• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DIPLOMASI JEPANG INDONESIA

2.2.2 Kultur Jepan

Kinhide(1981:2) megungkapkan sebuah tipologi yaitu ’kultur erabi’ dan ’kultur awase’. Erabi diambil dari kata erabu (選ぶ) yang memiliki arti memilih, sedangkan kata awase diambil dari kata au (合う) yang memiliki arti memadukan dan juga menyesuaikan sesuatu dengan yang lain. Jepang adalah negara yang menganut kultur awase.

Menurut pandangan ideal erabi, manusia bisa bebas memanipulasi lingkungannya untuk tujuan-tujuannya sendiri. Pandangan ini memiliki arti suatu rangkaian prilaku apbila seseorang menetapkan tujuannya, menyusun suatu rencana untuk mencapai tujuan tersebut, dan kemudian bertindak mengubah lingkungn itu sejalan dengan rencana dan kehendaknya. Pandangan erabi juga terdiri dari tatanan logis yang terdiri dari konsep-konsep dan lawan-lawannya; panas atau dingin, manis atau tak manis, besar lawan kecil dan seterusnya. Oleh karena itu ketika menyusun suatu rencana tindakan untuk mengubah lingkungan, adalah wajar mengambil keputusan dengan pertimbangan ” Apakah lebih baik hangat atau dingin? Apakah saya ingin manis atau tidak manis? Lumayan besar atau lumayan kecil?”. pemikiran seperti membuktikan kalau erabi adalah logika untuk memilih yang terbaik dari

serangkaian alternatif yang terdiri dari serangkaian pilihan dari berbagai dichotomy (bercabang dalam dua bagian).

Awase berbeda dengan erabi dimana awase adalah kultur yang menolak gagasan kalau manusia dapat memanipulasi lingkungannya dan sebagi gantinya mengharuskan ia menyesuaikan diri dengannya. Menurut jalur pikiran ini, lingkungan tidaklah ditandai dengan konsep-konsep dikotomi seperti panas lawan dingin. Yang dipandangnya benar, ialah bahwa bisa agak panas atau agak dingin, sedikit manis atau tidak manis, lumayan besar atau lumayan kecil; dengan kata lain, lingkungan terdiri dari satu kontinum gradasi yang tidak begitu kentara dan gampang berubah. Awase adalah logika yang berusaha memahami serta menyimak rangkaian gradasi perubahan yang tidak begitu kentara ini (Kinhide, 1981: 7).

Orang Jepang biasanya tidak menetapkan tujuan-tujuan yang jelas dalam hubungan mereka sendiri, karenaitulah maka penolakan mereka atas pendikotomian logika erabi membuat pemikiran mereka menjadi kabur dan tidak jelas bagi orang Eropa dan Amerika. Daripada berkata Hon o kashite kure (Pinjami saya buku itu), orang Jepang boleh jadi berkata Chotto kashite kure (saya hanya ingin melihatnya) dan daripada berkata Ano shibai wa kunakatta (sandiwara itu tidak menarik), mereka akan bilang Sore hodo omoswanai (saya kira sandiwara tu tidak begitu menarik). Sebaliknya, orang Jepang merasa bahwa orang Amerika, dengan logika erabi-nya, cendrung membuat perbedaan dalam ukuran-ukuran tertentu yang sangat simplitis dan dikotomis (monogote o wakiru) (Kinhide, 1981:7).

Dalam kebudayaan awase, orang tidak hanya menyesuaikan dirinya dengan lingkungan alamnya tetapi juga dengan lingkungan sosialnya. Sebaliknya, orang berkebudayaan erabi berharap agar orang lain yang mengerti dan menyesuaikan diri dengan mereka. Dalam pembicaraan awase atau urusan dengan dagang, persetujuan

diberi ruang gerak dan diperlakukan secara fleksibel dan longgar. Masyarakat Jepang hidup dengan tidak membuat waktu menjadi eskak dan tidak memberikan perhatian yang ketat atas keentuan-ketentuan kontrak. Pelanggaran kecil seringkali diabaikan (ome ni miru). Itulah yang menyebakan kencendrungan mencari dan memberikan perlakuan khusus bisa dilihat sebagai sesuatu yang pokok bagi masyarakat awase (Kinhide, 1981: 9).

