• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Pengelolaan perikanan seperti yang diuraikan oleh FAO (1997) diartikan sebagai proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi dari aturan-aturan main dibidang ikan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber, dan pencapaian tujuan perikanan lainnya (Widodo & Suadi 2006). Dalam Undang–undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, dijelaskan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Menurut Gulland (1982), tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi:

1. Tujuan yang bersifat ekologis, yaitu dicapainya keseimbangan ekosistem perairan dan biota di dalamnya.

2. Tujuan yang bersifat ekonomi, yaitu tercapainya keuntungan maksimum dari pemanfaatan sumberdaya ikan atau maksimalisasi profit (net income) dari perikanan.

3. Tujuan yang bersifat sosial, yaitu tercapainya keuntungan sosial yang maksimal, misalnya maksimalisasi penyediaan pekerjaan, menghilangkan adanya konflik kepentingan diantara nelayan dan anggota masyarakat lainnya. Dwiponggo (1983) in Pranggono (2003) mengatakan tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan dapat dicapai dengan beberapa cara antara lain:

1. Pemeliharaan proses sumberdaya perikanan, dengan memelihara ekosistem penunjang bagi kehidupan sumberdaya ikan.

2. Menjamin pemanfaatan berbagai jenis ekosistem secara berlanjut.

3. Menjaga keanekaragaman hayati (plasma nuftah) yang mempengaruhi ciri-ciri, sifat dan bentuk kehidupan.

7

4. Mengembangkan perikanan dan teknologi yang mampu menumbuhkan industri yang mengamankan sumberdaya secara bertanggung jawab.

Badrudin (1986) in Lembaga Penelitian UNDIP (2000) menyatakan bahwa prinsip pengelolaan sediaan ikan dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Pengendalian jumlah upaya penangkapan: tujuannya adalah mengatur jumlah alat tangkap sampai pada jumlah tertentu.

2. Pengendalian alat tangkap: tujuannya adalah agar usaha penangkapan ikan hanya ditujukan untuk menangkap ikan yang telah mencapai umur dan ukuran tertentu.

Pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini menuntut perhatian penuh dikarenakan oleh semakin meningkatnya tekanan eksploitasi terhadap berbagai stok ikan dan meningkatnya kesadaran dan kepedulian umum untuk memanfaatkan lingkungannya secara bijaksana yaitu dengan melakukan pemanenan secara rasional dan berbagai upaya pembangunan secara berkelanjutan. Umumnya kegiatan pengelolaan perikanan mulai bekerja ketika isu-isu overfishing (penangkapan berlebih), sedikit sekali ditemui upaya pengelolaan diberlakukan sejak awal pengembangan perikanan di suatu wilayah tertentu sehingga konsep overfishing sering menjadi acuan dalam kegiatan pengelolaan melalui pengaturan perikanan. Beberapa ciri-ciri yang dapat menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi seperti ini antara lain:

a. Waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya b. Lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya c. Ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya

d. Produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya/ trip, CPUE menurun) e. Ukuran ikan sasaran yang semakin kecil

f. Biaya penangkapan (operasional) yang semakin meningkat

Pengetahuan yang tepat tentang sumberdaya ikan dan kemampuan yang memadai dari sumberdaya manusia sangat menentukan keberhasilan pengelolaan perikanan. Keterbatasan pengetahuan tentang sumberdaya ikan, apalagi di daerah tropik dengan karakter multispecies dan multigear menuntut sikap yang lebih hati-hati dalam mengambil kebijakan pengelolaan dan pengembangan perikanan laut (Widodo & Suadi 2006).

8

Sutono (2003) menyebutkan beberapa pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu:

1. Pengaturan Musim Penangkapan

Pendekatan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pengaturan musim penangkapan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada sumberdaya ikan untuk berkembang biak. Secara biologi ikan mempunyai siklus untuk memijah, bertelur, telur menjadi larva, ikan muda dan baru kemudian menjadi ikan dewasa. Bila salah satu dari siklus tersebut terpotong, misalnya karena penangkapan, maka sumberdaya ikan tidak dapat melangsungkan daur hidupnya. Hal ini dapat menyebabkan ancaman kepunahan sumberdaya ikan tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu pengaturan musim penangkapan ikan.

