PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH
OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN
SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN
HUJAN DATARAN RENDAH :
STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI
SANDI KUSUMA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penentuan Bentuk dan Luas Plot
Contoh Optimal Pengukuran Keanekaragaman Spesies Tumbuhan pada Ekosistem Hutan Hujan Dataran Rendah : Studi Kasus di Tama n Nasional Kutai adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2007
Sandi Kusuma
Hak cipta milik IPB, tahun 2007
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebut sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
ABSTRACT
SANDI KUSUMA. Determining of Shape and Size Optimal Sampling Plot for
Measuring of Plant Biodiversity in Low Land Tropical Rain Forest: Case Study in Kutai National Park. Supervised by YANTO SANTOSA and AGUS HIKMAT.
The problem for measuring of plant biodiversity was how difficult to determine shape and size optimal sampling, also which indices had high sensitivity.
This research was carried out in Kutai National Park (KNP) by using sixteen
samples rectangular and square plot the sampling size was 50 m2 to 25600 m2
which covered species richness.
The result indicated that increasing of number species which unproportional caused decreasing index. Margalef index indicated high sensitivity. Square plot covered more species number than rectangular. It caused by the geographic position of KNP where probability found species linier with latitude. Spatial distribution pattern of species were clumped in the study sites . Thus, it was also correlated to latitude position. Optimal sampling sizes for measuring of plant biodiversity were 1 600 m2 for sapling and 12 800 m2 for tree.
Keywords : shape and size sampling, low land tropical rain forest, Kutai
RINGKASAN
SANDI KUSUMA. Penentuan Bentuk dan Luas Plot Contoh Optimal
Pengukuran Keanekaragaman Spesies Tumbuhan pada Hutan Hujan Dataran Renda h : Studi Kasus di TN. Kutai. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan AGUS HIKMAT.
Pengukuran keanekaragaman spesies dibutuhkan untuk menjaga keberadaan spesies di dalam habitatnya, membantu kita menemukan dan memulai pemahaman kondisi saat ini dan kemungkinan kondisinya di masa datang, memantau dampak pengelolaan kawasan dan perubahan lingkungan, dan menentukan areal yang diberikan prioritas dalam konservasi keanekaragaman hayati. Masalah yang muncul adalah sulitnya menentukan bentuk dan luas yang optimal dalam pengukuran keanekaragaman spesies.
Hutan hujan dataran rendah dipilih karena merupakan daerah yang paling tinggi mengalami penurunan keanekaragaman hayati dalam bentuk kebakaran hutan, penebangan liar dan konversi lahan. Salah satu contoh kawasan konservasi yang mewakilinya adalah Taman Nasional Kutai (TN. Kutai).
Data yang dikumpulkan adalah jumlah individu dari spesies-spesies tumbuhan pada tingkat pancang dan pohon dari 16 plot contoh berbentuk persegi
panjang dan bujur sangkar yang masing-masing luasnya dari 50 m2 – 25 600 m2.
Data spesies pohon dianalisis dengan menghitung jumlah spesies tiap bentuk, luas dan sebaran spasial spesies. Untuk melihat kesensitifan indeks digunakan Indeks Margalef, Menhinick, Simpson dan Shannon-Wiener Sedangkan sebaran spasial spesies digunakan indeks Morisita. Untuk menentukan
bentuk dan luas plot contoh digunakan t-student.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa penambahan jumlah spesies tidak selalu direspon dengan penambahan nilai indeks. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah spesies yang diikuti dengan penambahan jumlah individu yang tidak proporsional justru akan menurunkan nilai indeks yang dihasilkan. Indeks Margalef paling responsif terhadap perubahan jumlah spesies dan jumlah individu.
Spesies –spesies yang saat ini ditemukan jika dibandingkan dengan spesies yang ditemukan pada 2 dekade sebelumnya terlihat jauh berkurang. Demikian juga bila dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian di tempat lain. Diduga hal ini terjadi akibat kebakaran hutan besar di TN. Kutai tahun 1982-83 yang
mengakibatkan 100 000 ha (>50% luas saat ini) terbakar.
Jumlah spesies lebih tinggi ditemukan pada bentuk plot contoh bujur sangkar dibandingkan persegi panjang untuk tingkat pancang dan pohon. Hasil uji beda nyata untuk setiap luas plot contoh tingkat pancang menunjukkan bahwa
pada luas 50 m2 bentuk bujur sangkar dan persegi panjang tidak berbeda nyata
(thitung = 1.42), demikian halnya untuk luas plot contoh 1 600 m2 dan 3 200 m2
(thitung = 0.36 dan 0.37). Sedangkan untuk luas plot lainnya menunjukkan
keduanya berbeda nyata. Hasil uji beda tingkat pohon menunjukkan bahwa jumlah
spesies kedua bentuk ini berbeda nyata mulai dari 50 m2 hingga 6 400 m2, dan
Pola sebaran spesies di TN. Kutai menyebar kelompok ke arah garis lintang yang memungkinkan dijangkau oleh bentuk bujur sangkar. Sehingga penelitian ini mengungkapkan bahwa plot contoh bujur sangkar yang mencatat jumlah spesies lebih tinggi (2.06% untuk tingkat pancang, 15.11% untuk tingkat pohon) dibandingkan persegi panjang.
Alasan inilah yang menyebabkan komposisi spesies plot contoh yang berasal
dari blok Sangkima (berada sekitar 0° 25’40”) berbeda dengan blok Prevab
(berada sekitar 0° 30’45”). Spesies seperti Dendrocide elliptica, Koompassia
excelsa dan Palaquium beccarianum tidak ditemukan di Sangkima tetapi
ditemukan di Prevab, sedangkan spesies seperti Dryobalanops lanceolata, Hopea
dryobalanoides dan Vatica umbonata berada sebaliknya. Perbedaan komposisi
vegetasi inilah yang menyebabkan keduanya saling melengkapi sehingga TN. Kutai demikian luas sebagai implikasi dari teori biogeografi
Dalam konteknya dengan TN. Kutai, akhirnya hubungan jumlah spesies dan
luas areal sebagaimana persamaan S = CAz, luas areal (A) dipahami meluas
dengan menjangkau garis lintang. Hal sesuai usulan pertama kali Wildreservaat
Koetai oleh Ir. H. Witkamp tahun 1932 seluas 2 000 000 ha sebagai melintang
mulai dari bawah hingga ke atas garis khatulistiwa.
Pengolahan data sebaran spasial yang teridentifikasi di dalam plot contoh menunjukkan bahwa 92.5% spesies tingkat pancang mengelompok, 6.5% acak dan 1% merata. Pada tingkat pohon menunjukkan bahwa 87.4% mengelompok, acak 10.1% dan merata 2.5%. Hasil ini memperlihatka n bahwa spesies-spesies di TN. Kutai menyebar secara kelompok ke arah garis lintang yang tidak bisa dijangkau oleh bentuk persegi panjang dan menuntut luas plot contoh yang cukup luas.
Hasil uji beda nyata jumlah spesies tiap luas plot contoh tingkat pancang
menunjukkan bahwa luas plot contoh 800 m2, 1 600 m2 dan 3 200 m2 tidak
berbeda nyata. Luas plot contoh 1 600 m2 merupakan luas plot contoh optimal
karena ditemukan selisih jumlah spesies paling kecil (0.13) sehingga dimungkinkan tidak menambah jumlah spesies. Luas plot contoh paling banyak
ditemukan selisih spesies adalah pada penambahan luas plot contoh 400 m2 ke
800 m2 (21.37).
Hasil uji beda nyata luas plot contoh tingkat pohon menunjukkan bahwa luas
plot contoh 6 400 m2, 12 800 m2 dan 25 600 m2 tidak berbeda nyata. Luas plot
contoh 12 800 m2 merupakan luas plot contoh optimal karena ditemukan selisih
jumlah spesies paling kecil (0.06). Sedangkan plot contoh antara 6 400 m2 (15.94)
merupakan luas plot contoh yang ditemukan selisih jumlah spesies paling banyak dari seluruh plot contoh yang dibuat.
Kata kunci : bentuk dan luas plot contoh, hutan hujan dataran rendah, Taman
PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH
OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN
SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN
HUJAN DATARAN RENDAH :
STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI
SANDI KUSUMA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional Konservasi Biodiversitas pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Penelitian : PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT
CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN
KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN
PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI
Nama : Sandi Kusuma
Nomor Pokok : E051054115
Sub Program Studi : Konservasi Keanekaragaman Hayati
Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA Dr. Ir. Agus Hikmat, MScF
Ketua Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pengetahuan Kehutanan,
Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
KATA PENGANTAR
Penelitian yang berjudul Penentuan Bentuk dan Luas Plot Contoh
Optimal Pengukuran Keanekaragaman Spesies Tumbuhan pada Ekosistem Hutan Hujan Dataran Rendah : Studi Kasus di Taman Nasional Kutai
dibimbing oleh komisi : Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA. sebagai ketua komisi dan Dr.
Ir. Agus Hikmat, MScF. sebagai anggota. Sedangkan penguji luar komisi adalah
Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.
Penelitian ini merupakan bagian akhir dari pelaksanaan studi tugas belajar
Departemen Kehutanan sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : Sk.
3213/Menhut-II/Peg/2006 pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
kekhususan Konservasi Keanekaragaman Hayati di Institut Pertanian Bogor.
Akhirnya, penulis berharap bahwa penelitian ini bermanfaat dan menjadi
iuran dalam pengelolaan TN. Kutai. Amin.
