• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTRET KETEGANGAN INTERNAL SINODE NON MA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POTRET KETEGANGAN INTERNAL SINODE NON MA"

Copied!
236
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

HARMONI

Jurnal Multikultural & Multireligius

(4)

Jurnal Multikultural & Multireligius

Volume 15, Nomor 1, Januari - April 2016

PEMBINA:

Kepala Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI PENGARAH:

Sekretaris Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI PENANGGUNG JAWAB:

Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan MITRA BESTARI:

1. Muhammad Hisyam (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 2. Endang Turmudi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 3. Abdul Aziz (Electoral Research Institute)

4. Ahmad Syai’i Muid (Forum Kerukunan Umat Beragama DKI Jakarta) 5. Muchlis Hanai (Pusat Studi Qur’an)

6. Alpha Amirrachman (Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization)

7. Ahmad Najib Burhani (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 8. Atho Mudzhar (UIN Syarif Hidayatullah)

9. Arskal Salim (UIN Syarif Hidayatullah)

10. Erni Budiwanti (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 11. Minako Sakai (University of New South Wales)

PEMIMPIN REDAKSI:

M. Adlin Sila

SEKRETARIS REDAKSI: Akmal Salim Ruhana DEWAN REDAKSI:

1. Kustini

2. Nuhrison M. Nuh 3. Ibnu Hasan Muchtar 4. Zainuddin Daulay 5. Haidlor Ali Ahmad 6. Abdul Jamil

SIRKULASI & KEUANGAN:

Rahmah Nur Fitriani & Nuryati SEKRETARIAT & KEUANGAN:

Ahsanul Khalikin, Elma Haryani, Mulyadi, Zabidi, U. Endang Sulanjari

REDAKSI & TATA USAHA:

Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jl. MH Thamrin No 6 Jakarta

Telp. 021-3920425/Fax. 021-3920421 Email : harmonjurnal@gmail.com SETTING & LAYOUT

I Nyoman Suwardika COVER

Mundzir Fadli PENERBIT:

(5)

Jurnal Multikultural & Multireligius

Volume 15, Nomor 1, Januari - April 2016

Pengantar Redaksi

Pemimpin Redaksi ___5

Konlik dan Kerukunan Antarumat Beragama di Grabag Kabupaten Magelang

Zakiyah ___8

Relasi Muslim-Buddhis di Panggang, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta Akmal Salim Ruhana___23

Tradisi di Tengah Keberagamaan: Media Interaksi Masyarakat Ende dalam Membangun Relasi Antarumat Beragama

Ahsanul Khalikin___38

Potret Ketegangan Internal Sinode Non Mainstream: Studi Kasus Gereja Am GPR Manado Ditinjau dari Sosiologi Organisasi

Zaenal Abidin Eko Putro ___54

Salai-Wahabi vs NU: (Pertentangan Keberadaan STAI Ali bin Abi Thalib di Semampir Surabaya)

Raudatul Ulum ___68

Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’

Muhammad Ali Mustofa Kamal___79

Implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 antara Regulasi dan Praktik (Studi Kasus di Kabupaten Konawe dan Kota Semarang)

Muh. Dahlan & Mustolehudin ___96

Sudah Sampai Mana Riset Zakat Kita?

Aam Slamet Rusydiana & Salman Al-Farisi___ 110

Penistaan/Penodaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)

Asnawati ___129

(6)

Program Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Tercela Kumetiran di Kota Yogyakarta

Agus Mulyono___144

Tren Perempuan Menggugat Cerai di Kota Ambon: Sebuah Pendekatan

Antropologi Feminisme

I Nyoman Yoga Segara___167

Revitalisasi Peran ICMI pada Era Reformasi

Juju Saepudin___189

Telaah Pustaka

Membangun Kerukunan Masyarakat Multikultural Ngainun Naim ___203

Lembar Abstrak ___214 Indeks Penulis ___ 226 Ucapan Terima Kasih ___229 Pedoman Penulisan ___230

Jurnal Multikultural & Multireligius

(7)

Pertentangan dan Harmoni

dalam Masyarakat Majemuk

Argumentasi utama dalam jurnal Harmoni kali ini adalah bahwa kemajemukan atau pluralitas tidak selamanya negatif. Ibarat pedang bermata dua, konlik di satu sisi dapat menimbulkan pertentangan sementara sisi lain ia memperkuat harmoni atau kerukunan masyarakat. Bahkan, harmoni tercipta manakala masyarakat dapat mengelola kemajemukan di antara mereka. Dalam perspektif sosiologis, dengan terjadinya konlik, masyarakat akan lebih memahami dirinya. Itulah nilai positif dari konlik.

Dalam literatur sosiologi, konlik merupakan sebuah sistem sosial yang bersifat fungsional. Bagi Lewis A. Coser, yang menulis buku The Functons of

Social Conlict, konlik yang terjadi di dalam masyarakat tidak semata-mata menunjukkan fungsi negatif saja, tetapi dapat pula menimbulkan dampak positif. Bagi Coser, konik adalah salah satu bentuk interaksi dan tak perlu diingkari keberadaannya. Menurut Coser lagi, konlik merupakan cara untuk mempertahankan sistem sosial yang ada.1

Hanya saja, Coser membagi bentuk solidaritas itu ada dua: 1) integrasi di dalam kelompok (in group), dan 2) integrasi di luar kelompok (out-group). Integrasi kelompok dalam akan bertambah tinggi apabila tingkat permusuhan atau konlik dengan kelompok luar bertambah besar, dan konlik dapat membantu memperkuat batas antara satu kelompok dengan kelompok-kelompok lainnya dalam wilayah itu. Untuk menghindari ekses atau dampak negatif dari bahaya konlik, Coser menyebutkan bahwa efek konlik dapat diredam melalui

1 Lewis A. Coser. The Functions of Social Conlict.

Simon and Schuster, 1956.

katup penyelamat (safety valve) yang dapat diartikan sebagai “jalan keluar yang meredakan permusuhan”.2 Atau singkatnya dapat kita sebut dengan mediator. Ia dapat berbentuk institusi sosial dapat juga berbentuk tindakan.

Terdapat adagium di masyarakat kita bahwa kerukunan atau harmoni antar umat beragama itu sifatnya alamiah. Tidak usah diatur-atur oleh negara. Apalagi kalau masyarakat diberi sanksi agar hidup rukun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat memerlukan mediator untuk mengelola konlik yang terjadi. Dan mediator itu adalah institusi sosial, meminjam istilah Coser. Untuk kasus Indonesia, negara sudah seringkali merancang institusi-institusi sosial dalam rangka untuk memediasi potensi konlik yang bersifat laten maupun manifest di masyarakat. Apalagi, Indonesia memandang kerukunan merupakan salah satu pilar penting dalam memelihara persatuan dan keutuhan bangsa Indonesia. Tanpa terwujudnya kerukunan diantara berbagai suku, agama, ras dan antar golongan maka bangsa Indonesia akan mudah terancam oleh perpecahan dengan segala akibatnya yang tidak diinginkan.

Menelusuri kembali konsep kerukunan yang digagas oleh para tokoh Indonesia sejak 1970-an, ternyata telah banyak bentuk intervensi yang dilakukan oleh pemerintah. Terkait kebjakan-kebjakan kerukunan umat beragama di Indonesia, Menteri Agama Mukti Ali memperkenalkan pentingnya dialog antaragama dan ilmu perbandingan agama yang diajarkan sebagai mata kuliah di berbagai perguruan tinggi. Kedua hal itu penting sebagai bentuk penyiapan

(8)

kader-kader dan sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan konlik antara agama dan pemikiran yang terbuka, berwawasan luas, serta mendahulukan solusi kebersamaan demi masa depan Indonesia. Upaya ini dilanjutkan Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara yang memperkenalkan Kerukunan hidup umat beragama di Indonesia dalam Trilogi Kerukunan yaitu: 1) Kerukunan intern masing-masing umat dalam satu agama Ialah kerukunan di antara aliran-aliran / paham-paham /mazhab-mazhab yang ada dalam suatu umat atau komunitas agama, 2) Kerukunan di antara umat / komunitas agama yang berbeda-beda Ialah kerukunan di antara para pemeluk agama-agama yang berbeda-beda yaitu di antara pemeluk Islam dengan pemeluk Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha, dan 3) Kerukunan antar umat / komunitas agama dengan pemerintah. Berbagai kebjakan ini bertujuan untuk mencapai keserasian dan keselarasan di antara para pemeluk agama atau antara pemeluk agama dengan pemerintah.3

Singkatnya, kerukunan umat beragama harus diciptakan karena ia tidaklah bersifat alamiah. Kerukunan meniscayakan kondisi hidup dan kehidupan yang mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat menghormati, harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong sesuai dengan ajaran agama dan kepribadian pancasila. Kalau ini sudah tercipta maka semua golongan agama bisa hidup berdampingan bersama-sama tanpa mengurangi hak dasar masing-masing untuk melaksanakan kewajiban agamanya. Saling hormat menghormati dan bekerjasama intern pemeluk agama, antar berbagai golongan agama dan umat-umat beragama dengan pemerintah menjadi simbol bahwa kerukunan adalah tanggungjawab bersama.

3 Departemen Agama RI, ”Kebjakan Departemen Agama dari Masa Ke Masa, Dalam Kurun Setengah Abad”, Badan Litbang Keagamaan Depag, Jakarta, 1996.

Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa pihak menganggap agama sebagai sumber konlik. Tapi bagi aliran Durkhemian melihat agama sebagai realitas sosial, yaitu suatu unsur penting yang menciptakan stabilitas serta perubahan sosial. Sebagai “realitas intra-sosial”, agama itu terpengaruh oleh proses sosial itu sendiri. Emile Durkheim memusatkan telaahnya pada pertanyaan dasar: bagaimana masyarakat dapat menghasilkan dan mempertahankan? Bagi Durkheim, agama menjadi faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat serta kohesi sosialnya.4

Dari segi empirik, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, pada tahun anggaran 2010 telah melaksanakan kegiatan penelitian Potret Kerukunan Umat Beragama Di Provinsi Jawa Timur. Temuan penelitian menunjukkan beberapa faktor yang dipandang potensial bagi upaya perwujudan kerukunan meliputi: 1) kearifan budaya lokal; 2) ajaran agama dan peran para tokoh agama selaku lambang pemersatu; 3) dukungan politis pemerintah untuk mewujudkan kerukunan; 4) saling ketergantungan antar warga dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup keseharian; dan 5) adanya forum-forum dialog multikultural lintas agama, budaya, etnis, melalui berbagai media. Puslitbang Kehidupan Keagamaan juga mempublikasikan hasil kajiannya tentang model-model rembug keragaman dalam membangun toleransi umat beragama (2015). Selain itu, Puslitbang Kehidupan Keagamaan sejak lama meneliti dan mempublikasikan gambaran model kerukunan antar umat beragama berbasis adat setempat atau kearifan-kearifan lokal (local genius atau local wisdom) seperti pela gandong di Ambon, sipakatau dan sipakalebbi di Makassar, tiga batu satu tungku di Papua dsb.

(9)

Model kerukunan berbasis Kearifan Lokal dengan mendepankan hak-hak komunal (communal rights) ini menjadi fokus utama dari beberapa artikel dalam Jurnal Harmoni Nomor 1 Tahun 2016 kali ini. Misalnya, Zakiyah, menulis artikel yang berjudul Konlik dan Kerukunan antarumat Beragama Di Grabag Kabupaten Magelang. Dia menemukan bahwa masyarakat kecamatan Grabag Kabupaten Magelang Jawa Tengah mempunyai berbagai tradisi lokal yang dapat menjadi perekat kerukunan antarumat beragama. Beberapa tradisi seperti merti desa, nyadran dan gendurenan. Tradisi masih dilakukan di daerah tersebut dan melibatkan semua kalangan masyarakat dari berbagai latar belakang agama dapat ikut serta, sehingga dapat meminimalisir prasangka antarumat beragama. Begitupun artikel yang ditulis Akmal Salim Ruhana yang berjudul Relasi Muslim-Buddhis di Panggan, Gunung Kidul, Yogyakarta yang menemukan adanya kesamaan tradisi yaitu Kejawen menjadi pemersatu kelompok Muslim dan Budha di daerah tersebut. Ada tradisi ngesur tanah, pada hari meninggalnya seseorang, hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus dari hari kematian, selalu dibuat sesajen dan kenduri, yang melibatkan seluruh warga terlepas agama apa yang dianutnya.

Dari dua contoh artikel di nomor kali ini, kami ingin mengutip argumentasi dari Muhammad Ali bahwa kita perlu membumikan kemajemukan karena ia menyejarah dalam rancang-bangun negara Indonesia. Persoalannya adalah bagaimana kemajemukan itu dapat dipahami dan diterapkan dalam konteks keIslaman, keIndonesiaan dan kemoderenan.5 Persoalannya adalah masih banyak komponen masyarakat yang menganggap bahwa kemajemukan adalah sesuatu yang membahayakan.

5 Muhammad Ali ‘Mengapa Membumikan Paham Kemajemukan dan Kebebasan Beragama di Indonesia?’, Disampaikan pada Diskusi Publik “Masa Depan Kebebasan Beragama di Indonesia, diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, tgl 19 Juli 2006 di Jakarta.

Seiring dengan itu, radikalisme agama membuncah dengan slogannya ‘kembali kepada keaslian ajaran agama’ yang tidak ramah terhadap segala hal yang tidak berasal dari ajaran inti agama yang dianut kelompok mainstream. Artikel yang ditulis oleh Raudatul Ulum berjudul

Salai-Wahabi vs NU menguraikan tentang penolakan masyarakat setempat terhadap keberadaan sebuah sekolah tinggi di Semampir, Surabaya yang disinyalir berideologi Syiah. Begitupun Asnawati dalam artikelnya Penistaan/Penodaan

Agama dalam Perspekti Pemuka Agama

Islam di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) membahas tentang sikap para tokoh agama tentang pentingnya pelaksanaan agama dilindungi oleh UU. Intinya, dari temuan Asnawati, penodaan agama itu adalah melanggar pokok-pokok ajaran agama. Ini bisa dipahami bahwa mereka menganggap UU No.1/PNPS/1965 masih harus dipertahankan. Hanya saja dalam prakteknya, UU ini sering disalahgunakan oleh sekelompok orang untuk seenaknya mengkriminalisasikan seseorang atau kelompok.6

Dari beberapa pokok pikiran diatas, maka negara perlu mengambil sikap untuk melakukan moderasi terhadap berbagai ekses yang terjadi akibat kemajemukan dan perbedaan faham keagamaan di masyarakat. Kalau negara tidak mampu mengelola kedua hal tersebut maka ekses negatif dari kemajemukan akan lebih mengemuka. Dan akan memberi kesan kepada masyarakat bahwa kemajemukan bukanlah sebuah anugrah melainkan bencana bagi pembangunan masyarakat Indonesia yang modern. Dari redaksi mengucapkan selamat membaca dan kami sangat menghargai kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang budiman.

6 Ayu Melissa, “The Threat from the Blasphemy

(10)

Konlik dan Kerukunan Antarumat Beragama di Grabag

Kabupaten Magelang

Zakiyah

Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Semarang Email: zaki_smart@yahoo.com

Diterima redaksi tanggal 18 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016

Abstract

This article discusses about the conlict and harmony between religious followers in the sub-district of Grabag, Magelang district. In the past few years, among religious adherents in the area had ever experienced conlicts both internally and externally. However, the conlict did not lead to exessive violence and riot, was successfully resolved. Until recently, the condition of society is condusive and harmonious. This is due to the important role of religion and local traditions in building social cohesion among religious believers. This research uses qualitative approach. This study was conducted in Grabag Sub district in the villages of Losari, Ngrancah and Grabag. The result shows that local traditions such as nyadran, merti desa and genduranan have become open spaces for people to meet and interact to each other regardless of their religious backgrpund. In these activities, every resident has same opportunity to participate, there is no discrimination and exclusion among them. Such an interaction has become one of the contributing factors to build social cohesion., along with the religious principle and norm practiced by community. The religious harmony is created.

Keywords: conlict and religious harmony, local tradition, social cohesion.

Abstrak

Artikel ini membahas tentang konlik dan kerukunan antarumat beragama di kecamatan Grabag Kabupaten Magelang. Beberapa tahun yang lalu wilayah ini pernah mengalami konlik antar dan inter umat beragama. Konlik tersebut tidak sampai menimbulkan kekerasan dan kerusuhan dalam skala besar, dan dapat teratasi. Hingga saat ini kondisi masyarakat dalam keadaan damai, hal ini di antaranya disebabkan oleh peran agama dan tradisi lokal yang mampu menjadi perekat kerukunan umat beragama. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif di tiga desa di Kecamatan Grabag meliputi desa Grabag, desa Losari dan desa Ngrancah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perayaan nyadran, merti desa dan genduranan merupakan tempat “terbuka” bagi masyarakat tanpa membedakan latar belakang agama tanpa ada diskriminasi dan ekslusi. Dalam kegiatan tersebut, setiap warga mempunyai kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi dengan warga lainnya. Interaksi tersebut telah menjadi salah satu faktor terbentuknya kohesi sosial, disamping faktor prinsip dan norma agama yang dijalankan oleh masyarakat. Kerukunan umat beragama terbentuk.

Kata kunci: konlik dan harmoni beragama,

tradisi lokal, kohesi sosial.

Pendahuluan

Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di Jawa Tengah, menurut data lembaga kajian agama dan sosial Semarang, daerah ini termasuk sebagai daerah “merah”, yaitu wilayah rawan terjadi konlik dan kekerasan. Misalnya, pada tahun 2012 sempat terjadi

(11)

menurut penuturan pendeta dari Jemaat Kristen Indonesia (GKI) Injil Kerajaan Muntilan hanya merupakan peribadatan biasa, dan kegiatan pengobatn tersebut merupakan kelanjutan dari kegiatan bakti sosial setelah bencana letusan gunung Merapi. Dari peristiwa ini kemudian pihak kepolisian turun tangan dan memediasi para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Akhirnya FPI dan GKI bersedia menandatangi surat menerima hasil mediasi tersebut (Kholiludin, 2012).

Pada tahun 2015 di desa Ngablak kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang juga terjadi friksi antara umat Islam dan Kristen terkait dengan pembangunan gereja. Masyarakat Muslim yang tinggal di sekitarnya menolak pembangunan tersebut karena tidak memenuhi syarat sebagaimana PBM no. 8 dan 9 tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadat. Meskipun tidak sampai menimbulkan kekerasan isik, peristiwa ini telah memicu ketegangan antar umat beda agama di daerah tersebut (Wawancara dengan Staf KUA kecamatan Ngablak, 28 Juli 2015). Selain itu, kasus pendirian Padmasambhava Stupa pada tahun 2013 di desa Wanurejo Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang yang ditolak warga sekitar. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Prasetya (2014) menunjukkan bahwa pendirian Padmasambhava Stupa sebagai tempat ibadah tersebut tidak sesuai dengan peraturan PBM no.8 dan 9 tahun 2006, dan adanya perbedaan pandangan antarumat beragama di desa tersebut (Prasetya, 2014: 101).