Dilihat dari sudut lain, bertentangan dengan standarisasi vokabuler dalam masyrakat erabi, logika awase tidaklah bergantung kepada arti-arti kata yang sudah dibakukan. Setiap ungkapan memiliki berbagai nuansa dan dipandang hanya sebagai tanda-tanda yang mengisyarakatkan realitas dan bukanya bukannya menerangkan realitas itu secara pasti. Kata-kata tidak ditangkap sesuai yang ada di permukaanya; kita perlu menafsirkan arti yang terkandung didalnya. Bertentangan dengan kebudayaan erabi yang nilai-nilai dipermukaan tidak dipercaya dan kita diharap berjalan sesuia dengan itu, didalam masyarakat awase mungkin kita dapat ”mendengar satu menangkap sepuluh” (sasshi ga hayai) dipandang sebagai kebajikan, dengan kata lain menyesuaikan dengan posisi seseorang sebelum itu secara logis dan jelas (Kinhide, 1981: 9-10).

Duta besar Kurusu dalam Kinhide (1981:10) secara menarik mengingatkan kegagalan perundingan antara Jepang dengan Rusia sebelum pecahnya perang Pasifik dikarenakan masing-masing perunding susah mengambil posisi atau kedudukan yang tepat. Dia menggambarkan dengan analogi, orang Jepang mengundang orang Barat untuk naik ke ruang tingkat dua. Saat para tamu itu kelihatan ragu-ragu untuk naik, orang Jepang tetap mengajak mereka naikkeatas, karena setidak-tidaknya pemandangan akan lebih baik jika dilihat dari atas. Namun, orang Barat ingin mengetahui pemandangan apa yang mereka akan dapatkan terlebih dahulu sebelum

mereka setuju naik tangga menuju ruang tersebut. Akibatnya, perundingan tersebut gagal. Dalam bentuk alegoris cerita ini, memperlihatkan suatu kesalahan pemanduan yang mendasar diman kebudayaan erabi saling beradapan dengan kebudayan awase dalam ahap pertama perundingan (Kinhide, 1981:10).

Para ahli psikologi Amerika yang mengkhususkan diri dalam penelitian mengenai proses perundingan umumnya mengandaikan bahwa tahap pertama dari perundingan haruslah berupa perumusan masalh. Dengan kata lain, perundingan dimulai hanya jika para perunding atau kedua belah pihak telah mengetahui jenis ”pandangan” apa yang akan muncul. Ini9 tidaklah mesti demikian dalam kebudayaan awase. Di Jepang, sekalipun kedua belah pihak setidak-tidaknya sudah punya sedikit

gambaran tentang apa yang akan dibicarakan sebelum prundinag dimulai, tetapi pemakaian umum dari ungkapan-ungkapan seperti, Tonikaku,ome ni kakatta ue de...(”Mari, begtu kita duduk bersama...”)dan ome ni kakaranakutte wa, kuwasii koto

wa....(”Tanpa berdetil,...”), menunjukkan bahawa orang Jepang umumnya

menginginkan pihak lain ”menaiki tangga” sebelum membicarakan persoalan- persoalan. Mereka menghedaki kesedaian kedua belah pihak untuk saling menyesuaikan diri (awaseru) dalam hal situasui tanpa prasyarat dan prakonsepsi (Kinhide, 1981: 10).

