• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kurva kematian termal isolat E sakazakii asal susu formula dan

60

Lampiran 12. Kurva kematian termal isolat E. sakazakii asal susu formula dan makanan bayi ulangan II

i

KETAHANAN PANAS ISOLAT Enterobacter sakazakii

ASAL SUSU FORMULA DAN MAKANAN BAYI

SKRIPSI

IVANI ARDELINO

F24062659

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

ii

HEAT RESISTANCE OF Enterobacter sakazakii ISOLATED FROM POWDERED

INFANT FORMULA AND WEANING FOOD

Ivani Ardelino, Rizal Syarief, and Ratih Dewanti-Hariyadi

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology,

Bogor Agricultural University, Bogor 16002, Indonesia

ABSTRACT

Enterobacter sakazakii has been recognized as one of the newly emerging patoghen by USFDA. Infection by this bacterium could cause sepsis, meningitis, necrotizing enterocolitis, and many others life threatening diseaseas in neonates, especially those who are premature or immunocompromised. There is no report about the outbreaks ensued associated with this bacterium in powdered infant formula in Indonesia, finding of this bacterium in some local powdered infant formula should be anticipated for a better food safety management. Heat treatment were universally known as an effective way to eliminate foodborne patoghen in food, including Enterobacter sakazakii presence in powdered infant formula. The aim of this study was to obtain information about the heat resistance of local isolates of Enterobacter sakazakii based on their thermotholerance parameters (D and Z value), because of the effective heat treatment need accurate information of the heat resistance of this bacterium.

Eight food isolates were used in this study. Rapid screening was done preceeding heat resistance study to obtain isolates that tolerate heat treatment at 54 0C for 32 minutes. The isolates were then inoculated into reconstituted powdered infant formula as heating menstruum preheated at various test temperatures (54, 56, 58, and 60 oC) by using waterbath shaker. Enumeration of surviving bacteria were done at certain time. Survival curves were designed by plotting the log10

number of survivors versus time intervals (min). The D-values were obtained by calculating the negative inverse of the slope of this curves. Z-values were obtained by using a linear model of temperatures versus log D-values. The Z-values were extracted from the negative inverse of the slope. A calculation of D70 in this study were done to estimate the effectiveness of recommendated

temperature to reconstitute powdered infant formula.

Rapid screening showed that three food isolates and one ATCC 51329 survived well after heating at 54 0C. These isolate were assumed to be heat tolerant and used to determine the heat resistance of this bacterium at test temperatures. The result of this study suggested that D-value for local isolates were7.50 - 9.13, 3.61 - 4.24, 1.34 - 1.39 , and 0.71 – 0.90 min respectively for 54, 56, 58, and 60 0C. This study indicated that Enterobacter sakazakii was not particularly heat resistant. The D-values found in this study was entirely lower than those obtained by Nazarowec – White Farber (1997). It could be that one strain in the pooled culture mixture used in the Nazarowec – White study was exceptionally heat resistant.

Z-value calculated in this study ranged from 5.54 to 6.08 0C. This value was within the range published for most non-sporeforming bacteria (4 – 6 0C). As compared to other Enterobactericeae in dairy product at 72 0C, these local isolate appeared to be more heat resistance except for Yersinia enterolitica. Using the D and Z values obtained in this study an average of 38 D kill of Enterobacter sakazakii in dried infant formula would be observed at minimum (High Temperature Short Time) pasteurization treatment (72 0C 15 s) and therefore this organism should not survive the pasteurization process. The calculation shown that 70 0C is effective to eliminate the presence of E. sakazakii in powdered infant formula during reconstitution.

iii IVANI ARDELINO.F24062659. Ketahanan Panas Isolat Enterobacter sakazakiiAsal Susu Formula dan Makanan Bayi. Di bawah bimbinganRizal Syarief dan Ratih Dewanti-Hariyadi.2011