Bogor, Desember 2007.
UCAPAN TERIMA KASIH
Sujud syukur kepadaMu ya Allah, dalam setiap tarikan nafas yang ada
adalah kebesaranMu. DariMu semua bermula, hingga setiap proses akhirnya
menjadi indah. Menyibak rahasia hutan adalah pengakuan akan kebesaranMu
yang berakhir pada keindahanMu.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Departemen Kehutanan melalui
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam yang telah
memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi Pascacarjana di IPB. Semoga
orang-orang yang berada di balik pemberian kesempatan itu mendapatkan hal-hal
terbaik dalam hidupnya, diterangkan jalannya dan dimudahkan segala urusannya.
Penghargaan yang tulus diberikan kepada Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA.
dalam kapasitasnya sebagai ketua sub program studi dan ketua komisi
pembimbing, yang dengan jiwa besarnya mempercayai penulis untuk melakukan
penelitian ini, membantu menegakkan karakter tentang bagaimana pengelolaan
sebuah kawasan konservasi. Dr. Ir. Agus Hikmat, M. ScF. yang dengan penuh
kesabaran memberikan warna dalam penulisan sebuah karya ilmiah. Keduanya
mencermati angka-angka dan mentransformasikannya ke dalam huruf-huruf yang
akhirnya penuh arti. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS. melengkapinya dengan
tinjauan yang menjadikannya sempurna.
Penulis bersyukur telah diberikan bantuan yang luar biasa dalam
melaksanakan penelitian oleh Slamet Rohmadi dan Sugiannur untuk pengenalan
jenis pohon; Alimuddin, Sarju, Sunarso, Andi dan Rokhim untuk pembuatan plot
contoh; dan Abdul Syukur yang telah merelakan dirinya untuk menjadi tukang
masak selama penelitian berlangsung.
Penulis berhutang budi kepada Ir. Agus Budiono, M. Sc., Ir. Jhodi
Mohtar, MM. dan Juwadi. Masing-masing bersama keluarga yang telah membuka
ruang kekeluargaan sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan, membantu
menguatkan hingga penyelesaian studi pascasarjana. Andai kesempatan untuk
membalasnya selalu ada.
Sahabat-sahabat di Sub Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati,
yang pengalamannya dari Sumatera-Papua senantiasa menjadi diskusi yang
mencari simbol dan memberinya nilai. Saat kita terserak, satu yang menjadi
simpul : Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Doa yang senantisa mengalir dari ibu dan bapak, menjadi inspirasi dan
kekaguman tentang kekuasaan yang kadang anugerahNya tak pernah bisa untuk
disangka-sangka. Pun keberadaan Nirmala Basuki dan Jendera Purusha
Hayuningrat, untuk kerelaan terhadap seorang kakak yang waktunya tersita
hingga tak pernah bisa mencermati perkembangan adik-adik.
Satu persatu tak mungkin nama-nama disebut karena tentu akan menjadi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Grobogan, Jawa Tengah, pada tanggal 30 Mei 1975
dari ayah Kresno Dipojono dan ibu Sri Budi Harumi. Penulis merupakan putra
pertama dari tiga bersaudara.
Tahun 1993 penulis tamat dari Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA)
Kadipaten dan mendapatkan tugas di Taman Nasional Kutai (sekarang bernama
Balai Taman Nasional Kutai). Tahun 1997 penulis mendapatkan beasiswa dari
Departemen Kehutanan untuk melanjutkan pendidikan di Program Diploma IV
Kehutanan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan di Fakultas Kehutanan IPB
dan menamatkannya tahun 2001. Tahun 2006 penulis kembali mendapatkan
beasiswa dari Departemen Kehutanan untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah
Pascasarjana IPB di Sub Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati,
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan.
Sebelum melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB, sehari-hari
penulis bertugas sebagai Kepala Urusan Perencanaan dan Konservasi Balai
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
Manfaat ... 4
Kerangka Pemikiran ... 4
Hipotesa... 5
TINJAUAN PUSTAKA Keanekaragaman Hayati ... 6
Pengukuran Keanekaragaman Hayati ... 7
Hubungan Jumlah Spesies dengan Areal ... 8
Hubungan Jumlah Spesies dengan Kelimpahan... 8
Pola Sebaran Spasial Individu ... 9
KEADAAN UMUM LOKASI KAJIAN Letak dan Luas ... 11
Sejarah TN. Kutai... 11
Topografi, Tanah dan Iklim ... 11
Flora dan Fauna ... 12
Penutupan Kawasan ... 13
Kondisi Masyarakat di Dalam TN. Kutai... 14
METODOLOGI Waktu dan Tempat ... 16
Alat dan Bahan ... 16
Metode Jenis data ... 16
Pengumpulan data ... 16
Analisis data ... 18
Pengujian Hipotesa... 20
HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran Keanekaragaman Spesies ... 22
Bentuk plot contoh ... 28
Luas plot contoh ... 32
KESIMPULAN Kesimpulan ... 38
Saran... 38
DAFTAR PUSTAKA ... 39
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Jenis tanah di TN. Kutai ... 12
2 Data pemukim di dalam TN. Kutai ... 15
3 Bentuk dan luas plot contoh ... 17
4 Rata-rata nilai indeks keanekaragaman spesies tingkat pancang ... 22
5 Regresi nilai indeks keanekaragaman spesies tingkat pancang ... 23
6 Rata-rata nilai indeks keanekaragaman spesies tingkat pohon ... 25
7 Regresi nilai indeks keanekaragaman spesies tingkat pohon ... 26
8 Perhitungan uji beda bentuk plot contoh tingkat pancang ... 29
9 Perhitungan uji beda bentuk plot contoh tingkat pohon... 30
10 Uji beda luas plot contoh tingkat pancang ... 33
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Perkembangan TN. Kutai berdasarkan analisis citra ... 14
2 Sketsa pembuatan petak contoh ... 17
3 Peta ketinggian TN. Kutai ... 18
4 Hubungan luas plot contoh tiap bentuk dengan delta
jumlah spesies ... 20
5 Kesensitifan indeks keanekaragaman spesies ti ngkat
pancang ... 24
6 Kesensitifan indeks keanekaragaman spesies tingkat
pohon ... 26
7 Kecenderungan penambahan jumlah spesies tingkat
pancang ... 28
8 Kecenderungan penambahan jumlah spesies tingkat
pohon ... 29
9 Usulan Wildreservaat Koetai oleh Witkamp (1932) ... 32
10 Jumlah spesies tiap luas plot contoh bujur sangkar
tingkat pancang ... 33
11 Hubungan luas plot contoh bujur sangkar dengan
selisih jumlah spesies tingkat pancang ... 34
12 Jumlah spesies tiap luas plot contoh bujur sangkar
tingkat pohon... 35
13 Hubungan luas plot contoh bujur sangkar dengan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Rekapitulasi hasil identifikasi spesies tingkat pancang
plot contoh bujur sangkar ... 44
2 Rekapitulasi hasil identifikasi spesies tingkat pohon plot
contoh bujur sangkar ... 65
3 Rekapitulasi hasil identifikasi spesies tingkat pancang
plot contoh persegi panjang ... 81
4 Rekapitulasi hasil identifikasi spesies tingkat pohon plot
contoh persegi panjang ... 99
5 Peta kontur TN. Kutai dan posisi TN. Kutai dalam
Propinsi Kalimantan Timur ... 115
6 Spesies yang saling berbeda antara blok Sangkima dan
Prevab, TN. Kutai ... 116
7 Sebaran spasial spesies tingkat pancang ... 117
8 Sebaran spasial spesies tingkat pohon... 121
9 Penyebaran spesies tingkat pancang terhadap luas plot
contoh ... 125
10 Penyebaran spesies tingkat pohon terhadap luas plot
contoh ... 126
11 Rekapitulasi nama spesies plot contoh bujur sangkar
tingkat pancang ... 127
12 Rekapitulasi nama spesies plot contoh bujur sangkar
tingkat pohon... 131
13 Rekapitulasi nama spesies plot contoh persegi panjang
tingkat pancang ... 135
14 Rekapitulasi nama spesies plot contoh persegi panjang
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia memiliki jumlah keanekaragaman hayati nomor 2 paling banyak
di dunia setelah Brasil (Noerdjito et al. 2005), yang mencakup 10% tumbuhan
berbunga, 12% spesies mamalia, 16% spesies reptil dan ampibi, 17% spesies
burung, dan lebih dari 25% spesies ikan (BAPPENAS 1993).
Keanekaragaman hayati Indonesia penting karena banyak sektor
pembangunan bergantung secara langsung maupun tidak langsung pada
keanekaragaman hayati dan fungsi-fungsi alami yang terlindungi (BAPPENAS
1993). Bahkan semua mahluk hidup di bumi bergantung pada keanekaragaman
tumbuhan dalam siklus materi dan aliran energi (Given 1994) yang senantiasa
hijau sepanjang tahun, karena itu hutan hujan Indonesia dikenal sebagai paru-paru
dunia.
Kondisi keanekaragaman hayati menurun saat ini dengan semakin
terbatasnya kemampuan untuk regenerasi, fragmentasi habitat, perubahan iklim,
polusi, introduksi spesies pendatang dan penggunaan bahan material secara luas
(McNeely et al. 1991 dalam Salleh & Manokaran 1995; Burley 1994 dalam
Burley & Gauld 1995; Smitinand 1995).