Saat kedua belah pihak sudah berada di meja perundingan, pendekatan ala barat (erabi) ialah mengemukakan secara langsung atau lebih tepatnya membicarakan persoalan-persoalan terlebih dahulu. Pendekatan awase tidaklah demikian. Dalam pendekatan awase, yang petama kali dilakukan adalah menetapakan apakah para perunding sudah sama-sama siap untuk saling menyesuaikan diri dengan posisi lawannya masing –masing. Aturan bisnis pertama di Jepang adalah menciptakan

hubungna pribadi kedua belah pihak yang memungkinan mereka berbicara secara terbuka didalam suasan asaling memberi dan saling menerima (Kinhide, 1981:10-11). Perbedaan-perbedaan seperti yang dikatakan pada paragraf-paragaraf sebelumnya adalah di awal perundiangan. Perbedaan kedua adalah bagaimana perundiangan dilakukan. Pandangan erabi berasumsi bahwa perundingan akn berjalan melau pernyataan posisi yang jelas dari kedua belah pihak, hal ini bertentangan dengan pandangan awase yang lebih menyukai penafsiran atas posisi pihak sebaliknya tanpa keterangan yang jelas. Tentu saja dalam kebudayaan Amerika, meskipun tidak boleh memikirkan kepentingan diri sendiri, dengan sepenuhnya mengabaikan masalah-masalah dari pihak lainnya. Meskipun demikian, menurut etiket dan etika perundingan erabi, kita tidaklah perlu bersimpati dengan pihak sana. Sebagai gantinya, sudah dipandang cukup untuk secara jujur dan sepenuhnya mengutarakan alasan-alasan posisi kita sendiri kepada pihak lainnya. Di Jepang, perasaan yang ada adalah ”Anda menyesuaikan diri dengan posisi saya dan saya akan menyesuaikan posisis saya dengan posisi anda”.

Orang Jepang sering menggunakan ungkapan seperti Otachiba o jubun koryoshite (”dengan sepenuhnya mempertimbangkan posisi anda...”), atau Tokubetsu

ni otorihokarai shimashou...(”Saya kan memberikan layanan-layanan khusus

untukmu kali ini..”). Dari sis lainnya, oang Jepan juga menggunakan ungkapanseperti Watashikushi no tachiba o gokanno itadaitte...(”Pertimbangkanlah keadaan saya...)

dan kochira no jijou mo gokensatsu kudasame, soko ohitotsu...(”Kasihilah keadaan saya dan jika mungkin berilah pengecualian..).

Dalam kebudayaan erabi kontrak dipandang sebagi pilihan terakhir dari pihak- pihak yang berundingdan dipandang mengikat, dalam kebudayan awase kontrak hanyalah suatu manifestasai dari hubungan awase yang akrab antar pihak-pihak yang

bersangutan. Tata hubungan awase yang akrab memungkinkan para peserta untuk sling memberikan pengecualian dan kesimpulan kontarak yang sesungguhnya mendorong kedua belah pihak untuk mencari konsens-konsensi lebih jauh. Sehiingga tidak jarang, orang-orang Jepang tidak henti-hentinya berunding untuk memperoleh syarat-syarat yang lebih menguntungkan setelah kontarak disepakati (Kinhide, 1981:11-12)

Sejumlah perbedaan juga terlihat di dalam tatanan logika keseluruhan dari perundingan. Bertentangan dengan gaya erabi dimana tiap pihak berusaha menyempurnakan sertra menjelaskan posisinya secara resmi. Pihak-pihak yang berpran di dalam perundinna awase cendrung memisahkan dimensi formal dari hubungan dengan kandungannya yang sesungguhnya. Meskipun kata-kata diberi kridibilitaas formal tertentu dalam beberapa hal, makna luarnya trkadang ditolak demi saling-saling pengertian akan realitas situasi. Sementara gaya erabimenekankan hasl formal dari suatu perundingan, pola awase mencakup suatu pemahamn implisit akan jurang antara bentuk dengan hakikat (Kinhide, 1981:12).

