• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kumetiran di Kota Yogyakarta Agus Mulyono

Dalam dokumen POTRET KETEGANGAN INTERNAL SINODE NON MA (Halaman 146-169)

Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Email : agsmuel@gmail.com

Diterima redaksi tanggal 20 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016

Abstract

This research found the model of empowerment in“St. Albertus Agung” Jetis Church and “Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela” Kumetiran Churchin Yogyakarta shows that the management of both synagogues has been put in a hierarchical structure starting from the Diocese, to the Vicariate (bishop representatives with

speciic region), and then to the parish by parish priests and his oficials. This pattern is

a typical of Catholicism, and the same pattern of organization applies also to the parish. The difference is on the way of the organization operates, which depends on the leadership and creativity of the Parish Priest.

Meanwhile the economic empowerment of the people to the church is not too visible. The main reason is the economic empowerment of the people is mostly oriented to charity. Whereas, the church facilitates some trainings like trade training to enhance their income. For other programs, the church also provides funds with mortgage payment relief as has been practiced in the parish of Santo Albertus Jetis Yogyakarta. The provision of this fund is caricative in naure.

The donation that the two churches receive consists of gwriless and sound systems and some funds for the youth councelling. In the beginning of the year, the church planned to establish pastoral services and they evaluate the program by the end of the year as an overall evaluation for the whole program.

Keywords: Diocese, Vicariate, the parish priest, Eucharisti, and charitable.

Abstrak

Hasil penelitian model pemberdayaan Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela Kumetiran di Kota Yogyakarta menunjukan bahwa pengelolaan kedua rumah ibadat digariskan secara hirarkis mulai dari Uskup (Keuskupan), diturunkan lagi kepada Kevikepan (perwakilan uskup dengan wilayah tertentu), kemudian dilaksanakan dalam paroki oleh pastor paroki beserta jajarannya. Pola ini merupakan kekhasan Katolik, dan pola organisasinya sama untuk Paroki-Paroki. Perbedaannya, berjalan tidaknya organisasi Paroki tergantung kepemimpinan dan kreativitas Pastor Paroki.

Pemberdayaan ekonomi umat untuk kedua gereja di atas tidak begitu kelihatan. Adapun upaya yang difasilitasi adalah berupa pelatihan- pelatihan kepada umat untuk menambah penghasilan mereka misalnya, berdagang. Ada juga pemberian pinjaman dana dengan keringanan pembayaran cicilan seperti yang dilakukan di paroki Santo Albertus Jetis Yogyakarta. Pemberdayaan ekonomi umat pada umumnya bersifat karitatif.

Bantuan yang diterima oleh kedua gereja tersebut adalah berupa hibah barang/peralatan seperti sarana wireless/sound system, dan bantuan sejumlah dana untuk kegiatan pembinaan orang muda Katolik. Pada awal tahun Dewan Paroki Pleno merencanakan program pelayanan pastoral paroki dan pada akhir tahun Dewan

Paroki Pleno melakukan evaluasi dan releksi

pelayanan pastoral atas semua program dan kegiatan dalam setahun.

Kesadaran untuk terlibat dalam melayani umat dan menyumbangkan tenaga, dana dan waktu untuk terlibat dalam pembangunan iman umat paroki tanpa gaji atau honor, ini menjadi faktor pendukung keberadaan kedua gereja tersebut. Sedangkan faktor penghambatnya adalah masih rendahnya kesediaan sebagian jemaat gereja dalam memberikan dana kolekte, tidak seimbang jika dibanding dengan gaya hidup mereka.

Kata kunci: Keuskupan, Kevikepan, Pastor Paroki, Ekaristi, dan Karitatif.

Pendahuluan

Umat Katolik Indonesia berada di bawah kepemimpinan Paus/Uskup Agung Roma dalam kesatuan dengan para Uskup di seluruh dunia. Uskup adalah orang yang ditahbiskan untuk menerima kepenuhan imamat dan ditunjuk untuk memimpin suatu keuskupan dengan pelayanan pengajaran, reksa pastoral dan ibadah. Sebagai pengganti para rasul, bersama seluruh dewan para uskup, ia mempunyai tanggung jawab bagi seluruh Gereja (Dokumen Konsili Vatikan II, LG 22-23). Uskup bersama pembantu mereka, yaitu para imam/romo dan diakon, mereka bertugas memimpin umat, sebagai guru dalam ajaran (tugas mengajar), imam dalam ibadat suci (tugas menguduskan), dan pelayan dalam bimbingan (tugas menggembalakan/ memimpin/ melayani dengan teladan dan wibawa) (Bdk. Dokumen Konsili Vatikan II, LG 20-27).