Hutan hujan dataran rendah merupakan daerah yang paling tinggi
mengalami penurunan keanekaragaman hayati. Hal ini disebabkan daerah inilah
yang paling sering menerima gangguan seperti kebakaran, pencurian kayu,
pemukiman dan konversi untuk perkebunan. (MacKinnon et al. 1986; Yusuf
1994). Klasifikasi hutan hujan dataran rendah adalah hutan di daerah tropis yang
memiliki ketinggian 2 m – 1000 m dpl (Soerianegara & Indrawan 2005).
Indonesia terkait dengan 5 (lima) konvensi yang sudah ditandatangani yang
berhubungan dengan keanekaragaman hayati, yaitu : Konvensi Ramsar 1975,
Konvensi CITES 1975, Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992 dan Konvensi
Perubahan Iklim 1992 (diperbaharui menjadi Protokol Kyoto 1997) dan Konvensi
Bio-Safety (Cartagena Protocol) 2004 (Noerdjito et al. 2005). Tahapan paling
penting dari pelaksanaan konvensi-konvensi itu adalah mengukur dan memantau
berbagai simposium internasional (terakhir di Bangkok, 27 Agustus – 2
September 1994 tentang Measuring and Monitoring Biodiversity in Tropical and
Temperate Forests) pembahasan tentang pengukuran keanekaragaman hayati
menjadi agenda penting.
Pengelolaan keanekaragaman hayati mensyaratkan pengukuran
keanekaragaman hayati (WCMC 1992), untuk menjaga keanekaragaman hayati
di habitatnya melalui upaya untuk menjaga keberadaan spesies di dalam
habitatnya, membantu kita menemukan dan memulai pemahaman kondisi saat ini
dan kemungkinan kondisinya di masa datang, memantau dampak pengelolaan
kawasan dan perubahan lingkungan, dan menentukan areal yang diberikan
prioritas dalam konservasi keanekaragaman hayati (Pielou 1995; Namkoong
1995; Burley & Gauld 1995).
Pengukuran dan indeks keanekaragaman hayati didasarkan atas jumlah
spesies atau kelimpahan relatif (Burley & Gauld 1995) dalam plot-plot contoh
(Pielou 1995). Jumlah spesies ini yang ditransformasikan ke dalam indek-indeks
keanekaragaman, yang diambil dari 2 (dua) hal, yaitu : kekayaan spesies, yaitu
jumlah spesies; dan kemerataan, yaitu sejauhmana kesamaan dari kelimpahan
spesies (Magurran 1988). Semakin tinggi nilai indeks mencerminkan sema kin
tinggi keanekaragaman spesies (Boontawee et al. 1995).
Keanekaragaman bervariasi dalam ruang dan waktu, yang merupakan fungsi
dari spatial dan temporal dari perubahan ekosistem yang terjadi padanya (WCMC
1992; Turner 1995). Hal ini tentu saja tidak selalu menjamin bahwa seluruh
ukuran plot contoh selalu sama dan jumlah spesies meningkat seiring plot contoh
yang dibuat (Magurran 1988). Masalah yang muncul adalah sulitnya menentukan
jumlah spesies, karena jumlah spesies berhubungan dengan luas plot conto h (Kreb
1978; Darlington 1957 dalam Van Dyke 2003), demikian halnya dengan besarnya
gangguan dari masing-masing spesies di dalam habitatnya (Lloyd 1967 dalam
Kumar 1977) sehingga ukuran dan bentuk plot contoh lebih menjadi hal penting
dalam pengukuran keanekaragaman (Myers et al. 1995). Dari sini para ahli belum
sepakat tentang bentuk dan luas plot contoh yang dapat digunakan dalam
Taman Nasional Kutai (TN. Kutai) yang mewakili ekosistem hutan hujan
dataran rendah, memiliki fungsi melestarikan keanekaragaman spesies tumbuhan
dan satwa (BAPPENAS 2003). Pengelolaan yang dilakukan adalah mengukur dan
memantau keanekaragaman spesies yang diwakilinya sebagai upaya
mempertahankan ekosistem hutan hujan dataran rendah. Pertanyaan penting yang
diajukan adalah bentuk dan luas plot contoh seperti apa yang optimal (Burley &
Gauld 1995) dalam pengukuran keanekaragaman spesies tumbuhan di TN. Kutai?
Karena menurut Myers (1984) untuk melestarikan spesies membutuhkan
pengetahuan berapa juml ah spesies yang ada, dimana mereka berada dan seberapa
besar ancaman yang terjadi.
Pengukuran keanekaragaman tumbuhan di TN. Kutai akan dilakukan pada
tumbuhan berkayu (pohon), karena hutan merupakan sekelompok tumbuhan yang
didominasi pohon yang berinteraksi dengan lingkungannya (Soerianegara &
Indrawan 2005). Spesies tumbuhan berkayu (pohon) inilah yang digunakan
sebagai penanda keberadaan sebuah hutan (Moon & Brown 1914; De Laubenfels
1970; Myers 1984; Anwar et al. 1984).
Berbagai penelitian menunjukka n bahwa bentuk dan luas plot contoh
dilakukan pada tingkat pohon (Laurance et al. 1998; Stochlgren et al. 1995 dalam
Keely & Fotheringham 2005). Sedangkan penelitian ini ditambahkan tingkat
pancang, sehingga dapat digunakan untuk tingkat semai dan tingkat tiang dapat
digunakan luas plot contoh tingkat pohon.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui indeks keanekaragaman yang paling responsif
2. Bentuk dan luas plot contoh yang optimal untuk mengukur keanekaragaman
spesies tumbuhan tingkat pancang dan pohon di Taman Nasional Kutai (TN.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan metode baku dalam
pengukuran dan pemantauan keanekaragaman spesies tumbuhan tingkat pancang
dan pohon di TN. Kutai.
Kerangka Pemikiran
Pengukuran keanekaragaman hayati yang paling sederhana adalah dengan
menghitung jumlah spesies (Poole 1974; Krebs 1978). Hal ini mengingat
tingkatan spesies merupakan pemeran utama dalam konservasi yang secara
konseptual, biologis dan legal dapat diterima (Meffe & Carrol 1992 dalam
Haryanto 1995). Pemahaman tingkatan spesies merupakan dasar dalam
memahami keanekaragaman hayati karena tingkatan spesies hampir secara
universal digunakan sebagai unit dimana keanekaragaman hayati diukur (WCMC
1992). Mengingat peran sentralnya dalam konservasi keanekaragaman hayati,
keanekaragaman spesies merupakan unit pengukuran yang dapat dijadikan
indikator keanekaragaman hayati dari suatu wilayah (Haryanto 1995).
Keanekaragaman bervariasi menurut ruang dan waktu (WCMC 1992;
Turner 1995), secara sistematik dan dapat diduga mengikuti garis lintang (Pianka
1983 dalam Magurran 1988; Kreb 1985 dalam Magurran 1986; Begon et al. 1986
dalam Magurran 1988) dan berhubungan dengan areal (MacArthur & Wilson
1967 dalam Magurran 1988; Wiliamson 1981 dalam Magurran 1988), dari sinilah
pemahaman bahwa peningkatan spesies berkaitan dengan perluasan plot contoh
yang dipelajari (Myers et al. 1995).
Sebaran spesies di dalam ekosistem dijelaskan Ludwig dan Reynolds (1988)
mengikuti pola acak, kelompok dan teratur. Pola sebaran ini merupakan posisi
individu di dalam lingkungannya, yang merupakan hasil dari sejarah keberadaan,
kematian dan pergerakan (Poole 1974), dan respon dari keterbatasan, kebakaran
dan hempasan angin yang secara kontinu menggangu keberhasilan suksesi
(Couhgley 1977).
Bentuk plot contoh dengan luasan yang sama memiliki panjang bentuk
(keliling) yang berbeda-beda, demikian halnya dengan daerah yang terwakili
dalam sebaran garis lintang dan ketinggian dari atas laut di TN. Kutai.
menjangkau ketinggian dari muka laut lebih luas dan bujur sangkar menjangkau
garis lintang lebih luas.
Bentuk dan luas plot contoh akhirnya menjadi perhatian dalam penelitian ini
yang akan diuji, untuk menjawab bentuk dan luas yang optimal dalam pengukuran
keanekaragaman spesies tumbuhan tingkat pancang dan pohon di TN. Kutai.
Bentuk dan luas plot contoh ini diuji dengan mentransformasikannya ke dalam
kurva minimum spesies area hingga mencapai delta kurang dari 10% (Kusmana
1995; Soerianegara & Indrawan 2005) untuk mengetahui metode yang optimal
dalam pengukuran keanekaraman spesies tumbuhan di TN. Kutai.
Hipotesa
Hipotesa dalam penelitian ini adalah :
1. Besarnya ukuran keanekaragaman spesies tumbuhan pada tingkat pancang
dan pohon yang diperoleh di TN. Kutai bervariasi menurut bentuk plot
contoh.
2. Besarnya ukuran keanekaragaman spesies tumbuhan pada tingkat pancang
TINJAUAN PUSTAKA
Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman merupakan sebuah konsep yang merujuk pada variasi dan
perbedaan dari berbagai individu dalam sebuah komunitas (WCMC 1992),
dimana mereka berinteraksi (Woodruff & Gall 1992 dalam Szmidt 1995). Dari
sini Wilcox (1984) dalam MacKinnon et al. (1986) mengungkapkan bahwa
keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk kehidupan, peranan
ekologi yang dimilikinya dan keanekaragama n plasma nutfah yang terkandung di
dalamnya. Hal senada disampaikan Boontawee et al. (1995) yang mendefinisikan
keanekaragaman hayati sebagai variasi dari organisme dan sistem ekologi yang
terjadi.
