“Tokek Racun” )
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pada FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur
Oleh:
DIA WARISIA
NPM. 0743010325
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
Disusun Oleh:
DIA WARISIA NPM. 0743010325
Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi
Menyetujui, Pembimbing Utama
Dra. Sumardjijati, MSi NIP. 19620323 199309 2001
Mengetahui, DEKAN
Oleh: DIA WARISIA NPM. 0743010325
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 1 Desember 2010
Menyetujui,
Pembimbing Utama Tim Penguji
1. Ketua
Dra. Sumardjijati, MSi Dra. Sumardjijati, MSi
NIP. 19620323 199309 2001 NIP. 19620323 199309 2001
2. Sekretaris
Drs. Saifuddin Zuhri, MSi NPT. 3 7006 94 0035 1
3. Anggota
Dra. Dyva Claretta, MSi NPT. 3 6601 94 00251 Mengetahui,
DEKAN
Hidayah-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul :
Representasi Posfeminisme Dalam Lirik Lagu “Tokek Racun” (Studi Semiotik Representasi Posfeminisme Dalam Lirik Lagu “Tokek Racun”).
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak –
pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini. Oleh karena itu
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Ibu Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
2. Bapak Juwito S.Sos, M.Si, Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
3. Bapak Drs. Saifuddin Zuhri, MSi, Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
4. Ibu Dra. Sumardjijati, MSi, Dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu dan memberikan bimbingan kepada penulis.
5. Dosen – dosen Program Studi Ilmu Komunikasi atas ilmu yang telah
diberikan kepada penulis hingga saat ini.
6. Kedua orang tua penulis, yang tiada hentinya memberikan dukungan doa,
perhatian dan motivasi untuk penyelesaian skripsi ini.
7. Seseorang yang selalu ada di samping penulis, yang selalu memberikan
semangat.
v
membantu dan mendukung terselesaikannya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah dibutuhkan guna memperbaiki
kekurangan yang ada. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pembaca khususnya teman – teman di Program Studi Ilmu Komunikasi.
Surabaya, November 2010
HALAMAN JUDUL ……… i
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI……. ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI……….. iii
KATA PENGANTAR ……….. iv
DAFTAR ISI ………. vi
DAFTAR GAMBAR ……… ix
ABSTRAKSI ………. x
BAB I PENDAHULUAN……….. 1
1.1. Latar Belakang Masalah……….. 1
1.2. Perumusan Masalah………. 9
1.3. Tujuan Penelitian ……… 9
1.4. Manfaat Penelitian………... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ………. 11
2.1. Landasan Teori ………11
2.1.1. Representasi ……… 11
2.1.2. Komunikasi Verbal ………. 12
2.1.3. Musik ………...13
2.1.4. Lirik Lagu ………... 14
2.1.5. Lirik Lagu Dalam Kajian Semiotik ……….15
2.1.6.2.Perempuan dan Kekuasaan dalam
Posfeminisme... 25
2.1.7. Makna dalam Kata ………...28
2.1.8. Pendekatan Semiotik ………29
2.1.9. Semiologi Roland Barthes ……...……….. 31
2.1.10.Ideologi dan Mitologi ………... 34
2.1.11.Kode-Kode Pembacaan ……… 36
2.2. Kerangka Berpikir ……… 38
BAB III METODE PENELITIAN ……….. 41
3.1. Metode Penelitian ………. 41
3.2. Kerangka Konseptual ……… 42
3.2.1. Unit Analisis ………..42
3.2.2. Korpus Penelitian ……...………42
3.3. Teknik Pengumpulan Data ……….43
3.4. Teknik Analisis Data ………. 44
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……… 46
4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian ……….. 46
4.2. Lirik Lagu “Tokek Racun” Menurut Semiologi Roland Barthes ……… 47
viii
4.4. Sistem Mitos ……….………. 70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………... 74
5.1. Kesimpulan ………74
5.2. Saran ………..75
DAFTAR PUSTAKA ………... 77
Gambar 2.2. Peta Tanda Roland Barthes ……….. 33
Gambar 4.1. Peta Tanda Roland Barthes ……….. 47
Gambar 4.2 Peta Tanda Roland Barthes Bait 1 Kalimat 1 ……… ...50
Gambar 4.3 Peta Tanda Roland Barthes Bait 1 Kalimat 2 ………... 51
Gambar 4.4 Peta Tanda Roland Barthes Bait 2 Kalimat 1 ………... 53
Gambar 4.5 Peta Tanda Roland Barthes Bait 2 Kalimat 2 ………... 54
Gambar 4.6 Peta Tanda Roland Barthes Bait 2 Kalimat 3 ………55
Gambar 4.7 Peta Tanda Roland Barthes Bait 3 Kalimat 1 ………56
Gambar 4.8 Peta Tanda Roland Barthes Bait 3 Kalimat 2 ………57
Gambar 4.9 Peta Tanda Roland Barthes Bait 3 Kalimat 3 ………... 58
Gambar 4.10 Peta Tanda Roland Barthes Bait 3 Kalimat 4 ………...……….59
Gambar 4.11 Peta Tanda Roland Barthes Bait 4 Kalimat 3 ………61
Gambar 4.12 Peta Tanda Roland Barthes Bait 4 Kalimat 4 …………...………….62
Gambar 4.13 Peta Tanda Roland Barthes Bait 5 Kalimat 1 ………63
Gambar 4.14 Peta Tanda Roland Barthes Bait 5 Kalimat 2 ………64
Gambar 4.15 Peta Tanda Roland Barthes Bait 5 Kalimat 3 ………65
Gambar 4.16 Peta Tanda Roland Barthes Bait 5 Kalimat 4 ………66
Gambar 4.17 Peta Tanda Roland Barthes Bait 6 Kalimat 2 ………68
Gambar 4.18 Peta Tanda Roland Barthes Bait 6 Kalimat 4 ………69
Gambar 4.19 Lirik Lagu “Tokek racun” Dalam Peta Tanda Roland Barthes …… 71
Dalam Lirik Lagu “Tokek Racun”)
Penelitian ini didasarkan pada lirik lagu yang dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat sekitar. Termasuk realitas yang menentang konstruksi sosial yang ada di masyarakat, bahwa perempuan juga berhak memiliki kekuasaan, dengan keterkaitannya pada feminisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk kekuasaan itu bisa muncul dari seorang perempuan yang digambarkan dalam lirik lagu “Tokek Racun”, masih sesuaikah dengan stereotipe yang melekat pada perempuan yang ada selama ini. Bagaimana seorang perempuan dalam lirik lagu ini dapat mencapai kekuasaan, dan apa yang menjadi tujuan sebuah kekuasaan dari perempuan yang digambarkan dalam lirik lagu ini. Bergesernya stereotipe yang ada berkaitan erat dengan dengan gerakan feminisme gelombang kedua, yaitu posfeminisme. Perempuan posfeminis adalah perempuan yang tangguh, mandiri, dan memegang kendali atas hidupnya sendiri, tetapi tetap menyadari kodrat sebagai perempuan yang juga butuh laki-laki untuk membuatnya bahagia.
Adapun landasan teori yang digunakan adalah feminisme, posfeminisme, musik dan lirik lagu, serta metode Semiologi Roland Barthes.
Metode yang digunakan adalah metode kualitatif deskriptif interpretative dengan menggunakan analisis semiologi dengan pendekatan semiotik berdasarkan konsep signifikasi dua tahap Roland Barthes, dimana mengupas makna dibalik tanda setiap lirik dalam lagu tersebut dengan peta tanda Roland Barthes dan lima kode pembacaan, yaitu kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proaretik, dan kode kultural yang akan digunakan untuk memaknai setiap lirik dalam lagu tersebut.
Dari data yang dianalisis menunjukkan bahwa perempuan dalam lirik lagu “Tokek Racun” menerapkan faham posfeminisme. Seorang perempuan dapat menggunakan kekuasaannya dengan memanfaatkan segala kekayaan, kefeminitasnya dan kecantikan fisiknya yang dipergunakan sebagai alat untuk mempengaruhi laki-laki agar mau melakukan apa yang dikehendaki dan diinginkan oleh perempuan tersebut, yaitu agar laki-laki tersebut bersedia untuk melakukan hubungan seks dengannya.
