• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lahirnya Orde Baru

Dalam dokumen SAMBUTAN KAROPEG SETJEN KEMHAN (Halaman 138-152)

Versi VII ( Semua Pihak Terlibat ) Versi ini menyebutkan bahwa pelaku atau penyebab

1. Lahirnya Orde Baru

Setelah G30S berhasil ditumpas dan kemudian diketahui bahwa PKI berada di balik peristiwa tersebut. Masyarakat umum dan partai-partai yang berseberangan dengan PKI secara spontan mulai membentuk berbagai kelompok yang menuntut pertanggungjawaban G30S dan para pendukungnya. Pada 8 Oktober 1965, mulai terjadi beberapa demonstrasi massa menuntut pertanggungjawaban PKI.

Pada tanggal 25 Oktober 1965, terbentuklah beberapa kesatuan aksi antara lain: Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang kemudian disusul Kesatuan Aksi Pemuda

Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan Kesatuan Aksi Pengemudi Becak Indonesia (KAPBI).

Kesatuan-kesatuan aksi itu membentuk Front Pancasila yang bersama-sama dengan organisasi yang menentang PKI mengadakan rapat akbar pada 26 Oktober 1965 di Lapangan Banteng Jakarta. Menghadapi arus demonstrasi yang kian deras, Presiden Soekarno berjanji akan mengadakan penyelesaian politik terhadap G30S. Namun, janji tersebut masih belum ditepati, sehingga menyebabkan para mahasiswa, pelajar, dan kelompok lainnya yang didukung oleh masyarakat dan ABRI mulai melakukan tindakan yang langsung mengarah kepada “pembersihan” PKI dan pendukungnya. Pertikaian langsung antara para pemuda, mahasiswa, pelajar, dan kesatuan aksi lainnya dengan PKI dan pendukungnya (Front Nasional/Barisan Soekarno) tidak dapat dihindarkan. Di beberapa tempat seperti di Jakarta dan Yogyakarta, mahasiswa dan pelajar bahkan telah berkorban jiwa. Para pemuda anti PKI di berbagai daerah juga melakukan aksi yang sama melalui berbagai organisasi. Pertikaian langsung dengan PKI dan para pendukungnya tidak dapat dihindari.

Di beberapa daerah khususnya di Jawa, Bali, dan Sumatera Utara, situasi berkembang menjadi aksi kekerasan yang menimbulkan banyak korban di kalangan para anggota PKI

beserta pendukungnya serta orang-orang yang diduga menjadi pendukung komunisme. Namun aksi kekerasan ini juga dimanfaatkan oleh kelompok atau individu tertentu untuk kepentingan sendiri. Akibatnya, orang-orang yang tidak ada kaitan dengan PKI atau organisasi pendukungnya juga menjadi korban. Tidak ada yang tahu berapa jumlah orang yang telah terbunuh, karena semuanya hanya berdasarkan perkiraan. Hal yang pasti, sebuah tragedi kemanusiaan yang bertentangan, baik dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia maupun hak asasi manusia universal telah terjadi. Sementara itu, dengan dasar petimbangan kemelut politik yang tidak menentu dan membubungnya harga-harga kebutuhan pokok rakyat. Pada tanggal 10 Januari 1966, KAMI dan KAPII di hadapan Gedung DPRGR mengajukaan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura), yaitu: a. Bubarkan PKI; b. Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur G30S; dan c. Turunkan harga/perbaikan ekonomi.

Menghadapi situasi yang semakin gawat dan memanas, Presiden Soekarno memanggil seluruh menterinya untuk mengadakan sidang kabinet di Istana Bogor. Dalam sidang itu, banyak tokoh-tokoh KAMI yang diundang. Namun, di luar Istana Bogor, masyarakat yang berdemonstrasi semakin ramai dan semakin berani menuntut dilaksanakannya Tritura. Dalam sidang kabinet tersebut Presiden Soekarno sekali lagi berjanji akan memberikan penyelesaian politik, bahkan menawarkan jabatan menteri kepada siapa saja yang sanggup menurunkan harga.

Janji penyelesaian politik yang diucapkan Presiden Soekarno dalam siding Kabinet Dwikora, diwujudkan dengan merombak susunan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Kabinet Dwikora yang disempurnakan itu dikenal dengan sebutan Kabinet 100 Menteri karena itu terdiri dari 100 orang menteri yang banyak memihak kepada PKI.