Semakin tinggi keanekaragaman hayati dipercaya ekosistem semakin stabil
(Elton 1958 dalam Kumar 1977), karena keanekaragaman hayati menyangkut
keragaman dan kelimpahan relatif dari spesies (Magurran 1988). Keduanya
menentukan kekuatan adaptasi dari populasi yang akan menjadi bagian dari
interaksi spesies (Gregorius 1995).
Smitinand (1995) mengungkapkan bahwa keanekaragaman hayati
menyediakan manfaat ekonomi secara langsung dalam pangan, obat dan industri
bahan baku, menjaga kelangsungan sistem alami yang memberikan peran penting
bagi kehidupan seperti fotosintesis, pengaturan tata air dan iklim dan penyerapan
polutan-olutan. Haryanto (1995) mengungkapkan bahwa 30 000 spesies tumbuhan
memiliki bagian yang dapat dimakan, dan sepanjang sejarah kehidupan umat
manusia hanya 7 000 spesies yang telah dibudidayakan atau dikoleksi sebagai
bahan pangan. Dari seluruh tumbuhan yang telah dimanfaatkan tersebut, 20
spesies memberikan sumbagan 90% pangan dunia, dan hanya 3 spesies (gandum,
jagung dan beras) yang mensuplai kebutuhan pangan dunia lebih dari 50%.
Banyak spesies buah-buahan yang dapat dikembangkan sebagai komoditi
ekonomi. Paling sedikit 3 000 spesies buah-buahan tropis (200 spesies secara
aktual telah dimanfaatkan).
Keanekaragaman hayati terbagi ke dalam 3 tingkatan yaitu :
1998). Suatu lengkang spesies dari keanekaragaman genetik berada pada 3 (tiga)
tingkatan, yaitu : variasi genetik di dalam individu (heterosigositas), perbedaan
antar individu di dalam suatu populasi dan perbedaan genetik antar populasi
(Thohari 1995). Keanekaragaman spesies mencakup seluruh organisme di bumi
(Primack et al. 1988), dengan menghitung jumlah spesies (Krebs 1978).
Sedangkan keanekaragaman komunitas (ekosistem) mewakili tanggapan spesies
secara kolektif pada kondisi lingkungan yang berbeda (Primack et al. 1988).
Pengukuran Keanekaragaman Hayati
Magurran (1988) menjelaskan pentingnya keanekaragaman dan
pengukurannya, yaitu : (1) keanekaragaman hayati merupakan topik sentral dalam
ekologi, dimana upaya untuk melihat pola-pola keragaman spasial dan temporal
menggugah mi nat peneliti dan mendorongnya untuk memahami ekologi; (2)
pengukuran keanekaragaman hayati seringkali untuk melihat kestabilan sistem
ekologi; dan, (3) keanekaragaman hayati terlihat sebagai sebuah konsep yang jelas
dan secara cepat dapat diukur.
Primack et al. (1988) menyebutkan bahwa pada tingkat yang paling
sederhana, keanekaragaman hayati didefinisikan sebagai jumlah spesies yang
ditemukan pada suatu komunitas, ukuran yang disebut dengan kekayaan spesies.
Krebs (1978) mengungkapkan bahwa jumlah spesies merupakan konsep pertama
dan tertua dalam keanekaragaman spesies yang biasa disebut species richness.
Pengukuran keanekaragaman hayati terbagi atas 3 kategori, yaitu : (1)
indeks kekayaan spesies, indeks-indeks ini intinya mengukur jumlah spesies yang
ditemukan dalam plot contoh; (2) model kelimpahan spesies, yang
mendiskripsikan distribusi kelimpahan spesies. Model kelimpahan spesies
memberikan kemerataan dan ciri untuk spesies yang tidak seimbang; dan (3)
indeks yang berdasarkan atas proporsi kelimpahan spesies (Magurran 1988).
Hal paling sering yang dilakukan untuk mengukur keanekaragaman hayati di
hutan adalah meletakkan plot-plot contoh pada sejumlah tempat (Boontawee et al.
1995). Kusmana (1995) menjelaskan bentuk plot contoh yaitu : bujur sangkar,
lingkaran dan persegi panjang. Lebih lanjut Kusmana (1995) mengungkapkan
dalam contoh dapat mewakili komunitas, tetapi harus cukup kecil agar individu
yang ada dapat dipisahkan, dihitung dan diukur tanpa duplikasi atau pengabaian.
Hubungan Jumlah Spesies dengan Areal
Poole (1974) mengungkapkan bahwa jumlah spesies di Prancis meningkat
dengan semakin besarnya areal dalam logaritma. Bentuk kurva digambarkan
secara kasar mengikuti eksponensial. Contoh dari hubungan ini diberikan oleh
Preston (1962) dalam Poole (1974) melalui persamaan S = CAz, dimana S adalah
jumlah spesies, A adalah luas areal, dan C dan z adalah konstanta. Transformasi
persamaan dalam logaritma menjadi log S = log C + z log A. Dalam konteks
pengukuran keanekaragaman hayati, Magurran (1988) mengungkapkan bahwa
tidak selalu menjamin bahwa semakin besar ukuran plot contoh akan
meningkatkan jumlah spesies.
Secara umum dijelaskan WCMC (1992) bahwa keanekaragaman spesies di
habitat alaminya meningkat pada areal hangat dan turun pada areal yang semakin
tinggi garis lintang dan ketinggian dari permukaan laut. Areal paling kaya tidak
terbantahkan adalah hutan hujan. Pemahaman yang belum pasti tentang hutan
hujan berkaitan dengan kondisi asli keanekaragaman dan pemeliharaan
keanekaragaman, menyangkut hal-hal antara lain kondisi saat ini dan kondisi di
masa lalu (dalam geologi dan evolusi) yang berlaku, antara lain iklim, tanah dan
topografi. Iklim yang terbangun dengan kondisi hangat, kelembaban dan musim
yang relatif selama waktu lama lebih merupakan hal penting.
Hubungan Jumlah Spesies dengan Kelimpahan
Satu hal yang menyolok untuk diamati fenomenanya secara konsisten di
dalam ekologi adalah variasi dari kelimpahan spesies. Variasi ini telah mendorong
para ahli ekologi untuk menggambarkan dan menyinggung pertanyaan dalam
komunitas alami. Misalnya berapa jumlah spesies yang ada dan bagaimana
kelimpahan relatifnya? Berapa spesies yang jarang? Berapa spesies yang
melimpah? (Ludwig & Reynolds 1988). Kelimpahan spesies biasanya didasarkan
atas jumlah individu tiap spesies, namun biomasa dan persentase penutupan biasa
Poole (1974) mengungkapkan 3 bentuk sebaran sebagaimana spesies di
dalam komunitasnya ditentukan berdasarkan ketersediaan sumberdaya, yaitu :
rangkaian logaritma (The logaritmic series) (oleh Ludwig & Reynolds 1988
disebut juga sebagai lognormal distribution), the broken stick model dan the
niche preemption model (oleh Ludwig & Reynolds 1988 disebut juga sebagai
geometric distribution).
May (1981) dalam Ludwig dan Reynolds (1988) menjelaskan bahwa
lognormal distribution memberikan susunan spesies dimana kelimpahannya
dipengaruhi beberapa faktor tidak terkait lingkungan (independent). May (1975)
dalam Ludwig dan Reynolds (1988) mengungkapkan bahwa lognormal
distribution telah digunakan untuk mendeskripsikan pola kelimpahan dalam
jumlah besar dari komunitas.
Giller (1984) dalam Ludwig dan Reynolds (1988) menggambarkan the
broken stick model sebagai kelimpahan yang secara acak yang garisnya
dipatahkan, biasanya dalam bentuk pemanfaatan spesies. Model ini memberikan
asumsi bahwa spesies di dalam komunitas dipisahkan atau memanfaatkan
sumberdaya tidak saling tumpang tindih.
Ludwig dan Reynolds (1988) menggambarkan geometric distribution
sebagai kondisi dimana sumberdaya tunggal dimanfaatkan penuh oleh spesies dan
dapat bertahan dalam berbagai tingkatan cara, yaitu sendiri, menjadi spesies
yang dominan karena menempati lebih dahulu, berikutnya spesies ini menempati
bagian kecil dari komunitas dan seterusnya.
Pola Sebaran Spasial Individu
Poole (1974) mengemukakan bahwa jumlah individu di dalam populasi
secara kontinu berubah seiring waktu dan jarak. Pola sebaran dari populasi,
misalnya posisi individu di dalam lingkungannya, merupakan hasil dari sejarah,
keberadaan dan pergerakan. Di lapangan, populasi sulit ditemukan interaksi
populasi secara menyolok, tetapi kadang-kadang melalui pengamatan pola sebaran
individu beberapa pengetahuan terhadap karakter biologi dari spesies dan alasan
hal ini sebagai penyebaran populasi, yaitu suatu gambaran proses
individu-individu dalam ruang (dispersal) dan waktu (temporal).