1.1. Latar Belakang Masalah
Persoalan yang berkaitan dengan perempuan hingga saat ini selalu menjadi
topik yang menarik untuk dibicarakan. Persoalan yang sudah lama menjadi
keprihatinan khalayak ini adalah mengenai perlakuan yang tidak proporsional
yang dialami oleh kaum perempuan. Di tengah berbagai situasi perkembangan
negara dan masyarakat, perempuan selalu menjadi korban dengan nasib yang
paling parah. Perempuan masih pada stereotipnya dan menjadi warga kelas dua.
Kedudukan perempuan selalu dianggap berada di bawah kekuasaan
laki-laki. Stereotip perempuan sebagai kaum yang lemah dan sebagai korban
ketidakadilan merupakan sebuah kontruksi yang ditempa sejak ratusan tahun
silam. Keberadaan perempuan selalu diletakkan dibalik ayah, suami, atau saudara
laki-laki. Jadi sulit bagi perempuan untuk tampil sebagai dirinya sendiri, apabila
perempuan tampil sesuai dengan keinginannya akan dikategorikan bukan
perempuan biasa.
Sejak zaman dahulu, wanita atau perempuan kerap diasumsikan sebagai
kelompok gender yang lemah, bukan hanya dalam arti fisik, tetapi juga secara
psikologis, mental dan spiritual. Perempuan diasumsikan sebagai makhluk yang
lembut dan penuh perasaan, berbeda dengan laki-laki yang berwatak keras, tegas
dan berfikir lebih rasional. Oleh karena itu, muncullah anggapan bahwa watak
dasar perempuan seperti itu yang menyebabkan mereka harus tunduk kepada
laki-laki. Laki-laki adalah pelindung dan pembimbingnya (Muda, 2007:1)
Dalam budaya Jawa, perempuan hanya dijadikan “konco wingking”
(teman belakang) atau hanya dijadikan pelengkap suami. Bahkan ada pepatah
Jawa yang mengatakan seorang perempuan (istri) nantinya juga hanya “swarga
nunut neraka katut” (kalau suami masuk surga istri atau perempuan akan ikut,
sedangkan kalau suami masuk neraka istri atau perempuan juga pasti ikut masuk
juga). Sehingga banyak perempuan yang menganggap hal tersebut sebagai takdir
dan memang begitu adanya. (Handayani, 2004:11)
Stereotip perempuan sebagai kaum yang lemah dan sebagai korban dalam
ketidakadilan merupakan sebuah konstruksi sosial yang ditempa sejak ratusan
tahun silam. Stereotip itu sendiri secara umum memiliki pengertian pelabelan atau
penandaan terhadap suatu kelompok tertentu dan celakanya pelabelan atau
penandaan tersebut selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu
stereotip itu adalah misalnya penandaan yang berawal dari asumsi bahwa
perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya,
maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan
stereotip ini. Seperti pendapat Mansour Fakih (2008:17) yang menyatakan:
Adanya perbedaan konstruksi sosial yang menjadikan perempuan selalu
menjadi pihak yang dirugikan, melatarbelakangi perjuangan-perjuangan
perempuan untuk mendapatkan kedudukan setara dengan laki-laki.
Perjuangan-perjuangan itu memunculkan apa yang disebut dengan feminisme. Dimana
feminisme memiliki pengertian sebagai gerakan yang mencita-citakan kehidupan
setara antara perempuan dan laki-laki, yakni gerakan yang memperjuangkan
keadilan bagi perempuan.
Feminisme sebagai gerakan yang bersumber dari asumsi bahwa kaum
perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri
penindasan dan eksploitasi tersebut. Meskipun terjadi perbedaan antarfeminis
mengenai apa, mengapa, dan bagaimana penindasan dan eksploitasi tersebut
terjadi, namun mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi
kesamaan, martabat, dan kebebasan mengontrol raga dan kehidupan baik di dalam
maupun di luar rumah.
Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan di hadapan kaum
laki-laki saja, karena mereka juga sadar bahwa laki-laki juga mengalami
penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem
yang tidak adil. Gerakan feminis merupakan perjuangan dalam rangka
mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang
adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, hakikat feminisme
adalah gerakan transformasi sosial dalam arti tidak selalu memperjuangkan soal
perempuan. Dengan demikian strategi perjuangan jangka panjang gerakan
perempuan, atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan
manifestasinya seperti eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan
stereotipe, kekerasan dan penjinakkan, melainkan perjuangan transformasi sosial
ke arah penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. (Fakih,
2008: 103-104)
Kemudian muncul pertentangan terhadap pandangan feminisme yang
berlaku dalam masyarakat, yang disebut dengan posfeminisme. Posfeminisme
menganggap bahwa pemikiran feminis terlalu berlebih dalam memperjuangkan
perempuan dengan hak-haknya. Posfeminisme memberikan wacana baru dalam
memperjuangkan hak-hak perempuan. Sosok perempuan posfeminisme
digambarkan sebagai sosok seorang perempuan yang mandiri atau “independent”
tetapi juga tetap membutuhkan sosok laki-laki dalam hidupnya sebagai pelengkap
hidupnya baik secara biologis maupun secara emosional, karena seorang
perempuan posfeminis sadar bahwa dia merupakan seorang perempuan yang juga
menjadi objek seks bagi laki-laki, disamping dia sebagai sosok perempuan
mandiri yang dengan kepercayaan diri yang tinggi bisa meraih segalanya (karir,
kekayaan, kekuasaan, dan kejayaan), bukan perempuan mandiri yang tanpa
laki-laki seperti pemikiran feminisme pada umumnya, (Brooks,1997:7). Dengan
menggunakan sebuah feminitas yang melekat dalam dirinya, seorang perempuan
berhak meraih apa yang dimiliki oleh para laki-laki, salah satunya kekuasaan.
Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau kelompok untuk
dari pelaku, atau dengan kata lain kekuasaan merupakan kemampuan
mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak
yang mempengaruhi. Kekuasaan tidak hanya dapat diraih dengan sebuah
kekerasan, tetapi juga melalui sebuah persuasi. Audifax menjelaskan dalam
sebuah bukunya, bahwa menurut Foucault, kekuasaan itu terlaksana bukan
pertama-tama melalui kekerasan atau hasil persetujuan, melainkan melalui
struktur tindakan yang menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan
lain melalui rangsangan, persuasi atau bisa juga melalui paksaan dan larangan.
(Audifax, 2006:227)
Upaya mengungkapkan relitas perempuan Indonesia yang ada di dalam
masyarakat, terutama perjuangan serta peranan perempuan dalam melawan
penindasan dan ketidakadilan memerlukan media yang digunakan untuk
mengekspresikan fenomena yang ada melalui musik atau lirik lagu. Sebagaimana
dapat disimpulkan pendapat Soerjono Soekanto bahwa musik berkaitan erat
dengan setting sosial kemasyarakatan dan gejala khas interaksi sosial dimana lirik
lagu menjadi penunjang dalam musik tersebut yang menjembatani isu – isu sosial
yang terjadi.
Musik merupakan salah satu kegiatan komunikasi, karena didalamnya
terdapat proses penyampaian pesan dari pencipta lagu tersebut kepada khalayak
pendengarnya. Pesan yang terkandung dalam sebuah lagu merupakan hasil
pemaknaan dari pikiran atau perasaan si pencipta lagu sebagai orang yang
mengirim pesan. Pesan yang disampaikan biasanya bersumber dari frame of
Salah satu hal terpenting dalam sebuah musik adalah keberadaan lirik lagu.
Melalui lirik lagu, pencipta lagu ingin menyampaikan pesan yang merupakan
pengekspresian dirinya terhadap fenomena – fenomena yang terjadi di dunia
sekitar, dimana dia berinteraksi di dadalamnya. Lirik lagu dalam musik yang
sebagai mana bahasa dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk
mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu, dapat
pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau
nilai.
Isi dalam sebuah lirik lagu bisa bermacam – macam, ada yang berupa
ungkapan sedih, rasa kagum terhadap seseorang, rasa kecewa, benci, dendam, dan
kritik terhadap sesuatu. Setiap penciptaan lagu, seorang pencipta lagu berusaha
untuk menyampaikan suatu pesan kepada khalayak, dan hal tersebut adalah
sebuah realitas atau fenomena yang dirasakan pencipta lagu, misalnya rasa cinta,
kecewa, benci, kriti – kritik sosial bahkan isu – isu sosial di masyarakat, yang
ditujukan kepada penguasa atau pemerintah.