Pada tanggal 24 Februari 1966, Kabinet Dwikora dilantik di Istana Merdeka Jakarta. Pada saat pelantikan Kabinet Dwikora inilah salah seorang mahasiswa UI yang sedang berdemonstrasi bernama Arief Rahman Hakim gugur akibat bentrokan dengan pasukan pengawal presiden. Melihat penyelesaian politik yang dilakukan Presiden Soekarno yang tidak sesuai dengan kehendak rakyat, akhirnya menimbulkan terjadinya gelombang aksi demonstrasi yang semakin besar, yang kini ditujukan kepada Presiden Soekarno. Presiden Soekarno yang merasa tersinggung dengan

kesatuan-kesatuan aksi yang

mendemonstrasinya, segera membalas dengan membubarkan KAMI pada tanggal 16 Februari 1966 dan menutup kampus Universitas Indonesia pada tanggal 3 Maret 1966.

Tindakan Presiden Soekarno tersebut justru semakin memperuncing keadaan, sehingga arus demonstrasi semakin keras dan membanjiri Jakarta. Akibatnya keadaan kota Jakarta semakin tidak menentu. Akhirnya, pada tanggal 11 Maret 1966, di Istana Negara (Jakarta), dilangsungkan sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Namun, sebelum sidang berakhir, terdengar berita dari

Komandan Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden) Brigjen Sabur, bahwa di luar Istana Bogor banyak pasukan yang tidak dikenal identitasnya. Mendengar laporan itu, Presiden Soekarno gusar dan menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena. Selanjutnya, Beliau bersama Wakil Perdana Menteri I Dr. Subandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh meninggalkan sidang menuju Istana Bogor.

Setelah sidang selesai, tiga orang perwira TNI AD masing-masing Mayor Jenderal Basuki Rahmat (Menteri Veteran), Brigadir Jenderal M. Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar), dan Brigadir Jenderal Amir Machmud (Panglima Kodam V/Jaya) menyampaikan hasil sidang Kabinet Dwikora itu. Ketiga perwira TNI-AD itu, meminta izin (atau memang disarankan) Letnan Jenderal Soeharto untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor. Letnan Jenderal Soeharto mengijinkan ketiga perwira TNI-AD untuk menemui Presiden Soekarno dan menyampaikan pesan, bahwa Letnan Jenderal Soeharto sanggup menyelesaikan kemelut politik dan memulihkan keamanan dan ketertiban di ibukota.

Setelah melakukan pembicaraan beberapa jam, akhirnya Presiden Soekarno setuju memberikan perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah, serta dalam menjalankan tugas, penerima mandat (Letjen Soeharto) juga diharuskan melaporkan segala sesuatu kepada Presiden Soekarno. Karena surat itu dibuat pada 11 Maret 1966, sehingga surat itu dikenal

dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Dengan surat perintah tersebut, Letnan Jenderal Soeharto mengambil beberapa tindakan di antaranya adalah membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 dan selanjutnya pada tanggal 18 Maret 1966 dilakukan “pengamanan” terhadap 15 orang menteri Kabinet Dwikora yang Disempurnakan yang diduga terlibat G30S. Turunnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), merupakan jawaban terhadap berbagai tuntutan mahasiswa dan rakyat yang menginginkan pembubaran PKI. Lahirnya Supersemar, oleh sebagian sejarawan dianggap sebagai tonggak kelahiran Orde Baru. Sementara, jika dilakukan penelitian secara mendalam, besar kemungkinan masa-masa itu masih atau dapat dikatakan juga sebagai masa-masa dimulainya “peralihan” (masa transisi).

Dengan turunnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tersebut, sebenarnya merupakan awal dimulainya masa transisi (masa perpindahan atau perubahan pemerintahan yang masih belum menentu). Masa transisi dianggap sebagai masa peralihan yang masih belum pasti, sehingga masih ada kemungkinan kekuatan lama (Orde Lama saat itu) kembali memegang kekuasaan. Namun, dalam faktanya, pergulatan politik antara pendukung Orde Lama dengan kekuatan pendukung Orde Baru (Mahasiswa, ABRI dan sebagian besar rakyat Indonesia) dimenangkan oleh kekuatan Orde Baru. Namun, langkah Letnan Jenderal Soeharto dengan membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 dan mengamankan 15 orang menteri Kabinet Dwikora yang Disempurnakan yang diduga terlibat G30S

dinilai sebagai tindakan yang sangat tegas, terlepas dari masih adanya perdebatan, polemik atau kontroversi sejarah di masyarakat seputar Peristiwa G30S 1965 dan Supersemar tersebut.