Pengaturan musim penangkapan ikan dapat efektif pada negara – negara yang sistem hukumnya dilaksanakan dengan ketat. Bila penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan, maka pengaturan musim penangkapan ikan tidak dapat efektif, karena tentu terjadi banyak pelanggaran. Dalam pengaturan musim penangkapan ikan juga perlu diketahui terlebih dahulu sifat biologi dari sumberdaya ikan tersebut. Sifat biologi dimaksud meliputi siklus hidup, lokasi dan waktu terdapatnya, serta bagaimana reproduksinya. Pengaturan musim penangkapan dapat dilaksanakan secara efektif bila telah diketahui antara musim ikan dan bukan musim ikan dari jenis sumberdaya ikan tersebut. Selain itu juga perlu diketahui musim ikan dari jenis ikan yang lain, sehingga dapat menjadi alternatif bagi nelayan dalam menangkap ikan. Misalnya, bila terhadap suatu jenis ikan dilarang untuk ditangkap pada waktu tertentu, maka nelayan dapat menangkap jenis lain pada waktu yang sama.

Kendala yang mungkin timbul pada pelaksanaan kebijakan pengaturan musim penangkapan ikan adalah (1) belum adanya kesadaran nelayan tentang pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya ikan yang ada, (2) lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh aparat, (3) terbatasnya sarana pengawasan.

2.Penutupan Daerah Penangkapan

Kebijakan penutupan daerah penangkapan dilakukan bila sumberdaya ikan yang ada telah mendekati kepunahan. Penutupan daerah penangkapan

9

dimaksudkan untuk memberi kesempatan pada sumberdaya ikan yang mendekati kepunahan untuk berkembang kembali sehingga stoknya dapat bertambah. Guna menentukan suatu daerah penangkapan ditetapkan untuk ditutup, maka perlu dilakukan penelitian tentang stok sumberdaya ikan yang ada pada daerah tersebut, dimana dan kapan terdapatnya, serta karakteristik lokasi yang akan dilakukan penutupan daerah penangkapan. Penutupan daerah penangkapan juga dapat dilakukan terhadap daerah–daerah yang merupakan habitat vital, seperti daerah hutan bakau dan daerah terumbu karang. Seperti diketahui bahwa daerah vital tersebut merupakan daerah berpijah (spawning ground) dan daerah asuhan

(nursery ground). Penutupan daerah penangkapan untuk daerah vital

dimaksudkan agar telur–telur ikan, larva dan ikan yang masih kecil dapat tumbuh menjadi ikan dewasa.

Untuk mendukung kebijakan penutupan daerah penangkapan, diperlukan pengawasan yang ketat oleh pihak aparat. Demikian pula halnya dengan peraturan yang ada, perlu ditetapkan peraturan yang bersifat represif. Upaya ini dilakukan demi menjaga kelestarian sumberdaya ikan jenis tertentu yang mengalami ancaman kepunahan.

3.Selektifitas Alat Tangkap

Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan selektifitas alat tangkap bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur atau struktur ukuran ikan dalam suatu stok pada suatu daerah. Selektifitas alat tangkap dilakukan untuk menyeleksi ikan yang akan ditangkap. Dengan demikian hanya ikan–ikan yang telah mencapai ukuran tertentu saja yang ditangkap. Sementara ikan–ikan yang lebih kecil tidak tertangkap, sehingga dapat memberi kesempatan bagi ikan–ikan kecil untuk tumbuh menjadi besar.

Dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan selektifitas alat tangkap ini, peran nelayan sangat penting. Pengetahuan dan kesadaran nelayan akan pentingnya pelestarian sumberdaya ikan merupakan faktor utama keberhasilan kebijakan pengelolaan ini. Hal ini disebabkan aparat sulit untuk melakukan pengendalian dan pengawasan karena banyaknya jenis alat tangkap (multi gears) yang beroperasi di Indonesia. Kendala pelaksanaan kebijakan

10

dengan selektifitas alat tangkap yaitu diperlukan biaya yang tinggi untuk memodifikasi alat tangkap yang sudah ada sehingga peran nelayan untuk memodifikasi alat tangkapnya sangat diharapkan sesuai dengan keadaan lokasi penangkapannya.

4. Pelarangan Alat Tangkap

Pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap didasarkan pada adanya penggunaan bahan atau alat berbahaya dalam menangkap ikan baik bagi ekosistem perairan maupun berbahaya bagi yang menggunakan, misalnya penggunaan racun ikan dan bahan peledak (bom ikan). Tujuan dari pelarangan penggunaan alat atau bahan berbahaya ini adalah melindungi sumberdaya ikan dan ekosistem yang ada yang bermanfaat bagi kehidupan biota air.