Lirik sebuah lagu yang berjudul “Tokek Racun” adalah sebuah proses
komunikasi yang mewakili seni karena terdapat pesan yang terkandung dalam
simbol lirik tersebut yang sengaja digunakan oleh komunikator sebagai pencipta
lagu untuk disampaikan kepada komunikan dengan bahasa verbal yang berupa
kata – kata yang tertuang dalam teks lirik lagu.
Lirik lagu merupakan sebuah komunikasi verbal yang memiliki makna
pesan di dalamnya, sebuah lirik lagu bila tepat memilihnya bisa memiliki nilai
memikat perhatian. Sebuah karya cipta di bidang musik tercipta juga harus
memiliki jiwa menghibur bagi konsumen. Banyak sekali jenis lirik lagu
keseluruhan adalah sebuah produk musik yang telah tercipta yang melambangkan
dan mempunyai maksud apa yang mewakili perasaan dari penciptanya.
Ketika sebuah lirik lagu mulai diaransemen dan diperdengarkan kepada
khalayak, lirik lagu mepunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya
sebuah keyakinan, kepercayaan, nilai – nilai bahkan prasangka tertentu. Pesan
yang disampaikan oleh seorang pencipta lagu melalui lagunya tentu tidak akan
berasal dari luar diri si pencipta lirik lagu, artinya bahwa pesan tersebut bersumber
dari pola pikirnya yang terbentuk dari interaksinya dengan lingkungan sosial
sekitar.
Akhir-akhir ini banyak lagu Indonesia yang bertemakan perempuan, dalam
arti dan makna sebenarnya. Tidak hanya lagu yang dinyanyikan perempuan atau
mengeksploitasi dan selalu menjadikan perempuan sebagai korban penindasan
serta ikon utama dalam sebuah lagu, melainkan mengangkat realitas perempuan,
terutama perjuangan serta peranan perempuan dalam melawan penindasan dan
ketidakadilan.
Salah satunya dalam lirik lagu yang berjudul “Tokek Racun”, yang
berkaitan tentang permasalahan terhadap situasi sosial dan isu-isu sosial yang
terjadi. Ideologi feminis dan posfeminisme dihadirkan sebagai sosok perempuan
yang memiliki “karakter”, mandiri, cantik, kuat, dan berambisi dalam
memanfaatkan sebuah kekuasaan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan yang
masyarakat, bahwa kodrat seorang perempuan itu lebih rendah derajatnya
daripada laki-laki demi terciptanya kehidupan keluarga dan masyarakat yang
harmonis. (Mustaqim, 2003:1)
Dari permasalahan dalam lirik lagu tersebut yang berkaitan dengan
fenomena sosial yang sedang terjadi, menimbulkan ketertarikan penulis untuk
mencari tahu bagaimana kuasa perempuan dalam lirik lagu “Tokek Racun”.
Bagaimana seorang perempuan yang digambarkan dalam lirik lagu “Tokek
Racun” dapat mencapai kuasa atas laki-laki, sementara stereotip yang berkembang
dalam masyarakat berpendapat bahwa perempuan merupakan subordinasi yang
tidak berhak atas kuasa apapun.
Lagu “Tokek Racun” merupakan balasan dari lagu “Keong Racun” , yang
sebelumnya menjadi fenomenal di situs Youtube, karena dinyanyikan secara
gerak bibir oleh Sinta dan Jojo. Lagu “Tokek Racun” juga diunggah di situs
Youtube oleh pengguna dengan nama Mr X – Katrok. Tetapi di dalam video
tersebut tidak memperlihatkan wajah dari suara laki – laki yang ada dalam video
ini. Jadi, video Sinta dan Jojo tetap digunakan dalam video berdurasi 5,48 menit
ini.
Lirik lagu “Tokek Racun” berhasil menarik perhatian masyarakat, setelah
diunggah di situs Youtube, angka hits video mencapai lebih dari 2 ribu. Namun,
ada beberapa pihak yang menganggap lirik lagu tokek racun tidak pantas untuk
dinyanyikan, karena dianggap menghina kaum perempuan, sehingga menuai
kontroversi dari berbagai kalangan. (http://lifestyle.kompasiana.com diakses pada
Dari latar belakang diatas maka peneliti melihat bahwa lirik lagu “Tokek
Racun” menarik untuk diteliti. Penelitian tentang sistem tanda, salah satunya si
pencipta lagu memberikan makna melalui lagu tersebut, dan seperti apa ia
merefleksikan fenomena ke dalam tanda komunikasi berupa lirik lagu. Untuk
menganalisis sistem tanda komunikasi berupa lirik lagu tersebut, maka peneliti
menggunakan analisis dengan metode semiologi dari Roland Barthes, sehingga
penelitian ini berupaya lebih menitikberatkan pada representasi posfeminisme
dalam lirik lagu “Tokek Racun”.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka
permasalahan yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana
representasi posfeminisme dalam lirik lagu “Tokek Racun” yang
dibawakan oleh Mr X-Katok?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
representasi posfeminisme dalam lirik lagu “Tokek Racun” yang
dibawakan oleh Mr X-Katrok.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menambah
analisis tanda komunikasi berupa lirik lagu dengan menggunakan metode
semiotik.
1.4.2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca dalam
memahami makna tanda yang ada dalam lirik lagu tersebut. Dan
diharapkan akan dapat menyamakan persepsi terhadap pesan yang
disampaikan oleh si pencipta dengan khalayak luas pendengar lirik lagu
tersebut, serta dapat membuat para pencipta lagu agar memperhatikan
2.1. Landasan Teori 2.1.1. Representasi
Representasi adalah konsep yang mempunyai beberapa pengertian.
Representasi adalah proses sosial dari “representing”. Representasi menunjuk
baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga
bisa berarti proses perubahan konsep-konsep yang abstrak dalam bentuk-bentuk
yang kongkret, jadi pandangan-pandangan hidup kita tentang perempuan,
anak-anak, atau laki-laki, misalnya akan dengan mudah terlihat dari cara kita memberi
hadiah ulang tahun kepada teman kita yang laki-laki, perempuan, dan anak-anak.
Begitu juga dengan pandangan-pandangan hidup kita terhadap cinta, perang, dan
lain-lain akan tampak dari hal-hal yang praktis juga. Representasi adalah konsep
yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang
tersedia, misalnya dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara
ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa.
Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memaknai
sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua
ini karena bahasa beroperasi sebagai sistem representasi. Lewat bahasa kita
mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide kita tentang sesuatu. Makna sesuatu
hal sangat tergantung dari cara kita mempresentasikannya. Dengan mengamati
kata-kata yang kita gunakan dalam mempresentasikan sesuatu bisa terlihat jelas
nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut.
Bagaimana representasi menghubungkan makna dan bahasa dalam
kebudayaan? Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama,
representasi mental, yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada di kepala kita
masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk
sesuatu yang abstrak. Kedua “bahasa” berperan penting dalam proses konstruksi
makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam
bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep ide-ide kita tentang
sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.
Representasi merupakan salah satu proses dalam sirkuit budaya (circuit of
culture). Melalui representasi disampaikan melalui tanda-tanda (sign).
Tanda-tanda tersebut seperti bunyi, kata-kata, tulisan, ekspresi, sikap, pakaian dan
sebagainya merupakan bagian dari dunia material kita (Hall,1997). Tanda-tanda
merupakan media yang membawa makna-makna tertentu dan mempresentasikan
“meaning” tertentu yang ingin disampaikan kepada dan oleh kita. Melalui
tanda-tanda tersebut, kita dapat mempresentasikan pikiran, perasaan dan
tindakan-tindakan kita. Pembacaan terhadap tanda-tanda tersebut tentu saja dapat dipahami
dalam konteks sosial tertentu
2.1.2. Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal membahas mengenai pesan verbal. Simbol atau pesan
semua rangsangan wicara yang kita sadari termasuk kedalam kategori pesan
verbal disengaja, yaitu usaha – usaha yang dilakukan secara sadar untuk
berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat juga dianggap sebagai
suatu sistem kode verbal.
Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol dengan aturan
untuk mengkombinasikan simbol-simbol, yang digunakan dan dipahami oleh
suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran,
perasaan dan maksud dari setiap individu. Bahasa verbal menggunakan kata –
kata yang menginterpretasikan berbagai aspek realitas individual.
