• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Kulit

 6 2 ( 3 ) Js =

m s

C

DK

= Kp Cs ( 4 ) Di mana:

D = koefisien difusi (cm2/jam)  = ketebalan membran (cm)  = lag time (jam)

Kp = koefisien permeabilitas melalui membran (jam -1. cm -2) Cs = konsentrasi zat aktif dalam salep (mcg)

Js = fluks (mcg/jam.cm2)

Km = koefisien partisi kulit/pembawa (cm/jam2) (Martin, et al., 1993).

2.2 Kulit

Kulit menutupi seluruh tubuh dan melindunginya dari rangsangan eksternal dan kerusakan serta dari kehilangan kelembaban. Luas permukaan kulit orang dewasa sekitar 1,6 m2. Ketebalan kulit bervariasi terhadap usia, jenis kelamin dan lingkungan hidup. Umumnya, kulit pria lebih tebal dibandingkan kulit wanita. Namun, wanita mempunyai lapisan lemak yang tebal pada subkutan.

Secara umum, kulit pada kelopak mata adalah yang paling tipis dan kulit pada telapak kaki adalah yang paling tebal (Mitsui, 1997).

2.2.1 Anatomi dan fisiologi kulit

Secara histopatologis kulit tersusun atas tiga lapisan utama yaitu: a. Lapisan epidermis

b. Lapisan dermis

c. Lapisan subkutan(Wasitaatmadja, 1997).

Gambar 2.1 menunjukkan struktur anatomi kulit (Saurabh, et al., 2014).

Gambar 2.1 Struktur kulit 2.2.1.1 Lapisan epidermis

Epidermis mempunyai ketebalan yang bervariasi, tergantung pada ukuran sel dan jumlah lapisan sel, mulai dari 0,8 mm pada telapak tangan dan 0,06 mm pada kelopak mata (Tortora dan Grabowski, 2006).

Lapisan epidermis tersusun dari lima lapisan yaitu: a. Lapisan tanduk (Stratum korneum)

Stratum korneum merupakan lapisan kulit yang paling luar dan terdiri atas beberapa lapis sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat tanduk) (Wasitaatmadja, 1997).

b. Lapisan lusidum (stratum lusidum)

Stratum lusidum merupakan lapis sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein eleidin. Lapisan ini terdapat jelas di telapak tangan dan kaki. Stratum lusidum terdapat langsung di bawah stratum korneum (Wasitaatmadja, 1997).

c. Lapisan keratohialin (stratum granulosum)

Stratum granulosum merupakan dua atau tiga lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti sel di antaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini. Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak tangan dan kaki (Wasitaatmadja, 1997). d. Lapisan spinosum (stratum spinosum)

Stratum spinosum terdiri atas beberapa lapis sel berbentuk poligonal dengan ukuran bermacam-macam akibat proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen dan inti sel terletak di tengah. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan kulit makin gepeng bentuknya. Di antara sel-sel stratum spinosum terdapat jembatan antarsel (intercellular bridges) yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril atau keratin. Perlekatan antarjembatan membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus Bizzozero. Di antara sel-sel stratum

spinosum terdapat sel-sel Langerhans yang mempunyai peran penting dalam sistem imun tubuh (Wasitaatmadja, 1997).

e. Lapisan basal (stratum basale)

Lapisan basal merupakan dasar epidermis, berproduksi dengan cara mitosis. Lapisan ini terdiri atas sel-sel kubus (kolumnar) yang tersusun vertikal, dan pada taut dermoepidermal berbaris seperti pagar (palisade) (Wasitaatmadja, 1997). 2.2.1.2 Lapisan dermis

Dermis mempunyai lapisan yang jauh lebih tebal daripada epidermis, terbentuk oleh jaringan elastik dan fibrosa padat dengan elemen selular, kelenjar, dan rambut sebagai adneksa kulit. Lapisan ini terdiri atas:

a. Pa rs pa pila ris, yaitu bagian yang menonjol ke dalam epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah.

b. Pa rs retikula ris, yaitu bagian bawah dermis yang berhubungan dengan subkutis, terdiri atas serabut penunjang kolagen, elastin dan retikulin.

Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat dan sel-sel fibroblas. Kolagen muda bersifat lentur namun dengan bertambahnya umur menjadi stabil dan keras. Retikulin mirip dengan kolagen muda, sedangkan elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf, mudah mengembang, dan elastis (Wasitaatmadja, 1997).

2.2.1.3 Lapisan subkutan

Lapisan subkutan merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir karena sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh

trabekula yang fibrosa. Lapisan sel lemak disebut panikulus adiposus, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan saluran getah bening. Tebal jaringan lemak tidak sama bergantung pada lokasi, di abdomen 3 cm, sedangkan di daerah kelopak mata dan penis sangat tipis. Lapis lemak ini juga berfungsi sebagai bantalan (Wasitaatmadja, 1997).

2.2.2 Sistem penyampaian obat melalui kulit

Penyampaian obat secara transdermal menjadi alternatif yang lebih diinginkan untuk meningkatkan efisiensi pengobatan serta lebih aman daripada penyampaian obat secara oral. Pasien sering lupa meminum obat atau menjadi bosan harus mengkonsumsi beberapa jenis obat dengan frekuensi yang beberapa kali sehari. Selain itu, penyampaian obat oral sering menyebabkan gangguan lambung dan inaktivasi sebagian obat karena first pass metabolism di hati. Selain itu, absorpsi keadaan tunak suatu obat melalui kulit selama beberapa jam ataupun hari menghasilkan level dalam darah yang lebih disukai daripada yang dihasilkan dari obat oral (Kumar, et al., 2010).

2.2.3 Keuntungan sistem penyampaian obat melalui kulit

Sistem penyampaian obat melalui kulit memiliki beberapa keuntungan, antara lain:

a. Durasi kerja yang panjang sehingga frekuensi pemberian obat berkurang b. Kenyamanan pemberian obat

c. Meningkatkan bioavailabilitas

e. Mengurangi efek samping obat dan meningkatkan terapi karena mempertahankan level plasma sampai akhir interval terapi

f. Kemudahan penghentian pemakaian obat

g. Meningkatkan kepatuhan pasien (Kumar, et al., 2010). 2.2.4 Kerugian sistem penyampaian obat melalui kulit

Sistem penyampaian obat melalui kulit memiliki beberapa kerugian, antara lain:

a. Kemungkinan terjadinya iritasi lokal

b. Kemungkinan terjadinya eritema, gatal, dan edema lokal yang disebabkan obat ataupun bahan tambahan dalam formulasi sediaan (Kumar, et al., 2010).

2.2.5 Rute penyampaian obat melalui kulit

Ada dua jalur utama obat berpenetrasi menembus stratum korneum, yaitu: jalur transepidermal dan jalur pori. Gambar 2.2 menunjukkan jalur penetrasi obat (Trommer dan Neubert, 2006).

Jalur transepidermal dibagi lagi menjadi jalur transselular dan jalur interselular. Pada jalur transelular, obat melewati kulit dengan menembus secara langsung lapisan lipid stratum korneum dan sitoplasma dari keratinosit yang mati. Jalur ini merupakan jalur terpendek, tetapi obat mengalami resistansi yang signifikan karena harus menembus struktur lipofilik dan hidrofilik. Jalur yang lebih umum bagi obat untuk berpenetrasi melalui kulit adalah jalur interselular (Hadgraft, 2004).

Pada jalur ini, obat berpenetrasi melalui ruang antar korneosit. Jalur melalui pori dapat dibagi menjadi jalur transfolikular dan transglandular. Karena kelenjar dan folikel rambut hanya menempati sekitar 0,1% dari total luas kulit manusia, oleh karena itu kontribusi rute ini terhadap penetrasi dianggap kecil(Moser, et al., 2001). Tetapi, jalur transfolikular dapat menjadi jalur yang penting bagi penetrasi obat yang diberikan secara topikal (Lademann, et al., 2003).

2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelepasan Obat Secara Transdermal

Dokumen terkait