Seringkali pelanggaran terhadap peraturan pelarangan penggunaan alat atau bahan berbahaya ini tidak ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal ini menyebabkan pelaksanaan peraturan pelanggaran penggunaan alat atau bahan berbahaya ini tidak efektif. Oleh karena itu efektifitas pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap ini sangat tergantung pada penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat. Dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan dengan pendekatan pelarangan alat tangkap ini, kepedulian nelayan dan masyarakat pesisir menjadi faktor yang sangat penting. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dalam pelaksanaannya sangat membantu aparat untuk menindak secara tegas pelanggaran yang terjadi.

5. Kuota Penangkapan

Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan kuota penangkapan adalah upaya pembatasan jumlah ikan yang boleh ditangkap (Total Allowable Catch, TAC). Kuota penangkapan diberikan oleh pemerintah kepada industri atau perusahaan penangkapan ikan yang melakukan penangkapan pada suatu perairan di wilayah negara Indonesia. Untuk menjaga kelestarian sumberdaya suatu jenis ikan, maka nilai TAC harus di bawah Maximum Sustainable Yield

11

(MSY)–nya. Sehingga sebelum nilai TAC ditentukan, perlu diketahui terlebih dahulu nilai MSY – nya.

Implementasi dari kuota penangkapan dengan TAC ialah (1) penentuan TAC secara keseluruhan pada skala nasional atas suatu jenis ikan di perairan tertentu, kemudian diumumkan kepada semua nelayan sampai secara total mencapai TAC yang ditentukan, bila telah tercapai TAC, maka aktifitas penangkapan terhadap jenis ikan tersebut dihentikan dengan kesepakatan bersama; (2) membagi TAC kepada semua nelayan dengan keberpihakan kepada nelayan atas dasar keadilan, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial akibat perbedaan pendapatan nelayan; (3) dengan membatasi atau mengurangi efisiensi penangkapan ikan sehingga TAC tidak terlampaui.

6. Pengendalian Upaya Penangkapan

Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan pendekatan pengendalian upaya penangkapan didasarkan pada hasil tangkapan maksimum agar dapat menjamin kelestarian sumberdaya ikan tersebut. Pengendalian upaya penangkapan dapat dilakukan dengan membatasi jumlah alat tangkap, jumlah armada, maupun jumlah trip penangkapan. Untuk menentukan batas upaya penangkapan diperlukan data time series yang akurat tentang jumlah hasil tangkapan suatu jenis ikan dan jumlah upaya penangkapannya di suatu daerah penangkapan. Mekanisme pengendalian upaya penangkapan yang paling efektif adalah dengan membatasi izin usaha penangkapan ikan pada suatu daerah penangkapan.

Pengelolaan perikanan harus dilakukan dengan baik, dengan salah satu upaya dalam suatu pengelolaan adalah monitoring sehingga kondisi sumberdaya dapat terus terpantau dengan baik. Tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan adalah tercapainya kesejahteraan para nelayan, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, penghasil devisa, dan mengetahui porsi optimum pemanfaatan oleh armada penangkapan ikan serta menentukan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berdasarkan tangkapan maksimum lestari. Tujuan pengelolaan perikanan adalah pemanfaatan dalam jangka panjang atas sumberdaya perikanan secara berkesinambungan. Untuk mewujudkan tujuan ini diperlukan pendekatan proaktif dan berusaha secara aktif menemukan cara untuk mengoptimalkan

12

keuntungan ekonomi dan sosial dari sumberdaya yang tersedia (Widodo & Suadi 2006).

Penentuan tujuan menjadi sangat penting sebab dalam praktiknya, salah satu sebab utama kegagalan pengelolaan perikanan adalah ketiadaan tujuan yang ditetapkan secara jelas dan tepat. Penentuan tujuan pengelolaan perikanan merupakan langkah pertama yang sangat esensial.

2.2 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan

Pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan adalah pengelolaan yang mengarah kepada bagaimana SDI yang ada saat ini mampu memenuhi kebutuhan sekarang dan kebutuhan generasi yang akan datang, di mana aspek keberlanjutan harus meliputi aspek ekologi, sosial-ekonomi, masyarakat dan institusi. Bengen (2005) in Mallawa (2006) mengatakan bahwa suatu pengelolaan dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan tersebut dapat mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu berkelanjutan secara ekologi, sosial, dan ekonomi. Berkelanjutan secara ekologi berarti bahwa kegiatan pengelolaan SDI harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya ikan termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity) sehingga pemanfaatan SDI dapat berkesinambungan. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa kegiatan pengelolaan ikan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.