Ludwig dan Reynolds (1988) membagi pola sebaran individu menjadi 3
(tiga), yaitu : acak, kelompok (oleh Poole 1974 disebut sebagai agregat) dan
teratur ( oleh Poole 1974 disebut sebagai reguler). Secara ringkas, hubungan
antara nilai rata-rata jumlah individu yang ditemukan dalam plot contoh dan
ragamnya dipengaruhi oleh pola sebaran dari populasi, yaitu untuk acak adalah σ2
KEADAAN UMUM LOKASI KAJIAN
Letak dan Luas
TN. Kutai terletak di antara 0°7’54” - 0°33’53” Lintang Utara dan
116°58’48” - 117°35’29” Bujur Timur dengan luas kawasan 198.629 ha. Secara
administratif pemerintahan termasuk dalam Kota Bontang, Kabupaten Kutai
Timur dan Kabupaten Kutai Kertanegara.
TN. Kutai membentang di sepanjang garis khatulistiwa mulai dari pantai
Selat Makasar di sebelah timur, menuju daratan sebelah barat sepanjang ± 65 Km
(berbatasan dengan HPH Surya Hutani Jaya dan PT. Kiani Lestari). Disebelah
utara dibatasi Sungai Sangatta, sebelah selatan berbatasan dengan Kota Bontang
dan Hutan Lindung Bontang.
Sejarah TN. Kutai
Ide awal untuk melestarikan TN. Kutai pertama kali oleh Pemerintah Hindia
Belanda dengan menetapkan kawasan ini seluas 2 000 000 ha tahun 1932 sebagai
hutan persediaan. Sultan Kutai menetapkan kawasan ini dengan mengurangi luas
kawasan ini menjadi 306 000 ha sebagai Suaka Margasatwa Kutai tahun 1936 dan
pada konggres taman nasional sedunia ketiga di Bali, kawasan ini diusulkan
menjadi calon taman nasional dengan luas 200 000 ha. Menteri Kehutanan
menunjuk kawasan ini sebagai TN.Kutai tahun 1995 dengan luas 198 629 ha.
Topografi, Tanah dan Iklim
TN. Kutai memiliki ketinggian 0 – 400 m diatas permukaan laut dan
merupakan kawasan konservasi yang termasuk dalam kawasan dataran rendah di
Kalimantan Timur. Secara umum TN. Kutai memiliki topografi berbukit,
bergelombang ringan sampai berat.
Formasi geologi sebagian besar meliputi 3 bagian, yaitu : (1) di bagian
pantai terdiri dari batuan sedimen alluvial induk dan terumbu karang; (2) di
bagian tengah terdiri dari batuan miosen atas; dan, (3) di bagian barat terdiri dari
batuan sedimen bawah. Jenis tanah yang terdapat di TN. Kutai tertera pada Tabel
Tabel 1 Jenis tanah di TN. Kutai
No. Jenis Tanah Bahan Induk Fisiografi
1. Alluvial Batuan alluvial Daratan
2. Podsolik merah kuning Batuan beku dan endapan Bukit dan pegunungan lipatan
3. Podsolik, latosol dan litosol Batuan beku endapan dan metamorf
Pegunungan patahan
4. Organosol gleihumus Batuan alluvial Daratan
Sumber : Peta tanah Kalimantan Timur skala 1 : 500.000 tahun 1986 dalam Purwanto et al. (2005)
Berdasarkan klasifikasi Schimdt dan Ferguson, TN. Kutai memiliki tipe
iklim B dengan nilai Q berkisar antara 14.3% - 33.3%. Dari data di stasiun
pengamatan di wilayah Bontang, curah hujan rata-rata per tahun adalah 1 543.6
mm atau rata-rata bulanan sebesar 128.6 mm dengan rata-rata hari hujan setahun
adalah 66.4 hari atau rata-rata bulanan adalah 5.5 hari. Suhu rata-rata adalah 26° C
(berkisar pada 21 - 34° C) dengan kelembaban relatif 67 - 98% dan kecepatan
angin normal rata-rata 2 – 4 knot/jam.
Flora dan Fauna
Wirawan (1985) mengungkapkan 6 tipe vegetasi utama TN. Kutai, yaitu :
(1) vegetasi hutan pantai, terdapat di sepanjang pantai Selat Makasar. Jenis yang
mendominasi adalah bakau (Rhizophora spp) dan tancang (Bruguera spp), di
daerah berpasir sepanjang garis pantai terdapat cemara laut (Casuarina
eqesetifolia) dan waru (Hibiscus tiliaceus); (2) vegetasi hutan rawa air tawar,
terdapat di sepanjang kantung-kantung hutan sepanjang sungai yang mengandung
endapan lumpur banjir. Jenis pohon yang biasa terdapat antara lain
jambu-jamb uan (Eugenia spp), pulai (Alstonia spp), ara (Ficus spp) dan simpur (Dillenia
spp); (3) vegetasi hutan kerangas, biasanya vegetasi tumbuh kurang baik dengan
pohon-pohon kecil akibat kekeringan dan kebakaran. Jenis yang biasa terdapat
antara lain terap (Artocarpus spp), mangga hutan (Mangifera spp) dan
jambu-jambuan (Eugenia spp); (4) vegetasi hutan tergenang bila banjir, umumnya
terdapat di daerah sepanjang sungai yang drainasenya kurang baik sampai sedang.
Jenis yang biasa ditemukan antara lain binuang (Octomeles sp), bayur
(Pterospermum javanicum) dan ketapang (Terminalia spp); (5) vegetasi hutan
campuran ulin-meranti-kapur, merupakan vegetasi utama yang mencakup lebh
zwageri), kapur (Dryobalanops aromatica), meranti (Shorea spp), merbau (Intsia
sp) dan nyatoh (Palaquium spp); dan, (6) vegetasi hutan Dipterocarpaceae
campuran, terdapat di daerah yang drainasenya baik. Jenis yang biasa ditemukan
antara lain meranti (Shorea spp), keruing (Dipterocarpus spp), banggeris
(Koompasia exelsa), pulai (Alstonia spp) dan kayu arang (Diospyros spp).
Fauna yang biasa ditemukan di TN. Kutai dikelompokkan kedalam
(Wirawan 1985) : (1) primata, antara lain orangutan (Pongo pygmaeus), bekantan
(Nasalis larvatus), owa (Hillobates muelleri), klossi (Presbytis rubicunda),
monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan bangkui (Macaca nemestrina);
(2) ungulata, antara lain banteng (Bos javanicus), rusa sambar (Cervus unicolor),
kijang (Muntiacus muntjak) dan kancil (Tragulus javanicus); (3) carnivora, antara
lain beruang (Helarctos malayanus) dan kucing hutan (Neofelis nebulosa); (4)
reptilia, antara lain buaya muara (Crocodylus porosus) dan buaya senyulong
(Tomistoma schlegellii); dan, (5) aves, yang berdasarka n hasil inventarisasi
tercatat 300 spesies burung yang termasuk kedalam 47 famili dan mewakili 80%
dari semua jenis burung yang hidup di Kalimantan. Antara lain enggang (Buceros
rhinoceros), raja udang (Halcyon spp), tiung (Gracula religiosa), bangau
tongtong (Leptoptilos javanicus), pecuk ular (Anhinga sp) dan ayam hutan (Gallus
sp).
Penutupan Kawasan
Berdasarkan hasil analisis citra landsat tahun 2005, klasifikasi penutupan
kawasan di TN. Kutai terbagi atas : hutan primer 29.78%; hutan sekunder 43.22%;
hutan mangrove 2.58%; rawa dan belukar rawa 3.88%; konversi mangrove, tanah
terbuka, tambak,lahan terbangun, pertanian campuran 4.64%; alang-alang dan
tubuh air 0.39%; dan belukar dan semak 15.79%.
Perkembangan penutupan lahan berdasarkan hasil analisis citra landsat tahun
2000 dan tahun 2005 khusus untuk hutan primer dan sekunder cenderung turun
(Gambar 1), hal ini diduga dengan semakin berkembangnya pembukaan kawasan
Kondisi Masyarakat di Dalam TN. Kutai
Masyarakat suku Bugis mulai bermukim di TN. Kutai pada awal tahun 1930
an yang menghuni di Sangkima, daerah pesisir Selat Makasar di sebelah timur
TN. Kutai. Mereka berasimilasi dengan suku Kutai dan membangun keluarga di
Sangkima. hingga akhirnya suku Kutai menyingkir.
Pada tahun 1960-70 terdapat gejolak sosial di Sulawesi Selatan akibat
pemberontakan DI/TII oleh Kahar Muzakar, yang menyebabkan beberapa
kelompok suku Bugis menyeberang ke TN. Kutai dan menghuni kantung-kantung
pesisir TN. Kutai. Semakin lama semakin banya k hingga akhirnya dengan adanya
pembukaan jalan Bontang-Sangatta, keberadaan masyarakat di pesisir bergeser ke
arah daratan.
Oleh Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah Kabupaten
Kutai Timur, keberadaan masyarakat dilegalisasi dengan menetapka n 4 desa
(Desa Teluk Pandan, Singa Geweh, Sangkima dan Sangatta Selatan) di dalam TN.
Kutai sebagai desa difinitif. Saat ini desa-desa di dalam TN. Kutai semakin
berkembang dengan adanya politisasi dalam pemilihan Bupati Kutai Timur
selama 2 periode.
Jumlah penduduk di dalam TN. Kutai semakin lama semakin berkembang,
demikian halnya dengan aktifitas pembukaan lahan oleh masyarakat. Tabel 4 29.78
30
43.22 45
13
20.35
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
2000 2005
%
d
a
ri
l
u
a
s
T
N
K
[image:31.595.185.459.96.282.2]Hutan Primer Hutan sekunder Estimasi dibuka oleh masyarakat
berikut ini memberikan gambar jumlah penduduk pada tahun 2005 di 4 desa
[image:32.595.121.464.147.207.2]tersebut.