Dalam gaya awase, pendekatan pada masalah menyertakan asumsi bahwa ”dalam teori memang demikin caranya, tetapi kenyataannya..”. Gaya awase meletakkan tekanan pada sekian keadaan khusus yang membedakan tiap kasus konkrit dan berfungsi membuat prinsip-prinsip umum tidak bisa diterapkan. Pendekatan awase jika salah dikelola, bisa membat kita hanyut disepanjang rentetan pristiwa.

Akan tetapi perundingan awase punya kelebihan yang memungkinkan pihak lain untuk menyesuaikan diri. Pendekatan awase juga memperhitungkan perbedaan teori antar teori dengan perubahan keadan. Sebab ia tidak mempersyaratkan adanya pernyatan posisi secara jelas, ia mmberikan cukup banyak pelonggaran untuk tidak hentinya menafsirkan pendirian seseorang. Ini adalah kelebihan yang jelas

dibandingkan dengan keterus-terangan eabi yang bersahaja. Tentu saja ada batas. Begitu ketidak percayaan pihak lain mencapai suatu titik tertentu, perundingan pun gagal dan soal-soal poko sama-sama dikobankan dengan soal-soal tidak pokok.

b. Kultur Haji no Bunka Kultur haji no bunka adalah kultur Jepang yang dikemukakan oleh Ruth Benedict, seorang ahli antropologi yang berasal dari Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Cristnshium and the Sword, ia menggambarkan dengan jelas pola-pola kebudayaan Jepang. Tentu saja hal ini juga terlihat dalam hubungan diplomasi Jepang. Tentu saja hal ini juga terlihat dalam hubungna diplomasi Jepang terhadap negara- negara lain termasuk Indonesia. Haji no bunka (恥の文化) terdiri atas dua kanji modern yaitu kanji haji () dan bunka (文化). Kanji haji menurut kamus besar kanji (Nicholson , 2005: 734) memiliki arti malu. Sedangkan bunka menurut kamus kanji modern (Nicholson, 2005: 462) memiliki arti budaya. Apabila kedua kata ini digabungkan secara harfiah memiliki arti shame culture atau budaya malu.

Ada perbedaan pandangan yang cukup besar antara orang-orang Barat denga orang-orang Timur. Dalam masalah sejarah, orang Barat cendrung mengtakan kalu mereka adalah pewaris sejarah. Berbeda dengan orang-orang Timur yang mengatakan berutang kepada sejarah. Masyrakat Barat menilai pemujaan trehadap roh nenek moyang hanyalah pemujaan biasa kepada roh-roh yang sudah meninggal. Bagi masyarakat Timur, itu bukanlah pemujaan biasa tetapi hal itu juga merupakan pengakuan ritual bahwa manusia sangat berutang kepada segala sesuatu yang terjadi sebelumnya (Benedict, 1979: 104).

Lagi pula orang tidak berutang kepada masa lampau saja; setiap kontak sehari- hari dengan orang lain menambah keberuntungannya di masa kini. Keputusan-

keputusan dan tindakan-tindakannya bersumber dari utangnya ini. Keberuntungan ini adalah titik yang fundamental. Di Jepang, bergantung kepada pengakuan akan tempat seseorang di dalam jaringan besar dari saling keberutangan tersebut yang mencakup baik nenek moyang maupun oraang-orang sezaman. Hal ini terlihat sederahana tetapi rumit. Padanya pun diletakkan tanggung jawab yang besar (Benedict, 1979: 104-105).

Bangsa Jepang memiliki banyak kata yang artinya ”kewajiban”. Kata-kata itu bukanlah sinonim an kata-katanya yang spesifik tidak mempunyai terjemahan yang tepat dalam bahasa Inggris, karena gagasan yang diutrakan asing bagi orang Barat. Kata ”kewajiban”, yang mencakup utang seseorang dari yang paling besar sampai yang paling kecil adalah on. Didalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi ”kewajiban” dan ”kesetiaan” sampai ”keramahan” dan ”cinta kasih”, teaepi kata-kata ini mengubah pengertian yang sebenarnya (benedict, 1979: 105).