RINGKASAN

Enterobacter sakazakii merupakan bakteri patogen oportunistik, Gram negatif berbentuk batang serta tidak membentuk spora. Keberadaannya diasosiasikan dengan foodborne illness pada bayi. Sejak tahun 1958 tercatat sekitar 111 kasus infeksi oleh bakteri ini dan 26 kasus diantaranya mengakibatkan kematian pada bayi. Kejadian infeksi oleh Enterobacter sakazakii tergolong rendah namun tingkat kematian akibat infeksi bakteri ini sangat tinggi. Di indonesia keberadaan bakteri ini menjadi sorotan setelah pemberitaan mengenai hasil penelitian Estuningsih et al. (2006) diberitakan kepada masyarakat pada awal tahun 2008 yang lalu. Penelitian tersebut menyatakan bahwa 22.73 % sampel susu formula bayi dan 46.7 % sampel makanan bayi asal Indonesia terkontaminasi oleh

Enterobacter sakazakii. Pemberitaan ini cukup menggemparkan berbagai kalangan mengingat resiko

meningitis, sepsis, dan bacterimia yang dapat disebabkan oleh Enterobacter sakazakii.

Kasus infeksi akibat Enterobacter sakazakii yang didokumentasikan berhubungan dengan keberadaan bakteri ini pada susu formula. Probabilitas kontaminasi E.sakazakii dapat terjadi melalui beberapa titik kontaminasi, diantaranya pada saat pemrosesan susu formula ataupun pada saat penyajiannya. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari kontaminasi E. sakazakii adalah melalui perlakuan panas pada produk susu formula. Proses pasteurisasi pada saat pemrosesan dan rekonstitusi susu dengan air bersuhu tinggi (700C) pada saat penyajian merupakan perlakuan panas yang diharapkan mampu mengeliminasi keberadaan E.sakazakii. Keefektifan perlakuan ini membutuhkan informasi yang akurat mengenai profil ketahanan panas mikroorganisme target (E. sakazakii), yaitu sejumlah panas yang dibutuhkan untuk mereduksi jumlah mikroba hingga level tertentu. Ketahanan panas mikroba tergantung pada profil kinetika inaktivasinya, dua parameter utama kinetika inaktivasi mikroba adalah nilai D dan Z. Nilai D merupakan waktu efektif untuk membunuh mikroorganisme target sebesar satu siklus logaritma sedangkan nilai Z menunjukkan sensitivitas perubahan nilai D terhadap suhu.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data ketahanan panas E.sakazakii yang telah diisolasi dari susu formula (Meutia 2008) dan makanan bayi lokal (Estuningsih et al. 2006). Penelitian dilakukan dalam dua tahapan, yaitu tahapan pemilahan cepatisolat tahan panas dan kajian ketahanan panas. Tahapan Pemilahan cepat isolat tahan panas dilakukan untuk mereduksi jumlah isolat yang akan diuji ketahanan panasnya. Kajian ketahanan panas dilakukan dengan menggunakan modifikasi metode ketahanan panas submerged vessel yang dilakukan oleh Nazarrow-White dan Farber (1997). Percobaan dilakukan pada tiga isolat lokal hasil pemilahan cepat, serta satu isolat Gen bank ATCC 51329. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan susu formula rekonstitusi sebagai

menstruum pemanas yang dipanaskan pada suhu tertentu (54, 56, 58 dan 60 0C) dengan menggunakan

waterbath shaker, selanjutnya susu formula rekonstitusi dikontaminasi dengan kultur E. Sakazakii

fase stasioner. Pengambilan sampel diakukan pada interval waktu tertentu pada tiap perlakuan suhu. Jumlah bakteri yang bertahan setelah pemanasan dihitung dengan metode hitungan cawan. Jumlah bakteri yang bertahan pada interval waktu tertentu saat pemanasan pada suhu uji diplotkan pada kurva semilogaritma, kurva ini merupakan kurva kecepatan kematian bakteri. Nilai D dihitung dari -1/slope

iv kurva kecepatan kematian ini, sementara nilai Z diperoleh dari -1/slope dari kurva kematian termal (Thermal Death Time ) yang merupakan plot antara nilai D pada beberapa suhu uji.