Tabel 2 Data pemukim di dalam TN. Kutai
No. Nama Desa Jumlah Penduduk (jiwa)
1. Sangatta Selatan 5 941
2. Singa Geweh 4 734
3. Sangkima 5 472
4. Teluk Pandan 6 152
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan April-Juli 2007 di TN. Kutai, Kalimantan
Timur (Lampiran 5).
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain : (1) alat dan
bahan pembuatan plot contoh, yaitu tali rafia, pita meter, altime ter, kompas, peta,
Geographic Positioning System (GPS), pensil, kamera dan tallysheet; (2) alat dan
bahan pembuatan herbarium untuk membantu identifikasi spesies tumbuhan, yaitu
kertas koran, bambu, alkohol dan gunting; dan (3) alat dan bahan untuk
pengolahan dan analisis data, yaitu komputer dan flashdish untuk menyimpan
data.
Metode Jenis data
Data yang digunakan dalam penelitian adalah : (1) data primer, yaitu jumlah
spesies dan individu tumbuhan di TN. Kutai; dan (2) data sekunder, yaitu data
kawasan berupa sejarah, topografi dan perkembangan pengelolaan TN. Kutai.
Pengumpulan data
Jenis data yang dikumpulkan adalah jumlah individu dari spesies-spesies
tumbuhan pada tingkat pancang dan pohon sesuai kriteria yang diberikan
Kusmana (1995), yaitu :
- Pancang : permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter
kurang dari 10 cm.
- Pohon : pohon dewasa berdiamater 20 cm dan lebih
Data jumlah individu spesies-spesies tumbuhan dihimpun dari 16 plot
contoh berbentuk bujur sangkar dan persegi panjang dengan luas masing-masing
individu tingkat pancang diidentifikasi mulai luas 50 m2 hingga 3 200 m2,
[image:34.595.114.483.153.481.2]sedangkan tingkat pohon mulai luas 50 m2 hingga 25 600 m2.
Tabel 3 Bentuk dan luas plot contoh
No. Bentuk plot Luas (m2) Ukuran (m) Luas faktual (m2)
1. Bujur sangkar 50 7.1 x 7.1 50.00
Persegi panjang 50 5 x 10 50.00
2. Bujur sangkar 100 10 x 10 100.00
Persegi panjang 100 5 x 20 100.00
3. Bujur sangkar 200 14.14 x 14.14 199.94
Persegi panjang 200 10 x 20 200.00
4. Bujur sangkar 400 20 x 20 400.00
Persegi panjang 400 10 x 40 400.00
5. Bujur sangkar 800 28.29 x 28.29 800.32
Persegi panjang 800 10 x 80 800.00
6. Bujur sangkar 1 600 40 x 40 1 600.00
Persegi panjang 1 600 20 x 80 1 600.00
7 Bujur sangkar 3 200 56.57 x 56.57 3 200.16
Persegi panjang 3 200 20 x 160 3 200.00
8 Bujur sangkar 6 400 80 x 80 6 400.00
Persegi panjang 6 400 20 x 320 6 400.00
9. Bujur sangkar 12 800 113.14 x 113.14 12 800.66
Persegi panjang 12 800 20 x 640 12 800.00
10. Bujur sangkar 25 600 160 x 160 25 600.00
Persegi panjang 25 600 20 x 1280 25 600.00
Plot-plot contoh (Gambar 2) diletakkan sedemikian rupa sehingga mewakili
ketinggian dan garis lintang. Terbagi atas 2 blok, yaitu blok Sangkima plot 1-8
(A) disekitar 0° 25’40” dan Prevab plot 9-16 (B) yang berada disekitar 0° 30’45”.
Ketinggian keduanya adalah 50-250 dpl (Gambar 3).
[image:34.595.166.398.589.707.2]Data yang dicatat adalah jumlah spesies dan jumlah individu dari tingkat
pancang dan pohon dari plot-plot contoh yang dibuat.
Analisis data
Untuk mengetahui ukuran keanekaragaman yang sesuai digunakan : (1)
responsifitas, dengan merumuskan hubungan indeks (Y) dengan peubah-peubah
jumlah spesies (X1) dan jumlah individu (X2); dan (2) sensitifitas, dengan melihat
hubungan delta indeks yang dihasilkan terhadap delta spesies. Ukuran
keanekaragaman spesies yang dibandingkan adalah kekayaan spesies (spesies
richness) dan kelimpahan spesies (spesies abundance), yaitu :
Kekayaan spesies
- Indeks Margalef (Clifford & Stephenson 1975 dalam Magurran 1988),
dengan persamaan :
N S DMg
ln 1
−
= , dimana
DMg : Indeks Margalef
S : Jumlah spesies
N : Jumlah individu
ln : Logaritma natural
- Indeks Menhinick (Whittaker 1977 dalam Magurran 1988), dengan
[image:35.595.149.479.88.289.2]persamaan :
Gambar 3 Peta ketinggian TN. Kutai.
N S
DMn = , dimana
DMg : Indeks Menhinick
S : Jumlah spesies
N : Jumlah individu
Kelimpahan spesies
- Simpson (1949) dalam Magurran (1988), dengan persamaan :
1-D =
∑
( )
= − s i i P 1 2
1 , dimana
1-D : Indeks Simpson
Pi : Proporsi jumlah individu spesies kei
- Indeks Shannon-Wiener, yang dihitung dengan persamaan (Magurran
1988) :
( )(
pi pi)
H s i ln 1 '
∑
= −= , dimana :
S : jumlah spesies
pi : proporsi individu pada spesies ke i
ln : Logaritma natural
Sebaran spasial spesies
Sebaran spasial spesies digunakan indeks Morisita (Krebs 1989), yaitu :
(
)
( )
∑
∑
−∑
∑
− = x x x x n Id 2 2, dimana :
Id : derajat penyebaran Morisita
n : jumlah plot contoh
? x2 : jumlah dari kuadrat total individu suatu spesies
? x : jumlah dari total individu suatu spesies
Untuk menentukan pola sebaran, dilakukan uji Chi-square, dengan persamaan :
∑
−∑
+ − = 1 975 . 0 2 x x nMu χ , dimana :
Mu : indeks Morisita untuk pola sebaran merata
χ2
0,975 : nilai Chi-square pada db (n-1), selang
kepercayaan 97.5%
Untuk menentukan pola sebaran kelompok, dihitung dengan persamaan :
∑
−∑
+ − = 1 025 . 0 2 x x nMc : indeks Morisita untuk pola sebaran kelompok
χ2
0,025 : nilai Chi-square pada db (n-1), selang
kepercayaan 2.5%
Standar derajat Morisita (Ip) dihitung dengan persamaan-persamaan :
a. Bila Id = Mc > 1, maka dihitung dengan persamaan :
− − + = Mc n Mc Id Ip 0.5 0.5
b. Bila Mc > Id = 1, maka dihitung dengan persamaan :
− − = 1 1 5 . 0 Mc Id Ip
c. Bila 1 > Id > Mu, maka dihitung dengan persamaan :
− − − = 1 1 5 . 0 Mu Id Ip
d. Bila 1 > Mu > Id, maka dihitung dengan persamaan :
− + − = Mu Mu Id
Ip 0.5 0.5
Dan kaidah keputusan adalah : bila Ip = 0 pola sebaran acak; bila Ip > 0 pola
sebaran kelompok; dan bila Ip < 0 pola sebaran merata.
Pengujian Hipotesa
Untuk menentukan bentuk dan luas plot contoh digunakan grafik luas plot
[image:37.595.113.479.470.714.2](sumbu X) contoh dengan delta spesies (sumbu Y) masing-masing bentuk
(Gambar 4). 0 10 20 30 40 50 60 70
50 100 200 400 800 1600 3200 6400
Luas plot D e lt a s p e s ie s Bujur sangkar Persegi panjang
Uji beda keanekaragaman untuk bentuk dan luas plot contoh dilakukan
dengan membandingkan rata-rata jumlah spesies kedua bentuk plot contoh dan
masing-masing luas plot contoh dari bentuk yang terpilih, dengan persamaan
(Walpole 1982; Jhonson & Bhattacharyya 1987) :
2 2 2 1 2 1 2 1 n s n s x x thitung + − =
derajat bebas ditentukan dengan (Walpole 1982) :
df = 1 1 2 2 2 2 2 1 2 1 2 1 2 2 2 2 1 2 1 − + − + n n s n n s n s n s
Hipotesis diformulasikan dengan :
1. H0 = 0, Besarnya ukuran keanekaragaman sama pada
berbagai bentuk plot contoh dengan taraf uji α 5% (tα/2 =
0.025)
H1 ≠ 0, Besarnya ukuran keanekaragaman tidak sama pada berbagai
bentuk plot contoh dengan taraf uji α 5% (tα/2 = 0.025)
2. H0 = 0, Besarnya ukuran keanekaragaman sama pada
berbagai luas plot contoh dengan taraf uji α 5% (tα/2 = 0.025)
H1 ≠ 0, Besarnya ukuran keanekaragaman tidak sama pada berbagai
luas plot contoh dengan taraf uji α 5% (tα/2 = 0.025)
Kaidah keputusan ditentukan dengan menolak H0 jika t hitung ≥ t tabel pada
taraf uji α 5 % (Walpole 1982; Jhonson & Bhattacharyya 1987), yang berarti
bahwa kedua bentuk plot contoh, dan kedua luas plot contoh yang dibandingkan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ukuran-ukuran keanekaragaman spesies
Hasil pengukuran keanekaragaman spesies yang disajikan dalam bentuk
indeks, perlu dilihat untuk memastikan bahwa indeks yang dihasilkan
memberikan respon yang baik terhadap perubahan jumlah spesies. Berbagai
pendapat mengemukakan bahwa indeks hasil pengukuran masih belum sempurna
dan secara inheren memiliki kelemahan (Ludwig & Reynolds 1988; Van Dyke
2003). Dengan demikian, pemilihan indeks keanekaragaman menjadi penting
dalam pengukuran dan pengamatan keanekaragaman spesies.