Kemudian, menindaklanjuti pembersihan Kabinet Dwikora yang disempurnakan, pada tanggal 2 Mei 1966 diselenggarakan sidang DPRGR, selain dihadiri oleh anggota DPRGR, sidang tersebut juga dihadiri ratusan mahasiswa yang menyampaikan dan membacakan Nota Politik KAMI. Hasil sidang DPRGR itu adalah sebagai berikut: a. Menyatakan pimpinan DPRGR demisioner; dan b. mengangkat pengganti pimpinan DPRGR, yakni Achmad Syaichu, Laksamana Muda (laut) Mursalin Daeng Mamanggung, dan Brigjen Syarif Tayeb.

Dengan kepemimpinan pengganti, DPRGR terus mengadakan sidang-sidang untuk penghilangan unsur-unsur, kekuatan atau pengaruh PKI dan pendukung-pendukung Soekarno dari tubuh DPRGR maupun MPRS. Pada tanggal 5 Mei 1966 muncullah pernyataan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Untuk menanggapi perkembangan keadaan, khususnya sehubungan dengan adanya usaha-usaha untuk membubarkan MPRS dan DPR-GR, ABRI yang meliputi AD, AL, AU dan Kepolisian, mengeluarkan pernyataan yang ditandatangani oleh Waperdam ad interm bidang Hankam/Menteri/Pangad Letnan Jenderal Soeharto, Wakil Panglima Besar Kogam Jenderal A.H. Nasution, Menteri/Pangau Komodor Udara Rusmin Nurjadin, Menteri/Pangal Laksamana Muda (L) Moeljadi, dan Menteri/Pangak Komisaris Jenderal Polisi Soetjipto Joedodihardjo.

Pada 17 Mei 1966, DPRGR berhasil menyusun kepengurusan DPRGR, yang terdiri dari Achmad Syaichu (Golongan Islam) sebagai ketua. Sedangkan wakil ketua adalah Moh. Isnaeni (Golongan Nasionalis), Drs Ben Mang Reng Say (Kristen Katolik), Laksda (laut) Mursalin Daeng Mamanggung (Golkar) dan Brigjen Syarif Tayeb (Golkar). Disamping itu DPRGR juga berhasil membersihkan anggotanya dengan memecat 65 orang anggota DPRGR yang mewakili PKI dan ormas-ormasnya.Selanjutnya dalam menegakkan tertib hukum di Indonesia, DPRGR juga berhasil merumuskan memorandum kepada MPRS tentang Sumber Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia yang kemudian oleh MPRS ditetapkan dengan Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966.

Setelah DPRGR secara maraton mengadakan sidang-sidangnya, giliran MPRS untuk melaksanakan berbagai persidangan. Dalam Sidang Umum (SU) MPRS IV, pada 20 Juni – 5 Juli 1966, MPRS berhasil merumuskan 24 ketetapan. Namun, dari 24 TAP MPRS hasil SU IV tersebut, ada beberapa TAP MPRS yang diangap sangat penting dalam memuluskan jalan Soeharto pada masa awal menjalankan pemerintahannya (Orde Baru), yaitu: 1. Tap MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Supersemar; 2. Tap MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Pengukuhan Kabinet Ampera; 3. Tap MPRS Nomor XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden; 4. Tap MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib

Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia; 5. Tap MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan dan Kekaryaan; 6. Tap MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang

Kebijaksanaan dalam Bidang

Pertahanan/Keamanan; 7. Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia; 8. Tap MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Penelitian Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno; 9. Tap MPRS Nomor XXX/MPRS/1966 tentang Pencabutan gelar Bintang “Mahaputra” Kelas III dari D.N. Aidit; dan 10. Tap MPRS Nomor XXXI/MPRS/1966 tentang Penggantian Sebutan “Paduka Yang Mulia”, “Yang Mulia”, “Paduka Tuan” dengan Sebutan “Bapak” atau “Saudara/Saudari”.

Di samping itu, dengan Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS memutuskan untuk meminta kepada Presiden Soekarno agar melengkapi laporan pertanggung-jawabannya, khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa G30S beserta epilognya (pasca peristiwanya), serta masalah kemunduran ekonomi dan akhlak. Pada tanggal 22 Juni 1966 (dalam suasana SU MPRS ke-4, hari ke-3), Presiden menyampaikan amanat atau pidatonya yang berjudul “Nawaksara”. Nawa artinya “sembilan”, sedangkan Aksara artinya “huruf” atau “pasal”. Amanat-pidato-Soekarno tersebut oleh MPRS dipandang atau dianggap tidak memenuhi harapan rakyat, karena tidak memuat secara jelas kebijakan Presiden selaku

Mandataris MPRS mengenai Peristiwa G30S 1965 beserta epilognya.

