• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Kultur Jaringan

Kultur jaringan merupakan salah satu metode in vitro yang dilakukan dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti protoplas, sekelompok sel, jaringan, dan organ serta menumbuhkan bagian tersebut dalam media yang mengandung unsur hara makro dan mikro serta suplemen lainnya yang diperlukan tanaman dalam kondisi aseptik dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap (Gunawan 1992).

Kultur jaringan ini merupakan salah satu contoh perbanyakan secara vegetatif. Beberapa keuntungan yang diperoleh dari penerapan teknik ini antara lain (Wilkins dan Dodds 1983) :

1. Memiliki tingkat multiplikasi yang tinggi

2. Sistem yang aseptik dan penyimpanan yang mudah dan bebas patogen 3. Ruang yang dibutuhkan tidak terlalu luas

4. Erosi genetik dapat dikurangi

5. Tanaman haploid dapat dihasilkan dari program inbreeding 6. Mendukung langkah konservasi

Langkah-langkah dalam kegiataan kultur jaringan dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu persiapan eksplan, perbanyakan kultur atau multiplikasi, dan pembentukan plantlet (Wetherell, 1982).

2.2.1 Persiapan eksplan

Tahapan persiapan eksplan bertujuan untuk membuat eksplan bebas dari mikroorganisme dan diharapkan eksplan yang dikulturkan akan menginisiasi pertumbuhan baru. Dalam tahapan ini ditemui masalah-masalah kontaminasi. (Wetherell 1982), sehingga diperlukan pemilihan eksplan dan teknik sterilisasi yang tepat.

2.2.1.1 Eksplan

Eksplan merupakan bagian dari suatu organisme yang digunakan dalam kultur jaringan. Prinsip dasar dari kultur jaringan adalah adanya teori totipotensi yang menyatakan bahwa di dalam masing-masing sel mengandung informasi genetik dan atau sarana fisiologis tertentu yang mampu membentuk tanaman lengkap bila ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai (Wetherell 1982).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan tanaman untuk eksplan, yaitu sumber eksplan yang sehat, memilih jaringan yang muda dan cukup besar (Wetherell 1982). Organ yang biasa digunakan adalah tunas pucuk, tunas aksilar, akar, mata tunas, daun, embrio dan bakal biji. Namun tingkat keberhasilan masing-masing organ tidak sama tergantung dari ukuran, umur, teknik dan waktu pengambilan (Wattimena et al. 1992).

2.2.1.2 Sterilisasi

Sterilisasi bahan tanaman (eksplan) merupakan langkah awal yang cukup penting dan dapat menentukan keberhasilan penanaman secara in vitro. Eksplan yang akan ditanam pada media tumbuh harus bebas dari mikroorganisme kontaminan. Tahap sterilisasi sering menjadi kendala utama keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Terutaman di Inonesia yg memiliki iklim tropis memungkinkan kontaminan seperti cendawan dan bakteri terus tumbuh sepanjang tahun. Untuk tanaman tertentu, sterilisasi sulit dilakukan karena kontaminan berada pada bagian internal dari jaringan tanaman (Sukamdjaja dan Mariska 2003).

Menurut Santosa dan Nursandi (2003) sterilisasi permukaan bahan tanam dapat dilakukan dengan bermacam-macam bahan sterilisasi. Bentuk dan konsentrasi sterilan yang digunakan dan waktu yang dibutuhkan untuk sterilisasi harus ditentukan secara tepat. Beberapa jenis bahan untuk kegiatan sterilisasi

permukaan yang umum digunakan beserta kisaran konsentrasi dan lama penggunaan dapat dilihat pada tabel 1 (Gunawan 1992).

Tabel 1 Beberapa bahan sterilisasi yang umum digunakan dalam kegiatan kultur jaringan

No. Nama Sterililan Konsentrasi Waktu (menit)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Kalsium hipoklorit Natrium hipoklorit Hidrogen peroksida Gas klorin Perak nitrat Merkuri klorid Betadine Fungisida Antibiotik Alkohol 1 - 10 % 1 - 2 % 3 - 10 % - 1 % 0,1 - 0,2 % 25 - 10 % 2 gram/l 50 mg/l 70 % 5 - 30 menit 7 - 15 menit 5 - 15 menit 1 - 4 jam 5 - 30 menit 10 - 20 menit 5 - 10 menit 20 – 30 menit ½ - 1 jam ½ -1 menit

Tingkat kontaminasi dari jamur dan bakteri dapat berkurang yaitu dengan cara menggunakan fungisida dan bakterisida pada saat proses sterilisasi. Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan dapat digunakan memberantas dan mencegah fungi/cendawan/jamur. Fungisida yang digunakan untuk sterilisasi merupakan fungisida sistematik. Fungisida sistemik adalah senyawa kimia yang bila diaplikasikan ke tanaman akan bertranslokasi ke bagian lain. Bakterisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun serta dapat digunakan untuk memberantas dan mencegah bakteri. Bakterisida sistemik yang biasa digunakan antara lain streptomycine (Wudianto 2002).