Dalam semua pemakaianya, on mengandung arti sebagai beban, suatu utang, sesuatau yang harus dipikul seseorang sebaik mungkin. Seseorang menerima on dari atasannya atau setidaknya orang setingkat, menimbulkan perasaan bahwa orang itu lebih rendah dari pada si pemberi on. Kalau mereka mengatakan, ”Saya mengenakan on terhadapnya” maka yang mereka maksudkan adalah mengatakan ” Saya memikul

suatu beban kewajiban terhadapnya”, dan mereka menyebut kreditor atau dermawan itu sebagi ’orang on’-nya (Benedict, 1979: 105). ”mengingat on seseorang” mungkin merupakan pencurahan murni dari rasa pengbdian yang timbal balik.

On selalu dipakai dalam pengertian pengabdian tanpa batas, kalau itu

menyangkut utang yang terbesar dan terutama, yaitu ”on kekaisaran ” orang tadi. Ini adalah utang seseorang kepada kaisarnya, yang harus diterima orang itu dengan kasih yang mendalam. Orang Jepang merasa mustahil seseorang akan berterimakasih

kepada negerinya, senang akan kehidupannya, senang akan hal-hal besar dan kecil yang menyangkut dirinya, tanpa mengingat mereka menerima-menerima keuntungan ini. Dalam seluruh Jepang, orang yang paling utama diantara sesamanya ini, pada siapa seseorang berutang, adalah atasan tertinggi dalam lingkup kehidupan seseorang tadi. Negara Jepang modern telah memakai semua cara untuk memusatkan perasaan ini kepada Kaisar. (Benedict, 1979: 107).

Orang juga mengenakan on terhadap orang-orang yang lebih rendah tingkatnya dari pada Kaisar. Tentu saja ada on yang diterima dari orang tua masing- masing. Inilah dasar dari bakti dan hormat filial bangsa-bangsa Timur yang menempatkan orang tua pada suatu posisi yang strategis atas anak-anaknya. On ini dijabarkan sebagi utang anak-anak terhadap orang tuanya dan mereka berusaha mati- matian untuk menebusnya. Karena itu, anak-anaklah yang harus berusaha untuk patuh (benedict, 1979: 108).

Orang juga mempunyai on khusus kepada guru dan tuannya (nushi). Kedua- duanya telah membantu dia untuk maju dan orang mengenakan on terhadap mereka, yang dimasa depan mungkin mengharuskan orang tersebut untuk memenuhi suatu permintaan mereka, pada saat mereka mengalami kesulitan, atau barangkali untuk memberikan bantuan kepada salah seorang sanak saudaranya yang muda, setelah mereka tiada. Orang harus berusaha keras untuk melaksanakan kewajiban itu dan utangnya tidak berkurang dengan berlalunya waktu. Bahkan sebaliknya, semakin lama utang itu semakin bertambah. On itu seakan mengumpulakn sejenis riba. On kapada siap saja adalah hal yang serius. Seperti yang biasa mereka katakan, ”Orang tidak pernah dapat menebus sepersepuluh ribu dari on-nya”. On adalah beban yang berat dan ”kekuasaan on”, meskipun senantiasa melanggar pilihan-pilihan pribadi, dianggap selalu benar (Benedict, 1979: 109).

Kelancaran berfungsinya etika ini bergantung kepada kemampuan setiap orang untuk menganggap dirinya sebagai orang yang berutang banyak tanpa merasa tidak terlalu enak saat menebus kewajiban-kewajiban yang ditanggungnya. Adat kebiasaan yang menyertainya dan dijalankan dengan giat memungkinkan bangsa Jepang untuk moral mereka sampai suatu taraf yang tidak masuk akal bagi seorang Barat (Benedict, 1979: 109).