Satu hari setelah Sidang MPRS ke-4 ditutup, yaitu tanggal 6 Juli 1966, ABRI kembali mengeluarkan pernyataan penegasan dukungannya terhadap ketetapan-ketetapan dan keputusan-keputusan MPRS, serta bertekad melaksanakan dan mengamankannya secara konsekwen. Setelah Sidang Umum MPRS IV tahun 1966 tersebut dapat berlangsung dengan lancar, kemudian pada tanggal 25 Juli 1966, Presiden Soekarno

melaksanakan Tap MPRS Nomor

XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera. Presiden Soekarno membentuk Kabinet Ampera dan membubarkan Kabinet Dwikora yang disempurnakan.

Kabinet Ampera terdiri dari tiga unsur, yaitu: a. Pimpinan kabinet dipegang oleh Presiden Soekarno; b. Pembantu Pimpinan yang terdiri dari lima orang Menteri Utama yang secara bersama merupakan suatu Presidium, dengan Letjen Soeharto (Menteri Utama Bidang Hankam) sebagai Ketua Presidium; dan c. Anggota-anggota kabinet yang terdiri dari 24 Menteri yang masing-masing memimpin Departemen, di bawah koordinasi Presidium Kabinet melalui Menteri Utama yang membawahi bidang-bidang yang bersangkutan. Tugas dari Kabinet Ampera ini disebut Dwi Darma, yaitu mewujudkan stabilitas politik dan menciptakan stabiltas ekonomi. Sedangkan program kerja Kabinet Ampera disebut Catur Karya yang terdiri dari empat hal, yaitu: a. Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan; b. Melaksanakan

pemilu dalam batas waktu sebagaimana disebutkan di dalam Tap MPRS Nomor XI/MPRS/1966; c. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Tap MPRS Nomor XI/MPRS/1966; dan d. Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Pada tanggal 11 Agustus 1966, ada dua peristiwa penting yaitu: dibentuknya Dewan Stabilitas Ekonomi Nasional (DSEN) oleh Pemerintah untuk membantu Kabinet Ampera. Sedangkan peristiwa penting lainnya yaitu tercapainya persetujuan normalisasi hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Pada tanggal 16 Agustus 1966, Ketua Presidium Kabinet Ampera (Letjen Soeharto) di depan Sidang Pleno DPR-GR, menyampaikan keterangan Pemerintah mengenai kebijakan yang telah diambil dan langkah-langkah yang akan dilaksanakan Pemerintah.

Satu hari kemudian, tanggal 17 Agustus 1966 (dalam suasana Peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-21), Presiden Soekarno mengucapkan pidato di depan rakyat dari halaman Istana Merdeka yang kemudian judul pidatonya dikenal dengan nama JASMERAH (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Pidato Presiden Soekarno tersebut mendapat reaksi dari berbagai kalangan dan menjadi bahan perdebatan atau pertentangan politik saat itu. Bahkan di beberapa tempat sempat menyebabkan timbulnya bentrokan-bentrokan fisik.

Pada tanggal 28 September 1966, pada masa pemerintahan Kabinet Ampera (Soekarno dibantu 5 orang Presidium dengan Letnan

Jenderal Soeharto sebagai Ketua Presidium dan 24 Menteri), Indonesia kembali aktif di PBB setelah sebelumnya semenjak komando Presiden Soekarno pada tanggal 7 Januari 1966 Indonesia keluar dari PBB.

Dengan masuknya kembali Indonesia sebagai anggota PBB, secara tidak langsung menandakan semakin menguatnya atau kemenangan secara politis bagi pihak yang dipimpin Jenderal Soeharto (Orde Baru). Pada tanggal 31 Desember 1966, di depan corong RRI dan layar TVRI, Jenderal Soeharto (selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera) menyampaikan pidato akhir tahun kepada rakyat Indonesia. Hal ini juga menandakan bahwa secara politis pihak yang dipimpin Jenderal Soeharto (Orde Baru) semakin dominan, sementara Presiden Soekarno (Orde Lama) yang secara “de jure” masih memegang kekuasaan pemerintahan sebagai Presiden RI dan sebagai Pimpinan Kabinet Ampera, namun secara “defacto” pengaruh dan legitimasi pemerintahannya pada saat itu semakin memudar dan semakin dijauhi masyarakat.