2.1.3. Musik
Musik dapat dikatakan sebagai bahasa dunia, dapat juga diartikan sebagai
media dalam mengekspresikan diri masyarakat, selain itu musik juga mampu
menyatakan dan menyentuh banyak kalangan masyarakat, baik itu kalangan
bawah maupun kalangan atas.
Musik senantiasa hadir dimanapun dan kapanpun manusia berada. Hal ini
dikarenakan musik dapat disampaikan dengan melalui berbagai macam media
komunikasi elektronik, diantaranya melalui radio, tape recorder, compact disk,
internet ataupun melalui sarana yang lain seperti konser musik, pesta, film, dan
sebagainya.
Keberadaan musik memegang peranan yang sangat banyak di berbagai
pemenuhan kebutuhan manusia dalam hasrat akan seni dan berkreasi. Dari sisi
sosial, musik dapat disebut sebagai cermin tatanan sosial yang ada didalam
masyarakat saat musik tersebut diciptakan. Dari segi ekonomi, kini musik telah
berkembang pesat menjadi suatu komoditi yang sangat menguntungkan.
Sistem tanda musik adalah oditif, namun untuk mencapai pendengarnya,
penggubah musik mempersembahkan kreasinya dengan perantara tertulis. Bagi
semiotikus musik, adanya tanda – tanda perantara, yakni musik yang dicatat
dalam portitur orkestra. Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis karya
musik sebagai teks. Itulah sebabnya mengapa penelitian musik terarah pada
sintaksis.
Meski demikian, semiotik tidak dapat hidup hanya dengan sintaksis, tidak
ada semiotika tanpa semantik. Jadi, juga tidak ada semiotika musik tanpa
semantik musik. Semantik musik, bisa dikatakan harus senantiasa membuktikan
hak kehadirannya. (Van Zoest, 1993 :120 – 121)
2.1.4. Lirik Lagu
Unsur penting dalam sebuah musik adalah lirik lagu yang dinyanyikan,
karena lirik sebagaimana bahasa dapat menjadi sarana atau media untuk
mencerminkan realitas sosial yang beredar di masyarakat. Lirik lagu dapat pula
sebagai sarana sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh
karena itu, ketika sebuah lirik lagu mulai diaransir dan diperdengarkan kepada
tersebarluasnya sebuah keyakinan, nilai – nilai, bahkan prasangka tertentu.
(Setianingsih, 2003: 7 – 8)
Musik berkitan erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia
berada. Musik merupakan gejala khas yang dihasilkan akibat adanya interaksi
sosial, dimana dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai
mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan
demikian musik tidak hanya bunyi suara belaka, karena juga menyangkut perilaku
manusia sebagai individu maupun kelompok sosial dalam wadah bahasa atau lirik
sebagai penunjangnya.
Penelitian tentang lirik lagu merupakan penelitian tentang makna isi pesan
dari lirik lagu tersebut. Dimana lirik merupakan suatu produk yang salah satu
sumbernya adalah dalam situasi sosial masyarakat, dan si pencipta lagu berada di
dalamnya, kemudian merefleksikannya dalam sistem tanda berupa lirik lagu.
Maka dapat dikatakan bahwa lirik lagu Tokek Racun merupakan proses
komunikasi yang memiliki seni karena pesan yang yang terkandung dalam simbol
lirik lagu tersebut yang sengaja digunakan oleh komunikator dengan bahasanya
tentang perilaku seks bebas. Namun, dalam hal ini bahasa verbal yang berupa kata
– kata yang tertuang dalam teks lirik lagu.
2.1.5. Lirik Lagu Dalam Kajian Semiotik
Dalam ilmu komunikasi, pendekatan yang menjelaskan tentang
semiotik, yaitu ilmu yang mempelajari sistem tanda. Pendekatan semiotik, pada
perkembangannya digunakan untuk penelitian sistem tanda dalam berbagai bidang
studi kegiatan manusia seperti musik, periklanan, arsitektur, dan retorika dapat
dikaji dengan menggunakan pendekatan ini.
Lirik lagu merupakan salah satu bentuk komunikasi lisan (yang bisa ditulis
untuk didokumentasikan). Makna yang terkandung bisa eksplisit atau implisit
tergantung dari tujuan pola pikir penciptanya. Ia dapat merupakan bentuk respon
dari kejadian – kejadian yang ada, sehingga dalam lirik lagu dapat berisi ungkapan
– ungkapan baik pujian maupun kritik sosial.
Untuk memahami sebuah lirik lagu, berarti harus memahami maknanya,
baik yang eksplisit maupun yang implisit. Lirik lagu pada hakikatnya adalah suatu
karya seni yang menggunakan suatu bahasa sebagai medium dan juga suatu
bentuk pengungkapan pendapat dari pencipta lirik lagu kedalam bentuk lambang –
lambang.
Penelitian tentang lirik lagu merupakan penelitian tentang makna isi pesan
dari lirik lagu tersebut. Dimana lirik merupakan suatu produk yang salah satu
sumbernya adalah dalam situasi sosial masyarakat, dan si pencipta lagu berada di
dalamnya, kemudian merefleksikannya dalam sistem tanda berupa lirik lagu.
Refleksi tersebut dapat berupa ekspresi pandangan, citra (image) dan
jauh lagi ekspresi tersebut merefleksikan nilai – nilai, norma – norma atau
ideologi yang ada dalam suatu masyarakat.
Proses penciptaan lagu oleh si pencipta dapat diilhami oleh berbagai
masalah atau kejadian sekitar pencipta. Apalagi sebuah lirik lagu adalah produk
seni yang memerlukan penghayatan dalam membuat dan membawakannya.
Ungkapan dalam lirik lagu akan menjadi nyata, dalam artian menjadi ungkapan
yang mewakili ungkapan masyarakat unum, ketika lirik lagu tersebut memuat
permasalahan yang memang dianggap sebagai masalah oleh masyarakat.
2.1.6. Feminisme
Adanya perbedaan konstruksi sosial yang menjadikan perempuan selalu
menjadi pihak yang dirugikan, melatarbelakangi perjuangan-perjuangan
perempuan untuk mendapatkan kedudukan setara dengan laki-laki.
Perjuangan-perjuangan itu memunculkan apa yang disebut dengan feminisme. Dimana
feminisme memiliki pengertian sebagai gerakan yang mencita-citakan kehidupan
setara antara perempuan dan laki-laki, yakni gerakan yang memperjuangkan
keadilan bagi perempuan
Feminisme sebagai gerakan yang bersumber dari asumsi bahwa kaum
perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri
penindasan dan eksploitasi tersebut. Meskipun terjadi perbedaan antarfeminis
mengenai apa, mengapa, dan bagaimana penindasan dan eksploitasi tersebut
kesamaan, martabat, dan kebebasan mengontrol raga dan kehidupan baik di dalam
maupun di luar rumah.
Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan di hadapan kaum
laki-laki saja, karena mereka juga sadar bahwa laki-laki juga mengalami
penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem
yang tidak adil. Gerakan feminis merupakan perjuangan dalam rangka
mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang
adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, hakikat feminisme
adalah gerakan transformasi sosial dalam arti tidak selalu memperjuangkan soal
perempuan. Dengan demikian strategi perjuangan jangka panjang gerakan
feminisme tidak sekedar upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum
perempuan, atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan
manifestasinya seperti eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan
stereotipe, kekerasan dan penjinakkan, melainkan perjuangan transformasi sosial
ke arah penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. (Fakih,
2008: 103-104)
Menurut Fakih, diantara sekian banyak jenis gerakan feminisme dalam
sepanjang sejarah perkembangannya yang ada di masyarakat di berbagai belahan
dunia, ada beberapa jenis gerakan yang menjadi arus utama (mainstream) dan
mempunyai pengaruh yang cukup luas, sehingga banyak dijadikan sebagai tokoh
perempuan gerakan di berbagai tempat. Secara garis besar arus utama jenis
gerakan feminisme tersebut dikelompokkan menjadi dua kategori besar, yakni
yang dipengaruhi oleh paradigma konflik, yakni Feminisme Radikal, Feminisme
Marxis dan Feminisme Sosialis.