Konlik dan atau perselisihan yang terjadi merupakan sebagian kecil gambaran tentang fenomena mulai merenggangnya ikatan-ikatan sosial di masyarakat dan menurunnya kerukunan antar dan intern umat beragama. Terjadinya kesenjangan dan keretakan kehidupan keagamaan tersebut tentu

disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya adalah melemahnya hubungan antar individu di masyarakat, adanya pergeseresan motif dalam berinteraksi di masyarakat yakni mulai adanya motif ekonomi, melemahnya tradisi lokal dan jejaring yang ada di masyarakat, serta terjadinya pergeseran pranata sosial yang ada. Sedangkan, menurut Soekamto konlik bisa terjadi karena beberapa faktor berikut ini; (1) adanya perbedaan sikap dan pendirian antar individu, (2) adanya perbedaan budaya, (3) adanya perbedaan kepentingan baik ekonomi, politik maupun yang lainnya, (4) adanya perubahan sosial (Soekamto, 1990).

Sementara itu, dalam pandangan Jamaludin Ancok (2003) disebutkan bahwa adanya perselisihan dan konlik di beberapa tempat akhir akhir ini dikarenakan adanya penurunan kualitas masyarakat yang disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini; (1) orientasi pembangunan ekonomi pertumbuhan; hal ini menjadi salah satu pendorong bagi masyarakat untuk mengakumulasi materi sebanyak-banyaknya dan menjadikan ekonomi sebagai motif dalam bermasyarakat, (2) melemahnya infrastruktur sosial pengikat silaturrahmi, (3) Orientasi pengembangan manusia yang berfokus pada aspek kognitif; hal ini hanya fokus pada pengembangan manusia yang berorientasi untuk kompetensi di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan dan mengabaikan aspek pengembangan karakter. Pada gilirannya, hal ini mengakibatkan lemahnya karakter manusia yang dapat berempati dan hidup berdampingan secara damai dengan orang lain (Ancok, 2003: 4-5).

(12)

Beberapa tradisi seperti merti desa, nyadran dan gendurenan merupakan tradisi yang dilakukan di daerah tersebut. Dalam pelaksanaan tradisi tersebut semua kalangan masyarakat dari berbagai latar belakang agama dapat ikut serta. Hal ini memberikan peluang bagi mereka untuk saling bertemu dan berinteraksi tanpa memandang perbedaan, sehingga hal ini dan dapat meminimalisir prasangka antarumat beragama.

Berdasarkan fenomena seperti dipaparkan di atas maka tema ini penting untuk dibahas karena desa-desa tersebut berpenduduk multi agama, yaitu tentang bagaimana konlik dan kerukunan pada masyarakat di Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang, bagaimana prinsip agama dan tradisi lokal dapat berperan sebagai perekat kerukunan antarumat beragama. Karena tradisi lokal merupakan salah satu modal sosial yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung terjadinya kohesi sosial di tengah beragam persoalan sosial keagamaan. Pada saat yang sama, norma agama juga dapat menjadi perekat hubungan antarumat beragama.

Tradisi Lokal, Kohesi Sosial dan Kerukunan antarumat Beragama

Masyarakat yang masih menjunjung tinggi norma dan tradisi disinyalir mempunyai tingkat kohesi sosial yang tinggi di bandingkan dengan yang tidak memilikinya. Studi yang dilakukan di beberapa desa di India oleh Anirudh Krishna menunjukkan bahwa desa yang melalukan perayaan agama secara bersama seperti perayaan idul itri bagi Muslim dan perayaan Diwali bagi umat Hindu menunjukkan bahwa tingkat kerukunannya lebih tinggi, serta jumlah konlik pertanahan lebih sedikit jumlahnya (Krisna, 2002: 120-121)

Schmit menjelaskan kohesi sosial dipandang sebagai karakter

masyarakat dalam kaitannya dengan hubungan antara unit-unit sosial seperti individu, kelompok, dan lembaga-lembaga asosiasi. Selain itu, kohesi sosial juga dideinisikan sebagai proses pengembangan masyarakat yang sedang berlangsung meliputi nilai-nilai bersama, tantangan bersama dan kesempatan yang setara dalam masyarakat berdasarkan sikap percaya, harapan dan timbal balik di antara masyarakat (Schmit, 2002: 405). Senada dengan deinisi tersebut, Stanley mengatakan bahwa kohesi sosial mencakup aspek membangun nilai-nilai bersama dan interpretasi masyarakat, mengurangi perbedaan pendapatan dan kekayaan, sehingga orang orang merasa mereka terlibat dalam urusan masyarakat, merasa menghadapi tantangan bersama, dan merasa menjadi anggota masyarakat (Stanley, 2003: 7). Secara ringkas kohesi sosial dimaknai sebagai perekat yang dapat mengikat masyarakat secara bersama (Capshaw, 2005: 53).

(13)

Sementara itu, modal sosial sebagai bagian dari kohesi sosial mempunyai makna yang beragam. Putnam (1995) mengartikan modal sosial sebagai organisasi sosial meliputi kerjasama, kepercayaan, dan norma yang dapat berperan dalam menfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk mencapai manfaat bersama (Krishna, 2002: 4; Grootaert dan van Bastelaer, 2002: 2). Sementara Schmit menyebutkan tiga dimensi dalam modal sosial; pertama, hubungan sosial dan aktiitas di dalam kelompok sosial. Kedua, kualitas hubungan sosial meliputi nilai-nilai bersama, perasaan keanggotaan, solidaritas, dan kepercayaan. Keiga, kualitas lembaga sosial mencakup aspek kreibilitas, reliabilitas, keberfungsian, dan eisiensi (Schmit, 2002: 410).

Istilah modal sosial juga digunakan untuk ruang lingkup yang berbeda-beda, di antaranya adalah (a) untuk menjelaskan hubungan antara orang-orang pada berbagai level kerjasama misalnya level utama, organisasi, dan lembaga, (b) untuk menjelaskan fungsi dan struktur lembaga lembaga sosial, (c) komitmen bersama terkait dengan nilai dan norma, (d) identitas bersama, (e) rasa memiliki, (f) kepercayaan yang dimiliki (Schmit, 2002: 409). Di dalam penjelasan yang diberikan oleh Heyneman disebutkan bahwa modal sosial dan modal manusia (human capital) mempunyai kaitan erat dalam kohesi sosial (Heynemen, 2005: 4). Woolcock (1998) mengatakan modal sosial sebagai informasi, trust (kepercayaan), dan norma yang ada di dalam jejaring masyarakat. Sedangkan Fukuyama menekankan deinisi modal sosial pada norma atau nilai-nilai yang ada di masyarakat yang dapat memungkinkan mereka untuk saling bekerja sama (Fukuyama, 1997 seperti dikutip oleh Bjørnskov dan Sønderskov, 2013: 1228).

Dalam tulisan ini tradisi lokal dimaknai sebagai elemen dari modal sosial yang dapat menjadi perekat

kerukunan antarumat beragama. Di dalam pelaksanaan tradisi lokal tersebut akan terlihat nilai-nilai bersama yang dibangun dan norma-norma masyarakat yang dipatuhi, yang pada gilirannya nanti dapat menguatkan hubungan sosial. Selain itu, dalam perayaan tradisi tersebut ada elemen inklusi dari setiap anggota masyarakat di wilayahnya tersebut sehingga memungkinkan mereka untuk saling bekerja sama.

Kerukunan antarumat beragama di Indonesia sejatinya juga telah diatur dalam beberapa instrumen hukum dan peraturan yang telah dibuat oleh negara. Di antara aturan tersebut termaktub dalam Undang undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 29 ayat 1 dan pasal 28E ayat (1), (2) dan (3) tentang kebebasan beragama. Pada saat yang sama UUD 1945 pasal 28J juga mengatur tentang kewajiban setiap warga negara untuk meghormati hak kebebasan orang lain serta kewajiban untuk menjaga ketertiban umum. Hal ini secara tersurat memebrikan rambu-rambu dalam upaya menciptakan kerukunan antarumat beragama.

(14)

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kecamatan Grabag Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Adapun desa yang dipilih adalah tiga desa meliputi desa Losari, desa Ngrancah, desa Grabag. Ketiga desa tersebut dipilih dengan pertimbangan merupakan desa dengan pemeluk agama yang berbeda-beda. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode ini untuk melihat konlik dan kerukunan antarumat beragama yang ada di masyarakat, serta digunakan untuk mengetahui praktik tradisi lokal dan situasi yang ada di lokasi penelitian. Data dikumpulkan dengan wawancara terhadap informan kunci meliputi tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat pemerintah desa dan kecamatan, serta anggota masyarakat. Wawancara dilaksanakan pada bulan Juni – Agustus 2015.

Kondisi Geograis dan Sosial Keagamaan Kecamatan Grabag Magelang

Grabag merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Magelang Jawa Tengah yang letaknya di bagian utara. Memiliki perbatasan dengan kecamatan Jambu kabupaten Semarang di bagian utara, dan berbatasan dengan kecamatan Pringsurat Kabupaten Temanggung di bagian baratnya. Beberapa desa di wilayah Grabag berbukit-bukit dan dilingkupi oleh persawahan, ladang dan kebun-kebun kopi. Satu di antara desa tersebut adalah desa Ngrancah yang menjadi satu dari tiga desa yang diteliti. Untuk menuju ke desa Ngrancah dari pusat kota Grabag dibutuhkan waktu sekitar dua puluh menit dengan berkendara motor. Jalan-jalan menuju ke desa tersebut berkelok-kelok dan di sekelingnya pohon-pohon besar dan tebing-tebing di pinggirnya.

Desa kedua yang diteliti adalah desa Losari letaknya tidak jauh dari desa

Ngrancah. Kedua desa ini berdeketan dan hanya dibatasi oleh sawah dan kebun-kebun. Desa Losari ini merupakan desa paling ujung yang berdempetan dengan Kabupaten Semarang. Sementara desa ketiga yang menjadi tempat penelitian adalah desa Grabag letaknya di pusat kota kecamatan. Untuk mencapai kecamatan Grabag dari pusat kota Magelang dibutuhkan waktu sekitar 45 menit dengan kendaraan pribadi. Sedangkan jika dengan kendaraan umum butuh waktu sekitar satu setengah jam. Di sana terdapat beberapa moda transportasi umum seperti bis dan mobil angkutan desa yang menghubungkan kecamatan Grabag dengan kota-kota lainnya. Sedangkan untuk ke desa Losari dan Ngrancah transportasi umum terdapat mobil angkutan desa yang hanya beroperasi pada pagi dan siang saat jam anak-anak sekolah berangkat dan pulang dari sekolah, sementara pada jam-jam lainnya hanya ada ojek.