Mengawali peristiwa penting di tahun 1967, pada tanggal 10 Januari 1967, Presiden Soekarno menyampaikan “surat” Pelengkap Nawaksara kepada Pimpinan MPRS untuk memenuhi permintaan MPRS (yang tertuang dalam Keputusan Nomor 5/MPRS/1966) agar Presiden melengkapi laporan pertanggung-jawabannya mengenai terjadinya Peristiwa G30S 1965.

Untuk membahas Pelengkap Nawaksara tersebut, Pimpinan MPRS menyeleng-garakan

musyawarah pada tanggal 21 Januari 1967, dan mengeluarkan pernyataan bahwa Presiden Soekarno telah alpa dalam memenuhi ketentuan-ketentuan konsti-tusional. Sementara itu, DPR-GR dalam resolusi dan memorandum tanggal 9 Februari 1967 menyatakan menolak Nawaksara beserta Pelengkap Nawaksara, dan berpendapat bahwa kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politik dan ideologi membahayakan keselamatan dan keutuhan bangsa, negara dan Pancasila.

Dalam perkembangan politik selanjutnya, berdasarkan Pengumuman Presiden Soekarno/Mandataris MPRS/ Panglima Tertinggi ABRI tanggal 20 Februari 1967 dan isi dari Tap MPRS Nomor XV/MPRS/1966 (yang menyatakan: Apabila Presiden berhalangan, maka pemegang Supersemar memegang jabatan Presiden), di Jakarta pada 22 Februari 1967, berlangsung penyerahan kekuasaan pemerintahan dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto (sebagai pengemban Tap MPRS Nomor IX/MPRS/1966).

Peristiwa penyerahan kekuasaan pemerintahan tersebut merupakan peristiwa penting dalam usaha mengatasi situasi konflik yang sedang memuncak pada waktu itu. Penyerahan kekuasaan ini mendapat sambutan yang meriah di masyarakat umum dan ABRI. Bahkan pada tanggal 24 Februari 1967, ABRI menyatakan akan mengamankan isi yang tersurat dan yang tersirat dalam pengumuman tersebut dengan segala konsekuensinya. Dengan terjadinya penyerahan kekuasaan tersebut, pada tanggal 4 Maret 1967 Jenderal Soeharto memberikan keterangan resmi pemerintahan di hadapan

sidang DPRGR, setelah sebelumnya pada tanggal 24 Februari 1967 Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) mengeluarkan kebulatan tekad untuk mengamankan penyerahan kekuasaan tersebut.

Menindaklanjuti penyerahan kekuasaan tersebut, MPRS mengadakan Sidang Istimewa pada tanggal 7-12 Maret 1967. Dalam Sidang Istimewa tersebut, MPRS berhasil merumuskan Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967, yang berisi hal-hal sebagai berikut: a. Mencabut kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Soekarno; b. Menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaan pemerintah sebagaimana yang diatur di dalam UUD 1945; dan c. Mengangkat Pengemban Tap MPRS Nomor IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya presiden menurut hasil pemilihan umum.

Pada akhir sidang istimewa MPRS, yakni pada tanggal 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto secara resmi dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua MPRS, Jenderal TNI A.H. Nasution sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia. Di samping Tap MPRS No. XXXIII, MPRS juga berhasil merumuskan: a. Tap MPRS Nomor XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali Tap MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik RI sebagai GBHN karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangannya; dan b. Tap MPRS Nomor XXXV/ MPRS/1966 tentang pencabutan Tap MPRS Nomor XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi.

Di dalam Sidang Umum MPRS yang berlangsung pada tanggal 21-30 Maret 1968, Pejabat Presiden Jenderal TNI Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden RI sampai dengan terpilihnya Presiden RI hasil pemilihan umum. Selain itu, di dalam Sidang Umum MPRS 1968, telah dirumuskan tujuh ketetapan. Pada tanggal 27 Maret 1968, Jenderal Soeharto diambil sumpah sebagai Presiden RI yang keempat. Sejak 1968, Soeharto resmi menjabat sebagai Presiden RI yang keempat (setelah Sukarno, 1945-1949; Mr. Asaat, 1949-1950; Sukarno, 1950-1967). Walaupun realitasnya demikian, akan tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia lebih mempercayai bahwa Soeharto adalah Presiden RI yang ke-2.

Dalam dokumen SAMBUTAN KAROPEG SETJEN KEMHAN (Halaman 138-152)