikoagulan dan

PBS ditambahkan sampai mencapai volume 220 µl, kemudian 200 µl bufer AL

ditambahkan tanpa tambahan etanol. Homogenisasi dilakukan dengan vortex dan

diinkubasi pada suhu 56 ºC selama 10 menit. Etanol (96-100%) sebanyak 200 µl

ditambahkan ke dalam sampel dan dihomogenkan dengan vortex, kemudian

dipindahkan ke dalam DNeasy mini spin column setelah itu dimasukkan ke dalam

tabung koleksi (collection tube) 2 ml. Sentrifus dilakukan pada 6 000 g (8 000

rpm). Flow through dan tabung koleksi dibuang, kemudian DNeasy mini spin

column ditempatkan pada tabung koleksi. Bufer AW1 sebanyak 500 µl

ditambahkan dan disentrifus selama 1 menit pada 6 000 g (8 000 rpm). Flow

(40)

25

pada tabung koleksi, kemudian ditambahkan 500 µl bufer AW2. Sentrifus selama

3 menit pada 20 000 g (14 000 rpm) untuk mengeringkan membran DNeasy. Flow

through dan tabung koleksi dibuang dan DNeasy mini spin column ditempatkan

ke dalam tabung mikrosentrifus ukuran 1.5 ml. Sebanyak 200 µl bufer AE

dipipet ke dalam membran DNeasy. Inkubasi pada suhu ruang selama 1 menit dan

sentrifus selama 1 menit pada 6 000 g (8 000 rpm) untuk mengelusi. Hasil DNA

dapat diperoleh secara maksimal dengan mengulangi elusi seperti langkah

sebelumnya. Hasil DNA yang diperoleh diukur tingkat kemurnian dan

konsentrasinya, kemudian dilanjutkan dengan polymerase chain reaction (PCR).

Spektrofotometer (NanoVue PlusTM)

Spektrofotometer (NanoVue PlusTM) digunakan untuk mengukur konsentrasi dan

tingkat kemurnian DNA seperti terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Penghitungan konsentrasi dan kemurnian DNA dengan spektrofotometer (NanoVue PlusTM).

Langkah pertama adalah memilih menu DNA mode dan pathlength dengan

menggunakan tanda panah kanan dan kiri, terdapat pilihan 0.5 mm, 0.2 mm atau

otomatis, kemudian menekan tanda panah ke bawah. Faktor pengenceran

dimasukkan dengan menggunakan angka pada tombol yang ada (kisaran

1.00-9999). Tombol C digunakan untuk kembali ke menu semula dan menghapus

(41)

tanda panah ke bawah dan memasukkan volume diluent. Menekan tanda OK

untuk menghitung faktor pengenceran dan kembali ke parameters screen.

Background correction pada 320 nm akan terlihat, kemudian tanda panah ke

bawah ditekan. Unit pengukuran ada beberapa pilihan yaitu μg/ml, ng/μl dan μg/μl, kemudian tanda panah ke bawah ditekan. Tanda OK ditekan untuk melihat result screen. Sebanyak 2 µl sampel blanko dimasukkan kemudian tanda

QA/100% ditekan, lempeng dibersihkan dengan air dan tisu sebelum memasukkan

sampel berikutnya. Rasio dari nilai absorbansi pada panjang gelombang 1 dan 2

dihitung. Konsentrasi didasarkan pada absorbansi panjang gelombang pertama.

Deteksi C. burnetii pada Darah Sapi dengan Metode Nested PCR

Larutan DNA yang akan digunakan sebagai sampel merupakan hasil

pengukuran konsentrasi dan kemurnian DNA menggunakan spektrofotometer.

Primer oligonukleotida yang digunakan adalah produk Sigma yaitu primer OMP1 (5’-AGT AGA AGC ATC CCA AGC ATT G-3’), OMP2 (5’-TGC CTG CTA GCT GTA ACG ATT G-3’), OMP3 (5’-GAA GCG CAA GAA GAA CAC-3’) dan OMP4 (5’-TTG GAA GTT ATC ACG CAG TTG-3’) yang didisain dari sekuen nukleotida gen com 1 yang mengkode OMP 27 kD.

Amplifikasi DNA pertama (first PCR) dilakukan dalam volume 50 µl yang

berisi 34.25 µl nuclease free water (NFW), 5 µl 10x PCR bufer, 1.5 µl MgCl2 50

mM (Vivantis), 1 µl dNTP 10 mM (Vivantis), 1.5 µl primer OMP1 10 µM, 1.5 µl

primer OMP2 10 µM, 0.25 µl Taq DNA polymerase (Vivantis) dan 5 µl DNA

template. Analisis PCR dilakukan berturut-turut, yaitu suhu 94 ºC, 2 menit

(pre-denaturasi), 1 putaran, kemudian denaturasi pada suhu 94 ºC, 1 menit, pelekatan

(annealing) pada suhu 68 ºC, 1 menit dan pemanjangan (extention) pada suhu

72 ºC, 1 menit selama 35 kali siklus serta suhu 72 ºC, 7 menit dan hold

temperature 4 ºC, 1 putaran dalam DNA thermal cycler. Proses amplifikasi

selama kurang lebih 2.5 jam, setelah selesai siap untuk dilakukan elektroforesis

dan nested PCR.