Desa yang dipilih menjadi lokus penelitian ini berdasarkan pertimbangan ketiga desa ini merupakan desa dengan penduduk multi agama. Di wilayah kecamatan Grabag terdapat 28 desa dengan jumlah penduduk 87.181 orang dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, dan pemeluk Katholik sebanyak 423 orang, diikuti oleh pemeluk agama Kristen Protestan sebanyak 181 orang, serta pemeluk agama Buddha sebanyak 42 orang (Data KUA Kecamatan Grabag, 2014; Data proil desa Losari, 2014).

(15)

orang, Katholik 263 orang dan Buddha 41 orang. Tempat tinggal mereka menyebar di beberapa dusun yang ada yaitu dusun Losari atau biasa disebut dengan dusun Ngelo, dusun Nawangsari, dusun Kragan, dusun Wates, dusun Kalitelon. Di desa Losari terdapat 4 buah masjid, tiga buah mushola, 1 buah gereja Katholik dan 1 buah vihara. Berikut ini adalah distribusi penduduk desa Losari berdasarkan agama:

Tabel.1 Distribusi Penduduk desa Losari berdasarkan Agama

No Agama Jenis kelamin Jumlah

Laki-laki Perempuan

1 Islam 755 760 1.515

2 Kristen 4 7 11

3 Katholik 126 137 263

4 Hindu 0 0 0

5 Budha 18 23 41

6 Khonghucu 0 0 0

7 Aliran kepercayaan

lainnya 0 0

0

8 Jumlah 903 927 1.830

Sumber: data proil desa Losari, 2014.

Terdapat tiga dusun di Desa Ngrancah yaitu dusun Ngrancah, Tukbugel dan Pucung. Dari ketiga dusun tersebut hanya dusun Tukbugel yang mempunyai penduduk multi agama yaitu Islam dan Kristen. Di dusun Tukbugel ini kemudian wawancara dilakukan. Di dusun Tukbugel terdapat 316 penduduk dengan mayoritasnya memeluk agama

Islam dan 27 orang adalah penganut Agama Kristen. Di dusun Tukbugel, selain terdapat masjid juga terdapat satu gereja untuk umat Kristen. Sementara di dua dusun lainnya yaitu dusun Ngrancah dan dusun Pucung semuanya beragama Islam. Jumlah penduduk di dusun Pucung 320 orang dan penduduk dusun Ngrancah berjumlah 675. Berikut ini rincian distribusi penduduk desa Ngrancah berdasarkan agama;

Tabel. 2 Distribusi penduduk desa Ngrancah berdasarkan agama

No

Dusun/desa

Jumlah penduduk

Agama

Islam

Kristen

1

Ngrancah

675

675

0

2

Pucung

320

320

0

3

Tukbugel

316

289

27

Desa Ngrancah

1.341

1.314

27

Sumber: Kantor Desa Ngrancah, 2014.

(16)

14.236 jiwa yang menyebar di 15 dusun. Mayoritas penduduknya beragama Islam, dan penduduk yang beragama Kristen sebanyak 175 orang, Katholik sebanyak 103 orang, pemeluk agama Buddha 2 orang, dan pemeluk agama Hindu satu orang. Berikut ini adalah rincian distribusi penduduk berdasarkan agamanya;

Tabel. 3 Distribusi Penduduk desa Grabag berdasarkan agama

No Agama Jenis kelamin Jumlah

Laki-laki Perempuan

1 Islam 7.004 6.851 13.855

2 Kristen 82 93 175

3 Katholik 53 50 103

4 Hindu 1 0 1

5 Budha 2 0 7

6 Khonghucu 0 0 0

7 Aliran kepercayaan

lainnya 0 0

0

8 Jumlah 7.142 6.994 14.136

Dari 15 dusun yang ada di desa Grabag dipilih dua dusun sebagai lokus penelitian yaitu dusun Ponggol I dan dusun Ponggol II. Di dua dusun tersebut terdapat pemeluk agama yang berlainan yaitu pemeluk Agama Islam dan Kristen. Selain itu, dua dusun ini dapat dikategorikan sebagai dusun dengan ciri perkotaan karena letaknya di pusat kota Kecamatan Grabag dan karakter penduduknya yang berbeda dengan penduduk di desa Losari dan desa Ngrancah. Hal ini di antaranya dapat dilihat dari jenis pekerjaan

masyarakatnya yaitu sebagian dari mereka adalah pedagang. Hal ini dapat dipahami karena dusun Ponggol sangat dekat dengan pasar dan jalan utama kecamatan. Selain itu, sebagian yang lainnya adalah karyawan swasta dan atau pekerja kantoran. Sementara penduduk Losari dan Ngrancah sebagian besarnya

adalah petani dan buruh tani dengan karakter masyarakat pedesaan (data proil desa Losari, 2014, data proil desa Ngrancah, 2014, data laporan pemerintah desa Grabag, 2014).

(17)

Tabel. 4 Tingkat pendidikan penduduk desa Grabag, Losari dan Ngrancah

No Tingkat pendidikan Jumlah pendidikan tamat

Grabag Losari Ngrancah

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1 Tidak tamat SD 2.711 19,1% 59 3,22% 173 12,9%

2 SD 3.316 23,4% 253 13,8% 635 47,3%

3 SMP 2.572 18.1% 760 41,5% 182 13,5%

4 SLTA 2.912 20,5% 197 10,7% 137 10,2%

4 Diploma I/II 189 1,33% 33 1,80% 0 0%

5 Diploma III 208 1,47% 18 0,98% 0 0%

6 Sarjana 579 4,09% 36 1,96% 21 1,56%

7 Belum sekolah 1.895 13,4% 123 6,72% 183 13,6%

8 Usia 7-18 tahun

sedang sekolah

- - 345 18,8% -

-Keterangan: prosentasi dihitung dari prosentasi jumlah seluruh penduduk di masing masing desa

Konlik dan Kerukunan pada Masyarakat Grabag

Secara umum kondisi masyarakat di kecamatan Grabag terlihat aman, dan disebutkan oleh beberapa informan bahwa selama beberapa tahun terakhir ini tidak ada perselisihan antar umat beragama di wilayah ini. Di desa Grabag, Losari dan Ngrancah tidak ada insiden berarti yang melibatkan umat beda agama. Meski tentu saja tetap ada beberapa riak-riak kecil perbedaan dan masalah serta konlik antar warga. Seorang tokoh agama di desa Losari mengatakan;

“tentu saja ada pertengkaran di dusun ini, biasanya masalah dadah (batas tanah), atau maling ayam, kalau pertengkaran terkait masalah agama atau melibatkan warga beda agama tidak ada” (wawancara dengan tokoh agama, 31 Juli 2015). Masalah masalah kecil tersebut dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan di antara warga dan kadang-kadang juga melibatkan aparat desa untuk membantu meredamnya, namun tidak sampai melaporkannya ke

pihak kepolisian. Konlik terkait masalah agama pernah terjadi pada masa lalu di desa Losari seperti dikatakan oleh seorang tokoh agama, yaitu:

“Pada sekitar tahun 1998 pernah ada warga baru dengan pandangan Islam keras, dia mencoba mengajarkan pandangannya tersebut kepada masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Namun ide tersebut mendapatkan penolakan dari warga sekitar. Pada waktu itu sempat akan terjadi perkelahian, para pemuda akan mengeroyok orang tersebut. Sekarang orang tersebut sudah tidak tinggal di dusun Losari. Jadi ketika ada paham-paham agama yang cenderung keras, masyarakat cenderung tidak mau menerima” (wawancara dengan tokoh agama Buddha desa Losari dan aparat desa Losari, 31 Juli 2015).

(18)

“Pada tahun sekitar 1990an ada “peristiwa” yang hampir memicu konlik antar umat beragama, pada waktu itu ada acara pengajian di dusun Kragan desa Losari dengan mengundang pembicara yang dahulunya adalah seorang Katholik yang saat itu sudah masuk Islam. Di dalam pembicaraannya ia menceritakan dirinya saat masih menjadi seorang Katholik, dan pembicaraan tersebut dianggap menyinggung umat Katholik. Pengajian tersebut dianggap provokatif, dan hampir menyulut konlik” (Wawancara dengan tokoh agama Islam, 30 Juli 2015).

Dua kejadian tersebut tidak sampai menimbulkan kerusuhan yang melibatkan warga beda agama, meskipun diakui sempat menyebabkan situasi agak memanas. Pada peristiwa yang kedua, pihak gereja Katholik berupaya meredam umatnya untuk tidak terpancing dengan “provokasi” yang mulai menyebar di masyarakat dengan mengambil semua rekaman hasil pengajian tersebut dan memusnahkannya. Tindakan ini dilakukan supaya masyarakat Katholik tidak tersulut emosinya dan menjadi lebih tenang (wawancara dengan Tokoh agama Katholik, 30 Juli 2015). Sedangkan untuk peristiwa yang pertama, dikatakan bahwa masyarakat Muslim di desa Losari moyoritas berhaluan ahlussunnah wal jama’ah, sehingga faham-faham Islam keras tidak akan mampu masuk ke dalam pikiran warga Muslim dan cenderung untuk tidak diterima. Sehingga orang yang berhaluan “keras” akan dengan sendirinya tidak akan betah tinggal di daerah ini (wawancara dengan tokoh agama Islam dan aparat pemerintah desa Losari, 29-30 Juli 2015).

Selain dua insiden tersebut, jauh sebelumnya pernah terjadi perselisihan antar warga Katholik dan warga Muslim yang hampir menyebabkan kerusuhan.

