• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor II adalah Klon Karet K1 = BPM 1 ( tahan)

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. Uji virulensi isolat C.gloeosporioides

15. Laju Infeks

Rataan laju infeksi dari umur 93-97 hsi disajikan pada lampiran Tabel 19, sedangkan hasil sidik ragam pada Lampiran 17.

Hasil analisis laju infeksi pada umur 97 hsi interaksi perlakuan berpengaruh nyata ,dapat dilihat bahwa laju infeksi tertinggi terdapat pada kobinasi perlakuan P2K3 (pupuk ekstra 50% pada klon BPM24) yang rentan terhadap C.gloeosporioides

yaitu 0,187 dan laju infeksi terendah pada perlakuan P2K2 (pupuk ekstra 50% pada

klon GT1) dan P1K4 ( pupuk ekstra 25% pada klon PB260) yaitu 0,020, demikian

juga perlakuan dengan pupuk ekstara (N,K) berpengaruh nyata dan laju infeksi tertinggi terdapat pada perlakuan P0 (0%) yaitu 0,111 dan terendah pada perlakuan P1

(25%) yaitu 0,077. Perlakuan klon juga menunjukan pengaruh nyata terhadap laju infeksi dimana laju infeksi tertinggi terdapat pada perlakuan K3 ( klon BPM 24)

sedangkan laju infeksi terkecil pada perlakuan K1 ( BPM1)

Tabel 19. Rataan Pengujian Ketahanan Klon terhadap C.gloeosporioides dengan Pemberian Pupuk Ekstra (N,K) peubah Laju Infeksi pada umur 97 hsi

Perlakuan Interval dosis Pupuk Ekstra (N,K) Rataan P0 (0%) P1(25%) P2(50%) P3(75%)

K1 (BPM1) 0.063 cdef 0.035 cdef 0.088abcdef 0.034 def 0.055 b

K2(GT1) 0.122 abcd 0.139 abcd 0.025 ef 0.143 abc 0.107 a

K3(BPM 24) 0.180 ab 0.114abcde 0.186 a 0.002 f 0.120 a

K4( PB 260) 0.079bcdef 0.021 ef 0.133 abcd 0.140abcd 0.093 ab

Rataan 0.111 0.077 0.108 0.080

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji DMRT, sedangkan yang tidak bernotasi menunjukkan tidak berbeda nyata.

Hubungan antara interval dosis pupuk ekstra terhadap laju infeksi dapat dilihat pada gambar 16. Hasil analisis menunjukkan pola hubungan kuadratik dimana pada klon BPM 24 (K3) nilai koefisien detreminannya adalah (R2 = 0,64), sedangakan

pada klon PB 260 (K4) nilai koefisien detreminannya adalah (R2 = 0,58).

y = 3E-05x2 - 0,0008x + 0,0657 R2 = 0,5862 k4 y = -5E-05x2 + 0,0017x + 0,1602 R2 = 0,6431K3 - 0,020 0,040 0,060 0,080 0,100 0,120 0,140 0,160 0,180 0,200 0 10 20 30 40 50 60 70 80

Dosis Pupuk Ekstra (N,K) (%)

La ju I n fe k s i (r ) Rataan K1 Rataan K2 Rataan K3 Rataan K4

Gambar 16. Hubungan Interaksi Interval Dosis Pupuk Ekstra (N, K) dan Klon terhadap Laju Infeksi

Pembahasan

I. Uji virulensi isolat C.gloeosporioides

Hasil analisis uji virulensi isolat C.gloeosporioides asal langkat ( I1 ) Besitang

dan asal Deli Serdang ( I2 ) Kebun Sungei Putih terhadap klon karet dapat dilihat

pada Tabel 20.

Dari analisis menunjukkan bahwa intensitas serangan yang tertinggi diperoleh dari klon BPM 24 dan isolat asal Deli Serdang (perlakuan K3I2) dengan periode

92,50% yang berbeda nyata dengan perlakuan yang lain menunjukkan tingkat ketahanan rentan. Bila dibandingkan dengan menggunakan isolat Langkat ( I1 )

menunjukkan peningkatan periode laten yaitu 2,60 hsi, penurunan laju perkembangan bercak menjadi 0,15 dan intensitas penyakit 64,38% dengan tingkat ketahanan menjadi agak rentan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa klon BPM24 memberikan respon yang berbeda terhadap isolat Langkat ( I1 ) dan isolat Deli

Serdang ( I2 ) dan juga dapat dikatakan bahwa klon BPM 24 lebih rentan terhadap

isolat asal Deli Serdang karena waktu yang dibutuhkan mulai dari infeksi sampai terjadinya gejala penyakit lebih cepat dibanding perlakuan yang lain. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian (Woelan dkk, 1999) bahwa ketahanan klon BPM 24 terhadap

C.gloeosporioides kurang baik dan ini dapat terjadi karena pemberian perlakuan isolat D.Serdang setelah diuji ternyata lebih virulen menunjukkan intensitas serangan yang lebih tinggi, sesuai dengan pendapat Abadi (2003), bahwa tingkat virulensi dari ras suatu species bervariasi sehingga kemampuannya juga berbeda dalam menyerang tanaman.