Umat Katolik yang di paroki- paroki di D.I. Yogyakarta berada di bawah kepemimpinan (reksa pastoral) Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Semarang. Propinsi Gerejawi Keuskupan Agung Semarang diketuai oleh Uskup Metropolit yang adalah Uskup Agung untuk memimpin wilayah keuskupan yang ditentukan dan disetujui oleh Paus (Bdk. Hukum Gereja Katolik, KHK. Kan. 435). Untuk meningkatkan efektivitas dan

eisiensi pelayanan kegembalaan, maka

Keuskupan Agung Semarang dibagi menjadi 4 wilayah kevikepan yaitu

a. Kevikepan Semarang b. Kevikepan Kedu c. Kevikepan Yogyakarta d. Kevikepan Surakarta

Keuskupan Agung Semarang untuk wilayah Kevikepan DI Yogyakarta dipimpin seorang Romo Vikep, yang wilayah kegembalaannya terdiri dari

30, antara lain: Paroki Kidul Loji, Paroki Babadan, Paroki Baciro, Paroki Banteng, Paroki Bantul, Paroki Bintaran, Paroki Boro, Paroki Gamping, Paroki Ganjuran, Paroki Jetis, Paroki Kalasan, Paroki Kelor, Paroki Klepu, Paroki Kotabaru, Paroki Kumetiran, Paroki Medari, Paroki Minomartani, Paroki Mlati, Paroki Nanggulan, Paroki Pakem, Paroki Pangkalan, Paroki Pringwulung, Paroki Promasan, Paroki Pugeran, Paroki Sedayu, Paroki Somohiran, Paroki Wates, Paroki Wonosari, Paroki Pringgolayan, dan Paroki Nandan.

Kevikepan (vikaris episkopal) merupakan pembagian wilayah pelayanan keuskupan yang terdiri paroki- paroki yang dipimpin oleh seorang wakil Uskup yang disebut Romo Vikep. Kevikepan Yogyakarta terdiri dari 33 Paroki. Salah satunya adalah Paroki Santo Albertus Agung Jetis Yogyakarta. Paroki adalah jemaat tertentu kaum beriman kristiani yang dibentuk secara tetap dalam gereja partikular dan yang reksa pastoral (arah kegembalaan/ kepemimpinannya) dibawah otoritas Uskup diosesan/ keuskupan, dipercayakan kepada pastor- paroki sebagai gembala/ pemimpinnya sendiri (Hukum Gereja Katoliki, KHK. 515). Dalam paroki itu, umat menjadi warga Gereja melalui baptisan. Di dalam Paroki terdapat pembinaan iman umat dan karya pelayanan dilaksanakan: pelayanan kepada orang sakit, orang- orang yang tua, dan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Pusat kehidupan paroki adalah perayaan Ekaristi dan pewartaan Sabda Allah.

Pastor Paroki/Romo Paroki adalah pemimpin (gembala) masing-masing paroki yang diserahkan kepada dirinya dan menunaikan tugas kepemimpinan (reksa pastoral) jemaat yang dipercayakan kepada dirinya di bawah otoritas Uskup setempat yang dipanggil mengambil bagian dalam pelayanan Kristus, untuk menjalankan tugas-tugas mengajar,

menguduskan dan memimpin jemaat dengan kerjasama dengan imam/pastor, diakon dan umat beriman kristiani awam menurut hukum Gereja Katolik (Hukum Gereja Katolik, KHK. Kan. 519)

Perayaan Sakramen Ekaristi adalah puncak dan sumber hidup rohani Kristiani dimana perayaan tersebut untuk mengenang perjamuan malam terakhir yang diadakah oleh Kristus. Dalam perjamuan itu Yesus mengumpamakan tubuh dan darah-Nya dalam rupa roti dan anggur yang dibagi-bagikan kepada para rasul. Perbuatan simbolis ini menunjukkan bahwa Yesus mengorbankan tubuh dan darahNya (nyawaNya) untuk menyelamatkan semua orang. Dengan demikian perayaan Ekaristi merupakan perayaan kurban dan persembahan diri bagi orang lain, yang merupakan panggilan semua orang kristiani untuk memberikan diri membagikan kebaikan Tuhan. Sakramen Ekaristi sering disebut sakramen cintakasih, lembang kesatuan, ikatan cintakasih, perjamuan Paskah (Konsili Vatikan II, SC art. 47)

Setiap paroki harus mengikuti ARAH DASAR PASTORAL (baca: mirip GBHN RI) yang telah ditetapkan oleh Uskup agung bersama dewannya. Arah dasar pastoral Keuskupan Agung Semarang tahun 2011-2015, adalah seperti pada kutipan berikut:

“Umat Allah Keuskupan Agung Semarang, sebagai persekutuan- paguyuban murid-murid Yesus Kristus, dalam bimbingan Roh Kudus, berupaya menghadirkan Kerajaan Allah sehingga

semakin signiikan dan relevan bagi

warganya dan masyarakat .