Sedangkan keberlanjutan secara ekonomi berarti bahwa kegiatan pengelolaan SDI harus dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, dan penggunaan SDI serta investasi secara efisien. Namun, wacana keberlanjutan perikanan telah mengalami evolusi dari waktu ke waktu dari dimensi tunggal (ekologis-biologis) hingga multidimensi (ekologis-ekonomis-sosial). Wacana keberlanjutan perikanan ini diawali dengan munculnya paradigma konservasi yang dipelopori oleh para ilmuwan biologi sejak lama. Dalam paradigma ini, keberlanjutan perikanan diartikan sebagai konservasi jangka panjang (long-term conservation) sehingga sebuah kegiatan perikanan akan disebut “berkelanjutan”

13

apabila mampu melindungi sumberdaya perikanan dari kepunahan. Dari paradigma ini muncul misalnya ikon MSY (maximum sustainable yield) (Adrianto 2002).

Charles (2001) melengkapi paradigma keberlanjutan perikanan dengan wacana baru tentang perlunya paradigma komunitas. Dalam paradigma ini, keberlanjutan

perikanan dicapai melalui pendekatan “kemasyarakatan” yang berarti bahwa keberlanjutan perikanan diupayakan dengan memberi perhatian utama pada aspek keberlanjutan masyarakat perikanan sebagai sebuah sistem komunitas. Konsep-konsep traditional fisheries yang terbukti mampu melakukan self-control terhadap hasil tangkap, penggunaan teknologi yang sesuai, tingkat kolektivitas yang tinggi antara anggota komunitas perikanan, dan adanya traditional knowledge yang mencerminkan upaya ketahanan perikanan dalam jangka panjang merupakan beberapa variabel penting dalam paradigma ini. Pengurangan kapasitas perikanan telah menjadi trend di tingkat global. Pengurangan kapasitas yang dikaitkan dengan prinsip-prinsip perikanan berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan untuk kepentingan kelestarian ikan itu sendiri atau keuntungan ekonomi semata, tetapi secara seimbang juga harus memperhatikan persoalan keberlanjutan komunitas perikanan yang ditunjang oleh keberlanjutan institusi yaitu mencakup kualitas keberlanjutan dari perangkat regulasi, kebijakan dan organisasi untuk mendukung tercapainya keberlanjutan perikanan itu sendiri.

Manajemen kapasitas perikanan nasional sebaiknya dilakukan secara seimbang dengan mempertimbangkan semua faktor baik ekologi, ekonomi, dan komunitas nelayan. Ketika potensi ekonomi masih terbuka maka manajemen kapasitas perikanan dilakukan secara arif sehingga tidak terjebak dalam masalah excess capacity (kelebihan kapasitas) yang walaupun bersifat domestik tetapi biasa memicu kritik global jika telah menyangkut masalah lingkungan dan cadangan sumber daya perikanan. Sebaliknya, ketika pengurangan kapasitas perikanan perlu dilakukan sebagai wujud dari fungsi kontrol terhadap keberlanjutan SDP, maka kepentingan komunitas nelayan harus pula dipertimbangkan keberlanjutannya. Pengurangan jumlah nelayan dapat dilakukan dengan transformasi vertikal yaitu memindahkan fungsi primer nelayan menjadi fungsi sekunder atau tersier termasuk dalam hal ini potensi perikanan wisata (Adrianto 2002).

14

2.3 Sistem Perikanan Laut

Suatu perikanan dapat diartikan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen yang saling berinteraksi yaitu biota akuatik, habitat akuatik, dan manusia sebagai pengguna sumberdaya alam yang bersifat mampu pulih ini. Dalam mengkaji sistem sumberdaya ikan dan menyusun berbagai upaya pengelolaannya, perlu memperhatikan keragaman dan adaptasi dari populasi dan bahkan komunitas biologi. Selain itu, dinamika sumberdaya juga sangat ditentukan oleh faktor lingkungan dan faktor eksternal lainnya seperti perubahan iklim. Pusat-pusat perikanan saat ini seperti halnya Indonesia, masih terbatas pada wilayah pantai sehingga eksploitasi sumberdaya di wilayah ini cenderung mengarah pada pemanfaatan secara berlebihan (over exploitation) dan meninggalkan berbagai bentuk konflik yang terjadi (Widodo & Suadi 2006).