Tingkat pancang
Hasil perhitungan indeks keanekaragaman pada tingkat pancang (Tabel 4)
menunjukkan bahwa indeks Margalef selalu memiliki nilai paling tinggi
dibandingkan dengan nilai indeks-indeks yang lain. Penambahan jumlah spesies
direspon dengan penambahan nilai indeks pada seluruh ukuran plot contoh kecuali
luas plot contoh 3 200 m2 oleh indek Margalef dan Menhinick untuk bentuk bujur
sangkar. Sedangkan untuk persegi panjang, Margalef, Menhinick dan
Shannon-Wiener turun pada luas plot contoh 3 200 m2. Nilai dari ketiga indeks turun
[image:39.595.115.515.525.742.2]padahal jumlah spesies meningkat.
Tabel 4 Rata-rata nilai indeks keanekaragaman spesies tingkat pancang
Bentuk plot contoh
Luas (m2)
Rata-rata jumlah spesies
Rata-rata jumlah individu
Rata-rata indeks keanekaragaman Margalef Menhinick Simpson
Shannon-wiener
Bujur sangkar
50 9.13 15.94 3.00 2.31 0.80 1.93
100 19.19 35.00 5.12 3.40 0.89 2.63
200 30.44 66.88 6.97 3.69 0.92 3.02
400 42.94 112.63 8.82 4.15 0.94 3.35
800 64.31 197.38 11.92 4.55 0.96 3.70
1 600 66.56 316.63 11.39 3.74 0.96 3.72
3 200 66.69 444.31 10.77 3.16 0.96 3.72
Persegi panjang
50 7.50 10.13 2.98 2.38 0.82 1.90
100 13.07 18.19 4.15 3.05 0.88 2.39
200 22.75 39.81 5.91 3.62 0.91 2.81
400 31.00 62.06 7.76 3.92 0.93 3.11
800 47.56 122.06 10.28 4.57 0.95 3.50
1 600 64.25 195.00 12.06 4.65 0.96 3.74
3 200 64.31 354.50 10.82 3.43 0.96 3.72
Informasi diatas menunjukkan bahwa jumlah individu merupakan peubah
penting dalam transformasi nilai indeks keanekaragaman spesies. Penambahan
jumlah spesies yang diikuti dengan penambahan jumlah individu yang melebihi
proporsinya justru akan menurunkan nilai indeks yang dihasilkan.
Hubungan jumlah spesies dan jumlah individu bagi nilai indeks yang
dihasilkan (Tabel 5) menunjukkan bahwa indeks Margalef dan Menhinick nyata
(Pvalue = 0.00), sedangkan Simpson dan Shannon-Wiener tidak nyata untuk jumlah
individu (Pvalue = 0.199 dan Pvalue = 0.085). Koefisien variasi (R2) tertinggi untuk 2
peubah ini ditunjukkan oleh indeks Margalef (99.2%) dan indeks Simpson
menunjukkan nilai R2 paling rendah (82.2%).
Jumlah spesies terhadap nilai indeks nyata untuk indeks Margalef, Simpson
dan Shannon-Wiener (Pvalue = 0.00) dan tidak nyata untuk indeks Menhinick (Pvalue
= 0.015). Nilai R2 paling tinggi ditunjukkan oleh indeks Margalef (96.1%) dan
terendah oleh indeks Menhinick (40.2%). Sedangkan hubungan lain yang
dibangun yaitu nilai indeks yang dihasilkan dengan jumlah individu menunjukkan
bahwa jumlah individu tidak nyata (Pvalue > 0.00) untuk semua indeks, demikian
halnya dengan nilai R2≤ 75% menunjukkan bahwa persamaan matematis ini tidak
bisa digunakan, karena kurang dari 75% keragaman total nilai indeks dalam
contoh yang dapat dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan jumlah individu
[image:40.595.113.520.549.714.2](Walpole 1982; Jhonson & Bhattacharyya 1987).
Tabel 5 Regresi nilai indeks keanekaragaman spesies tingkat pancang
Indeks keanekaragaman Regresi Pvalue
X1
Pvalue
X2 R
2
Margalef Y = 1.82 + 0.190x1 – 0.00886x2 0.00 0.00 0.992
Menhinick Y = 2.25 + 0.0640x1 – 0.00807x2 0.00 0.00 0.913
Simpson Y = 0.826 + 0.00283x1 – 0.000142x2 0.01 0.199 0.822
Shannon-Wiener Y = 1.90 + 0.0353x1 – 0.00139x2 0.00 0.085 0.943
Margalef Y = 2.44 + 0.142x1 0.00 0.961
Menhinick Y = 2.82 + 0.0203x1 0.015 0.402
Simpson Y = 0.836 + 0.00206x1 0.00 0.792
Shannon-Wiener Y = 2.00 + 0.0278x1 0.00 0.924
Margalef Y = 5.35 + 0.0186x2 0.001 0.619
Menhinick Y = 3.44 + 0.00120x2 0.432 0.052
Simpson Y = 0.879 + 0.000268x2 0.005 0.500
Shannon-Wiener Y = 2.56 + 0.00373x2 0.001 0.620
Pendekatan dengan menggunakan 2 peubah dan 1 peubah (jumlah spesies)
memberikan gambaran bahwa indeks Margalef paling responsif terhadap
perubahan jumlah spesies dan jumlah individu (R2 = 99.2% dan 96.1%).
Demikian halnya dengan kesensitifan indeks Margalef terhadap delta jumlah
spesies yang dihasilkan dari penambahan ukuran plot contoh (Gambar 5). Hal ini
sesuai dengan apa yang dikatakan Magurran (1988) bahwa indeks Margalef
memiliki kemampuan merespon perbedaan kekayaan spesies yang baik dan
kesensitifan tinggi.
Tingkat pohon
Hasil perhitungan indeks keanekaragaman menunjukkan bahwa penambahan
jumlah spesies memberikan penambahan nilai indeks hingga luas plot contoh
6 400 m2, pada luas plot contoh 12 800 m2 nilai semua indeks mulai turun untuk
plot contoh bujur sangkar. Sedangkan untuk plot contoh persegi panjang nilai
indeks turun pada luas plot contoh 25 600 m2, padahal rata-rata jumlah spesies
[image:41.595.146.484.261.489.2]meningkat (Tabel 6).
Gambar 5 Kesensitifan indeks keanekaragaman spesies tingkat pancang. 0.00
10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00
6.25 12.50 225.00 556.25 825.00 968.75 1006.25 1125.00 1250.00 1656.25 1668.75 2137.50
Selisih jumlah spesies (%)
Selisih nilai indeks (%)
Margalef
Menhinick
Simpson
Tabel 6 Rata-rata nilai indeks keanekaragaman spesies tingkat pohon
Bentuk plot contoh
Luas (m2)
Rata-rata jumlah spesies Rata-rata jumlah individu
Rata-rata indeks keanekaragaman Margalef Menhinick Simpson
Shannon-wiener
Bujur sangkar
50 1.56 1.69 0.65 1.19 0.24 0.35
100 4.06 4.56 2.03 1.87 0.71 1.21
200 7.38 9.44 2.87 2.41 0.83 1.89
400 11.75 16.31 3.90 2.96 0.89 2.36
800 18.50 30.56 5.20 3.44 0.91 2.70
1 600 26.75 49.00 6.70 3.92 0.92 2.99
3 200 37.38 80.38 8.35 4.24 0.93 2.80
6 400 53.31 135.81 10.69 4.62 0.94 3.46
12 800 55.25 208.31 10.19 3.59 0.94 3.43
25 600 55.31 311.75 9.47 3.16 0.94 3.40
Persegi panjang
50 0.88 0.88 0.36 0.84 0.53 0.04
100 2.44 2.50 1.75 1.50 0.47 0.77
200 5.19 5.50 2.41 2.16 0.76 1.55
400 7.81 8.94 3.12 2.61 0.85 1.99
800 11.19 16.06 3.67 2.79 0.88 2.25
1 600 17.00 27.94 5.09 3.26 0.91 2.63
3 200 21.88 44.50 5.55 3.32 0.91 2.78
6 400 33.75 79.06 7.53 3.83 0.93 3.14
12 800 46.69 127.06 9.45 4.17 0.94 3.32
25 600 46.75 224.88 8.47 3.15 0.94 3.31
Keterangan : nilai indeks yang ditampilkan adalah rata-rata dari 16 kali ulangan
Hubungan jumlah spesies dan jumlah individu terhadap nilai indeks
keanekaragaman spesies (Tabel 7) menunjukkan bahwa jumlah spesies dan
jumlah individu nyata (Pvalue = 0.00) untuk indeks Margalef dan Menhinick,
sedangkan Simpson dan Shannon-Wiener tidak nyata untuk jumlah individu
(Pvalue = 0.168 dan Pvalue = 0.096). Nilai R2 paling tinggi ditunjukkan oleh indeks
Margalef (98.5%) dan paling rendah oleh indeks Simpson (48.8%).
