• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.5. Lirik Lagu Dalam Kajian Semiotik

Dalam ilmu komunikasi, pendekatan yang menjelaskan tentang penggunaan lambang – lambang dalam pesan komunikasi adalah pendekatan

semiotik, yaitu ilmu yang mempelajari sistem tanda. Pendekatan semiotik, pada perkembangannya digunakan untuk penelitian sistem tanda dalam berbagai bidang studi kegiatan manusia seperti musik, periklanan, arsitektur, dan retorika dapat dikaji dengan menggunakan pendekatan ini.

Lirik lagu merupakan salah satu bentuk komunikasi lisan (yang bisa ditulis untuk didokumentasikan). Makna yang terkandung bisa eksplisit atau implisit tergantung dari tujuan pola pikir penciptanya. Ia dapat merupakan bentuk respon dari kejadian – kejadian yang ada, sehingga dalam lirik lagu dapat berisi ungkapan – ungkapan baik pujian maupun kritik sosial.

Untuk memahami sebuah lirik lagu, berarti harus memahami maknanya, baik yang eksplisit maupun yang implisit. Lirik lagu pada hakikatnya adalah suatu karya seni yang menggunakan suatu bahasa sebagai medium dan juga suatu bentuk pengungkapan pendapat dari pencipta lirik lagu kedalam bentuk lambang – lambang.

Penelitian tentang lirik lagu merupakan penelitian tentang makna isi pesan dari lirik lagu tersebut. Dimana lirik merupakan suatu produk yang salah satu sumbernya adalah dalam situasi sosial masyarakat, dan si pencipta lagu berada di dalamnya, kemudian merefleksikannya dalam sistem tanda berupa lirik lagu.

Refleksi tersebut dapat berupa ekspresi pandangan, citra (image) dan perasaan si pencipta lagu sebagai bagian dari anggota masyarakat, bahkan lebih

jauh lagi ekspresi tersebut merefleksikan nilai – nilai, norma – norma atau ideologi yang ada dalam suatu masyarakat.

Proses penciptaan lagu oleh si pencipta dapat diilhami oleh berbagai masalah atau kejadian sekitar pencipta. Apalagi sebuah lirik lagu adalah produk seni yang memerlukan penghayatan dalam membuat dan membawakannya. Ungkapan dalam lirik lagu akan menjadi nyata, dalam artian menjadi ungkapan yang mewakili ungkapan masyarakat unum, ketika lirik lagu tersebut memuat permasalahan yang memang dianggap sebagai masalah oleh masyarakat.

2.1.6. Feminisme

Adanya perbedaan konstruksi sosial yang menjadikan perempuan selalu menjadi pihak yang dirugikan, melatarbelakangi perjuangan-perjuangan perempuan untuk mendapatkan kedudukan setara dengan laki-laki. Perjuangan-perjuangan itu memunculkan apa yang disebut dengan feminisme. Dimana feminisme memiliki pengertian sebagai gerakan yang mencita-citakan kehidupan setara antara perempuan dan laki-laki, yakni gerakan yang memperjuangkan keadilan bagi perempuan

Feminisme sebagai gerakan yang bersumber dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Meskipun terjadi perbedaan antarfeminis mengenai apa, mengapa, dan bagaimana penindasan dan eksploitasi tersebut terjadi, namun mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi

kesamaan, martabat, dan kebebasan mengontrol raga dan kehidupan baik di dalam maupun di luar rumah.