Untuk mendapat gambaran pemahaman gerakan feminisme sebagaimana
dimaksud, berikut uraian singkat mengenai pandangan-pandangan dari berbagai
paham feminisme tersebut:
a. Feminisme Liberal
Gerakan Feminisme Liberal merupakan gerakan perjuangan proyek
kesetaraan gender yang usianya paling tua. Gerakan ini diilhami oleh aliran
fungsionalisme struktural (sebuah mazhab besar dalam ilmu sosial), yang
dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Aliran ini muncul sebagai
kritik terhadap politik liberal yang ada pada umumnya menjunjung tinggi nilai
otonomi, persamaan, nilai moral, serta kebebasan individu, namun pada saat yang
sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan.
Perspektif gerakan ini, memandang bahwa keterbelakangan kaum
perempuan selain bersumber dari sikap irasional yang sumbernya karena
berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional, juga karena kaum perempuan tidak
berpartisipasi dalam pembangunan, karenanya melibatkan kaum perempuan
dalam indusrialisasi dan program pemabangunan, dianggap sebagai jalan untuk
b. Feminisme Radikal
Para penganut feminis radikal tidak melihat adanya perbedaan antara
tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual dan biologis. Sehingga, dalam
memasukkan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan
oleh laki-laki, mereka menganggapnya berakar pada jenis kelamin laki-laki itu
sendiri beserta ideologi patriarkinya. Dengan demikian kaum laki-laki secara
biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Aliran feminisme ini
menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan
seksual, adalah bentuk dasar penindasan terhadap kaum perempuan.
Bagi gerakan feminisme radikal, revolusi dan perlawanan atas penindasan
perempuan bias dilakukan dalam bentuk yang sangat personal. Sumbangan
feminisme radikal terhadap gerakan perempuan sangat besar, terutama karena
paham dan analisis mereka bahwa personal is political memberi peluang politik
bagi kaum perempuan. Golongan ini mengambil mengambil bentuk mode
perjuangan ideologi maskulinitas, yakni persaingan untuk mengatasi kaum
laki-laki. (Fakih, 2008: 89-90)
c. Feminisme Marxis
Gerakan ini menekankan asumsi, bahwa ketidakadilan gender dalam
masyarakat lebih disebabkan oleh penindasan kelas dalam hubungan produksi
ekonomi. Oleh karena itu, persoalan penindasan perempuan, selalu diletakkan
dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme. Bagi Feminisme Marxis ini,
bersifat struktural, sistem patriarki tidak dianggap sebagai permasalahan, akan
tetapi sistem kapitalisme sesungguhnya merupakan penyebab masalahnya.
Sehingga problem yang dihadapi kaum ini, penyelesaiannya harus bersifat
struktural, yakni hanya dengan melakukan perubahan strukktur kelas dan
pemutusan hubungan dengan sistem kapitalisme internasional. (Fakih,
2008:91-93)
d. Feminisme Sosialis
Gerakan Feminisme Sosialis berpandangan menggabungkan teori
feminisme marxis dan feminisme radikal. Mereka mengkritik asumsi umum,
hubungan antara partisipasi perempuan dalam ekonomi memang perlu, tapi tidak
selalu menaikkan status perempuan. Bagi feminis sosialis, meningkatnya
partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih berakibat pada peran antagonisme
seksual ketimbang status. (Fakih, 2008:94-96)
2.1.6.1.Posfeminisme Sebagai Pemikiran Feminis Baru
Pada era feminis gelombang kedua, muncul sebuah pemikiran feminis
baru yang dipahami sebagai perjumpaan kritis dengan patriarki yang disebut
dengan posfeminisme. Pelabelan pos, mengundang berbagai pertanyaan,
problematika dalam pendefinisiannya, terutama pada istilah yang dilabelinya.
Posfeminisme, dengan demikian juga mengundang pertanyaan. Pada beberapa
dekade, posfeminisme yang merupakan ekspresi kontinue dari tahapan evolusi
gerakan feminisme dipandang sebagai antifeminis. Terutama oleh media dan pers,
Sehingga tak bisa dihindarkan bila pengertian tentang posfeminisme banyak
disumbang oleh media dan pers tersebut. Istilah posfeminisme bergulir pada akhir
1980-an dan awal 1990-an, seperti dinyatakan oleh Alice bahwa posfeminisme
telah memiliki nilai baru, yang sering kali bermusuhan dan diarahkan terutama
kepada feminis. Padahal bila dilihat dari kemunculannya pertama kali, masih
menurut Alice, bahwa posfeminisme tercipta antara periode tercapainya hak pilih
perempuan di Amerika Serikat dan kebangkitan feminisme “gelombang kedua”
selama tahun 1960-an. Hal ini ditunjukkan oleh keberhasilan perjuangan hak pilih
kaum perempuan, kesempatan menempati ruang publik, dan pilihan untuk
menggunakan lebih banyak ruang personalnya. (Brooks, 1997:3)
Menurut Ann Brooks, salah satu penganjur utama konsepsi mengenai
posfeminisme ini adalah Susan Faludi, di dalam bukunya Blacklash (1992). Faludi
merujuk pada tulisan Brenda Polan Guardian untuk membangun kepercayaan atas
klaim yang dibuatnya. Plan berkeyakinan bahwa posfeminisme merupakan reaksi
buruk, karena menurutnya semua gerakan atau filasafat yang mendefinisikan
dirinya sebagai pos , maka apapun yang datang sebelumnya akan menjadi relasi
yang terikat dan reaktif, bahkan dalam kebanyakan kasus, gerakan tersebut juga
bersifat reaksioner. (Brooks, 1997: 4)
Akhirnya Faludi pun menegaskan bahwa sementara media
memperkenalkan reaksi buruk pada khalayak nasional pada tahun 1980-an melalui
penggunaan istilah “kekuarangan pria”, “jam biologis”, dan posfeminisme,
Faludi beranggapan bahwa sentimen-sentimen posfeminisme pertama kali
dimunculkan, bukan di media tahun 1980-an, melainkan di pers tahun 1920-an.
Dibawah serangkaian kata-kata media, dengan cepat keanggotaan
organisasi-organisasi feminis terjungkal, dan kelompok perempuan yang serta tersisa dengan
serta merta mencela Amandemen Persamaan Hak atau dengan mudah mengubah
diri mereka menjadi klub-klub sosial. “Eks feminis” mulai menerbitkan
pengakuan masalah mereka. (Brooks, 1997:4)
Pendefinisian lainnya tentang posfeminisme adalah kerangka referensi
konseptual yang penting mencakup pertemuan antara feminisme dengan sejumlah
gerakan antifondasionalis lainnya, termasuk posmodernisme, postrukturalisme,
dan poskolonialisme. Posfeminisme memperlihatkan, sebagaimana yang
dinyatakan Yeatman, “Telah tiba waktunya bagi feminisme, kematangannya
menjadi suatu tubuh teori dan politik yang percaya diri, merepresentasikan
pluralisme dan perbedaan, serta merefleksikan posisinya dalam hubungannya
dengan gerakan filsafat dan politik yang sama-sama menuntut perubahan.”
(Brooks, 1997:1)
Konsep “pos” pun merujuk pada transformasi dan perubahan yang sedang
berlangsung. Sehingga posfeminisme dapat dipahami sebagai perjumpaan kritis
dengan patriarki. Posfeminisme juga menempati posisi kritis dalam memandang
kerangka feminis sebelumnya, yang pada saat bersamaan melawan secara kritis
terhadap wacana patriarki dan imperialis. Dalam praktiknya, posfeminisme
gelombang kedua bahwa penindasan patriarki dan imperialis adalah pengalaman
penindasan yang universal. (Brooks,1997:2)
Layak apabila posfeminis dipandang sebagai gerakan yang bersebrangan
dengan feminisme atau bahkan banyak yang menyebut posfeminisme sebagai
gerakan antifeminis karena posfeminisme telah memiliki nilai baru yang sering
kali bermusuhan dan diarahkan terutama kepada para feminis. Posfeminisme telah
dipandang sebagai sesuatu yang sinonim dengan antifeminis.