Hubungan jumlah spesies terhadap nilai indeks nyata untuk indeks
Margalef, Menhinick dan Shannon-Wiener. Indeks Simpson memberikan Pvalue
untuk hubungan ini 0.002 dengan nilai koefisien variasi paling kecil (42.1%).
Sedangkan hubungan lain yang dibangun antara jumlah individu dengan nilai
indeks yang dihasilkan menunjukkan bahwa hanya indeks Margalef yang
menunjukkan nilai Pvalue nyata, sedangkan indeks-indeks yang lain tidak nyata.
Namun demikian hubungan ini tidak cukup kuatkarena nilai R2 seluruh indeks ≤
indeks dalam contoh yang dapat dijelaskan oleh hubungan liniernya dengan
[image:43.595.115.518.152.317.2]jumlah individu (Walpole 1982; Jhonson & Bhattacharyya 1987).
Tabel 7 Regresi nilai indeks keanekaragaman spesies tingkat pohon
Indeks keanekaragaman Regresi Pvalue
X1
Pvalue
X2 R
2
Margalef Y = 1.19 + 0.220x1 – 0.0135x2 0.00 0.00 0.985
Menhinick Y = 1.64 + 0.0971x1 – 0.0137x2 0.00 0.00 0.866
Simpson Y = 0.638 + 0.0115x1 – 0.00126x2 0.010 0.168 0.488
Shannon-Wiener Y = 1.10 + 0.0686x1 – 0.00549x2 0.00 0.096 0.783
Margalef Y = 1.54 + 0.165x1 0,00 0.961
Menhinick Y = 1.99 + 0.0414x1 0.00 0.613
Simpson Y = 0.670 + 0.00637x1 0.002 0.421
Shannon-Wiener Y = 1.24 + 0.0463x1 0.00 0.743
Margalef Y = 3.27 + 0.0304x2 0.000 0.667
Menhinick Y = 2.55 + 0.00573x2 0.028 0.240
Simpson Y = 0.746 + 0.00104x2 0.033 0.228
Shannon-Wiener Y = 1.75 + 0.00821x2 0.001 0.478
Keterangan : x1 = jumlah spesies dan x2 = jumlah individu
Indeks Margalef memiliki koefisien variasi paling tinggi untuk kedua
hubungan (98.5% dan 96.1%) sehingga pada tingkat pohon, indeks Margalef
memiliki respon paling baik Hal ini juga terlihat pada kesensitifan indeks
Margalef (Gambar 6) yang pada banyak titik lebih sensitif dibanding
indeks-indeks yang lain. Sesuai dengan apa yang dikatakan Magurran (1988) bahwa
indeks Margalef memiliki kemampuan merespon perbedaan kekayaan spesies
yang baik dan kesensitifan tinggi.
Gambar 6 Kesensitifan indeks keanekaragaman tingkat pohon. 0.00 200.00 400.00 600.00 800.00 1000.00 1200.00 1400.00 1600.00 1800.00 6.25 6.25 193.7 5 156.2 5 250.0 0 262.5 0
275.00 331.25 337.50 437.5 0 487.5 0 581.2 5 675.0 0
825.00 1062.50 1187.50 1293.75 1593.75
Selisih jumlah spesies (%)
Selisih nilai indeks (%)
Margalef Menhinick
[image:43.595.156.484.514.728.2]Hasil rekapitulasi jumlah spesies plot bujur sangkar menunjukkan bahwa
tingkat pancang terdapat 201 spesies dan pohon 198 spesies. Beberapa hasil
penelitian diungkapkan sebagai perbandingan keanekaragaman spesies di TN.
Kutai, antara lain : Zamora (1997) dalam Montagnini et al. (2001) yang
melakukan penelitian di Costa Rica menemukan 256 spesies untuk plot contoh
seluas 9 ha. Dobson-Loffler (2005) mengemukakan bahwa di Swaziland dalam
ploat seluas 11 km x 11 km dijumpai 632 spesies yang terdiri atas 35 spesies
eksotik dan 597 spesies asli. Van Wyk dan Smith (2001) dalam Dobson-Loffler
(2005) mengemukakan bahwa kawasan Swaziland ini oleh WWF dan IUCN
dikatakan sebagai pusat keanekaragaman dan endemik tumbuhan dunia.
Oteng-Yeboah (1995) yang melakukan penelitian di TN. Bia (Ghana) mencatat 63
spesies dalam 10 plot permanen berukuran 25 m x 25 m.
Effendi et al. (1997) yang melakukan penelitian di Wanariset Sangai,
Mentaya Hulu, Kalimantan Tengah dengan membuat plot permanen sebanyak 15
buah berukuran 100 m x 100 m mencatat 207 spesies. Kartawinata et al. (1981)
dalam Effendi et al. (1997) mencatat sebanyak 239 spesies tumbuhan di
Wanariset Samboja dan di Lempake sebanyak 205 spesies, keduanya di
Kalimantan Timur. Inpurwanto dan Abdurachman (1997) yang melakukan
penelitian di TN. Bukit Baka, Kalimantan Barat mencatat 59 spesies di hutan
primer. Sayangnya, penelitian ini tidak menyebutkan jumlah jalur yang
digunakan. Hanya tersedia informasi bahwa penelitian ini menggunakan metode
transek sepanjang 1.700 m, yang di dalamnya dibuat plot contoh berukuran 20 m
x 20 m sebanyak 25 plot.
Spesies –spesies yang saat ini ditemukan jika dibandingkan dengan spesies
yang ditemukan pada 2 dekade sebelumnya terlihat jauh berkurang. Cockburn dan
Sumardja (1979) yang mengajukan Management Plan untuk Suaka Margasatwa
Kutai (saat itu masih bernama Suaka Margasatwa Kutai) menyebutkan spesies
antara lain : Shorea leptoclados, S. argentifolia, S. acuminatissima, S. faguetiana,
Dipterocarpus caudiferus, dimana saat ini sudah tidak ditemukan lagi dalam plot
contoh. Diduga hal ini terjadi akibat kebakaran hutan besar di TN. Kutai tahun
1982-83 yang mengakibatkan 100 000 ha (>50% luas saat ini) terbakar (Wirawan
Kebakaran berikutnya terjadi tahun 1997-98, yang oleh Mori (2000)
disebutka n lebih merusak ekosistem hutan hujan dataran rendah di Kalimantan
Timur. Sebagai informasi, Mori (2000) yang membandingkan jumlah spesies
sebelum kebakaran tahun 1988 dengan setelah kebakaran 1998 berkurang dari
130 menjadi 108 spesies (16.92%) di Hutan Pendidikan Bukit Suharto
Universitas Mulawarman.
Kepunahan spesies dimulai dari hilangnya individu-individu dalam spesies
(Given 1994). Padahal untuk daerah hutan hujan, karena jumlah spesies melimpah
mengakibatkan jumlah individu sedikit. Kondisi ini ya ng oleh MacKinnon et
al.(1986) dikatakan sebagai kerentanan ekosistem hutan hujan.
Bentuk plot contoh Tingkat pancang
Rata-rata jumlah spesies bentuk bujur sangkar tiap luas plot contoh lebih
tinggi dibandingkan persegi panjang. Beberapa luas plot berhimpit yaitu pada luas
50 m2, 1 600 m2 dan 3 200 m2 (Gambar 7). Informasi ini menunjukkan bahwa
bentuk bujur sangkar menampung jumlah spesies lebih banyak dibandingkan
persegi panjang.
Hasil uji beda nyata untuk setiap luas plot contoh menunjukkan bahwa pada
luas 50 m2 bentuk bujur sangkar dan persegi panjang tidak berbeda nyata (thitung =
1.42), demikian halnya untuk luas plot contoh 1 600 m2 dan 3 200 m2 (thitung =
0.36 dan 0.37). Sedangkan untuk luas plot lainnya menunjukkan keduanya
berbeda nyata (Tabel 8).
0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00
50 100 200 400 800 1600 3200 Luas plot contoh
Jumlah spesies
[image:45.595.139.471.565.731.2]Bujur sangkar Persegi panjang
Tabel 8 Perhitungan uji beda bentuk plot contoh tingkat pancang
Tingkat pohon
Gambar 8 menunjukkan bahwa jumlah spesies yang ditemukan pada plot
contoh bujur sangkar tingkat pohon lebih tinggi dibandingkan persegi panjang.
Hasil uji beda menunjukkan bahwa jumlah spesies kedua bentuk ini berbeda nyata
mulai dari 50 m2 hingga 6 400 m2, dan tidak berbeda nyata pada saat kurva mulai
mendatar (thitung = 2.05 dan 2.04).
Hasil ini berbeda dengan Laurance et al. (1998) yang membandingkan
bentuk bujur sangkar (100 m x 100 m) dengan persegi panjang (40 m x 250 m) di
Central Amazone (Brazil). Keduanya tidak berbeda nyata (P>0.20) walaupun di
dua areal yang diuji bentuk persegi panjang selalu lebih tinggi jumlah spesiesnya.
Luas (m2)
Bujur sangkar Persegi panjang
t hitung df Keterangan
SD
x± x±SD
50 9.13 ± 3.96 7.50 ± 2.31 1.42 24.13 Tidak berbeda nyata 100 19.19 ± 7.63 13.06 ± 3.99 2.85 22.64 Berbeda nyata 200 30.44 ± 12.02 22.75 ± 7.12