Kejadian ini dipicu oleh perkataan seorang warga Katholik yang dianggap menyinggung umat Islam, seperti diungkapkan oleh tokoh agama Katholik dan tokoh agama Islam berikut ini:

“Pada tahun 1990an pernah terjadi konlik yang melibatkan warga beda agama, peristiwanya dipicu oleh perkataan warga Katholik yang dianggap menyinggung umat Islam. Pada saat itu umat Katholik sedang membangun gereja di dusun Nawangsari desa Losari, dan di antara pekerjanya ada warga Muslim. Diduga salah satu warga Katholik bicara yang menyinggung umat Islam. Pada saat itu massa (Islam) dari berbagai dusun dan desa sudah berdatangan ke dusun Nawangsari akan “merusak” gereja tersebut. Massa tersebut mencari warga Katholik yang dianggap menjadi “biang” kericuhan tersebut. Pada saat itu masyarakat sudah tegang, dewan Paroki gereja ke Koramil mengamankan “warga” tersebut, dan bersama dengan tokoh agama Islam melerai warga yang bersitegang, dan perselisihan dapat diakhiri.” (wawancara dengan tokoh agama Katholik desa Losari, 30 Juli 2015).

“Pada tahun sekitar tahun 1990an pernah terjadi perselisihan antar warga beda agama, dan gereja hampir dihancurkan oleh “umat Islam”. pada saat itu saya berteriak-teriak di depan gereja menenangkan massa yang sudah mulai marah, dan mengajak mereka untuk tidak menghancurkan gereja.” (wawancara dengan tokoh agama Islam, 30 Juli 2015)

Setelah peristiwa-peristiwa tersebut, di desa Losari tidak pernah

(19)

potensi pertikaian di masyarakat seringkali karena adanya provokasi, namun provokasi tersebut tidak berhasil sepenuhnya mempengaruhi masyarakat dan tidak sampai menimbulkan konlik ketika tokoh agama ikut berperan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat. Selain itu, prinsip-prinsip toleransi pada masing-masing agama yang kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari juga dapat berkontribusi dalam membangun kerukunan antarumat beragama. Misalnya, seorang warga desa Losari beragama Kristen menyebutkan;

“Di dalam agama Kristen terdapat ajaran “cinta kasih” untuk semua manusia. Ajaran ini dapat menjadi perekat kerukunan antarumat beragama. Ajaran ini merupakan dasar untuk mengasihi orang lain. Selain itu, sebagai manusia perlu meniru “lilin”, yakni berbuat baik dengan menerangi sekitarnya” (Wawancara dengan warga beragama Kristen, 30 Juli 2015)

Prinsip cinta kasih terhadap semua manusia tidak terbatas pada warga yang seagama juga dituturkan oleh seorang staf gereja Paroki St.Maria Fatima kota Magelang Utara. Menurutnya, “cinta kasih” ini tidak terbatas pada sesama umat Katholik namun juga kepada seluruh umat manusia (Wawancara dengan staf gereja, 29 Juli 2015). Di dalam agama Katholik terdapat “hukum kasih”, yakni ajaran untuk saling mengasihi. Meskipun, dalam agama ini terdapat ajaran untuk “mengulurkan tangan” kepada ajaran kasih dalam agama Katholik, namun di sini tidak ada paksaan (Wawancara dengan Pendeta Soeprjadi, 30 Juli 2015).

Sementara di desa Ngrancah selama beberapa tahun terkahir juga tidak ada pertikaian yang disebabkan oleh masalah agama dan atau melibatkan warga beda agama. Disebutkan oleh bayan dusun Tukbugel yang menjadi lokus penelitian

bahwa di daerah ini masih dalam situasi kondusif, meskipun ada pula masalah-masalah kecil yang muncul di antara warga.

“Misalnya, terdapat beberapa warga yang memelihara anjing, dan binatang tersebut dibiarkan berkeliaran di lingkungan dusun, awalnya ada keberatan dari warga lainnya karena khawatir anjing tersebut akan mengganggu atau menggigit. Namun, setelah ada pembicaraan antar warga dan dipastikan bahwa anjing tersebut tidak mengganggu, maka anjing-anjing tersebut dibiarkan berkeliaran dan warga tidak merasa keberatan” (wawancara dengan bayan Tukbugel, 31 Juli 2015).

Dari contoh peristiwa tersebut, dapat diketahui bahwa komunikasi atau musyawarah antar warga menjadi bagian penting dalam menyelesaikan friksi-friksi yang muncul di tengah masyarakat. Faktor lain yang merekatkan hubungan masyarakat beda agama di dusun Tukbugel adalah adanya pernikahan antar warga beda agama. Terdapat pula beberapa rumah tangga yang anggota keluarganya beda agama dan mereka ini masih memiliki hubungan kerabat dengan keluarga lain yang beragama Islam yang tinggal di dusun tersebut. Misalnya, satu kelurga terdiri dari suami beragama Kristen, Istri dan anak-anaknya beragama Islam. keluarga lainnya, ayahnya seorang Muslim dan anaknya beragama Kristen. Terdapat pula dalam satu rumah terdapat dua keluarga; satu keluarga beragama Kristen dan satu keluarga beragama Islam (Wawancara dengan bayan dan warga dusun Tukbugel, 11 dan 20 Juni 2015).

(20)

desa Grabag telah dibangun masjid dan juga sekolah dasar Islam yang berailias dan dikelola oleh kelompok tersebut. Beberapa informan menyebutkan bahwa kelompok tersebut mempunyai pemikiran dan ajaran yang “keras” dan berbeda dengan faham ahlussunah waljamaah yang dianut oleh masyarakat muslim di daerah tersebut.

“Beberapa waktu yang telah lalu (sekitar tiga tahun yang lalu), masjid tersebut kalau mengadakan

pengajian menggunakam loudspeaker dan isi pengajian

tersebut di antaranya membid’ah-bid’ahkan tahlil dan mengharamkan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat ahlussunah waljamaah”. Sekarang mereka kalau pengajian tidak menggunakan loudspeaker yang keras dan suaranya tidak sampai jauh masuk ke lingkungan sekitar. Pada waktu lalu, kelompok ini pernah berselisih dengan umat agama lain, mereka akan menghancurkan gereja yang ada di dusun Ponggol. Namun penghancuran tersebut tidak terjadi karena masyarakat sekitar gereja dapat meredamnya, karena dikhawatirkan kalau kerusuhan terjadi maka masyarakat sekitar baik Kristen maupun Islam akan terkena dampaknya (wawancara dengan tokoh agama Islam dusun Ponggol desa Grabag, 19 Juni 2015). Peristiwa tersebut di atas, juga dituturkan oleh informan-informan lainnya bahwa di desa Grabag masalah yang menjadi perhatian warga Muslim adalah keberadaan kelompok “keras” ini. Menurut mereka, selain ajarannya yang ekstrem, anggota kelompoknya cenderung ekslusif dan jarang bergaul dengan orang di luar kelompoknya. Misalnya, ketika diundang untuk kenduri (tahlilan), mereka tidak akan datang (wawancara dengan beberapa warga

Muslim dusun Ponggol I dan Ponggol II desa Grabag, 16, 17 dan 19 Juni 2015). Keberadaan kelompok ini masih menjadi perhatian warga Muslim mayoritas, mereka warga Muslim menggalakkan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti pengajian rutin, mujahadah, pengajaran agama bagi anak-anak, dan kegiatan keagamaan lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menyaring ajaran-ajaran radikal dan membekali serta menguatkan pemahaman keagamaan masyarakat yang berhaluan ahlussunah waljamaah (wawancara dengan pengurus Muslimat NU desa Grabag, 17 Juni 2015).

Mayoritas masyarakat Muslim di kecamatan Grabag, termasuk di tiga desa yang diteliti adalah berhaluan ahlussunnah waljamaah yang masih lekat dengan tradisi tradisi lokal dan tradisi keagamaan yang berbaur menjadi satu. Organisasi masyarakat yang berkembang dengan jumlah anggotanya banyak di daerah ini adalah Nahdlatul Ulama (NU), masyarakat menyebut organisasi ini dengan sebutan ahlussunnah waljamaah. Ada pula organisasi Muhammadiyah di kecamatan Grabag tetapi tidak besar dan anggotanya juga tidak banyak (wawancara dengan kepala KUA kecamatan Grabag dan tokoh agama Islam Grabag, 11 dan 15 Juni 2015).

Tradisi Lokal Perekat Kerukunan Antarumat Beragama

(21)

desa/dusun yang diikuti seluruh warga kampung. Pada acara tersebut setiap keluarga akan membawa makanan nasi dan lauk pauknya, di antara keluarga tersebut akan ada yang membawa nasi tumpeng dan ingkung ayam. Di dusun Tukbugel yang biasa membawa tumpeng dan ingkung adalah bayan dusun dan tokoh masyarakatnya (wawancara dengan bayan dan warga Tukbugel, serta wawancara dengan warga desa Losari, 31 Juli-1 Agustus 2015).

Pada acara tersebut, selain makan bersama semua warga, juga menjadi ajang bertemu dan mengurai masalah masalah yang dihadapi masyarakat pada saat itu. Misalnya, disebutkan oleh seorang tokoh agama Islam desa Losari bahwa pada waktu perayaan merti deso akan ada sambutan dari tokoh agama dan tokoh masyarakat, biasanya mereka akan bicara tentang pentingnya kebersamaan antar warga dan peneguhan kembali kerukunan yang sudah terjalin. Warga juga mempunyai kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya dan memberikan usulan terkait program desa atau masalah yang dihadapi warga (wawancara dengan tokoh agama Islam desa Losari, 31 Juli 2015).