Dari segi aspek manusia, sistem perikanan lebih rumit lagi karena dinamika dari subsistem ini menyangkut aspek psikologi, antropologi, sosial, ekonomi, kelembagaan, dan aspek politik. Dengan demikian dalam pengelolaan perikanan, subsistem manusia cenderung menjadi penentu berhasil atau tidaknya berbagai rencana pengelolaan perikanan. Komponen manusia meliputi nelayan, pasca panen dan pemasaran, serta berbagai faktor sosial ekonomi perikanan (Widodo & Suadi 2006).

2.4 Pola Musim Penangkapan

Menurut Nontji (1987) in Setiawan (2006), pola musim yang berlangsung di suatu perairan dipengaruhi oleh pola arus dan perubahan pola arah angin. Berdasarkan arah utama angin yang bertiup secara periodik di atas wilayah Indonesia, maka di Indonesia dikenal dengan istilah musim barat dan musim timur. Dajan (1984) in Bahdad (2006) menjelaskan bahwa untuk dapat melakukan operasi penangkapan dengan efisiensi diperlukan informasi yang tepat mengenai saat musim penangkapan yang baik. Informasi mengenai pola musim penangkapan digunakan untuk menentukan waktu yang tepat dalam pelaksanaan operasi penangkapan.

Berhubungan dengan musim penangkapan ikan di Indonesia dikenal dengan adanya empat musim yang sangat mempengaruhi kegiatan penangkapan yaitu musim barat, musim timur, musim peralihan awal tahun, dan musim peralihan akhir

15

tahun. Kedua musim peralihan tersebut sering disebut sebagai musim pancaroba. Bulan Desember hingga Februari dikenal sebagai angin musim barat di Indonesia. Selama bulan Maret, angin barat masih bertiup tetapi kecepatannya berkurang. Sedangkan pada bulan April dan Mei dikenal sebagai musim peralihan atau pancaroba awal tahun. Selama bulan Juni hingga Agustus di Indonesia berhembus angin musim timur. Kemudian memasuki bulan Oktober dan November dikenal sebagai periode musim peralihan atau pancaroba akhir tahun (Nontji 1987 in Setiawan 2006).

Perhitungan operasi penangkapan menggunakan data hasil tangkapan dapat dianalisa dengan menggunakan pendekatan metode rata-rata bergerak (moving

average). Metode ini bertujuan untuk menghilangkan variasi musiman, residu, dan

adakalanya sebagian dari variasi siklus agar diperoleh trend yang bercampur dengan siklus. Keuntungan menggunakan metode rata-rata bergerak yaitu dapat mengisolasi fluktuasi musiman sehingga dapat menentukan saat yang tepat untuk melakukan operasi penangkapan dan dapat menghilangkan kecenderungan yang biasa dijumpai pada metode deret waktu. Kerugian dari metode ini yaitu tidak dapat menghitung pola musim penangkapan sampai tahun terakhir dari data yang ada (Bahdad 2006).

2.5 Sumberdaya Ikan Kuniran

2.5.1 Klasifikasi dan karakteristik umum morfologi

Ikan kuniran merupakan jenis ikan yang memiliki bentuk badan memanjang, pipih bagian depan punggung, serta ukuran tubuhnya yang mencapai 20 cm (Triana 2011). Klasifikasi ikan kuniran (Gambar 2) menurut www.fishbase.org adalah sebagai berikut:

Kelas : Actinopterygii

Ordo : Perciformes

Famili : Mullidae

Genus : Upeneus

Spesies : Upeneus spp.

Nama Lokal : Ikan Biji Nangka (Jakarta), Kuniran atau Kuningan (Jawa), Ikan Jenggot (Sulawesi Tengah)

16

Gambar 2 Morfometrik contoh ikan kuniran yang diamati.