2.2.2 Perbanyakan Kultur atau Multiplikasi

Multiplikasi merupakan tahapan memperbanyak tunas dengan cara dirangsang, umumnya mendorong pembentukan tunas lateral atau merangsang pembentukan tunas adventif. Media yang digunakan dalam multiplikasi adalah media dengan kandungan sitokinin yang tinggi. Pada tahapan ini diupayakan

eksplan menghasilkan tunas sebanyak mungkin (bermultiplikasi). Tunas yang terbentuk dipisahkan melalui kegiatan subkultur berulang (Kasutjianingati 2004). 2.2.2.1 Media Kultur Jaringan

Media tumbuh yang digunakan dalam kultur jaringan dapat berupa cair, padat, dan semi padat (Triharyanto 2005). Media yang digunakan, baik bentuk maupun komposisinya dapat mempengaruhi pertumbuhan dari eksplan yang ditanam, sehingga nutrisi yang diberikan harus menyerupai habitat aslinya. Dalam media tersebut harus terdiri dari unsur hara baik makro maupun mikro, serta karbohidrat berupa gula untuk menggantikan karbon dari atmosfer yang dihasilkan dari hasil fotosintesis dan agar sebagai pemadat media dan zat pengatur tumbuh (Gunawan 1987).

Unsur makro yang biasa digunakan terdiri dari Nitrogen (N), Kalium (K), Belerang (S), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), dan Fosfor (P), sedangkan unsur mikro yang biasa digunakan terdiri dari Molibdenum (Mo), Besi (Fe), Boron (B), Mangan (Mn), Seng (Zn), Kobalt (Co), dan Chlor (Cl). Konsentrasi optimum dari masing-masing unsur hara untuk pertumbuhan berbeda-beda tergantung pada jenis tanaman maupun tujuan kultur yang ingin diperoleh (Whetherell 1982). Agar merupakan bahan pemadat yang banyak digunakan. Adapun keuntungan dari penggunaan agar antara lain (Gunawan 1987) :

1. Agar dapat membeku pada temperatur ≤ 45 oC dan mencair pada suhu 100oC, sehingga dalam kisaran kultur agar-agar dalam keadaan beku yang stabil. 2. Tidak diserap oleh tanaman

3. Tidak bereaksi dengan persenyawaan penyusun media

Menurut Gamborg and Shyluk (1981) dalam Triharyanto (2005) Media dasar yang banyak digunakan adalah Murashige & Skoog (MS), karena komposisi garamnya sesuai untuk morfogenesis, kultur meristem, dan regenerasi tanaman. Dalam media MS biasanya ditambahkan satu atau lebih vitamin yang berfungsi untuk proses katalis dalam metabolisme eksplan (George and Sherrington 1984). Vitamin yang biasa digunakan adalah Myo-inositol, Piridoxin-HCl, Asam folat, Sianocobacilamin, Riboflafin, Betin, Kolin klorida, Kalsium pantetonut, Piridoxin fosfat, Thiamin-HCl, dan Nicotinamida (Wattimena et al. 1992).

2.2.2.2 Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, dan dapat merubah proses fisiologi tumbuhan. Tanaman memiliki kemampuan merubah zat pengatur tumbuh itu menjadi lebih aktif atau kurang aktif. Kemampuan metabolisme tanaman itu sangat tergantung pada genetik tanaman (Wattimena 1992).

Wattimena (1988) membedakan enam kelompok zat pengatur tumbuh, yaitu auksin, sitokinin, giberelin, asam abisik (ABA), etilen dan retardan. Zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan yaitu dari golongan auksin dan sitokinin.

Auksin berperan dalam pembelahan dan pembesaran sel yang terdapat di pucuk serta merangsang pembentukan akar. Selain itu auksin sangat dikenal sebagai hormon yang mampu meinduksi terjadinya kalus, menghambat kerja sitokinin klorofil dalam kalus, menghambat morfogenesis kalus membentuk akar atau tunas dan mendorong proses embriogenesis (Santoso dan Nurshandi 2003). Golongan auksin seperti 2,4 D, dan NAA dapat menyebabkan pertumbuhan kalus dari eksplan dan menghambat regenerasi pucuk (Nasir 2002). Bentuk susunan kimia zat pengatur tumbuh dapat dilihat pada lampiran 1.