Dalam masyarakat Indonesia yang sedang berjuang menuju tatanan hidup baru yang adil, damai, sejahtera dan demokratis, umat Allah berperan secara aktif mengembangkan habitus baru berdasarkan semangat Injil dan

beriman mendalam dan tangguh serta ambil bagian mewujudkan kesejahteraan umum.

Langkah pastoral yang ditempuh adalah:

- pengembangan umat Allah, terutama

optimalisasi peran kaum awam, secara kesinambungan dan terpadu dalam mewujudkan iman di tengah masyarakat;

- pemberdayaan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel; serta - pelestarian keutuhan ciptaan.

Langkah tersebut didukung oleh tata penggembalaan/kepemimpinan yang sinergis, mencerdaskan dan memberdayakan umat beriman, serta memberikan peran pada berbagai kharisma yang hidup dalam diri pribadi maupun kelompok.

Umat Allah Keuskupan Agung Semarang dengan tulus, setia, dan rendah hati bertekad bulat melaksanakan upaya tersebut, serta mempercayakan diri pada penyelenggaraan ilahi seturut teladan Maria, hamba Allah dan Bunda Gereja. Allah memulai pekerjaan baik di antara

kita akan menyelesaikannya (Bdk. Flp.

1:6)”.

Skema Organisasi Paroki yang ada di Keuskupan Semarang:

a. Pimpinan Tertinggi: Uskup Roma/ Takhta Suci/ Paus di Vatikan

b. Uskup Agung Semarang

c. Romo Vikaris Episkopal (vikep) D.I. Yogyakarta

d. Romo Paroki-Paroki yang ada di KevikepanYogyakarta

e. Ketua Bidang, f. Ketua Tim Kerja. g. Ketua wilayah, h. Ketua Lingkungan i. Umat

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dimana hasil kajiannya bersifat deskriptif dengan menggunakan metode studi kasus yang menjelaskan model pemberdayaan Gereja St. Albertus Agung Jetis Yogyakarta dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela Kumetiran di Kota Yogyakarta.

Masalah Penelitian:

1. Bagaimana model pengelolaan

kedua Gereja itu dalam memberikan pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan umat beragama? 2. Bagaimana pengurus kedua Gereja

itu dalam mengoptimalisasikan modal sosial yang ada?

3. Bagaimana mekanisme pengum- pulan, pengelolaan, pendistribusian (pemanfaatan), dan pengawasan terhadap dana bantuan yang diterima kedua Gereja itu?

4. Apa faktor yang menjadi pendorong dan penghambat pengelolaan kedua Gereja itu dalam pelayanan di bidang

keagamaan dan pemberdaya an

umat?

Adapun tujuan dari penelitian ini ialah: a) Mengetahui model-model pengelolaan kedua Gereja itu dalam memberikan pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan umat beragama; b) Mengetahui upaya pengurus kedua Gereja itu dalam mengoptimalisasikan modal sosial yang ada; c) Mengetahui mekanisme pengumpulan, pengelolaan, pendistri-

busian (pemanfa atan), pengawasan

terhadap dana bantuan yang diterima; d) Mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat kedua Gereja dalam pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdaya an umat.

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Umat Katolik Indonesia berada di bawah kepemimpinan Paus/Uskup

Agung Roma dalam kesatuan dengan para Uskup di seluruh dunia. Kuasa kepemimpinan dalam gereja diberikan kepada mereka yang tertahbis didasarkan pada penetapan ilahi, orang-orang beriman kristiani awam (jemaat) dapat diikutsertakan menurut norma hukum

gereja (bdk. KHK. 129,1 &2). Fungsi greja

adalah persekutuan (komunio), perayaan ibadat (liturgia), pelayanan (diakonia) dan kesaksian hidup (martyra). Gereja adalah himpunan umat yang percaya kepada Allah sehingga umat Allah wajib ikut melaksanakan fungsi gereja tersebut.