Feminisme bukanlah perjuangan emansipasi perempuan di hadapan kaum laki-laki saja, karena mereka juga sadar bahwa laki-laki juga mengalami penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi serta represi dari sistem yang tidak adil. Gerakan feminis merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur yang tidak adil, menuju ke sistem yang adil bagi perempuan maupun laki-laki. Dengan kata lain, hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial dalam arti tidak selalu memperjuangkan soal perempuan. Dengan demikian strategi perjuangan jangka panjang gerakan feminisme tidak sekedar upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum perempuan, atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan manifestasinya seperti eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan stereotipe, kekerasan dan penjinakkan, melainkan perjuangan transformasi sosial ke arah penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. (Fakih, 2008: 103-104)

Menurut Fakih, diantara sekian banyak jenis gerakan feminisme dalam sepanjang sejarah perkembangannya yang ada di masyarakat di berbagai belahan dunia, ada beberapa jenis gerakan yang menjadi arus utama (mainstream) dan mempunyai pengaruh yang cukup luas, sehingga banyak dijadikan sebagai tokoh perempuan gerakan di berbagai tempat. Secara garis besar arus utama jenis gerakan feminisme tersebut dikelompokkan menjadi dua kategori besar, yakni paradigma fungsionalisme struktural, yakni Feminisme Liberal, dan kedua adalah

yang dipengaruhi oleh paradigma konflik, yakni Feminisme Radikal, Feminisme Marxis dan Feminisme Sosialis.

Untuk mendapat gambaran pemahaman gerakan feminisme sebagaimana dimaksud, berikut uraian singkat mengenai pandangan-pandangan dari berbagai paham feminisme tersebut:

a. Feminisme Liberal

Gerakan Feminisme Liberal merupakan gerakan perjuangan proyek kesetaraan gender yang usianya paling tua. Gerakan ini diilhami oleh aliran fungsionalisme struktural (sebuah mazhab besar dalam ilmu sosial), yang dikembangkan oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap politik liberal yang ada pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan, nilai moral, serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendiskriminasi kaum perempuan.

Perspektif gerakan ini, memandang bahwa keterbelakangan kaum perempuan selain bersumber dari sikap irasional yang sumbernya karena berpegang teguh pada nilai-nilai tradisional, juga karena kaum perempuan tidak berpartisipasi dalam pembangunan, karenanya melibatkan kaum perempuan dalam indusrialisasi dan program pemabangunan, dianggap sebagai jalan untuk meningkatkan status kaum perempuan. (Fakih, 2008:84-88)

b. Feminisme Radikal

Para penganut feminis radikal tidak melihat adanya perbedaan antara tujuan personal dan politik, unsur-unsur seksual dan biologis. Sehingga, dalam memasukkan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, mereka menganggapnya berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya. Dengan demikian kaum laki-laki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Aliran feminisme ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual, adalah bentuk dasar penindasan terhadap kaum perempuan.

Bagi gerakan feminisme radikal, revolusi dan perlawanan atas penindasan perempuan bias dilakukan dalam bentuk yang sangat personal. Sumbangan feminisme radikal terhadap gerakan perempuan sangat besar, terutama karena paham dan analisis mereka bahwa personal is political memberi peluang politik bagi kaum perempuan. Golongan ini mengambil mengambil bentuk mode perjuangan ideologi maskulinitas, yakni persaingan untuk mengatasi kaum laki-laki. (Fakih, 2008: 89-90)

c. Feminisme Marxis

Gerakan ini menekankan asumsi, bahwa ketidakadilan gender dalam masyarakat lebih disebabkan oleh penindasan kelas dalam hubungan produksi ekonomi. Oleh karena itu, persoalan penindasan perempuan, selalu diletakkan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme. Bagi Feminisme Marxis ini, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari sistem eksploitatif yang

bersifat struktural, sistem patriarki tidak dianggap sebagai permasalahan, akan tetapi sistem kapitalisme sesungguhnya merupakan penyebab masalahnya. Sehingga problem yang dihadapi kaum ini, penyelesaiannya harus bersifat struktural, yakni hanya dengan melakukan perubahan strukktur kelas dan pemutusan hubungan dengan sistem kapitalisme internasional. (Fakih, 2008:91-93)

d. Feminisme Sosialis

Gerakan Feminisme Sosialis berpandangan menggabungkan teori feminisme marxis dan feminisme radikal. Mereka mengkritik asumsi umum, hubungan antara partisipasi perempuan dalam ekonomi memang perlu, tapi tidak selalu menaikkan status perempuan. Bagi feminis sosialis, meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih berakibat pada peran antagonisme seksual ketimbang status. (Fakih, 2008:94-96)