Amplifikasi kedua (nested PCR) dilakukan dalam volume 50 µl yang berisi

37.25 µl nuclease free water (NFW), 5 µl 10x PCR bufer, 1.5 µl MgCl2 50 mM

(42)

27

primer OMP2 10 µM, 0.25 µl Taq DNA polymerase (Vivantis) dan 2 µl amplikon

DNA template dari first PCR. Analisis PCR dilakukan berturut-turut, yaitu suhu

94 ºC, 2 menit (pre-denaturasi), 1 putaran, kemudian denaturasi pada suhu 94 ºC,

1 menit, pelekatan (annealing) pada suhu 57 ºC, 1 menit dan pemanjangan

(extention) pada suhu 72 ºC, 1 menit selama 35 kali siklus serta suhu 72 ºC,

7 menit dan hold temperature 4 ºC, 1 putaran dalam DNA thermal cycler. Setelah

proses amplifikasi selesai kemudian dilakukan elektroforesis.

Produk amplifikasi PCR dianalisa dengan elektroforesis menggunakan 1.5%

gel agarose. Cara pembuatan 1.5% gel agarose yaitu sebanyak 1.5 gram agarose

ditambahkan ke dalam 100 ml x TAE, kemudian dihomogenkan menggunakan

microwave selama 5 menit dan diwarnai dengan etidium bromida (0.5 µg/ml)

selama 30 menit). Setelah cetakan agarose menjadi padat kemudian direndam

dengan 10x TAE, maka ke dalam sumur dimasukkan sampel, kontrol positif,

kontrol negatif dan DNA molecular weight standards (100 pb DNA ladder) yang

telah dicampur loading dye dengan perbandingan 1:9. Elektroforesis dijalankan

dengan tegangan 120 volt selama 50 menit, kemudian dilihat hasilnya

menggunakan UV lumination pada 320 nm dan dipotret dengan kamera. Hasil

PCR dinyatakan positif apabila terlihat adanya produk yang spesifik dari primer

eksternal (OMP1-OMP2) yang menghasilkan fragmen 501 pb dan nested PCR

dari primer internal (OMP3-OMP4) yang menghasilkan fragmen 438 pb.

Beberapa peralatan pengujian nested PCR dapat dilihat pada Gambar 7.

(43)

Analisis Hasil

Data yang digunakan untuk kajian Q fever adalah hasil identifikasi

C. burnetii dengan menggunakan uji serologis dengan teknik ELISA dan metode

deteksi spesifik nested PCR. Data dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel

dan gambar (Mattjik dan Sumertajaya 2002).

(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Q fever merupakan penyakit zoonosa yang sangat infeksius, menyebar luas

hampir di seluruh dunia, menginfeksi orang yang berhubungan dengan

pekerjaannya (occupational hazard) dan dapat ditularkan melalui makanan

(foodborne diseases) (Vaidya et al. 2008). Mikroorganisme ini dilaporkan mampu

menyebar sejauh 18.3-20 km dari sumber infeksi yang dibawa oleh angin (aerosol

transmission), mempunyai dosis infeksi yang rendah (low infectious dose), stabil

di lingkungan dan beberapa kondisi psikokimia (stable in the environment).

Berdasarkan estimasi World Health Organization (WHO) apabila C. burnetii

disebarkan ke suatu wilayah dengan populasi penduduk sebesar 5 juta, maka

125 000 orang akan sakit dan 150 orang meninggal (CFSPH 2007; Marrie 2003).

Data penelitian terhadap keberadaan C. burnetii sebagai penyebab penyakit

Q fever di Indonesia adalah nyata secara serologi dan molekuler, walaupun masih

perlu dibuktikan dengan melakukan isolasi dan identifikasi mikroorganisme

C. burnetii. Q fever termasuk penyakit eksotik di Indonesia, yaitu penyakit

zoonosa yang belum ditemukan atau dilaporkan terjadi di Indonesia (Komnas

2010).

Hasil ELISA

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 46 sampel yang

terdiri dari 46 sampel serum darah dan 46 sampel darah utuh (whole blood). Hasil

pengujian serologis dengan metode ELISA (CHEKIT Q-fever (Coxiella burnetii)

antibody test kit, IDEXX, Switzerland) memperlihatkan dari 46 sampel serum

darah sapi perah, 23 sampel (50%) positif Q fever sedangkan 23 sampel lainnya

menunjukkan hasil negatif.