Hasil penelitian menunjukkan nilai D54 isolat E. sakazakii yang diujikan berada pada kisaran 7.50 – 9.13 menit. D56 yang diperoleh berada pada kisaran 3.61 – 4.24 menit. D58 untuk isolat yang diujikan berada pada kisaran 1.34 – 1.39 menit. Pada suhu 60 0C diperoleh nilai D pada kisaran 0.71 – 0.90 menit. Nilai Z Isolat E. sakazakii yang diujikan berada pada kisaran 5.54 – 6.08 0C, kisaran nilai ini berada pada kisaran nilai Z untuk bakteri patogen yang tidak membentuk spora. Nilai D untuk keseluruhan isolat yang diuji dalam penelitian ini lebih kecil jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nazarowec-White dan Farber (1997), hal ini kemungkinan disebabkan isolat yang diuji pada penelitian tersebut merupakan strain E. sakazakii tahan panas yang berbeda dengan strain bakteri yang diuji pada penelitian ini. Secara keseluruhan isolat E. sakazakii yang diuji relatif lebih tahan panas jika dibandingkan dengan Enterobactericeae lainnya yang mengkontaminasi susu, namun isolat yang diuji tidak lebih tahan jika dibandingkan dengan Yersinia enterolitica kecuali satu isolat asal susu formula, YR t2a. E. sakazakii tidak dapat bertahan pada perlakuan pasteurisasi yang umumnya dilakukan pada suhu 72 0C selama 15 detik, dengan perhitungan nilai D72 untuk tiap isolat, Enterobacter sakazakii akan mengalami reduksi rata- rata sebesar 38 siklus log pada proses pasteurisasi. Pasteurisasi sangat efektif untuk mengeliminasi keberadaan E. sakazakii pada produk susu formula sehingga kemungkinan kontaminasi yang terjadi pada susu formula dan makanan bayi terjadi setelah proses (post processing contamination).

1

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Enterobacter sakazakii merupakan bakteri kontaminan pada susu formula dan makanan bayi yang sedang ramai disoroti oleh berbagai kalangan baik akademisi, industri, maupun masyarakat. Hal ini terkait dengan kejadian kontaminasi bakteri ini yang ramai disoroti pada tahun 2008 yang lalu pada beberapa merek susu formula dan makanan bayi lokal. Di Indonesia kontaminasi bakteri ini baru mendapat perhatian dari berbagai kalangan sejak penelitian yang dilakukan oleh Estuningsih et al. (2006) diberitakan kepada masyarakat pada awal 2008 yang lalu. Penelitian tersebut menyatakan sebanyak 22.73 % dari sampel susu formula dan 46.7 % makanan bayi asal Indonesia terkontaminasi bakteri Enterobacter sakazakii.

Keberadaan E.sakazakii yang merupakan familyEnterobactericeae ini pada produk susu formula maupun makanan bayi perlu diwaspadai sebagai suatu ancaman keamanan pangan.

E.sakazakii bersifat patogen bahkan International Commission for Microbiological Specification for Foods menggolongkan E.sakazakii sebagai mikroba yang sangat berbahaya untuk populasi yang terbatas karena dapat mengancam kehidupan atau substansi kronis lanjutan atau berdurasi lama (ICMSF 2002). E.sakazakii dapat menyebabkan terjadinya meningitis pada bayi, meskipun peluang kejadiannya kecil, namun tingkat mortalitas akibat infeksi bakteri ini sangat tinggi, yaitu 40 - 80% (Willis dan Robinson 1988). Bakteri ini juga dapat mengakibatkan terjadinya

enterocolitis pada bayi prematur (Van Acker et al. 2001). Bayi yang dapat bertahan dari infeksi

E. sakazakii dilaporkan mengalami kerusakan syaraf permanen, seperti hydrocephalus,

quadriplegia, dan keterlambatan perkembangan mental ( Lai 2001). Sifat patogenitas

E.sakazakii terbatas pada kalangan tertentu yang memiliki imunitas yang masih sangat rendah dan rentan, seperti bayi yang baru lahir (neonatal infant) dan bayi dengan daya tahan tubuh lemah (immunocompromissed infant). Habitat alami E.sakazakii belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan beberapa kasus infeksi E.sakazakii yang pernah dilaporkan di berbagai negara ditemukan bahwa sumber infeksi E.sakazakii adalah susu formula.