2.1.6.1.Posfeminisme Sebagai Pemikiran Feminis Baru

Pada era feminis gelombang kedua, muncul sebuah pemikiran feminis baru yang dipahami sebagai perjumpaan kritis dengan patriarki yang disebut dengan posfeminisme. Pelabelan pos, mengundang berbagai pertanyaan, problematika dalam pendefinisiannya, terutama pada istilah yang dilabelinya. Posfeminisme, dengan demikian juga mengundang pertanyaan. Pada beberapa dekade, posfeminisme yang merupakan ekspresi kontinue dari tahapan evolusi gerakan feminisme dipandang sebagai antifeminis. Terutama oleh media dan pers, yang terus menerus menyebarkan semangat posfeminisme sebagai antifeminisme.

Sehingga tak bisa dihindarkan bila pengertian tentang posfeminisme banyak disumbang oleh media dan pers tersebut. Istilah posfeminisme bergulir pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, seperti dinyatakan oleh Alice bahwa posfeminisme telah memiliki nilai baru, yang sering kali bermusuhan dan diarahkan terutama kepada feminis. Padahal bila dilihat dari kemunculannya pertama kali, masih menurut Alice, bahwa posfeminisme tercipta antara periode tercapainya hak pilih perempuan di Amerika Serikat dan kebangkitan feminisme “gelombang kedua” selama tahun 1960-an. Hal ini ditunjukkan oleh keberhasilan perjuangan hak pilih kaum perempuan, kesempatan menempati ruang publik, dan pilihan untuk menggunakan lebih banyak ruang personalnya. (Brooks, 1997:3)

Menurut Ann Brooks, salah satu penganjur utama konsepsi mengenai posfeminisme ini adalah Susan Faludi, di dalam bukunya Blacklash (1992). Faludi merujuk pada tulisan Brenda Polan Guardian untuk membangun kepercayaan atas klaim yang dibuatnya. Plan berkeyakinan bahwa posfeminisme merupakan reaksi buruk, karena menurutnya semua gerakan atau filasafat yang mendefinisikan dirinya sebagai pos , maka apapun yang datang sebelumnya akan menjadi relasi yang terikat dan reaktif, bahkan dalam kebanyakan kasus, gerakan tersebut juga bersifat reaksioner. (Brooks, 1997: 4)

Akhirnya Faludi pun menegaskan bahwa sementara media memperkenalkan reaksi buruk pada khalayak nasional pada tahun 1980-an melalui penggunaan istilah “kekuarangan pria”, “jam biologis”, dan posfeminisme, kenyataan pers mengekspresikan pandangan sebagai antifeminis jauh lebih awal.

Faludi beranggapan bahwa sentimen-sentimen posfeminisme pertama kali dimunculkan, bukan di media tahun 1980-an, melainkan di pers tahun 1920-an. Dibawah serangkaian kata-kata media, dengan cepat keanggotaan organisasi-organisasi feminis terjungkal, dan kelompok perempuan yang serta tersisa dengan serta merta mencela Amandemen Persamaan Hak atau dengan mudah mengubah diri mereka menjadi klub-klub sosial. “Eks feminis” mulai menerbitkan pengakuan masalah mereka. (Brooks, 1997:4)

Pendefinisian lainnya tentang posfeminisme adalah kerangka referensi konseptual yang penting mencakup pertemuan antara feminisme dengan sejumlah gerakan antifondasionalis lainnya, termasuk posmodernisme, postrukturalisme, dan poskolonialisme. Posfeminisme memperlihatkan, sebagaimana yang dinyatakan Yeatman, “Telah tiba waktunya bagi feminisme, kematangannya menjadi suatu tubuh teori dan politik yang percaya diri, merepresentasikan pluralisme dan perbedaan, serta merefleksikan posisinya dalam hubungannya dengan gerakan filsafat dan politik yang sama-sama menuntut perubahan.” (Brooks, 1997:1)