Sitokinin berperan dalam proses pembelahan sel, pembentangan sel, dan pembesaran sel. Selain itu sitokinin dapat mendorong proses morfogenesis, pertunasan, pembentukan kloroplas, serta menghambat pembentukan akar. Golongan sitokinin diantaranya AdSO4 (adenin sulfat), BAP (6-

benzylaminopurine), kinetin (6-furfurylaminopurine) dan thidiazuron (N-phenyl-

N’-1,2,3-thiadiazol-5-penylurea) (Santoso dan Nursandi 2003).

AdSO4 (Adenin sulfat) merupakan salah satu unsur hara yang terkandung

dalam media Anderson dan dapat berfungsi sebagai sitokinin. Menurut Wetherell (1982) AdSO4 termasuk ke dalam golongan sitokinin lemah. Berdasarkan

penelitian Damayanti dkk (2007) pemberian AdSO4 dengan konsentrasi 143 mg/l

dalam media ½ MS + 2,4-D 10 mg/l + sukrosa 6% + myo inositol 50 mg/l + glutamine 400 mg/l pada media kultur tanaman pepaya dapat menghasilkan persentase pembentukan kalus tertinggi, yaitu 100% kalus dan persentase kalus embriogenik tertinggi yaitu 80%.

BAP (6-benzylaminopurine) merupakan sitokinin sintesis yang memiliki berat molekul sebesar 255,26 g/mol dengan rumus molekul C12H11N5 (Santoso

dan Nursandi 2003) berfungsi dalam mendorong pembelahan sel. Menurut Bhojwani dan Razdan (1983) dalam Rohmah (2007) BAP merupakan sitokinin yang paling banyak digunakan dalam kultur jaringan karena paling efektif untuk merangsang pembentukan tunas, lebih stabil, dan tahan terhadap oksidasi serta paling murah diantara jenis sitokinin lainnya.

Kinetin (6-furfurylaminopurine) merupakan hormon golongan sitokinin yang pertama kali ditemukan (Wetherell 1982) dan jenis sitokinin alami yang dihasilkan pada jaringan yang tumbuh aktif terutama pada akar, embrio dan buah. Kinetin berfungsi untuk pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Dalam pertumbuhan jaringan, sitokinin bersama-sama dengan auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap deferensiasi jaringan (Sriyanti dan Wijayani 1994 dalam Nisa dan Rodinah 2005).

Thidiazuron (N-phenyl-N’-1,2,3-thiadiazol-5-penylurea) merupakan sitokinin aktif yang biasa digunakan untuk tumbuhan berkayu dalam kutur jaringan. Jenis sitokinin ini efektif dalam mikropropagasi untuk jenis tumbuhan kayu yang rekalsitran. Dengan konsentrasi yang rendah dapat menginduksi dengan baik jika dibandingkan dengan sitokinin jenis lainnya. Selain itu thidiazuron dapat digunakan untuk kegiatan elongasi dan dapat menstimulasi pembentukan kalus (Huetteman and Preece 1993).

2.2.3. Pembentukan Plantlet (Tanaman yang Lengkap)

Tahapan ini bertujuan untuk membentuk akar dan pucuk tanaman yang cukup kuat, sehingga dapat bertahan hidup sampai dipindahkan dari lingkungan in vitrokepada lingkungan rumah kaca. Pada saat pembentukan akar, komposisi hormon dalam media diubah, seperti penambahan hormon auksin dengan kadar yang rendah (Wetherell 1982). Proses selanjutnya adalah aklimatisasi yang bertujuan untuk mengadaptasikan tanaman hasil kultur terhadap lingkungan baru sebelum ditanam di lahan yang sebenarnya (Nugroho dan Sugito 2002).

2.2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kultur Jaringan

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi dalam kultur jaringan antara lain nutrisi , pH, temperatur, kelembaban udara dan cahaya. Ruang kultur sebaiknya memiliki fasilitas penyinaran, temperatur, dan sirkulasi udara yang memadai untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan kultur yang ditanam.

Sel-sel yang dikembangkan dengan kultur in vitro mempunyai toleransi pH relatif sempit, dengan titik optimum antara 5,0-6,0. Senyawa fosfat dalam media kultur jaringan mempunyai peran penting dalam menstabilkan pH (Wetherell 1982).

Temperatur optimum yang mempengaruhi pertumbuhan umumnya berkisar antara 20-30 oC (Hendaryono dan Wijayanti 1994). Wattimena et al (1992) menyebutkan bahwa RH ruang tumbuh kultur < 70 %, dimana di dalam tabung membutuhkan kelembaban yang lebih tinggi. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pencahayaan kultur adalah panjang gelombang, intensitas cahaya dan

photoperiodism. Kekuatan penyinaran lampu yang diperlukan selama 16 jam. Namun untuk pembentukan kalus yang maksimal dapat terjadi di tempat yang lebih gelap (Hendaryono dan Wijayanti 1994).

Dokumen terkait