Susu formula bukan merupakan produk yang dirancang steril, kontaminasi masih mungkin terjadi, baik ketika pencampuran bahan baku kering maupun saat penyajian pasca rekonstitusi, oleh karena itu diperlukan higienitas dalam penanganan dan penyajian untuk mengurangi risiko kontaminasi. Perlakuan panas pada produk pangan merupakan salah satu upaya yang telah lama dilakukan untuk mengurangi risiko keracunan pangan akibat infeksi mikroba (foodborne patogen). Keefektifan perlakuan panas membutuhkan informasi yang akurat mengenai ketahanan panas (heat resistance) dari mikroorganisme target, yaitu sejumlah panas yang dibutuhkan untuk mereduksi jumlah mikroba. Ketahanan panas mikroba tergantung pada target mikroba yang harus dibunuh dengan menggunakan nilai D dan Z sebagai parameter untuk menentukan waktu yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba tersebut hingga mencapai level tertentu.

Data mengenai ketahanan panas E. sakazakii masih sangat sedikit, bahkan untuk isolat E. sakazakii yang diisolasi dari beberapa produk susu formula dan makanan bayi lokal belum diketahui ketahanan panasnya. Karakteristik ketahanan panas E. sakazakii sangat penting dalam merancang suatu disain proses panas yang tepat, hal ini menyebabkan pengujian ketahanan panas isolat E. sakazakii perlu dilakukan sehingga dapat meminimalkan risiko kontaminasi E. sakazakii

2

B. TUJUAN PENELITIAN

Mengevaluasi ketahanan panas isolat lokal Enterobacter sakazakii asal susu formula dan makanan bayi dengan mengukur parameter kinetika inaktivasi nilai D dan nilai Z.

C. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan referensi profil ketahanan panas (

thermal resistance) isolat lokal Enterobacter sakazakii asal susu formula dan makanan bayiyang dapat dijadikan bahan acuan dalam mengontrol kecukupan perlakuan panas pada saat pengolahan ataupun penyajian yang dapat dilakukan untuk meminimalkan resiko kontaminasi Enterobacter sakazakii.

3

II.TINJAUAN PUSTAKA

A.

Enterobacter sakazakii

1. Karakteristik Umum

Enterobacter sakazakii merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang dan termasuk dalam family Enterobactericeae. Bakteri ini memiliki panjang 3 µm dan lebar 1 µ m, tidak membentuk spora serta bersifat motil E. sakazakii yang diamati dengan pewarnaan Gram memperlihatkan koloni berbentuk batang berwarna merah (Gambar 1).

Gambar 1. Penampakan Enterobacter sakazakii secara morfologi

di bawah mikroskop dengan pembesaran 1000x (Meutia 2008)

Sebelum tahun 1980 Enterobacter sakazakii diklasifikasikan sebagai Enterobacter cloacae berpigmen kuning (“yellow pigmented” E. cloacae) namun penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa berdasarkan hibridisasi DNA – DNA, reaksi biokimia, kerentanan terhadap antibiotik, serta kemampuannya untuk menghasilkan pigmen kuning klasifikasi bakteri ini dikaji kembali, dan pada akhirnya diklasifikasikan sebagai Enterobacter sakazakii

(Nazarowec-White dan Farber 1997).