Orang tidak suka denga seenaknya menyandang arti utang budi yang terkandung dalam on. Mereka selalu berbicara ”membuat orang mengenakan on” dan sering terjemahan yang paling mendekai adalah ”memaksakan kepada orang lain”. Di Jepang istilah ini berarti memberi sesuatu kepada orang atau berbuat baik kepada orang itu. Orang Jepang paling tidak menyukai perbuatan-perbuatan baik dari orang yang tidak dikenalnya, karena dengan tetangga dalam hubungan-hubungan hirarkis yang sudah mantap, orang tahu dan telah menerima kerumitan on. Tetapi dengan kenalan biasa atau orang yang hampir setingkat, hal ini menyinggung perasaan (Benedict, 1979:110).

Didalam hubungan struktural yang diterima, rasa berutang yang besar yang terkandung dalam on sering mendorong orang untuk meyerahkan segala-galanya yang ada dalam dirinya sebagai imbalan. Walaupun demikian, cukup berat menjadi orang yang berutang, dan karena itu orang mudah tersinggung (Benedict, 1979: 113). Dengan berbagai perasaan apapun, on dapat ditanggung selama ” si pemberi on” sebenarnya adalah dirinya sendiri; ia sudah diberi tempat dalam pola hirarki ”saya”, atau ia melakukan sesuatu yang dapat saya lakukan, seperti mengembalikan topi saya yang terbawa angin, atau ia seseorang yang mengagumi saya. Sekali indefikasi- indefikasi ini runtuh on merupakan luka yang membusuk. Seremeh apa pun yang terjadi, terlebih baik jika menyukainya. Setiap orang Jepang mengetahui bahwa jika

seseorang membuat on terlalu berat, apa pun situasinya, maka orang itu akan melakukan kesulitan (Benedict, 1979: 115). Setiap perbuatan baik yang diterima seseorang, menjadikan orang itu berutang. Seperti dikatakan oleh pribahasa mereka, ”diperlukan suatu tingkat kemurahan hati yang tidak terjangkau tingginya dan yang sudah dibawa sejak lahir, untuk menerima on” (benedict, 1979: 120).

On adalah utang dan harus dibayar kembali; tetapi di Jepang, semua

pembayran kembali dianggap berada dalam kategori lain. Untuk bangsa Jepang, rasa berutang yang utam dan yang selalu ada, yaitu on, berbeda sekali dengan pembayaran kembali secara aktif dan ketat yang disebut-sebut dalam serentetan konsep-konsep lain. Rasa berutang seseorang dalam serentetan konsep-konsep lain. Rasa berutang seseorang (on) bukan merupakan kebajikan; pembayaran kembali itulah yang dianggap sebagai kebajikan. Kebajikan dimulai pada saat orang itu memusatkan dirinya secara aktif untuk menebus utang itu (Benedict, 1979: 121).

Bangsa Jepang membagi kedalam kategori-kategori yang jelas, masing-masing denga peraturannya yang berlainan, pembayran kembali on itu, yang jumlah dan jangka waktu pembayrannya tidak terbatas, dan on mana yang sama secara kuantitatif, serta mana yang harus dibayar pada kesempatan-kesempatan yang khusus. Pembayaran tanpa batas atas utang ini disebut gimu dan tentang itu mereka mengatakan, ”Orang tidak dapat membayar dari sepersepuluh ribu dari on ini”. Gimu seseorang mengelompokkan dua jenis kewajiban yang berbeda: pembayran on kepada orangtua sendiri, yang adalah ko, dan pembayaran kembali on kepada Kaisar, yang adalah chu. Kewajiban kedua gimu ini adalah suatu keharusan dan merupakan nasib universal seseorang; bahkan pendidikan dasar di Jepang dikatakan sebagai ”pendidikan gimu” karena tidak ada kata lain yang lebih tepat mengrtikan kata ”wajib”. Pristiwa-pristiwa dalam hidup seseorang dapat mengubah detail-detail gimu

orang itu, tetapi secara otomatis, gimu terdapat pada pada semua orang dan berada diatas semua kejadian yang tidak disengaja. Kedua bentuk gimu itu adalah tanpa syarat (Benedict, 1979:122-123).