Konsep “pos” pun merujuk pada transformasi dan perubahan yang sedang berlangsung. Sehingga posfeminisme dapat dipahami sebagai perjumpaan kritis dengan patriarki. Posfeminisme juga menempati posisi kritis dalam memandang kerangka feminis sebelumnya, yang pada saat bersamaan melawan secara kritis terhadap wacana patriarki dan imperialis. Dalam praktiknya, posfeminisme menentang asumsi-asumsi hegemonik yang dipegang oleh epistemologi femini

gelombang kedua bahwa penindasan patriarki dan imperialis adalah pengalaman penindasan yang universal. (Brooks,1997:2)

Layak apabila posfeminis dipandang sebagai gerakan yang bersebrangan dengan feminisme atau bahkan banyak yang menyebut posfeminisme sebagai gerakan antifeminis karena posfeminisme telah memiliki nilai baru yang sering kali bermusuhan dan diarahkan terutama kepada para feminis. Posfeminisme telah dipandang sebagai sesuatu yang sinonim dengan antifeminis.

Sosok perempuan posfeminisme digambarkan sebagai sosok seorang perempuan yang mandiri atau “independent” tetapi juga tetap membutuhkan sosok laki-laki dalam hidupnya sebagai pelengkap hidupnya baik secara biologis maupun secara emosional, karena seorang perempuan posfeminis “sadar” bahwa dia merupakan “seorang perempuan” yang juga menjadi objek seks laki-laki, disamping dia sebagai sosok perempuan mandiri yang dengan kepercayaan diri yang tinggi bisa meraih segalanya (karir, kekayaan, kekuasaan, dan kejayaan), bukan perempuan mandiri yang tanpa laki-laki seperti pemikiran feminisme pada umumnya, terutama para feminis radikal. Seperti yang dikutip di dalam buku

posfeminisme &Cultural Studies menanggapi serial Sex In The City. Dimana

digambarkan bahwa seorang Samantha yang merupakan karakter perempuan tangguh dan memiliki semuanya, yang berkarir sebagai seorang penulis di salah satu majalah lifestyle di kota New York dalam salah satu episodenya, mempunyai kebimbangan dan terhukum oleh dirinya sendiri akibat kepercayaan diri yang terlalu berlebihan dengan tidak menikah atau mempunyai seorang kekasih, dia

merasa menderita karena tidak ada seorang laki-laki yang berada di sisinya ketika dia membutuhkan sebuah hubungan secara “biologis” maupun hubungan secara emosional.(Brooks,1997:VII)

2.1.6.2.Perempuan dan Kekuasaan dalam Posfeminisme

Kata perempuan bersal dari kata empu, bermakna dihargai, dipertuan atau dihormati. Sedangkan kata wanita diyakini dari bahasa Sansekerta, dengan dasar kata wan yang berarti nafsu, sehingga kata wanita mempunyai arti yang dinafsui atau objek seks. Sedangkan dalam bahasa Jawa (Jarwa Dosok), kata wanita berarti

wani ditata, artinya berani ditata. Kata wanita konon juga berasal dari kata wani

(berani) dan tapa (menderita), artinya seorang wanita adalah sosok yang berani menderita bahkan untuk orang lain. Jadi, secara simbolik mengubah penggunaan kata wanita menjadi perempuan adalah mengubah objek menjadi subjek. Kedua istilah ini tidak hanya berkaitan dengan asal bahasa atau padanan kata saja, tetapi berkaitan dengan citra, mitos atau stereotip (citra baku). Oleh karena itu, kaum feminis (di Indonesia) kebanyakan memilih menggunakan kata perempuan, bukan wanita (Handayani, 2004:6)