Tabel 20. Rataan uji virulensi isolat C.gloeosporioides terhadap rataan periode laten (hari), laju perkembangan bercak (r), intensitas penyakit (IS), skala ketahanan dan tingkat ketahanan klon karet

I1 (Isolat langkat) I2 ( Isolat Deli Serdang

Perlakuan PL R IS Skala TK PL R IS Skala TK BPM1 3.0 0,14 40,75 2.25 Agak resisten 2.40 0,14 44,38 2.25 Moderat GT1 2.8 0,11 41,94 2.00 Moderat 2.25 0,10 44,55 2.50 Moderat BPM24 2.60 0,19 64,38 3.25 Agak rentan 2 0,31 92,50 4.00 Rentan PB260 3.20 0.15 45,53 2.25 Moderat 2.80 0,17 50,63 2.25 Moderat

Keterangan : PL = Periode Laten, r = Laju Perkembangan penyakit, IS = Intensitas penyakit , TK= Tingkat Ketahanan

Hal yang sama juga diperoleh pada klon BPM1 bila menggunakan isolat Langkat (I1) memberikan reaksi agak resisten dengan nilai periode laten 3 hsi, laju

perkembangan bercak (r ) = 0,14, dan intensitas penyakit 40,75% sedangkan klon BPM 1 dengan isolat Deli Serdang ( I2 ) menunjukkan reaksi yang moderat dengan

dengan periode laten 2,40 hsi , laju perkembangan bercak 0,14 dan intensitas penyakit 44,38%. Pada klon GT 1 (K2) dan PB 260 (K4) bila menggunakan isolat

Langkat ( I1 ) dan isolat Deli Serdang (I2) menunjukkan nilai periode laten berkisar

antara 2,25 hsi – 3,2 hsi, laju perkembangan bercak berkisar antara 0,10 – 0,19 dan intensitas penyakit berkisar antara 41,94% - 50,63 dengan tingkat ketahanan moderat. Hal ini juga memberikan indikasi bahwa telah terjadi pergeseran tingkat ketahanan menurut hasil penelitian (Woelan dkk, 1999) klon PB 260 dan BPM 1tahan terhadap

agak resisten sedangkan PB 260 tingkat ketahanannya menjadi moderat pada isolat Langkat, sedangkan terhadap isolat Deliserdang tingkat ketahanan klon BPM 1 dan PB 260 berubah menjadi moderat. Klon GT 1 tingkat ketahanannya juga berubah menjadi moderat baik itu dengan isolat C.gloeosporioides asal Langkat maupun D.Serdang sedangkan klon BPM 24 berubah tingkat ketahanannya dari rentan menjadi agak rentan pada isolat C.gloeodporioides asal Langkat dan pada isolate

C.gloesporioides Deli Serdang tingkat ketahanannya tetap rentan.

Dari hasil penelitian isolat Deli Serdang ( I2 ) menunjukkan kemampuan

menginfeksi dan berkecambah lebih cepat dibanding isolat Langkat ( I1 ) pada semua

klon yang diuji. Hal ini bisa disebabkan karena semua daun dari klon yang diuji berasal dari areal kebun setempat sehingga isolat lebih mudah untuk menginfeksi dan isolat sudah beradaptasi dengan klon setempat dibanding isolat Langkat. Dugaan ini sesuai menurut Van der Plank (1968) bahwa penanaman hanya satu klon atau varietas dalam skala luas akan mendorong timbulnya ras yang virulen

Virulensi isolat asal Deli Serdang (I2) yang lebih tinggi dibanding isolat Langkat (I1), karena kemampuan isolat Langkat ( I1 ) dalam menyebabkan gejala penyakit lebih rendah dibanding isolat D.Serdang (I2) pada klon K1( BPM 1) dan Klon K4 (PB 260) dan masa inkubasi isolat Deli Serdang lebih cepat dan laju perkembangan bercaknya juga lebih tinggi. Hal ini juga menunjukkan bahwa kemampuan/ daya infeksi isolat C.gloeosporioides asal Deli Serdang juga dipengaruhi oleh klon karet dalam merespon infeksi dari isolat dan kemungkinan

adanya suatu mekanisme pertahanan dari klon karet, tumbuhan sebagai inang akan melakukan reaksi terhadap kehadiran dan aktivitas patogen.

Wolfe dan Caten (1987), mengatakan bahwa adanya perbedaan virulensi atau ras patogen dalam populasi disebabkan perbedaan genetika patogen. Selain itu beberapa isolat patogen yang berasal dari klon karet dan sentra pekebunan menunjukkan keberagaman virulensi tetapi belum dapat dikelompokkan dalam suatu ras( Pawirosoemardjo dkk., 1982; dan Situmorang, 2004).

Tingkat ketahanan klon yang moderat dicerminkan dengan lambatnya periode laten dan laju perkembangn bercak dan kecilnya intensitas serangan atau keparahan penyakit sedangkan klon yang agak rentan dan rentan dicerminkan dengan cepatnya periode laten dan tingginya laju perkembangan bercak dan intensitas serangan atau keparahan penyakit.

Tingkat virulensi dari isolat atau patogen menunjukkan tingkat kemampuan patogen tersebut dalam menimbulkan penyakit. Perubahan – perubahan yang terjadi pada patogen dapat menyebabkan meningkatkan atau menurunkan sifat patogenitasnya. Perbedaan dalam tingkat virulensi patogen menyebabkan adanya perbedaan ras fisiologi dalam tingkat kemampuan patogen untuk menyerang suatu varietas inang. Teori ”Gene for gene” dari H.H. Flor menerangkan bahwa tiap gen dari inang yang mengatur resistensi selalu berkoresponden dengan gen dari patogen yang mengatur virulensi, demikian juga sebaliknya.

II. Pertumbuhan dan Ketahanan Klon Karet terhadap C.gloeosporioides

Dokumen terkait