Di dusun Tukbegel, acara merti deso ini juga digunakan untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil panen sawah dan hasil usaha lainnya selama setahun yang telah berlangsung. Perayaan ini biasanya dilengkapi dengan pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk. Adapun biaya untuk perhelatan ini biasanya ditanggung bersama oleh warga dengan iuran yang telah ditetapkan. Saat sekarang ini, iuran tersebut dikumpulkan melalui jimpitan, yaitu setiap hari tiap satu keluarga mengeluarkan iuran yang telah ditetapkan bersama. Ide jimpitan ini muncul saat akan mengadakan pertunjukkan wayang dan membutuhkan uang yang banyak, kalau warga diminta

iuran uang banyak sekaligus maka mereka akan keberatan, oleh karenanya untuk meringankan beban warga maka iuran dilakukan secara bertahap melalui jimpitan (wawancara dengan bayan dan warga Tukbugel, 30-31 Juli 2015).

Sementara di dusun Ponggol I dan II desa Grabag terdapat tradisi nyadran yaitu tradisi Jawa yang dapat berfungsi sebagai ruang bersama warga dari berbagai latar belakang agama, sosial dan ekonomi. Di dusun Ponggol, tradisi nyadran tersebut pernah surut dan tidak dilaksanakan, mulai tahun lalu tradisi ini dihidupkan kembali atas inisiatif masyarakat desa dan beberapa tokoh masyarakat (Wawancara dengan tokoh masyarakat dusun Ponggol I, Juni 2015). Di dalam acara tersebut akan ada doa yang dibacakan dan makan bersama seluruh warga yang ikut hadir. Tradisi nyadran juga terdapat di dusun Losari dan dusun Tukbugel desa Ngrancah (wawancara dengan warga dusun Tukbugel dan Losari, 12-18 Juni 2015).

(22)

keyakinannya masing-masing atau hanya diam saja. Begitu pula jika ada umat Katholik atau Kristen yang mengadakan gendurenan memperingati kematian, akan didoakan menurut ajaran Katholik dan Kristen, sedangkan warga yang beragama lain akan mendoakan sesuai dengan keyakinannya (wawancara dengan tokoh agama Buddha, Katholik, Islam, dan warga Losari, 29-31 Juli 2015). Kehadiran warga pada acara tersebut merupakan aksi saling menghormati meskipun mereka beda agama.

Selain tradisi lokal tersebut, kerukunan antar umat beragama dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya, di antaranya adalah budaya saling menghormati antar warga dan interaksi yang telah terbangun sejak lama serta prinsip-prinsip agama dan nilai-nilai jawa yang masih dipegang oleh masyarakat sehingga dapat menjadi perekat sosial diantara mereka. Hal ini seperti diungkapkan oleh seorang pendeta Katholik Gereja St. Maria Fatima Magelang Utara;

“Faktor perekat kerukunan antar umat beragama (a) berkat Tuhan, juga di tingkat praksis juga ada seperti perkawinan beda agama, (b) sekolah yang terbuka; misalnya sekolah-sekolah Katholik yang ada tidak mewajibkan untuk mengikuti ajaran agama Katholik, banyak di antara siswa sekolah Katholik adalah anak-anak Muslim, di sekolah tersebut tidak mengajarkan tentang agama Katholik. (c) nilai-nilai Jawa yang melekat pada semua masyarakat Magelang, maka sudah dengan sendirinya mereka merasa bersaudara secara etnis (persaudaraan etnis). (d) nilai-nilai agama yang menyatukan; bahwa nenek moyang berasal dari orang yang sama “Abraham” semua diberikan oleh Allah. Kalau

misalnya ada perbedaan dalam penyebutan/pelafalan “Allah”, hal ini tidak jadi soal, (e) “hukum kasih”, di agama Katholik terdapat ajaran untuk saling mengasihi” (Wawancara dengan Pendeta Soeprjadi, 30 Juli 2015).

Perbedaan dalam agama merupakan fakta, namun keberbedaan tersebut selayaknya bukan menjadi penghambat untuk berinteraksi dan pemicu konlik. Karena sebenarnya di masyarakat sudah ada budaya saling menghormati, tolong menolong dan kegiatan-kegiatan sosial yang melibatkan semua warga dan lainnya. Pendeta Soeprjadi menyebutkan;

“Di dalam agama ada perbedaan, namun itu bukan sumber perpecahan, bila ada konlik, sebenarnya disebabkan adanya kepentingan pribadi yang berbeda. Di dalam diri manusia ada nafs untuk bermusuhan. Oleh karenanya perlu untuk mensucikan nafs tersebut. Banyak di antara orang-orang itu yang mencari enaknya sendiri, mengorbankan prinsip-prinsip. Dalam hidup; nilai harus jelas. Nilai-nilai etika, nilai budaya Berpegang teguh pada prinsip “salah tetap dikatakan salah, dan benar dikatakan benar”, untuk mengatasi keberbedaan; perlu memegang nilai-nilai bersama, nilai-nilai sosial, menghormati kaidah kaidah yang berlaku, karena kultur/budaya itu baik dan tidak ada yang buruk.”

(23)

misalnya, adalah tradisi lokal yang diisi dengan acara keagamaan dan tidak menjadi monopoli dari kelompok agama tertentu. Pemeluk agama Islam, Katholik, BuDdha dan Kristen di desa losari dan dusun Tukbugel, semua menjalankannya. Dalam perayaan ini terdapat hubungan timbal balik antara warga dan hubungan sosial, yang pada gilirannya nanti dapat memperkuat sendi-sendi kerukunan di dalam masyarakat. Tradisi merti desa dan nyadran juga menunjukkan adanya aspek inklusi terhadap semua warga dan partisipasi serta kerjasama di antara mereka yang dapat dimaknai sebagai modal sosial untuk menjadi pendukung terciptanya kohesi sosial di masyarakat.

Kerukunan yang di bangun oleh masyarakat Grabag berdasarkan nilai-nilai agama dan tradisi lokal. Kerukunan masyarakat terjalin tidak hanya di antara sesama umat (internumat beragama), namun juga kerukunan antarumat beragama. Di sana terlihat adanya kesediaan menerima kelompok lain dan kesediaan bekerjasama meskipun dengan warga beda agama.

Kesimpulan

Kecamatan Grabag, khususnya di tiga desa yang diteliti yaitu Grabag, Losari dan Ngrancah secara umum dalam kondisi aman dan rukun. Namun demikian, dalam lintasan sejarahnya pernah mengalami riak-riak konlik antar umat beragama, baik dalam skala kecil dan ataupun konlik yang hampir menimbulkan kerusuhan massa. Perselisihan yang terjadi semuanya dapat teratasi dan sampai sekarang tidak muncul lagi. Kerukunan yang terjadi pada masyarakat Grabag terbangun atas beberapa faktor pendukung yaitu prinsip-prinsip dan norma agama yang masih dipegang oleh masyarakat, serta tradisi lokal yang masih berjalan sehingga mampu menjadi perekat ikatan-ikatan sosial kemasyarakatan. Di desa-desa yang diteliti masih berkembang tradisi lokal yang terus dilestarikan seperi nyadran, merti desa dan gendurenan. Tradisi tersebut telah menjadi perekat kerukunan antarumat beragama dan menjadi ruang bertemu bagi semua kalangan atau anggota masyarakat tanpa membedakan latar sosial dan agama.

Daftar Pustaka

Ancok, Djamaludin. Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, diucapkan di hadapan Rapat Majelis Guru Besar Terbuka Universitas Gadjah Mada pada tanggal 3 Mei 2003 di Jogjakarta, 2003

Bjørnskov, Christian dan Sønderskov, Kim Mannemar. Is Social Capital a Good Concept?, Soc Indic Res, 114:1225–1242, 2013.

Bjørnskov, Christian dan Sønderskov, Kim Mannemar. “Is Social Capital a Good Concept?” Soc Indic Res (2013) 114:1225-1242. DOI 10.1007/s11205-012-0199-1 Brehm, John dan Rahn, Wendy. Individual-level evidence for the cause and consequences

of Social Capital. American Journal of Political Science, 41: 999-1023, 1997.

(24)

Grootaert, Christiaan dan van Bastelaer, Thierry. Introduction and overview. Dalam Grootaert, Christiaan dan van Bastelaer, Thierry (ed). The role of social capital in development an empirical assessment. New York: Cambridge University Press, 2002. Hasbullah, Jousairi. Social Capital menuju keunggulan budaya manusia Indonesia.

Jakarta:M.R-United Press, 2006.

Heyneman, Stephen.P. Introduction to this special issue on organisation and social organisation. Peabody Journal of Education, 80 (4): 1-4, 2005.

Kholiludin, Tedi. 2012. Isu-Isu dalam Konlik Bernuansa Agama. Diakses pada 16 Maret 2016, dari: htp://elsaonline.com/?p=1429

Krishna, Anirudh. 2002. Active Social Capital Tracing the Roots of Development and Democracy. New York: Columbia University Press, 2002.

Prasetya, Farid Agus. Problematika pendirian rumah ibadah dalam perspektif ketatanegaraan, studi kasus atas pembangunan komplek padmasambhava stupa di dusun Bejen desa

Wanurejo Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang. Skripsi tidak diterbitkan, untuk Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri Sunan Kaljaga Yogyakarta, 2014.

Schmit, Regina Berger. Considering social cohesion in quality of life assesment: concept and measurement. Social indicators research. Vol.58(1/3): 403-428, 2002.

Stanley, Dick. What do we know about social-cohesion: the research perspective of the federal government’s social cohesion research network. The Canadian Journal of Sociology. Vol.28 (1): 5-17, 2003.

Widoyoko, Eko Putro. Teknik penyusunan instrume penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

(25)

Relasi Muslim-Buddhis di Panggang,

Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta

Akmal Salim Ruhana

Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kementerian Agama, Jl. MH Thamrin No. 6 Jakarta Email: akmalsalimruhana@gmail.com.

Diterima redaksi tanggal 20 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016

Abstract

As a multireligious country, Indonesia is facing the dynamic relation between majority and minority: between tension and harmony too. The potrait of Muslim-Buddhist relation in Panggang,Gunung Kidul, as historically observed, has shown a harmonious and unique interaction. This research tries to elaborate this condition. Through literature study, interview and observation, this research found that Muslim-Buddhist have a common basic need to build harmony, and they also have theological fundamental reason and strongly hold “cultural bonds“ of the ancient Java between them.