Bangsa Jepang sangat tegas tentang hal ini; orang membayar kembali utang- utang keapda nenek moyangnya dengan cara meneruskan kepada anak-anaknya, asuhan yang telah diterimanya sendiri. Tidak ada kata yang mengungkapkan ”kewajiban bapak terhadap anak-anaknya” dan semua tugas seperti itu dicakup oleh ko kepada oarang tuanya orang tau. Bakti filial meletakkan semua tanggung jawab

yang banyak ke atas pundak kepala keluarga untuk mencari nafkah bagi anak- anaknya, mendidik putra-putranya dan adik-adik lelakinya mengurus pengelolaan tanah keluarga, memberiakn tempat berlindung kepada sanak keluarga yang memerlukannya dan tugas sehari-hari yang serupa (Benedict, 1979: 130). Pembatasan yang ketat dari keluarga yang dilembagakan di Jepang, secara tajam membatasi jumlah orang terhadap siapa seseorang mempunyai gimu ini. Kaisar haruslah berupa bapak keramat yang jauh dari semua pertimbangan sekuler. Kesetiaan seseorang kepadanya, yaitu chu, yang merupakan kebajikan tertinggi, harus menjadi pikirang yang membahagiakan mengenai seorang bapak yang baik, yang tidak dinodai oleh kontak-kontak dengan dunia (Benedict, 1979: 130- 131).

Semua usaha telah dilakukan di Jepang modern untuk mempersonifikasikan chu dan secara khusus menunjukkannya pada diri Kaisar. Kaisar pertama setelah

restorasi adalah Kaisar yang konsekuen dan berwibawa dan selama pemerintahannya yang panjang dengan mudah ia menjadi lambang pribadi bagi rakyatnya. Pemunculannya sekali-sekali di muka umum disambut dengan upacara pemujaan lengkap. Dengan segala cara ini, Kaisar dijadiakan sebuah lambang yang berada di

luar jangkauan segala macam pertentangan di dalam negeri (Benedict, 1979: 135).

Chu menyediakan sebuah sistem ganda dalam hubungan antara hamba sahaya

dan Kaisar. Si hamba mengadah ke atas, langsung kepada Kaisarnya tanpa perantaraan siapa pun; secara pribadi, hamba ni ”menentramkan hati Kaisar” melalui tindakan-tindakannya. Di dalam pemerintahan sipil, chu mendukung apa saja, dari kematian sampai pajak. Pemungutan pajak, petugas polisi, pejabat-pejabat wajib militer adalah saluran-saluran melalui mana seorang hamba sahaya menyerahkan chu. Orang Jepang berpendapat bahwa patuh pada hukum merupakan pembayaran kembali atas utangnya yang terbesar, yaitu ko-on (Benedict, 1979: 136-137).

”Giri” begitu pepatah Jepang, ” adalah yang paling berat untuk ditanggung”. Seseorang harus membayar kembali giri sebagaimanadia harus membayar kembali gimu, tetapi giri sebagaimana dia harus membayar kembali gimu, tetapi giri itu adalah

serentetan keawjiban yang berlainan warnanya. Giri memiliki dua pembagian yang jelas yaitu giri kepada dunia dan giri kepada nama sendiri. Giri kepada dunia secar harfiah dikatakan dengan ” membayar kembali giri” adalah kewajiban seseorang untuk membayar on kepada sesamanya. Giri kepada nama sendiri adalah kewajiban untuk tetap membersihkan nama serta reputasi seseorang dari noda fitnah, semacam ’kehormatan” (Benedict, 1979: 141).

Secara umum, giri kepada dunia dapat digambarkan sebagai dipenuhinya hubungan-hubungan yang bersifat kontrak, sangat kontras dengan gimu yang dirasakan sebagai pemenuhan kewajiban-kewajiban berdasarkan hubungan akrab

Dokumen terkait