Penggunaan metode ini dinyatakan valid jika Optical Density (OD) kontrol

positif tidak lebih dari 2.0 dan OD kontrol negatif tidak lebih dari 0.5, perbedaan

antara kontrol positif dan negatif harus lebih besar atau sama dengan 0.3. Hasil

positif terhadap Q fever pada uji ini apabila nilai (%) sama dengan atau lebih

(45)

jika nilai (%) adalah kurang dari 30%. Hasil uji serologi terhadap Q fever dengan

metode ELISA dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil uji serologi terhadap Q fever dengan metode ELISA

Jenis

Hasil penelitian ini menunjukkan seropositif sebanyak 50% dengan rata-rata

persentasi nilai positif adalah 92.54%. Sampel serum darah sapi perah berasal dari

sapi perah impor dari Australia yang merupakan negara endemis dan pertama kali

ditemukan kasus Q Fever. ELISA (CHEKIT Q-fever (Coxiella burnetii) antibody

test kit, IDEXX, Switzerland) mempunyai sensitifitas 100% dan spesifitas 100%

jika dibandingkan dengan CFT dengan korelasi 98%. ELISA digunakan dalam

diagnosa karena mudah dikerjakan dan handal. Jumlah sampel yang positif

C. burnetii pada pemeriksaan serologis pada umumnya cenderung lebih tinggi jika

dibandingkan dengan pemeriksaan dengan metode PCR. Hewan yang positif

antibodi terhadap C. burnetii pada pemeriksaan serologis adalah hewan yang

telah terinfeksi dalam waktu lama, sementara agen penyebabnya sendiri belum

tentu ada dalam tubuh hewan (Mahatmi et al. 2006).

Sampel serum darah sapi perah berasal dari sapi perah yang diimpor dari

Australia yang merupakan negara endemis dan pertama kali ditemukan kasus

Q Fever. Penelitian terbaru dilakukan oleh Cooper et al. (2011) terhadap sapi

potong di daerah Queensland dengan tingkat insidensi Q fever tertinggi di

Australia, sebanyak 16.8% (SK 95%; 16.7-16.8%) seropositif terhadap Q Fever.

ELISA mempunyai sensitifitas dan spesifitas yang tinggi, hal ini sesuai

dengan penelitian Vaidya et al. (2011) terhadap 920 sampel yang berupa swab

genital dan feses, susu, urin dan serum. Sampel dikoleksi dari 88 ekor sapi, 33

ekor kerbau, 43 ekor domba dan 53 ekor kambing dengan riwayat gangguan

reproduksi dan diskrining terhadap C. burnetii. Sampel diuji dengan trans-PCR,

real-time PCR, IFA, ELISA dan metode isolasi. Prevalensi terhadap Q fever

secara keseluruhan adalah 13.82%, sedangkan untuk masing-masing hewan

prevalensi Q fever pada sapi sebesar 12.78%, kerbau sebesar 16.66%, domba

Gambar

Tabel 1  Frekuensi dan jumlah sapi impor yang dilalu-lintaskan melalui
Gambar 1 Pohon filogenetik yang menunjukkan hubungan antara Coxiella
Gambar 2 Coxiella burnetii dengan mikrograf elektron pada pembesaran
Gambar 4 Rancangan penelitian.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Republika.co.id, Syekhermania Baca 1 Milyar Shalawat Nariyahm dikutip dari http://www.google.co.id/amp/m.republika.co.id/amp_version/oxurfm396?e svp=1 pada tanggal 11

Dengan memberikan berbagai pengetahuan tentang moral baik atau buruk sesuai ajaran agama Islam yang tertuang dalam Al Quran, maka anak akan tahu mana yang harus

Sehingga didapatkan bahwa semakin jauh peletakkan CPVA, maka persentase reduksi respon yang dihasilkan pada daerah yang mendekati frekuensi natural pertama sistem utama

Sekolah Pascasarjana USAHID adalah satu-satunya unversitas swasta di Indonesia yang menyelenggarakan program Doktor Ilmu Komunikasi (DIK), dengan memberikan

Nilai P-Value yang kecil yaitu 0.00 jika dibandingkan dengan kesalahan (alpha) 5 persen yang digunakan menunjukkan bahwa variabel terikat (perilaku nilai tukar

selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah banyak membantu dan memberikan fasilitas dalam proses perkuliahan serta

Iklan dapat diartikan sebagai berbagai bentuk presentasi nonpersonal atas ide, produk atau jasa yang dibiayai oleh pihak sponsor (perusahaan), sedangkan word of mouth lebih

Pengembangan karir dalam penelitian ini dilihat dari 9 (sembilan) aspek, yaitu prestasi kerja, pengenalan oleh pihak lain, jaringan kerja, pengunduran diri, kesetiaan