Penggambaran “tangguh” dan “’serba lebih” dari perempuan menunjukkan adanya keinginan untuk berperan dalam banyak hal, terutama di ruang publik. Singkatnya, seorang perempuan tidak ingin menjadi marjinal ataupun inferior lagi, tetapi “mereka” menginginkan sebuah pengakuan dan perlakuan sebagai sebuah dominasi atau superior, bukan lagi sebagai subordinasi. Pemikiran feminis yang masih menganggap patriarki sebagai penyebab utama dari ketidakadilan gender

dianggap belum cukup untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Pemikiran feminis masih menganggap perempuan masih diposisikan sebagai kaum yang dirugikan dan sebagai korban dari patriarki. Perjuangan menjadi “a super woman” dari feminisme, mendapat pandangan baru sebagai jalan lain dari perjuangan perempuan. Untuk itulah pemikiran posfeminisme muncul sebagai jalan lain dalam gerakan perempuan. Posfeminisme menganggap bahwa pemikiran feminis terlalu berlebih dalam memperjuangkan perempuan dengan hak-haknya. Seperti pendapat Ann Brooks, Alice dalam bukunya mengatakan bahwa mungkin pesan paling persuasif bagi posfeminisme bahwa feminisme telah mendorong perempuan untuk menginginkan terlalu banyak. Pofeminisme ditawarkan sebagai pelarian dari beban “perempuan super” dalam rangka memenuhi citra sukses kaum feminis (Brooks,2007:5). Dengan kata lain, posfeminisme memberi wacana baru dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.

Seorang perempuan tidak perlu menjadi “laki-laki” seperti pada pemikiran feminisme radikal dalam artian bahwa perempuan tidak perlu “bermaskulinitas” untuk persamaan hak, dengan “keperempuanan” yang dia miliki, dia bisa merasakan hak yang sama dengan apa yang didapatkan laki-laki. Wacana posfeminis tidak begitu menghiraukan system patriarki seperti yang dianggap oleh pemikiran para feminis. Dengan menggunakan sebuah feminitas yang melekat dalam dirinya, seorang perempuan dapat sama berhak meraih apa yang dimiliki oleh para “laki-laki”, yaitu kekuasaan.

Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku, atau dengan kata lain kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi. Audifax menjelaskan dalam sebuah bukunya, bahwa menurut Foudcalt, kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui kekerasan atau hasil persetujuan, melainkan melalui struktur tindakan yang menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau bisa juga melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan bukan institusi, dan bukan struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki, tetapi nama yang diberikan pada situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat. Kekuasaan ada dimana-mana, tetapi bukan berarti mencakup semua, melainkan kekuasaan datang dari mana-mana.(Audifax, 2006:227)

Dalam stereotip klasik, perempuan dan dimensi feminisme tidak mencantumkan gagasan kekuasaan. Umumnya stereotip perempuan meliputi kesimpatikan, kepekaan terhadap kebutuhan sesama, memahami, merawat, hangat, lembut, ramah, setia, dan tidak berbicara kasar. Sedangkan gagasan kekuasaan menurut konsep Barat meliputi ketegaran dan keperkasaan. Akibatnya, menjadi wajar jika dalam budaya Barat secara tradisional perempuan tidak memikirkan kekuasaan dalam diri mereka sebagaimana laki-laki mendefinisikan kata tersebut. Kualitas feminisme justru sangat berlawanan dengan definisi tradisional kekuasaan. (Handayani, 2004:168)

Kekuasaan bukan hanya dimiliki oleh laki-laki, karena sebuah kekuasaan bersifat jamak yang bisa dimiliki oleh siapapun dan bukan milik yang “itu-itu” saja. Menurut Ann Brooks dalam bukunya, Foudcalt secara implisit menggugat gagasan bahwa laki-laki memiliki kuasa atas perempuan. Sebagaiman ditunjukkan oleh Ransom, teori kuasa ini menyokong pluralisme Foucalt, kuasa dipahami bersifat plural, tidak bekerja pada “lintasan tunggal” atau dengan referensi pada pertanyaan tertentu. Foucault memahami kuasa sebagai “bersifat kapiler” menyebar melalui wacana, tubuh, dan hubungan di dalam metaphor suatu jaringan. Foucault mengakui pelaksanaan kuasa laki-laki atas perempuan, tetapi menolak bahwa laki-laki memegang kuasa. (Brooks,1997:85)

Dokumen terkait