There are also associational bond among lay people in society such as social gathering “sepuluhan” and volley ball team; and practising quotidian bond such as eating gathering in “sedekah bumi” and working together in “sambatan”. Those social bonding in each group does not bring to exclusivism but sthrengten their existence to hold mutual goals.

Keywords: majority-minority, harmony, cultural bond, muslim-buddhist relation, Gunung Kidul, associational ties, quotidian ties.

Abstrak

Sebagai negara yang multirelijius, Indonesia mengalami dinamika hubungan pemeluk mayoritas-minoritas: antara ketegangan dan kerukunan. Hubungan Muslim-Bhuddis di Panggang, Gunung Kidul, sebagaimana telah menyejarah, menunjukkan interaksi yang harmonis dan unik. Penelitian ini hendak mengelaborasi hal tersebut. Dengan kajian literatur, wawancara, dan pengamatan lapangan, penelitian ini menemukan bahwa masyarakat memiliki kebutuhan bersama untuk rukun, selain ada landasan perintah teologis juga terikat kuat dalam “sabuk budaya” leluhur Jawa. Terdapat pula ikatan antarwarga bersifat asosiasional seperti arisan warga “sepuluhan” dan tim bola voli RT. Ada juga ikatan “quotidian” berupa budaya makan bersama saat sedekah bumi, dan budaya gotong royong sambatan. Social bonding yang dilakukan masing-masing kelompok agama tidak mendorong pada eksklusivisme kelompok, melainkan menjadi pemerkuatan eksistensi untuk mendukung tujuan bersama.

Kata kunci: mayoritas-minoritas, harmoni, sabuk budaya, relasi Islam-Buddha, Gunung Kidul, ikatan asosiasional, ikatan sehari-hari.

Pendahuluan

Salahsatu rahasia tetap terpeliharanya kerukunan antarumat beragama di Indonesia adalah adanya keseimbangan mayoritas-minoritas dalam pemelukan agama di berbagai daerah di Indonesia (Mudzhar, 2011:142-143). Sebagaimana diketahui, meski secara nasional Islam dipeluk

(26)

di tingkatan kabu paten/kota, sehingga agama yang mayoritas di suatu level bisa menjadi minoritas di level lainnya. Keseimbangan kondisi ini menyebabkan adanya sikap ‘saling kontrol’ atau saling menjaga diri diantara agama-agama yang pemeluknya tersebar di berbagai wilayah Indonesia tersebut. Dengan demikian, potensi ketidakrukunan dalam suatu masyarakat dapat diken dalikan dan kondisi kerukunan terpelihara.

Fenomena praktiknya kian unik, karena dalam banyak kasus seperti terjadi kondisi “saling balas” dan solidaritas negatif. Ketika terjadi kasus penolakan pendirian gereja di Bogor (yang notabene daerah mayoritas Islam), beberapa tahun lalu, ada sebagian masya rakat yang memper sulit pendirian masjid di Kupang. Lalu, terbitnya perda-perda bernuansa syariat Islam di beberapa kota diresponi penerbitan perda ‘syariat Kristen’ di Manokwari. Kasus terbaru, kabar mengenai adanya gangguan terhadap umat minoritas Islam di Tolikara, Papua, langsung mendapat respon protes dari umat muslim di berbagai wilayah Indonesia. Bahkan, di Joyotakan, Solo, sekelompok massa menggeruduk bangunan tempat ibadat milik GIDI keesokan harinya. Kondisi resiprokal ini menunjukkan relasi antarumat beragama mayoritas-minoritas di Indonesia yang cukup dinamis.

Relasi antarumat beragama sejatinya sesuatu yang niscaya dalam masyarakat Indonesia yang multikultur dan multireljius. Berrelasi berarti bersosialisasi atau berinteraksi, sementara itu penduduk Indonesia adalah masyarakat yang memeluk agama. Maka interaksi antarwarga masyarakat berarti sekaligus relasi antarumat beragama. Searah dengan itu, fenomena mayoritas-minoritas pemelukan agama pada suatu wilayah juga sesuatu yang niscaya. Selain penjejakan historis, pergerakan penduduk (migrasi) ke berbagai pelosok

negeri untuk urusan ekonomi, politik, dan lainnya, menyebabkan peta demograi keagamaan ikut bergerak.

Meski terjadi satu-dua kasus ketidakrukunan antarumat beragama, gambaran relasi antarumat beragama pada umumnya berlangsung kondusif rukun. Hasil survei nasional kerukunan umat beragama yang dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2012 menunjukkan hal itu. Penelitian kuantitatif di 33 provinsi dengan 3.300 responden dan margin of error ± 1.7% itu menunjukkan bahwa indeks kerukunan secara rata-rata nasional sebesar 3,67 (dalam rentang 1-5). Hal ini menegaskan kondisi kerukunan nasional yang berada dalam rentang cukup harmonis. (Ahmad, 2013). Temuan kuantitatif ini diperkuat berbagai potret dan fakta-fakta kualitatif tentang kondisi kerukunan di dalam masyarakat Indonesia. Gambaran kerukunan antarumat beragama dalam situs-situs keagamaan dapat ditemukan di berbagai daerah. Ada masjid yang bersebelahan satu tembok dengan gereja, ada pura yang menye diakan ruang untuk shalat, dan sebagainya (Tim PKUB, 2014). Demikian halnya, berbagai inisiatif masyarakat dalam memelihara kerukunan dapat dilihat dari kegiatan Peacemaking dan Peacekeeping dengan pendekatan Participatory Action Research yang dilakukan para pemuda di 16 kota di Indonesia (Asri, 2013). Fakta-fakta empirik di atas menunjukkan relasi antarumat beragama yang harmonis di tengah keberagaman pemelukan agama dengan komposisi mayoritas-minori tasnya. Suatu kondisi yang unik—setidaknya jika merujuk pada perkembangan hubungan umat beragama mayoritas versus minoritas di beberapa negara Eropa belakangan ini.

(27)

tengah ‘stigma’ mayoritas-minoritas itu. Secara khusus, penelitian ini hendak memotret dan mendalami relasi harmonis antarumat beragama minoritas Buddha di tengah keberadaan umat mayoritas Islam di Kecamatan Panggang, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian “bagaimana relasi antarumat beragama minoritas-mayoritas di Kecamatan Panggang?”. Untuk itu, disusun beberapa pertanyaan penelitian: 1) apa yang mendasari pemikiran kelompok agama Islam dan Buddha di Kecamatan Panggang dalam membangun relasi antarmereka?; 2) apa saja bentuk-bentuk relasi antarkelompok keagamaan mayoritas Islam dan minoritas Buddha di Kecamatan Panggang itu?; dan 3) bagaimana kondisi masing-masing kelompok setelah adanya relasi tersebut?

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui dan mendeskripsikan apa yang mendasari pemikiran kelompok agama Islam dan Buddha di Kecamatan Panggang dalam membangun relasi?; 2) mengetahui dan mendiskripsikan bentuk-bentuk relasi antar kelompok keagamaan mayoritas Islam dan minoritas Buddha itu?; dan 3) mengetahui dan mendiskripsikan kondisi masing-masing kelompok setelah ada relasi tersebut?

Kajian tentang relasi antarumat beragama di Indonesia telah cukup banyak dilakukan, baik dalam bingkai konlik maupun kedamaian. Ada yang memetakan dalam lingkup relasi umum antarumat beragama, atau biasa menggunakan terma kerukunan umat beragama, maupun potret-potret kasus hubungan antarumat beragama. Baik dilakukan peneliti kampus, untuk tujuan akademis dan penguatan keilmuan, maupun kalangan peneliti Pemerintah yang banyak berhubungan dengan penyiapan bahan kebjakan.

Mujiburrahman (2006), misalnya, mengkaji relasi antara muslim dan Kristen di masa Orde Baru. Dalam kajian-disertasinya ini antara lain djelaskan bahwa hubungan Kristen-Islam di Indonesia selama ini diwarnai oleh kecurigaan antarkelompok yang cukup dalam. Ada perasaan ‘saling terancam’ satu dengan lainnya. Kalangan Muslim dihantui ketakutan berle bihan bahwa umat Kristen akan melakukan segala cara untuk usaha Kristenisasi, di sisi lain umat Kristen dihantui ketakutan yang juga berlebihan bahwa umat Islam akan melakukan segala cara untuk mendirikan Negara Islam. Negara, dalam konteks relasi Islam-Kristen ini, kerap menjadi lahan pertikaian ketakutan berlebihan kedua kelompok tersebut.

Kajian lain dilakukan Fu Xie (2006), yang melihat hubungan antara orang Kristen dan Islam dalam Masyarakat Sipil di Kota Sukabumi dan Kota Bandung. Diantara temuannya, orang Kristen sebagai kelompok minoritas di kedua kota yang diteliti, lebih berperilaku inklusif dibandingkan dengan orang Islam. Hal ini seturut dengan teori Blau yang mengatakan bahwa semakin besar ukuran suatu kelompok maka semakin kecil kemungkinan anggota kelompok tersebut untuk berhubungan dengan kelompok lain. Temuan lain, di kota besar (Bandung), seorang yang aktif di organisasi non-agama akan mempunyai trust terhadap agama lain yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak. Hal ini sesuai dengan teori Varshney yang mengatakan bahwa di kota-kota besar interaksi sehari-hari tidaklah efektif untuk mening katkan hubungan, dan cara yang efektif adalah interaksi asosiasional.