2. Ekologi Enterobacter Sakazakii

Susu formula diketahui sebagai sumber utama infeksi Enterobacter sakazakii (Block et al. 2002) walaupun demikian spesies Enterobacter ini dapat ditemukan pada produk pangan lain selain susu formula seperti, keju, daging, sayuran, biji-bijian, kondimen dan bumbu- bumbuan (Iversen et al. 2004). Bakteri ini juga pernah diisolasi dari lingkungan pemrosesan susu dan peralatan penyiapan susu formula (Heredia et al. 2009). Enterobacter sakazakii

juga ditemukan pada khamir (Gassem 1999). Bakteri ini ditemukan pada sumber klinis seperti cairan cerebrospinal, darah, sum – sum tulang, urin, usus, saluran pernafasan, mata, telinga, luka, dan feses (Iversen et al. 2004). E. sakazakii juga ditemukan pada lingkungan rumah sakit.

Enterobacter sakazakii dapat tumbuh pada media isolasi organisme enteric seperti

4 seperti Tryptose Soy Agar. Pada agar cawan bakteri ini akan membentuk dua tipe koloni, yaitu glossy (mengkilap) dan matt (tidak mengkilap) tergantung media dan galurnya. Organisme ini berkembang pada kisaran temperatur yang besar yaitu, 6-47 0C, namun tumbuh optimal pada kisaran suhu 37- 43 0C (Iversen et al. 2004). Pada suhu 21 0C waktu penggandaan (doubling time)E. sakazakii dilaporkan sebesar 75 menit pada susu formula. pH minimum untuk pertumbuhan E. sakazakii belum diketahui dengan pasti, namun beberapa strain dapat tumbuh pada kisaran pH 4.5-10 pada BHI broth (Breeuwer et al. 2003).

3. Infeksi E. Sakazakii

Sebuah artikel jurnal kedokteran yang diterbitkan pada tahun 2001 menyebutkan dalam kurun waktu 1960 - 1999 tercatat 31 kasus infeksi E. Sakazakii pada bayi dibawah 20 hari(neonates), bayi (infant) dan anak - anak serta ditemukan juga 4 kasus infeksi pada usia dewasa (Lai 2001). Dari semua kejadian infeksi yang dilaporkan ini usia populasi yang terkena infeksi E. sakazakii berkisar antara 3 hari hingga 4 tahun. Sebagian besar infeksi terjadi pada bayi di bawah 1 bulan. Berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa E. Sakazakii cenderung menyerang populasi dengan daya tahan tubuh yang rendah (immunocomprommised) dan populasi bayi yang tidak memiliki flora normal saluran pencernaan dalam jumlah yang cukup untuk dapat berkompetisi dengan bakteri oportunistik

E. sakazakii. Tahun 2001 dilaporkan satu kasus infeksi E.sakazakii yang terjadi pada 2

neonates dan 3 bayi (infant) di Israel, pada tahun yang sama di Tennesse juga terjadi kasus infeksi pada neonate dan beberapa infant. Pada tahun 2002 di Belgia terjadi satu kasus kematian bayi akibat meningitis yang disebabkan oleh E.sakazakii.

Kejadian infeksi E. sakazakii merupakan kejadian yang jarang terjadi dan jarang dilaporkan namun tidak dapat diabaikan bahwa kasus kematian bayi akibat infeksi E. sakazakii sangat tinggi. Pasien yang dapat bertahan dari infeksi E. sakazakii mengalami kerusakan syaraf yang serius dan penghambatan perkembangan mental dan fisik (Lai 2001).

E. sakazakii dapat menyebabkan infeksi pada semua kelompok umur terutama bayi berumur kurang dari 2 bulan. Bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, lahir prematur, dan memiliki cacat congenital (seperti neural tube defects dan down syndrome) memiliki resiko tinggi menderita sepsis maupun meningitis. Bakteri ini menjadi agen patogen sebab memiliki kemampuan untuk menginvasi hingga sistem syaraf pusat sehingga menyebabkan meningitis (Bar – Oz et al. 2001), cysts ataupun brain abscess. Selain itu E. sakazakii juga dapat menyebabkan necrotican enterocolitis (Himelright et al. 2002).