Ikan kuniran (famili Mullidae) umumnya ditemukan di laut tropis dan subtropis dan biasanya di daerah sekitar batu karang. Ada sekitar 50-60 spesies ikan kuniran yang diketahui di dunia. Ikan ini umumnya berwarna merah, kuning, dan silver. Ikan ini memiliki ciri tubuh yang relatif memanjang, dua sirip punggung (dorsal) yang terpisah, dan terdapat sepasang sungut yang memanjang pada dagu yang digunakan untuk mendeteksi makanan. Sungut tersebut juga digunakan oleh ikan kuniran jantan untuk menarik perhatian ikan kuniran betina. Selama sungut tidak digunakan, ikan kuniran akan menyelipkan dengan rapat sungut tersebut di bawah dagunya. Ikan kuniran memiliki ukuran maksimum sebesar 60 cm, tetapi sebagian besar dari jenis ikan kuniran berukuran lebih kecil (Allen 1999).

2.5.2 Habitat dan distribusi

Ikan kuniran (Mullidae) termasuk ke dalam kelompok ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis dan tersebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Ikan ini hidup di perairan dengan dasar berlumpur, serta tersebar luas di Indo-Pasifik Barat (Peristiwady 2006). Ikan demersal biasanya ditangkap dengan alat tangkap seperti trawl, rawai dasar, jaring insang dasar, jaring klitik/trammel net,

Panjang Total = 12,2 cm

Panjang Baku = 10,4 cm Panjang Kepala = 2,2 cm

17

dan bubu. Namun, ikan kuniran di PPP Labuan biasanya ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang. Jika upaya penangkapan ditingkatkan maka mortalitas ikan ini pun akan meningkat. Apabila hal ini berlanjut terus menerus maka akan terjadi hal yang tidak diinginkan seperti terancamnya kelestarian sumberdaya ikan demersal, salah satunya adalah ikan kuniran (Ernawati & Sumiono 2006).

Umumnya ikan-ikan demersal jarang sekali mengadakan migrasi ke daerah yang jauh. Hal ini disebabkan oleh ikan demersal mencari makan di dasar perairan sehingga kebanyakan dari mereka hidup pada perairan yang dangkal. Ikan kuniran jarang sekali mengadakan ruaya melewati laut dalam dan cenderung untuk menyusuri tepi pantai (Widodo 1980 in Siregar 1990). Peta distribusi ikan kuniran dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Sebaran ikan kuniran. Sumber : www.fishbase.org (2012).

2.5.3 Alat tangkap

Alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap sumber daya ikan kuniran adalah cantrang. Cantrang dapat diklasifikasikan menurut cara pengoperasiannya, bentuk konstruksi serta fungsinya, mempunyai banyak kemiripan dengan pukat harimau. Menurut Subani dan Barus (1989), cantrang, dogol, payang dan bundes diklasifikasikan ke dalam alat tangkap Danish Seine berbentuk panjang tetapi penggunaannya untuk menangkap ikan demersal terutama udang. Sifat alat tangkap cantrang ini adalah dengan menyapu bagian dasar perairan sehingga dapat menyebabkan ikan yang tertangkap adalah ikan yang terdiri dari berbagai ukuran

18

sehingga dapat mempengaruhi kelestarian stok yang terdapat di alam. Apabila hasil tangkapan didominasi oleh ikan yang berukuran terlalu kecil maka akan mengakibatkan growth overfishing, sedangkan apabila ikan yang tertangkap sebagian besar merupakan ikan yang matang gonad maka akan terjadi recruitment overfishing (Saputra et al. 2009). Gambar alat tangkap cantrang yang digunakan untuk menangkap ikan kuniran dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Alat tangkap cantrang. Sumber : http://kapi.kkp.go.id.

Pengoperasiannya dilakukan dengan melingkarkan tali selambar dan jaring pada dasar yang dituju. Cantrang terdiri dari (1) kantong (codend); bagian tempat berkumpulnya hasil tangkapan yang pada ujungnya diikat dengan tali agar hasil tangkapan tidak lolos. (2) Badan; bagian terbesar dari jaring yang terletak diantara kantong dan kaki jaring, terdiri dari bagian kecil–kecil dengan ukuran mata jaring yang berbeda–beda. (3) Kaki (sayap); terbentang dari badan hingga selambar yang berguna sebagai penghalang ikan masuk ke dalam kantong. (4) Mulut; pada bagian atas jaring relatif sama panjang dengan bagian bawah. Alat tangkap cantrang dioperasikan dengan kapal berukuran 8,5 – 11 m x 1,5 – 2,5 m x 1 – 1,5 m dengan kekuatan mesin 18 – 27 PK (Budiman 2006).

Dokumen terkait