Keuskupan adalah bagian dari umat Allah, yang dipercayakan kepada Uskup untuk digembalakan dalam kerjasama dengan para imam, sedemikian rupa sehingga dengan mengikuti gembalanya (pemimpinnya) dan dihimpun olehnya dengan Injil serta Ekaristi dalam Roh Kudus, membentuk gereja partikular, di mana sungguh-sungguh terwujud dan berkarya gereja Kristus yang satu,kudus, katolik dan apostolik (KHK. 369).

Uskup adalah orang yang ditahbiskan untuk menerima kepenuhan imamat dan ditunjuk untuk memimpin suatu keuskupan dengan pelayanan pengajaran, reksa pastoral dan ibadah. Sebagai pengganti para rasul, bersama seluruh dewan para uskup, ia mempunyai tanggung jawab bagi seluruh gereja (Dokumen Konsili Vatikan II, LG 22-23). Uskup bersama pembantu mereka, yaitu para imam/romo dan diakon, mereka bertugas memimpin umat, sebagai guru dalam ajaran (tugas mengajar), imam dalam ibadat suci (tugas menguduskan), dan pelayan dalam bimbingan (tugas menggembalakan/memimpin/melayani dengan teladan dan wibawa) (Bdk. Dokumen Konsili Vatikan II, LG 20-27).

Umat Katolik yang di paroki- paroki D.I. Yogyakarta berada di bawah kepemimpinan (reksa pastoral) Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Semarang. Propinsi Gerejawi Keuskupan

Agung Semarang diketuai oleh Uskup Metropolit yang adalah Uskup Agung untuk memimpin wilayah keuskupan yang ditentukan dan disetujui oleh Paus (Bdk. Hukum Gereja Katolik, KHK. Kan. 435). Untuk meningkatkan efektivitas dan

eisiensi pelayanan kegembalaan, maka

Keuskupan Agung Semarang dibagi menjadi 4 wilayah kevikepan yaitu

1. Kevikepan Semarang 2. Kevikepan Kedu 3. Kevikepan Yogyakarta 4. Kevikepan Surakarta

Keuskupan Agung Semarang untuk wilayah Kevikepan D.I. Yogyakarta dipimpin seorang Romo Vikep, yang wilayah kegembalaannya terdiri dari 30, antara lain Paroki Kidul Loji, Paroki Babadan, Paroki Baciro, Paroki Banteng, Paroki Bantul, Paroki Bintaran, Paroki Boro, Paroki Gamping, Paroki Ganjuran, Paroki Jetis, Paroki Kalasan, Paroki Kelor, Paroki Klepu, Paroki Kotabaru, Paroki Kumetiran, Paroki Medari, Paroki Minomartani, Paroki Mlati, Paroki Nanggulan, Paroki Pakem, Paroki Pangkalan, Paroki Pringwulung, Paroki Promasan, Paroki Pugeran, Paroki Sedayu, Paroki Somohiran, Paroki Wates, Paroki Wonosari, Paroki Pringgolayan, dan Paroki Nandan.

Kevikepan (vikaris episkopal) merupakan pembagian wilayah pelayanan keuskupan yang terdiri paroki- paroki yang dipimpin oleh seorang wakil Uskup yang disebut Romo Vikep. Kevikepan Yogyakarta terdiri dari 33 Paroki. Salah satunya adalah Paroki Santo Albertus Agung Jetis Yogyakarta. Paroki adalah jemaat tertentu kaum beriman kristiani yang dibentuk secara tetap dalam gereja partikular dan yang reksa pastoral (arah kegembalaan/kepemimpinannya) di bawah otoritas Uskup diosesan/ keuskupan, dipercayakan kepada pastor- paroki sebagai gembala/pemimpinnya

sendiri (Hukum Gereja Katoliki, KHK. 515). Dalam paroki itu, umat menjadi warga gereja melalui baptisan. Di dalam Paroki terdapat pembinaan iman umat dan karya pelayanan dilaksanakan pelayanan kepada orang sakit, orang- orang yang tua, dan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Pusat kehidupan paroki adalah perayaan Ekaristi dan pewartaan Sabda Allah.