4. Metode Deteksi Enterobacter sakazakii

Enterobacter sakazakii termasuk dalam emerging pathogen sehingga perlu metode khusus dalam pendeteksiannya agar tidak terjadi kesalahan negatif maupun positif. Metode konvensional kurang efektif untuk mendeteksi keberadaan bakteri ini karena kemampuan kompetisinya yang lebih rendah dibandingkan dengan Escherichia coli, disamping itu bakteri ini mudah mengalami stress ketika ditumbuhkan pada media konvensional. Metode pendeteksian E. sakazakii didahului dengan pengayaan (enrichment) pada EE broth sesuai dengan rekomendasi FDA, kemudian digoreskan pada VRBGA (Violet Red Bile Glucose Agar), koloni yang diduga E. sakazakii digoreskan pada TSA(Tryptose Soy Agar).

5 Oh dan Kang (2004) menyatakan bahwa media yang dikemukakan oleh FDA memerlukan beberapa pengembangan, hal ini dikarenakan adanya kelemahan pada medium VRBG dan TSA. Oh dan Kang mengembangkan media isolasi E. sakazakii yang selektif dan berdasarkan sifat fluorogenik, yaitu Oh & Kang (OK ) Agar, media ini dibuat berdasarkan sifat fluorogenik dari senyawa fluorogen yang merupakan substrat dari enzim α- glukosidase yang diproduksi oleh E.sakazakii. Iversen et al. (2004) mengembangkan media chromogenic

selektif untuk mendeteksi keberadaan E. sakazakii, yaitu DFI (Druggan- Forsythe-Iversen) Agar. Bahan selektif yang terdapat dalam media ini adalah senyawa chromogen, yaitu 4- chloro-indolyl-α-D-glucopyranoside. Senyawa ini akan berikatan dengan enzim α- glukosidase pada E.sakazakii yang akan membentuk koloni berwarna hijau-biru.

5. Keragaman Genetik Enterobacter sakazakii

Berdasarkan analisis 16 S r-RNA Enterobacter sakazakii dapat dibagi menjadi 4 kelompok (cluster). Cluster pertama merupakan kelompok mayoritas dari galur - galur E. sakazakii, pada kelompok ini keragaman sekuen sebesar 0.1 - 1.2 %. Kelompok ini meliputi 17 galur klinis dan 3 galur yang tidak menghasilkan pigmen kuning. Cluster kedua memiliki keragaman sekuen sebesar 1.6 - 1.9 %. E. sakazakiicluster tiga memiliki keragaman sekuen sebesar 3%, untuk E.sakazakii cluster keempat similiaritas sekuen sebesar 96.5%. Berdasarkan pengelompokan E.sakazakii pada cluster tertentu Iversen et al. (2008) memperkenalkan E. sakazakii ke dalam suatu genus baru, yaitu Cronobacter spp., genus ini terbagi menjadi 5 spesies, yaitu Cronobacter sakazakii subsp. sakazakii,comb.nov.,

C.sakazakii subsp. malonaticus subsp. nov., C. turinencis sp. nov., C.muytjensii sp.nov.,

C.dublinensis sp. nov., dan C.genomospecies I. Pembedaan spesies E.sakazakii sebagai genus Cronobacter ini berdasarkan pada perbedaan reaksi-reaksi biokimia pada perangkat API 20E dan ID 32E, serta berdasarkan reaksi pada methyl-α-D-glucopyranoside.

B. PROSES PEMBUATAN DAN PENANGANAN SUSU FORMULA

SERTA PELUANG KONTAMINASINYA

Proses pembuatan susu formula (Gambar 2) dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu pencampuran basah (wet mixing ) dan pencampuran kering (dry mixing). Metode pencampuran kering memiliki kekurangan dari segi kualitas dan keamanannya karena semua bahan baku yang digunakan tidak memiliki ukuran partikel yang sama sehingga akan sangat sulit untuk menghasilkan pencampuran yang homogen (Heredia et al 2009). Hal ini akan mempengaruhi kualitas nutrisi susu yang dihasilkan. Pada metode pencampuran kering semua bahan baku dicampur dalam bentuk kering dan tidak ada perlakuan panas setelah pencampuran bahan baku, hal ini dapat memperbesar peluang kontaminasi bakteri. Berdasarkan pertimbangan tersebut proses pencampuran basah lebih sering digunakan dalam industri penghasil susu.