(28)

(Katolik maupun Protestan) di NTT dalam wadah pendidikan Muhammadiyah. Digambarkan, SMA Muham madiyah di Ende, misalnya, diterima baik oleh masyarakat yang mayoritas beragama Katolik. Lebih dari itu, dua pertiga murid SMA Muhammadiyah itu beragama Katolik, yang mana bagi mereka disediakan guru agama Katolik. Kajian ini memunculkan istilah “Krismuha” (Kristen-Muhammadiyah), wujud relasi ‘konvergensi

teologis-sosiologis-paedagogis’ antara Kristen/Katolik dan Muhammadiyah.

Sementara itu, Umi Matukhah (2014) mengkaji hubungan antarumat beragama di Losari, Magelang. Dengan menggunakan empat prasyarat fungsional ala Parson (adaptation, goal atainment, integration, dan latent patern maintenance), ditemukan bahwa masyarakat Losari yang diteliti memenuhi keempat prasyarat itu. Anggota masyarakat mendahulukan kepentingan umum dibanding pribadi (adaptation), yang ditujukan bukan untuk pribadi melainkan untuk tujuan bersama (goal atainment). Mereka juga meleburkan berbagai identitas demi menjaga menghindari konlik dan menjaga kebersamaan (integration), dan meski melebur namun tetap mempertahankan sesuatu dalam dirinya (latent patern maintenance), yakni nilai agama dan norma-norma bermasyarakat. Relasi yang menegaskan adanya kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat.

Kajian terkait hubungan antarumat beragama lainnya adalah peta kerukunan umat beragama, yang telah dilakukan dalam beberapa tahun. Tahun 2009 dilakukan pemetaan kerukunan umat beragama di berbagai daerah Indonesia. Kajian kualitatif ini memotret kondisi kerukunan kehidupan beragama di 10 daerah pedesaan/perkebunan di Indonesia. Selain berhasil mengelaborasi kondisi kehidupan beragama, hubungan antarumat beragama, juga terinventarisasi

potensi-potensi konlik, kecenderungan hubungan antar umat beragama, institusi-institusi lokal yang berperan dalam menjaga kerukunan, usaha-usaha yang dilakukan dalam menjaga integrasi sosial, serta kebjakan-kebjakan pemerintah yang mendukung lahirnya kondisi integrasi sosial kemasyarakatan (Ali, 2009). Kemudian tahun 2012 dilakukan Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama, yang juga memetakan secara kuantitatif kondisi kerukunan beragama di 33 provinsi. Hasilnya, sebagaimana diulas di atas, penelitian kuantitatif di 33 provinsi dengan 3.300 responden ini menunjukkan indeks kerukunan secara rata-rata nasional sebesar 3,67 (untuk rentang 1-5). Hal ini menegaskan kondisi kerukunan nasional yang berada dalam rentang cukup harmonis. Relasi antarumat beragama pada umumnya (secara gambar nasional) berjalan baik atau harmonis.

(29)

dengan tradisi dan adat kejawen. Sehingga, bentuk pemahaman dan sikap pluralisme mereka berupa sinkretisme. Temuan ini akan mengantarkan kajian kali ini.

Pengkajian kali ini berupaya mendalami dasar pjak relasi mayoritas-minoritas di lokasi penelitian, dan sisi kekinian kajian topik ini. Kajian ini hendak hadir dalam state of the arts wacana ini untuk melengkapi dan memutakhirkan kajian yang ada sebelumnya.

Konsep dan Teori

Kajian ini merujuk desain operasional penelitian ini, menggunakan konsep “relasi” sebagaimana dideinisikan Koentjaraningrat, yaitu jaringan yang terwujud karena interaksi antara satuan-satuan yang aktif. Deinisi ini menunjukkan bahwa hakekat dari relasi atau hubungan adalah adanya ‘interaksi’. Interaksi itu sendiri dideinisikan dengan hubungan antara dua orang atau lebih atau antara dua kelompok orang atau lebih atas dasar adanya aksi dan interaksi. Interaksi yang tersirat dalam konsep relasi dalam penelitian ini adalah ‘interaksi sosial’ yaitu jaringan hubungan antara dua orang atau lebih atau antara dua golongan atau lebih yang menjadi syarat bagi kehidupan bermasyarakat (Kuntjaraningrat, 2003: 79, 90).

Adapun “kelompok keagamaan”, yang dalam kajian ini adalah kelompok mayoritas Islam dan minoritas Buddha, dideinisikan dengan populasi yang merupakan suatu unit yang hidup terpisah dari unit lain. Di samping itu, kelompok keagamaan dikenal sebagai populasi yang: a. secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; b. mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; c. Memben tuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan d. menentukan ciri kelompoknya

sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Barth, 1988:11).

Teori ikatan antarwarga yang dibesut Ashutosh Varshney akan digunakan dalam meng analisis. Varshney membagi ikatan antarwarga menjadi dua bentuk, 1) asosiasional, yakni sebagai bentuk ikatan kewargaan (organisasi), misalnya asosiasi bisnis, organisasi profesi, klub olah raga, dan serikat buruh; dan 2) quotidian (keseharian) yaitu bentuk keseharian ikatan kewargaan (tidak memerlukan organisasi), atau berupa interaksi kehidupan yang sederhana dan rutin, seperti saling kunjung atara keluarga yang berbeda agama, kegiatan makan bersama, berpartisipasi bersama dalam upacara-upacara (merayakan hari kemer dekaan), atau bermain bersama di lingkungan. Relasi kelompok mayoritas dan minoritas akan dilihat dalam bentuk-bentuk ikatan tersebut.

(30)

sebagai social capital bagi kerukunan, dan turut diuji dengan konsep dan teori ini.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikum pulkan dengan meng gunakan teknik wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Wawan cara dilakukan dengan beberapa informan kunci, meliputi: tokoh dan umat beragama Islam dan Buddha; perangkat RT, RW/Dukuh, Desa, dan Kecamatan; pejabat berkaitan pada Kementerian Agama Kabupaten Gunung Kidul dan Kanwil Agama Provinsi DI Yogyakarta. Observasi dilakukan dengan langsung mengamati relasi/interaksi antarumat beragama di Panggang, termasuk live in di rumah warga/tokoh masyarakat. Adapun studi dokumentasi dilakukan di awal, saat proses, dan pascapengumpulan data lapangan, sebagai bekal dan pengaya bagi temuan lapangan.

Untuk menguji keabsahan data digunakan teknik triangulasi data dengan cara peme riksaan melalui sumber-sumber lain. Analisis data dilakukan secara deskriptif-analitik, melalui proses seleksi, tahap editing, pengolahan dan pengelompokan data serta reduksi data. Selanjutnya untuk memperoleh kesimpulan dilakukan analisis dan interpretasi data.

Pengumpulan data lapangan dilakukan langsung di Kecamatan Panggang, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta, selama 12 hari, mulai 15 hingga 26 Mei 2015.

Hasil dan Pembahasan

Penelitian ini dilaku kan di Kabupaten Gunung kidul. Kabu paten ini berada di Daerah Istimewa Yogya karta, dengan ber ibukota Wonosari. Kota Wono -sari terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, berjarak ± 39 km. Dengan

luas wilayah 1.485,36 km2 atau sekitar 46,63 % dari luas wilayah Propinsi DI Yogyakarta, Ka bu paten ini dibagi atas 18 kecamatan dan 114 desa.

Sebagai lokus penelitian, kecamatan yang dipilih adalah Kecamatan Panggang. Data statistik mengantarkan ‘kompas target lokasi’ ke kecamatan ini. Di sini terdapat desa yang dihuni banyak pemeluk atau umat Buddha. Kecamatan Panggang merupakan satu dari delapan belas kecamatan di Kabupaten Gunungkidul. Berada kurang lebih 38 km barat daya Wonosari, kecamatan ini berbatasan wilayah dengan Kecamatan Playen dan Kecamatan Imogiri (Kabupaten Bantul) di Utara, dengan Kecamatan Paliyan dan Saptosari di Timur, dengan Samudra Indonesia di Selatan, dan Kecamatan Purwosari di Barat.

Secara administratif, kecamatan yang berpenghuni 29.965 jiwa (2014) ini memiliki 6 desa/kelurahan, yakni: Desa Girikarto dengan 3.459 jiwa, Desa Girisekar dengan 2.434 jiwa, Desa Girimulyo dengan 5.506 jiwa, Desa Giriwungu dengan 3.928, Desa Girisuko dengan 7.346 jiwa, dan Desa Giriharjo dengan 5.459 jiwa.

Gambar

Tabel.1 Distribusi Penduduk desa Losari berdasarkan Agama
Tabel. 3 Distribusi Penduduk desa Grabag berdasarkan agama
Tabel. 4 Tingkat pendidikan penduduk desa Grabag, Losari dan Ngrancah
Tabel 1
+7

Referensi

Dokumen terkait

ir kitų mokslų laimėjimai sudaro prielaidas naujoms žmo - gaus teisėms susiformuoti (teisė į dirbtinį apvaisinimą, teisė keisti lytį, ir t. Daugelyje valstybių

Pada tahap ini peneliti akan merancang draft awal berbentuk prototype media interaktif elektronik, perencanaan media dikembangkan dengan menggunakan aplikasi Adobe

Kegiatan pembelajaran pada pra siklus belum menggunakan model eksperimen inkuiri terbimbing materi fluida statis sebenaranya masih mudah karena masih materi awal

Berdasarkan pada pengalaman kami dan informasi yang ada, diharapkan tidak ada efek yang membahayakan jika ditangani sesuai dengan rekomendasi dan tindakan pencegahan yang sesuai

Hasil perhitungan konsumsi energi dan % CVL dapat disrmpulkan bahwa aktivitas fisik lari memindahkan cone memberikan pengaruh ter- hadap kebugaran jasmani operator atau seseorang

Hal ini dipertegas oleh surat penjelasan Jaksa Agung RDTL, Longhuinos Monteiro, yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum sebelum persidangan tanggal 5 Juni 2002, adalah karena

Dalam pengerjaan laporan ini difokuskan pada perancangan antarmuka, langkah yang dilakukan untuk merancang aplikasi ini adalah dengan menganalisis gedung dan sumber