Sosok perempuan posfeminisme digambarkan sebagai sosok seorang
perempuan yang mandiri atau “independent” tetapi juga tetap membutuhkan
sosok laki-laki dalam hidupnya sebagai pelengkap hidupnya baik secara biologis
maupun secara emosional, karena seorang perempuan posfeminis “sadar” bahwa
dia merupakan “seorang perempuan” yang juga menjadi objek seks laki-laki,
disamping dia sebagai sosok perempuan mandiri yang dengan kepercayaan diri
yang tinggi bisa meraih segalanya (karir, kekayaan, kekuasaan, dan kejayaan),
bukan perempuan mandiri yang tanpa laki-laki seperti pemikiran feminisme pada
umumnya, terutama para feminis radikal. Seperti yang dikutip di dalam buku
posfeminisme &Cultural Studies menanggapi serial Sex In The City. Dimana
digambarkan bahwa seorang Samantha yang merupakan karakter perempuan
tangguh dan memiliki semuanya, yang berkarir sebagai seorang penulis di salah
satu majalah lifestyle di kota New York dalam salah satu episodenya, mempunyai
kebimbangan dan terhukum oleh dirinya sendiri akibat kepercayaan diri yang
merasa menderita karena tidak ada seorang laki-laki yang berada di sisinya ketika
dia membutuhkan sebuah hubungan secara “biologis” maupun hubungan secara
emosional.(Brooks,1997:VII)
2.1.6.2.Perempuan dan Kekuasaan dalam Posfeminisme
Kata perempuan bersal dari kata empu, bermakna dihargai, dipertuan atau
dihormati. Sedangkan kata wanita diyakini dari bahasa Sansekerta, dengan dasar
kata wan yang berarti nafsu, sehingga kata wanita mempunyai arti yang dinafsui
atau objek seks. Sedangkan dalam bahasa Jawa (Jarwa Dosok), kata wanita berarti
wani ditata, artinya berani ditata. Kata wanita konon juga berasal dari kata wani
(berani) dan tapa (menderita), artinya seorang wanita adalah sosok yang berani
menderita bahkan untuk orang lain. Jadi, secara simbolik mengubah penggunaan
kata wanita menjadi perempuan adalah mengubah objek menjadi subjek. Kedua
istilah ini tidak hanya berkaitan dengan asal bahasa atau padanan kata saja, tetapi
berkaitan dengan citra, mitos atau stereotip (citra baku). Oleh karena itu, kaum
feminis (di Indonesia) kebanyakan memilih menggunakan kata perempuan, bukan
wanita (Handayani, 2004:6)
Penggambaran “tangguh” dan “’serba lebih” dari perempuan menunjukkan
adanya keinginan untuk berperan dalam banyak hal, terutama di ruang publik.
Singkatnya, seorang perempuan tidak ingin menjadi marjinal ataupun inferior lagi,
tetapi “mereka” menginginkan sebuah pengakuan dan perlakuan sebagai sebuah
dominasi atau superior, bukan lagi sebagai subordinasi. Pemikiran feminis yang
dianggap belum cukup untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Pemikiran
feminis masih menganggap perempuan masih diposisikan sebagai kaum yang
dirugikan dan sebagai korban dari patriarki. Perjuangan menjadi “a super woman”
dari feminisme, mendapat pandangan baru sebagai jalan lain dari perjuangan
perempuan. Untuk itulah pemikiran posfeminisme muncul sebagai jalan lain
dalam gerakan perempuan. Posfeminisme menganggap bahwa pemikiran feminis
terlalu berlebih dalam memperjuangkan perempuan dengan hak-haknya. Seperti
pendapat Ann Brooks, Alice dalam bukunya mengatakan bahwa mungkin pesan
paling persuasif bagi posfeminisme bahwa feminisme telah mendorong
perempuan untuk menginginkan terlalu banyak. Pofeminisme ditawarkan sebagai
pelarian dari beban “perempuan super” dalam rangka memenuhi citra sukses
kaum feminis (Brooks,2007:5). Dengan kata lain, posfeminisme memberi wacana
baru dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
Seorang perempuan tidak perlu menjadi “laki-laki” seperti pada pemikiran
feminisme radikal dalam artian bahwa perempuan tidak perlu “bermaskulinitas”
untuk persamaan hak, dengan “keperempuanan” yang dia miliki, dia bisa
merasakan hak yang sama dengan apa yang didapatkan laki-laki. Wacana
posfeminis tidak begitu menghiraukan system patriarki seperti yang dianggap oleh
pemikiran para feminis. Dengan menggunakan sebuah feminitas yang melekat
dalam dirinya, seorang perempuan dapat sama berhak meraih apa yang dimiliki
Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau kelompok untuk
mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan
dari pelaku, atau dengan kata lain kekuasaan merupakan kemampuan
mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak
yang mempengaruhi. Audifax menjelaskan dalam sebuah bukunya, bahwa
menurut Foudcalt, kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui
kekerasan atau hasil persetujuan, melainkan melalui struktur tindakan yang
menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui rangsangan,
persuasi atau bisa juga melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan bukan institusi,
dan bukan struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki, tetapi nama yang
diberikan pada situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat. Kekuasaan ada
dimana-mana, tetapi bukan berarti mencakup semua, melainkan kekuasaan datang
dari mana-mana.(Audifax, 2006:227)
Dalam stereotip klasik, perempuan dan dimensi feminisme tidak
mencantumkan gagasan kekuasaan. Umumnya stereotip perempuan meliputi
kesimpatikan, kepekaan terhadap kebutuhan sesama, memahami, merawat,
hangat, lembut, ramah, setia, dan tidak berbicara kasar. Sedangkan gagasan
kekuasaan menurut konsep Barat meliputi ketegaran dan keperkasaan. Akibatnya,
menjadi wajar jika dalam budaya Barat secara tradisional perempuan tidak
memikirkan kekuasaan dalam diri mereka sebagaimana laki-laki mendefinisikan
kata tersebut. Kualitas feminisme justru sangat berlawanan dengan definisi
Kekuasaan bukan hanya dimiliki oleh laki-laki, karena sebuah kekuasaan
bersifat jamak yang bisa dimiliki oleh siapapun dan bukan milik yang “itu-itu”
saja. Menurut Ann Brooks dalam bukunya, Foudcalt secara implisit menggugat
gagasan bahwa laki-laki memiliki kuasa atas perempuan. Sebagaiman ditunjukkan
oleh Ransom, teori kuasa ini menyokong pluralisme Foucalt, kuasa dipahami
bersifat plural, tidak bekerja pada “lintasan tunggal” atau dengan referensi pada
pertanyaan tertentu. Foucault memahami kuasa sebagai “bersifat kapiler”
menyebar melalui wacana, tubuh, dan hubungan di dalam metaphor suatu
jaringan. Foucault mengakui pelaksanaan kuasa laki-laki atas perempuan, tetapi
menolak bahwa laki-laki memegang kuasa. (Brooks,1997:85)
2.1.7. Makna Dalam Kata
Istilah makna (meaning) merupakan kata dan istilah yang
membingungkan. Untuk menjelaskan istilah makna, harus dilihat dari segi kata,
kalimat dan apa yang dibutuhkan oleh pembicara untuk berkomunikasi. Secara
luas, makna dapat diartikan sebagai pengertian yang diberikan kepada sesuatu
bentuk kebahasaan. Istilah makna meskipun membingungkan, sebenarnya lebih
dekat dengan kata. Sering kita berkata, apa artinya kata ini, apakah artinya kalimat
itu. (Pateda, 2001: 79)
Bagi orang awam untuk memahami makna tertentu, ia dapat mencari di
kamus. Sebab di dalam kamus terdapat makna kata yang disebut makna leksikal.
dalam kamus, sebab makna sebuah kata sering bergeser jika berada dalam satuan
kalimat.
Kata merupakan momen kebahasaan yang bersama – sama dalam kalimat
menyampaikan pesan dalam suatu komunikasi. Secara teknis, kata adalah satuan
ajaran yang berdiri sendiri yang terdapat di dalam kalimat, dapat dipisahkan, dapat
ditukar, dapat dipindahkan, dan mempunyai makna serta digunakan untuk
berkomunikasi. Makna dalam kata yang dimaksud disini, yakni berbentuk yang
sudah diperhitungkan sebagai kata atau dapat disebut sebagai makna leksikal yang
terdapat di dalam kamus. (Pateda, 2001: 34)
2.1.8. Pendekatan Semiotik
Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti tanda atau
seme yang berarti penafsir tanda. Jika diterapkan dalam tanda – tanda bahasa,
maka huruf, kata, kalimat tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda – tanda
itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya.
Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan
(signifie). Sebuah teks baik itu lagu, musik, surat cinta, cerpen, puisi, komik,
kartun semua hal itu mungkin terjadi “tanda” dapat dilihat dari aktifitas penanda,
yaitu suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda yang menghubungkan
objek dan interpretasi. (Sobur, 2004: 16 – 17)
Kehadiran pragmatisme Peirce dan strukturalisme Saussure dalam kancah
perbincangan filsafat bahasa mempertegas adanya studi tanda dengan ilmu yang
ada perbedaan mendasar tentang dua nama ilmu tentang tanda tersebut. Kalaupun
ada, perbedaan itu hanya mengacu pada orientasinya. Penggunaan semiologi
menunjukkan pengaruh kubu Saussure (salah satunya Roland Barthes), sedangkan
penggunaan semiotika mengacu pada kubu Peirce. (Kurniawan, 2001: 51)
Semiologi menitikberatkan dirinya pada studi tentang tanda dan segala
yang berkaitan dengannya. Kubu Peirce cenderung meneruskan tradisi skolastik
yang mengarah pada inferensi (pemikiran logis) dan kubu Saussure menekankan
pada linguistik, kenyatannya semiologi juga membahas signifikasi dan
komunikasi yang terdapat dalam sistem tanda non linguistik.
Kajian semiotika dibedakan menjadi dua jenis yaitu semiotika komunikasi
dan semiotika signifikasi. Dalam hal ini semiotika komunikasi adalah
menekankan pada teori produksi tanda yang salah satu diantaranya ada enam
faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan,
saluran komunikasi dan acuan (hal yang dibicarakan). Sedangkan yang dimaksud
dengan semiotika signifikasi adalah memberikan tekanan pada teori tanda dan
pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Tidak dipersoalkan adanya tujuan
berkomunikasi. Sebaliknya yang diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda
sehingga proses kognisinya pada penerima tanda menjadi lebih diperhatikan
daripada proses komunikasinya. (Sobur, 2004: 15)
Batasan semiotika komunikasi menurut Ferdinand de Saussure adalah
linguistik hendaknya menjadi bagian suatu ilmu pengetahuan umum tentang
2.1.9. Semiologi Roland Barthes
Roland Barthes dikenal sebagai salah satu seorang pemikir strukturalis
yang merupakan penerus dari Saussure. Ia berpendapat bahwa bahasa adalah
sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi – asumsi dari suatu masyarakat
tertentu. Barthes menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal
dan kultural penggunanya.
Gagasan Barthes ini dikenal dengan two order of signification, yaitu
mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda
yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Disinilah letak perbedaan
Saussure dengan Barthes, meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah
Signifier dan Signified yang diusung Saussure.
Berikut adalah model sistematis dalam menganalisis makna tanda – tanda
menurut Roland Barthes. Focus Barthes tertuju kepada gagasan tentang signifikasi
dua tahap (two order of signification).
penanda petanda
mitos konotasi
denotasi
tatanan pertama tatanan kedua
(Gambar 2.1: skema signifikasi dua tahap Roland Barthes)
Sumber: John Fiske, Cultural and Communication Studies, 1990, hlm. 122.
Melalui model tersebut, Barthes seperti yang dikutip Fiske, menjelaskan:
signifikasi tahap pertama menggunakan hubungan signifier dan signified didalam
sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi,
yaitu makna paling nyata dari tanda, sedangkan konotasi adalah istilah yang
digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau
emosional dari pembaca serta nilai – nilai dari kebudayaannya.
Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak
intersubjektif, dengan kata lain denotasi adalah apa yang digambarkan tanda
terhadap semua objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana
menggambarkannya. (Fiske, 1990: 72)
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang
tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat
asli tanda, membutuhkan keefektifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes
secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan
tataran kedua, yang dibangun diatas sistem lain yang ada sebelumnya. (Sobur,
2004: 68 – 69)
Sastra merupakan contoh jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang
Barthes disebut dengan konotatif, yang didalamnya mythologies - nya secara tegas
ia bedakan dari denotatif atau sistem tataran pemaknaan pertama. Barthes
menggambarkannya dalam sebuah peta tanda:
1. signifier (PETANDA KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
(Gambar 2.2: Peta Tanda Roland Barthes)
Sumber: Alex Sobur,2004,Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm: 69
Dari peta tanda diatas terlihat bahwa denotatif (3) terdiri atas penanda (1)
dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, tanda denotatif juga
merupakan penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur
material. Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang
melandasi keberadaannya. (Sobur, 2004: 69)
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang
disebutnya sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan
memberikan pembenaran bagi nilai – nilai dominan yang berlaku dalam suatu
periode tertentu (Budiman, 2001: 28). Didalam mitos juga terdapat pola tiga
mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau
dengan kata lain mitos adalah merupakan suatu sistem pemaknaan tataran kedua.
Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena baik di dalam mitos
maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif terjadi secara termotivasi.
(Budiman, 2001: 28)
2.1.10. Ideologi dan Mitologi
Mitos berasal dari bahasa Yunani “mutos”, berarti cerita. Biasanya
digunakan untuk menunjuk cerita yang tidak benar, cerita buatan yang tidak
mempunyai kebenaran historis. Meskipun demikian, cerita semacam itu tetap
dibutuhkan agar manusia dapat memahami lingkungan dan dirinya. Ciri mitos
(kisah yang tidak benar) dan fungsinya (diperlukan untuk memahami lingkungan),
inilah yang diteorisasikan oleh Barthes dengan menggunakan pendekatan
Semiologi. (Sunardi, 2004: 89)
Mitos menurut Barthes adalah sebuah system komunikasi, dengan
demikian dia adalah pesan. Mitos kemudian tak mungkin dapat menjadi sebuah
objek, sebuah konsep atau sebuah ide, karena mitos adalah sebuah mode
penandaan yakni sebuah bentuk. (Kurniawan, 2001: 84)
Mitos adalah kebutuhan manusia, itulah sebabnya mitos dieksploitasi
sebagai media komunikasi. Sebagaimana dikatakan Barthes dalam bukunya
mythologies (1993), dalam buku tersebut ia mengatakan bahwa sebagai bentuk
tertulis, melainkan sebagai produk sinema, fotografi, advertensi, olahraga dan
televisi. Gejala ini memang kita saksikan sehari – hari , terutama dalam advertensi
lewat televisi. (Sobur, 2004: 208)
Dikaitkan dengan ideologi maka, seperti dikatakan Van Zoest (1980),
“ideologi dan mitologi didalam hidup kita sama dengan kode – kode dalam
perbuatan semiotik dan komunikasi kita”. Tanpa itu menurutnya, komunikasi
tidak dapat berlangsung. Setiap penggunaan teks setiap penanganan bahasa, setiap
semiosis (penggunaan tanda) pada umumnya hanya timbul berkat suatu ideologi
yang secara sadar atau tidak sadar dikenal oleh pemakai tanda. Sebuah teks tak
pernah terlepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi
pembaca ke arah suatu ideologi. (Sobur, 2004: 209)
Kita bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti berbagai
konotasi yang ada di dalamnya. Salah satu cara adalah mencari mitologi dalam
teks – teks semacam itu. Ideologi adalah sesuatu yang abstrak , sementara
mitologi (kesatuan mitos – mitos yang koheren) menyajikan inkasnani makna –
makna yang mempunyai wadah dalam ideologi. (Sobur, 2004: 209)
Jadi mitos adalah uraian naratif atau penuturan (representasi kolektif)
tentang sesuatu yang suci (sacred), yaitu kejadian – kejadian yang luar biasa,
diluar dan mengatasi pengalaman manusia sehari – hari. Sedangkan ideologi
merupakan suatu pemikiran yang abstrak (berdasarkan ide dan gagasan) dengan
Mitos dan ideologi pada dasarnya ialah dua hal yang sulit dipisahkan,
perbedaannya bila mitos bertumpu pada kepercayaan, sedangkan ideologi pada
intelektualitas. Tetapi mitos akan lumpuh pada waktu normal, jika merujuk pada
sejarah, mitos lebih subjektif, sedangakan ideologi lebih objektif. (Sobur, 2004:
209)
2.1.11. Kode – Kode Pembacaan
Segala sesuatu yang bermakna tergantung pada kode. Menurut Roland
Barthes didalam teks setidaknya beroperasi lima kode pokok (five major codes)
yang didalamnya semua penanda tekstual (baca : leksia) dapat dikelompokkan.
Setiap atau masing – masing leksia dapat dimasukkan kedalam salah satu dari
lima buah kode ini. Kode – kode ini menciptakan sebuah jenis jaringan (network).