Tahapan dalam proses pencampuran basah antara lain pencampuran bahan baku dalam wujud cair, proses pasteurisasi ataupun proses termal lainnya, penambahan ingredient yang sensitif terhadap perlakuan termal, serta spray drying. Secara teoritis proses panas yang dilakukan dalam proses pembuatan susu dapat membunuh semua sel vegetatif bakteri yang ada sebelum proses spray drying, namun kontaminasi setelah perlakuan panas (post heat treatment contamination) seperti kontaminasi dari lingkungan pabrik juga harus dipertimbangkan.

Kemungkinan investasi/masuknya bakteri E. sakazakii (Gambar 2) pada susu formula merupakan kontaminasi instrinsik ataupun ekstrinsik. Kontaminasi intrinsik terjadi ketika susu

6 formula terpapar E.sakazakii pada tahapan pemrosesan susu formula, misalnya ketika penambahan bahan baku yang sensitif terhadap perlakuan panas seperti, vitamin, mineral, dan lesitin setelah proses spray drying. Titik ini menjadi kritis sebab pencampuran dilakukan dilakukan dalam ergon tanpa adanya perlakuan panas. Kemampuan E. sakazakii menempel pada permukaan seperti karet, silikon, polycarbonate dan stainless steel dapat dijadikan penjelasan mengenai keberadaannya pada peralatan penyiapan susu formula dan lingkungan pabrik pembuatan susu formula (FAO-WHO 2004) yang menyebabkan terjadinya kontaminasi.

Kontaminasi ekstrinsik terjadi melalui peralatan penyiapan susu formula yang terkontaminasi E.sakazakii dan kontak langsung dengan susu formula, misalnya blender dan sendok pada saat penyiapan susu formula. Penyajian susu formula di rumah tangga pada umumnya dilakukan dengan proses yang minim pemanasan, rekonstitusi susu formula dilakukan dengan menggunakan air hangat yang suhunya lebih kecil dari 70 0C dan tidak dapat mengurangi jumlah E. sakazakii secara signifikan. Penanganan susu formula di tingkat rumah tangga menjadi titik kritis kontaminasi bakteri ini. Di rumah tangga terdapat kecenderungan untuk menyimpan susu formula di dalam kaleng ataupun plastik multi lapis pada suhu ruang (20-27 0

C), dengan asumsi susu formula merupakan produk kering dengan kadar air rendah sehingga cukup aman jika disimpan selama beberapa lama pada suhu ruang. Pada kenyataannya dalam waktu singkat E. sakazakii dapat berkembang biak, menngandakan dirinya dan menjadi berbahaya untuk dikonsumsi oleh bayi dengan kondisi imun tertentu (Misgiyaka 2008).

Gambar 2. Bagan Alir Proses Produksi Susu Formula Bubuk dan Penyajiannya (WHO- FAO 2004)

Keterangan: * = titik kritis kontaminasi mikroba

Penyimpanan susu pada saat jeda waktu (hang time) antara rekonstitusi susu hingga susu dikonsumsi kembali biasanya dibiarkan pada suhu ruang, hal ini meningkatkan peluang E. sakazakii untuk tumbuh dan berkembang, penyimpanan seharusnya dilakukan pada lemari pendingin untuk mengurangi jumlah koloni Enterobacter sakazakii (Kim et al. 2006). Pada

7 lingkungan rumah sakit kemungkinan kontaminasi E. sakazakii perlu diperhatikan, beberapa studi membuktikan keberadaan E.sakazakii pada dapur rumah sakit (Muytjens et al. 1988).

Dokumen terkait