Pastor Paroki/Romo Paroki adalah pemimpin (gembala) masing-masing paroki yang diserahkan kepada dirinya dan menunaikan tugas kepemimpinan (reksa pastoral) jemaat yang dipercayakan kepada dirinya di bawah otoritas Uskup setempat yang dipanggil mengambil bagian dalam pelayanan Kristus, untuk menjalankan tugas-tugas mengajar, menguduskan dan memimpin jemaat dengan kerjasama dengan imam/pastor, diakon dan umat beriman kristiani awam menurut hukum gereja Katolik (Hukum Gereja Katolik, KHK. Kan. 519)

Perayaan Sakramen Ekaristi adalah puncak dan sumber hidup rohani Kristiani di mana perayaan tersebut untuk mengenang perjamuan malam terakhir yang diadakah oleh Kristus. Dalam perjamuan itu Yesus mengumpamakan tubuh dan darahNya dalam rupa roti dan anggur yang dibagi-bagikan kepada para rasul. Perbuatan simbolis ini menunjukkan bahwa Yesus mengorbankan tubuh dan darahNya (nyawaNya) untuk menyelamatkan semua orang. Dengan demikian perayaan Ekaristi merupakan perayaan kurban dan persembahan diri bagi orang lain, yang merupakan panggilan semua orang kristiani untuk memberikan diri membagikan kebaikan Tuhan. Sakramen Ekaristi sering disebut sakramen cintakasih, lembang kesatuan, ikatan cintakasih, perjamuan Paskah (Konsili Vatikan II, SC art. 47)

Setiap paroki harus mengikuti ARAH DASAR PASTORAL (baca: mirip GBHN RI) yang telah ditetapkan

oleh Uskup agung bersama dewannya. Arah dasar pastoral Keuskupan Agung Semarang tahun 2011-2015, adalah seperti pada kutipan berikut:

“Umat Allah Keuskupan Agung Semarang, sebagai persekutuan- paguyuban murid-murid Yesus Kristus, dalam bimbingan Roh Kudus, berupaya menghadirkan Kerajaan

Allah sehingga semakin signiikan dan

relevan bagi warganya dan masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia yang sedang berjuang menuju tatanan hidup baru yang adil, damai, sejahtera dan demokratis, umat Allah berperan secara aktif mengembangkan habitus baru berdasarkan semangat Injil dan beriman mendalam dan tangguh serta ambil bagian mewujudkan kesejahteraan umum.

Langkah pastoral yang ditempuh adalah: (1) pengembangan umat Allah, terutama optimalisasi peran kaum awam, secara kesinambungan dan terpadu dalam mewujudkan iman di tengah masyarakat, (2) pemberdayaan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel, dan (3) pelestarian keutuhan ciptaan. Ketiga langkah tersebut didukung oleh tata penggembalaan/kepemimpinan yang sinergis, mencerdaskan dan memberdayakan umat beriman, serta memberikan peran pada berbagai kharisma yang hidup dalam diri pribadi maupun kelompok.

Umat Allah Keuskupan Agung Semarang dengan tulus, setia, dan rendah hati bertekad bulat melaksanakan upaya tersebut, serta mempercayakan diri pada penyelenggaraan ilahi seturut teladan Maria, hamba Allah dan Bunda Gereja. Allah memulai pekerjaan baik di antara

kita akan menyelesaikannya (Bdk. Flp.

1:6)”.

Skema Organisasi Paroki yang ada di Keuskupan Semarang adalah sebagai berikut:

1. Pimpinan Tertinggi: Uskup Roma/ Takhta Suci/Paus di Vatikan

2. Uskup Agung Semarang

3. Romo Vikaris Episkopal (vikep) D.I. Yogyakarta

4. Romo Paroki-Paroki yang ada di KevikepanYogyakarta

5. Ketua Bidang 6. Ketua Tim Kerja 7. Ketua wilayah 8. Ketua Lingkungan 9. Umat

Kota Yogyakarta Selayang Pandang

Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada tanggal

13 Februari 1755 yang ditandatangani

Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti adalah Negara Mataram dibagi dua, yaitu setengah masih menjadi hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara, yaitu Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.

Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat

dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.

Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah hutan yang disebut beringin, di mana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang di sana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan kraton.

Sebelum kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Ia menempati pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.

Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki istana baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian, berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat.

Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku

Buwono untuk berpindah menetap di kraton yang baru. Peresmiannya terjadi tanggal 7 Oktober 1756

Kota Yogyakarta dibangun pada 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku

Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII

menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan

oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan

Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional.

Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap berada di tangan Pemerintah D.I Yogyakarta.

Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi kota praja atau kota otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I yang menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.

Untuk melaksanakan otonomi tersebut walikota pertama yang

djabat oleh Ir. Moh Enoh mengalami

kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari D.I Yogyakarta

dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana D.I Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selanjutnya Walikota kedua djabat

oleh Mr. Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955.

Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.

Dalam dokumen POTRET KETEGANGAN INTERNAL SINODE NON MA (Halaman 146-169)