(Barthes, 1990: 20). Adapun kode – kode pokok tersebut yang dengannya seluruh
aspek tekstual yang signifikan dapat dipahami meliputi aspek sintagmatik dan
semantik sekaligus, yaitu menyangkut bagaimana bagian – bagiannya berkaitan
satu sama lain dan terhubung dengan dunia luar teks.
Kelima jenis kode tersebut meliputi hermeneutik, kode semik, kode
simbolik, kode proaretik dan kode kultural.
1. Kode Hermeneutik atau Kode Teka – Teki
Berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi
pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka – teki merupakan unsure
tempat kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka – teki dan
penyelesaiannya di dalam cerita.
2. Kode Semik atau Kode Konotatif
Kode semik atau kode konotatif banyak yang menawarkan banyak sisi.
Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat
bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan
dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu
kumpulan satuan konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat
mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes
menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling
“akhir”.
3. Kode Simbolik
Merupakan suatu pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural
atau tepatnya menurut Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada
gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan
baik dalam taraf bunyi menjadi fenomena dalam proses produksi wicara,
maupun pada taraf oposisi yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal ,
perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui
istilah retoris seperti antitesis yang merupakan hal yang istimewa dalam
4. Kode Proaretik atau Kode Tindalakan / Lakuan
Kode proaretik atau kode tindakan / lakuan dianggapnya sebagai
perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya antara lain semua teks
yang bersifat naratif. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena
dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharap lakuan
di “isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks.
5. Kode Gnomik atau Kode Kultural
Kode ini merupakan acuan teks benda – benda yang sudah diketahui dan
dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi
oleh acuan apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau
subbudaya adalah hal – hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya
para penulis bertumpu. (Sobur, 2003: 65 – 66)
2.2. Kerangka Berpikir
Penelitian lagu ini dibangun dengan tanda, yang didasarkan pada lirik lagu
yang memiliki muatan atau pesan tertentu yang berkaitan dengan permasalahan
terhadap situasi sosial yang ada di masyarakat. Akhir-akhir ini banyak lagu yang
mengangkat fenomena perempuan.
Dalam sebuah lagu, perempuan selalu digambarkan lekat dengan berbagai
macam stereotipnya dalam masyarakat sebagai sosok yang tidak suka berbicara
kasar, halus, lembut, peka pada perasaan orang lain, bicara pelan, mudah
Fenomena yang menjadikan perempuan selalu menjadi pihak yang
dirugikan, melatarbelakangi perjuangan-perjuangan perempuan untuk
mendapatkan kedudukan setara dengan laki-laki. Perjuangan-perjuangan itu
memunculkan apa yang disebut dengan feminisme.
Kemudian muncul pertentangan terhadap pandangan feminisme yang
berlaku dalam masyarakat, yang disebut dengan posfeminisme. Dimana
perempuan digambarkan sebagai sosok perempuan yang mandiri, akan tetapi
dalam kemandiriannya, seorang perempuan posfeminis juga tetap membutuhkan
sosok laki-laki dalam hidupnya sebagai pelengkap hidupnya, karena seorang
posfeminis sadar bahwa dirinya juga menjadi objek seks bagi laki-laki disamping
dia sebagai sosok perempuan mandiri dengan kepercayaan diri yang tinggi yang
bisa meraih segalanya.
Salah satu lagu yang mengangkat masalah sosial masyarakat adalah lagu
“Tokek Racun” yang mengungkapkan tema tentang perempuan yang memiliki
sebuah kekuasaan. Dalam lirik lagu “Tokek Racun” seorang perempuan
digambarkan sebagai sosok perempuan yang memiliki “karakter”,cantik, mandiri,
kuat, dan berambisi dalam memanfaatkan sebuah kekuasaan yang dimilikinya
untuk mencapai apa yang diinginkan.
Lirik lagu “Tokek Racun” menimbulkan ketertarikan pada peneliti untuk
mencari tahu bagaimana kuasa perempuan dalam lagu tersebut, bagaimana
stereotip yang berkembang dalam masyarakat bahwa kodrat perempuan
merupakan subordinasi yang tidak berhak atas kuasa apapun.
Dalam penelitian ini peneliti melakukan pemaknaan terhadap tanda yang
berbentuk tulisan pada lirik lagu “Tokek Racun” dalam hubungannya dengan teori
feminisme dan posfeminisme dengan menggunakan metode semiologi Roland
Barthes dengan menitikberatkan pada tanda denotatif dan tanda konotatif serta
kelima kode. Roland Barthes menunjukkan aspek-aspek denotatif tanda-tanda
dalam menyingkap konotasi yang pada dasarnya mitos-mitos yang dibangkitkan
oleh sistem tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat.
Dalam pendekatan Roland Barthes terdapat signifikasi dua tahap yaitu
tahap pertama terdapat komponen penanda dan petanda, yang disebut makna
denotasi, tanda itu akan dikaitkan dengan reality eksternal (kenyataan yang ada di
luar). Tahap kedua adalah penanda dan petanda itu mempunyai bentuk makna
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Artinya, data yang
digunakan merupakan data kualitatif , yaitu tidak menggunakan data atas angka –
angka, melainkan berupa pesan – pesan verbal (tulisan) yang terdapat dalam lirik
lagu “Tokek Racun”. Data – data kualitatif tersebut berusaha dimaknai dengan
rujukan, acuan, atau referensi – referensi secara ilmiah.
Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2001: 3) menggunakan
metode kualitatif sebagai berikut:
“Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata – kata tertulis atau lisan dari orang – orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada individu secara holistik (utuh). Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan ke dalam variabel atau hipotesis tetapi memandangnya sebagai keutuhan”.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif -
interpretative, penelitian ini akan mendekontruksi tanda – tanda dengan
menggunakan metode semiotik dari Roland Barthes, yaitu metode signifikasi dua
tahap (two order signification). Dimana pada tataran pertama tanda denotatif
(denotative sign) terdiri atas penanda dan petanda (signifier signified) dan pada
tataran kedua, tanda denotatif (denotative sign) juga merupakan penanda konotatif
(konotative signifier) sehingga muncul petanda konotatif (konotatif signified) yang
membentuk tanda konotatif (konotatif sign). Dalam tahap kedua dari tanda
konotatif akan muncul mitos yang menandai masyarakat yang berkaitan dengan
budaya sekitar.
Dengan menggunakan paradigma kontruktivisme, analisis semiotika
bersifat kualitatif, jenis penelitian ini memberi peluang besar bagi dibuatnya
interpretasi – interpretasi alternatif. (Sobur, 2001: 147)
3.2. Kerangka Konseptual 3.2.1. Unit Analisis
Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanda – tanda
berupa tulisan, yaitu terdiri atas kata – kata yang membentuk kalimat yang ada
pada lirik lagu “Tokek Racun”.
3.2.2. Corpus
Korpus adalah sekumpulan bahan yang terbatas yang ditentukan pada
perkembangannya oleh analisis dengan semacam kesemenaan, bersifat
sehomogen mungkin (Kurniawan, 2001:70). Korpus atau data yang dikumpulkan
berwujud tulisan. Pada penelitian ini yang menjadi korpus adalah lirik lagu yang
berjudul “Tokek Racun”.
Alasan pengambilan lagu diatas sebagai korpus adalah dikarenakan dalam
lagu tersebut dalam liriknya terdapat penggambaran seorang perempuan yang
dapat mencapai kuasa atas laki-laki, sementara stereotip yang berkembang dalam
masyarakat berpendapat bahwa perempuan merupakan subordinasi yang tidak
TOKEK RACUN Dasar kau tokek racun
Kau bayar aku untuk tidur Ngomong nggak sopan santun Kau anggap aku keong racun
Kau rayu diriku Kau goda diriku Kau colek diriku
Eh kau lebay sekali
Pakai basa basi kau ngajak happy happy Eh kau tak tahu malu
Pakai basa basi kau pasang tarif tinggi Mulut komat kamit
Matamu melotot
Memang bodimu semok Tapi kayak wong goblok Mentang mentang kokay Tapi nggak ngaku jablay Dasar tante kucai
Ngajak check in dan santai Sorry sorry sorry jeng Kau cantik tapi gendeng Sorry sorry sorry mbak
Kau memang cewek murahan
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berasal dari data primer dan
sekunder:
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh dengan cara mendengarkan
secara langsung lagu “Tokek Racun” serta memahami tiap kata
perkata dari lirik lagu tersebut. Pada tahap pemaknaan ini diperoleh